10| Pria Superior
***
Inka tak kuasa menahan tawa. Ada bunyi gelitik halus yang lompat keluar dari bibir.
Nyaris dua belas menit ia duduk di restoran omakase pilihan Adnan. Lelaki itu memintanya datang lima belas menit lebih awal sebelum acara makan malam keluarga. Sepuluh menit yang lalu ia masih membaca serius berkas-berkas digital yang Adnan ajukan dalam iPad 11 inchi milik pria itu.
Merasa ada yang lucu dalam salah satu lembarnya, ia pun tertawa. Bukan tawa kencang terbahak-bahak. Melainkan tawa kecil yang keluar samar, lebih seperti desahan yang terbungkus oleh senyum tipis. Sebuah reaksi tak percaya atas absurditas situasi yang dihadapinya saat ini.
"Thirty billion? Are you sure, Mas Dokter?"
Bagaimana mungkin seseorang menawarkan pernikahan senilai tiga puluh miliar? Apakah ini nyata atau cuma tawaran main-main?
Pasalnya, dokumen yang baru saja Adnan tawarkan terdengar mengada-ada. Ia sempat berpikir tengah berhadapan dengan agen MLM ketimbang dokter bedah saraf sekaligus ahli waris salah satu rumah sakit swasta Indonesia. Atau jangan-jangan terlalu banyaj membedah kepala manusia membuat pria itu mulai agak setengah sinting.
"Itu yang saya punya dan bisa beri ke kamu."
"For what?"
"Jadi istri saya."
Inka mengangkat iPad itu lagi, jemarinya menelusuri layar seolah mencoba menemukan celah, sesuatu yang mungkin ia lewatkan. Di setiap lembaran dokumen hanya ada hitam-putih: syarat, ketentuan, kewajiban, hak, semua hal yang terbaca dengan jelas. Tapi tetap saja—pernikahan dengan harga yang sudah ditentukan angka?
Hal gila macam apa ini?!
Diusapnya layar iPad sekali lagi sebelum meletakkan ke meja dan menyerahkan kembali pada pemiliknya. "Jadi, Mas Adnan..." Inka mendesah, melipat tangan di papa halus kayu, "ini pernikahan arrange yang kamu maksud pakai kesepakatan itu, benar? Semacam lagi nego jual beli saham atau properti sama saya? Betul begitu? You play your part, I play mine, and we get what we want, right?"
Adnan menatap Inka datar. Ekspresinya tetap tak terbaca seperti biasa. Ia tidak mau menjelaskan ulang apa yang sudah tertera jelas dalam naskah perjanjian.
"Hmm, interesting." Inka menggut-manggut menjawab pertanyaannya sendiri yang tidak kunjung mendapat respons. "Tapi jujur aja lho Mas, saya lumayan kaget tiba-tiba mau dibayar tiga puluh miliar," katanya mengguyon dengan bola mata melebar. "Soalnya saya belum bikin bucket list harus ngapain kalau beneran punya tiga puluh miliar."
Sinting. Inka bahkan tak tahu bentuk 30 miliar itu seperti apa.
"Saya nggak bisa nunggu lebih lama. Kalau kamu nggak sanggup, just tell me. I'm not forcing you."
"Sanggup sih." Inka masih menatap dalam-dalam segala sesuatu yang hadir di wajah Adnan, mata tajam, hidung mancung, bibir tipis, dahi, rambut yang malam ini tidak lagi disisir ke belakang melainkan dibuat bentuk koma, dan segala macam jenis tatapan Adnan, atau ketika alis tebal lelaki itu mendadak mengerut mendengar beberapa responnya. "Tapi boleh nggak Mas Adnan diem sebentar? Soalnya sekarang saya lagi belajar sesuatu."
Adnan mengerutkan kening tidak mengerti.
Inka mencondongkan sedikit kepala ke depan Adnan. "Saya lagi mau pelajarin calon suami saya," bisiknya jahil. "Read you from cover to cover. Soalnya pria di depan saya sekarang seperitnya agak rumit."
