11| Rahasia Kecil Adnan

Jangan lupa klik vote dan tinggalkan komen, oke.

***

Kesepakatan mereka akhirnya menemukan sedikit titik terang.

Sehari setelah makan malam dengan Hardi dan Mira, Inka mengirim ulang dokumen-dokumen digital. Lalu dua hari berikutnya ia bahkan rela datang sendiri menemui Adnan di rumah sakit tempat lelaki itu bekerja.

Satu dokter internis seusia Hardi sempat meledek. Menggoda Adnan akhirnya memiliki pasangan juga. Paling santer Aryo yang kegirangan mendapati temannya berujung punya pacar (walau Adnan tak pernah bilang demikian) namun mengetahui Inka menunggu Adnan di bagian ruang tunggu reguler membuat Aryo berspekulasi semaunya.

"Mbak Sasinka, nanti jangan kaget kalo udah nikah." Aryo menyerahkan segelas teh hangat kepada Inka dan ikut duduk di kursi lain. "Jangan kaget kalo udah serumah."

"Kagetnya kenapa, Mas Aryo?" Inka menerima gelas pemberian Aryo. Setelah pertemuan pertama di acara pernikahan kala itu, Inka merasa bicara dengan Aryo membuatnya cukup nyaman.

"Ya, pokoknya jangan kaget. Apalagi baru ketemu bentar 'kan sama Dokter? Belum ada sebulan kayaknya, ya? Takutnya kaget pas tau Adnan orangnya agak jorok."

"Nakal gimana tuh, Mas?"

"Nakal. Jorok, otaknya. Jorok lah pokoknya." Lebih tepatnya jahat.

Lelaki itu meringis mengingat rekam jejak Adnan dulu. Terakhir dua tahun lalu. Belum terlalu lama ketika Adnan menjalin hubungan dengan salah satu dokter residen wanita. Adnan masih berusia 32 tahun saat ia terlibat dengan seorang dokter residen yang kala itu baru berusia 25 tahun.

Meski bukan Aryo yang mengalami, namun hubungan  itu meninggalkan kesan yang kurang menyenangkan di benaknya. Ada hal-hal yang terjadi yang membuat Aryo sulit memandang Adnan dengan cara yang sama. Bukan hanya tentang perbedaan usia atau kekuasaan yang tak seimbang, tapi ada sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang membuat Aryo memilih untuk tidak membicarakannya lagi. Ia tahu bahwa Adnan telah melangkah terlalu jauh, melewati batas-batas yang seharusnya tak pernah disentuh.

Namun, Aryo tak bisa membuka kembali luka lama itu. Di hadapan Inka, ia hanya bisa memberikan peringatan samar, berharap bahwa apa yang ia tahu akan tetap tersembunyi di balik ingatannya yang tak  mau diungkap. Atau lebih tepatnya belum ia ungkap.

"Gimana maksudnya, Mas? Nakal-jorok itu gimana maksudnya?"

"Ah, susah dijelasin pokoknya. Saya cuma wanti-wanti aja takutnya ente kaget. Cuma kayaknya enggak sih kalo udah jadi istri." Aryo meneguk langsung tehnya dan melepehnya lagi ke gelas. Lupa kalo teh itu masih mengepulkan uap panas. "Aduh, sori, Mbak, sori, nggak sopan. Melepuh dah bibir saya."

Inka tertawa. Tidak merasa terganggu dengan aksi konyol dokter anestesi yang mau menemaninya selagi menunggu Adnan yang tengah menyelesaikan urusan dengan satu pasien dalam ruangan.

"Mas Aryo lagi santai atau apa? Takutnya saya ganggu."

"Oh, enggak, enggak." Aryo mengibas-ibaskan tangan. "Kebetulan lagi istirahat aja saya ini. Seneng juga temenin ngobrol calon Adnan. Ini boleh nggak kita jangan ngobrol pake saya-sayaan terus? Soalnya berasa ngobrol sama Adnan."

Sekali lagi Inka tertawa relaks. Apa yang dikatakan Aryo barusan membuatnya terhibur. "Iya, ya. Calon suami saya kenapa bisa se-nggak-asik itu ya, Mas? Tapi saya juga lebih suka pakai bahasa formal sih. Apalagi di lingkungan rumah sakit. Sama dokter pula, jelasnya. "Mas Aryo termasuk dokter senior, kan?"

Aryo segera menggaruk pelipisnya malu hati. Oalah ternyata 11-12 dengan calonnya. "Waduh saya masih masuk tahap karier, Mbak. Belum sampe level senior," terangnya merendah. "Emang muka saya keliatan setua itu, Mbak?"

"Oh, enggak. Kebetulan saya juga kurang paham yang bisa disebut dokter senior itu usia berapa. Saya pikir semua dokter spesialis sudah termasuk senior."

Aryo tersenyum kecil. "Sebetulnya, dokter senior itu udah punya pengalaman kerja yang lebih panjang, Mbak. Jam terbangnya tinggi. Yah, kalau saya sih masih ecek-ecek, masih perlu belajar banyak. Jadi belum bisa dibilang senior."