Inka bisa melihat lelaki itu menjilat bibir bawahnya. Mungkin kesal, atau entahlah. Sudah ia bilang ekspresi Adnan jarang sekali terbaca.
"Sesuai abjad, A, Adnan," sambungnya masih meneliti raut pria itu, "barangkali Tuhan ciptakan manusia-manusia paling rumit di barisan awal. Salah satunya Mas Adnan."
Basa basi macam apa ini? Adnan mulai meragukan keputusannya memilih Inka. Sementara Inka sendiri terkejut bisa berbicara seperti ini di depan pria, apalagi orang itu Adnan Akhtar.
"I'm not here to play games, Sasinka. Saya nggak punya waktu buat ladenin kelakuan kamu yang aneh-aneh," ketus Adnan. "You need to get married for your reasons, and I need a wife's status to secure the hospital. Sekarang kamu sudah paham, it's a transaction."
Inka menatap lawan bicaranya lama, masih berusaha menangkap emosi yang terperangkap di wajah pria itu. "Udah? Cuma sebatas itu? Emang Mas Adnan nggak ada niatan buat, you know, at least try to make this a something real? Siapa tahu kita beneran cocok? Like, maybe we'd find that red string of fate or something, jalanin pernikahan normal dan mulai bicara serius soal rumah tangga?"
Alis Adnan terangkat separuh tinggi. "Fate? Red string?" Ingin ia tertawa saja. "This isn't some romantic fantasy, Sasinka. Saya offering kesepakatan yang kemarin kamu pinta dengan lagak sok kamu itu. Saya nggak cari apa-apa di kamu, saya nggak butuh apa-apa dari kamu, kecuali status," ungkapnya. "Nggak bisa saya buang-buang waktu untuk hubungan begitu. Kalau kamu pikir terlalu besar, then maybe you're not ready for this."
Oh, ya ampun. Dokter ini jumawa sekali.
Tegas dan lugas, Adnan katakan dalam waktu singkat. Dan Adnan pikir apa yang dikatakannya sudah sangat jelas. Hanya orang dungu yang belum mengerti apa maksudnya.
"Berarti nggak ada hubungan lain? Saling tertarik atau jatuh cinta misalnya?"
"Buat saya, ini cuma transaksi. Kalau kamu mau lihat ke arah lain, that's your choice, but for me, this is business. No strings attached. Nothing more."
Inka beralih memandang layar iPad yang masih terbuka, seolah mencoba menilai kembali tawaran yang ada di depan mata. "Okay, so this is it. No second chances or changes?"
"No," kata Adnan. "Ini tawaran terakhir."
Inka menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak, kemudian mengembuskan perlahan dari mulut. "Wow, ternyata seru ya transaksi sama anak konglomerat. Asik banget. Saya seneng deh jadinya." Bibir semerah darahnya tersenyum lebar tertantang. "And why me? Why choose me? Out of all the women you could've chosen to play this part, kenapa bisa saya?"
Adnan terdiam. sama-sama menelisik lawan bicara. Lupa kapan terakhir kali menelaah seseorang. Ia perhatikan lamat-lamat wajah Inka. Detail-detail kecil ketika perempuan itu mengatupkan mulut, mendesah, tertawa, tersenyum, mengerling, Adnan mengutip banyak gerakan kecil Inka dalam kepala. Bahkan ia tidak ragu mengatakan dalam benaknya Inka punya kulit bersih dan sehat.
"Dengan nominal segini kamu bisa banget loh, Mas, dapet perempuan yang kamu mau."
"Termasuk kamu."
"Kecualikan saya dulu."
"Saya maunya kamu," pungkas Adnan tidak ingin banyak buang waktu. "Take it or leave it. Saya cuma kasih kamu chance ini sekali. Hari ini. Malam ini."