"Ah, gituu." Inka mengangguk pelan. "Terus tadi itu gimana maksudnya? Katanya calon suami saya nakal dan jorok? Coba Mas Aryo bantu jelasin, jorok kebiasaannya, jorok karena jarang bersih-bersih? Atau mungkin jorok karena males mandi?"

"Beuh itu mah jangan ditanya, Mbak," ucapnya spontan. "Adnan? Jorok? Males mandi? Demi Allah itu orang kayaknya kalo gabut juga mandi. Kalo abis operasi mesti, di kamar mandi udah kayak perawan. Hobinya bolak-balik kamar mandi. Ada kayaknya tiga sampai lima kali dia mandi after handling major surgeries."

"Lama di kamar mandi itu maksudnya kebelet?"

"Siraman rohani, Mbak! Si Mbak Pake ditanya. Ya, mandi, Mbak. Masa bedah WC."

Inka terbahak bahkan sampai harus meletakkan teh panasnya yang belum sama sekali ia minum di kursi sebelahnya yang kosong.

"Saya juga curiga, itu orang kayaknya mandi sepuluh kali sehari deh."

"Serius?"

"Serius saya, Mbak. Ngapain saya boong buat muji orang bersih depan orang lain. Saya nih saksi hidupnya."

"Terus, terus, apalagi yang Mas Aryo tau? Saya pengen denger lebih banyak dong." Satu kaki Inka bertumpu di kaki lain, mencari pososi nyaman. "Penasaran calon suami saya gimana waktu di RS atau pas lagi kerja." Pelan-pelan Inka mencoba mengorek apa lagi yang bisa ia temukan. Ingin tahu lebih banyak seperti apa pria yang akan bersanding dengannya di pelaminan, jika jadi.

"Adnan banyak aibnya, Mbak." Aryo memasang wajah serius meskipun suaranya terdengar seperti celetuk canda. Sesaat tangannya menaruh lebih dulu gelas di kursi kosong di sampingnya. Pandangannya lurus pada dinding yang jauh di hadapan mereka.

"Rese dulu dia sama perempuan. Tinggal tunjuk yang dia mau terus dapet," singgung Aryo lagi, kali ini dengan nada yang lebih datar, seolah mau menutup pembicaraan. Dalam hati, ia berusaha mengusir bayangan yang tidak bisa ia ceritakan. Cuma ia dan beberapa rekan sejawat yang tau. Sepertinya Aryo pun mengatakan itu dalam kondisi tidak terlalu sadar.

"Tinggal tunjuk gimana?"

Aryo mengedip dan menoleh terkejut. "Lah tadi saya bilang apa?"

"Tinggal tunjuk yang dia mau. Konteksnya perempuan, kan?"

"Hah? Nggak. Emang saya bilang begitu?"

Inka mengerjap. "Belum ada semenit bilang lho, Mas Aryo."

"Nggak, Mbak. Maksudnya ya, maklum, bisa dapet yang dimau. Tinggal tunjuk mau makan apa hari ini, mau liburan ke negara mana besok, mau ambil jadwal praktek kapan, senyamannya dia, Orang rumah sakit punya bapaknya."

Inka tak lekas puas dengan jawaban itu. Belum sempat bertanya lebih jauh, ia melihat Adnan keluar dari salah satu pintu ruangan. "Kita ngobrol di ruangan saya."

Adnanseperti biasa, tidak ada hangat tutur katanya. Sebelum meninggalkan ruang tunggu, Inka masih sempat tersenyum pada Aryo. "Kita cocok kayaknya jadi temen, Mas Aryo," pujinya tanpa memikirkan masih Adnan di antara mereka. "Nyambung. Saya seneng."

"Waduh bahaya." Aryo yang tadinya santai, langsung berubah tegang. Dia menoleh cepat ke arah Adnan dengan ekspresi waspada. "Sumpah gue kaga ngomong ape-ape sama calon bini lu." Lalu menunjuk Inka sedikit panik. "Itu tuh bini lu yang mancing-mancing ngajak gue ngobrol."

"Mas Aryo, makasih ya," kata Inka lagi yang senang melihat ekspresi tegang di wajah Aryo, jauh berbeda dari tampangnya saat mereka mengobrol. "Mas Aryo lebih asik dari calon saya."

"Waduuuuuh." Aryo mengangkat tangan tanda pasrah kepada Adnan, menyerahkan nasib ke yang Yang Maha Kuasa. "Sumpah saya nggak ngapa-ngapain. Di sini saya cuma niat kerja buat anak bini, Dok. Demi Allah. Nggak ada niat serong calon Dokter Adnan."

Tidak menggubris, Adnan berbalik, meminta Inka mengikutinya. Sedang wanita itu masih sempat terkekeh ke arah Aryo yang saat ini menggeleng-geleng pasrah.

***

Khusus part ini kita mulai masuk singkap sedikit demi sedikit masa lalu Adnan. Ada beberapa hint di sini. Termasuk 4 perempuan di hidup Adnan yang akan dijelaskan seiring berjalannya cerita

Adnan sendiri aku gambarkan bukan tokoh idaman wanita ya, dia masuk kategori red flag yang harus dijauhi dan masuk trend "marriage is scary" kalau orangnya Adnan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top