Inka tertawa. "You really think you can buy everything, ya, Mas?" Jari-jarinya mengetuk meja dengan pelan. "Just so you know, I'm not an easy sell. And what if I say no?"
"Opportunities like this don't come twice. You're smarter than that, Sasinka." Adnan sungguh dibuat penasaran sejauh apa wanita ini mampu mengimbangi dialog mereka.
"Oke, karena kamu sombong, saya tertarik," jawab Inka. "Kita buat kesepakatan baru." Wanita itu mengangkat tangannya menilik arloji. "Mungkin sebentar lagi orangtua kamu dateng. Jadi dipercepat dan langsung aja. Tiga puluh miliar untuk main peran gini masih belum cukup untuk saya."
"Saya nggak bisa tawarin lebih dari itu."
"Bukan. Bukan uang. Karena selain wajah kamu yang mirip uang itu, saya juga bisa langsung nilai kamu orangnya kikir."
Bagai tersambar petir di siang bolong, pupil mata Adnan melebar. Beraninya ada pegawai rendahan yang menghinanya kikir.
"Jangan diambil hati ya, Mas. Saya bicara apa adanya. Kebetulan juga saya udah interview ratusan ribu orang di sepanjang pengalaman kerja saya. Jadi jangan kaget kalau saya terlalu jujur." Inka menarik kembali iPad Adnan. Mengambil tangkapan layar dan menandai bagian-bagian mana yang kurang ia setujui. "Nanti kita bicarakan ini lagi sampai dapat kesepakatan yang kamu mau dan bisa saya setujui seratus persen. A win-win. Kamu dapat, saya dapat."
Adnan tetap diam di kursinya. Matanya melirik ke layar pada apa yang Inka tandai.
"Ya, tapi balik lagi sih, Mas," katanya masih mencoret dan melingkari beberapa kalimat, juga menulis sesuatu dengan jari, "kamu yang punya kendali. Saya bisa apa kalau kamu yang pegang kuasa. Ditambah saya cuma pegawai kantoran biasa," tuturnya semanis madu. Setiap kata yang Inka pilih cukup berhati-hati. "Saya nggak punya power buat hadapin orang kayak Mas Adnan. Di rumah pun saya yang paling banyak ngalah. Aslinya bisa kok diatur-atur. Tadi saya cuma seneng aja kita debat. Seru. Lucu. Walau saya takut juga sih sama kamu."
Inka tahu persis cara berurusan dengan pria seperti Adnan. Pria yang terbiasa memegang kendali, yang hidupnya dipenuhi dengan menjaga superioritasnya.
Pada akhirnya bukan melawan, Inka memilih jalan lain, yakni pura-pura menjadi submisif, menyerah pada permainan yang sudah ia kuasai. Ia mengerti pria seperti Adnan akan selalu lebih nyaman berada di puncak kekuasaan. Bukanlah banyak laki-laki seperti ini? Senang menjadi pemegang kendali. Jadi biarlah Adnan merasa seperti itu. Setidaknya untuk sementara.
"Sudah lama kalian?"
Suara Hardi membelah hening di lorong restoran yang malam ini tidak begitu banyak terisi.
Selesai. Begitu Hardi tiba di meja mereka, Inka sudah menekan tombol power iPad sehingga benda itu meredup. Kepalanya berpaling pada Adnan, mengerling, memberi satu kode yang tidak Adnan pahami, sebelum kemudian berdiri dari kursi menyambut hangat Hardi dan wanita yang ia bawa, Mira.
***
Tidak banyak informasi yang Inka tahu mengenai kehidupan pribadi Adnan. Atau malah ia belum tahu sama sekali.
Ini pertama kalinya Inka bertemu Hardi dan Mira. Tidak ada skenario yang mereka diskusikan sebelumnya. Tidak ada pembahasan harus bagaimana Inka mengimbangi sandiwara mereka. Baik Adnan dan Inka mengambil perannya masing-masing secara natural.
Di meja ini, Inka merasa dijejali begitu banyak pertanyaan yang tentunya ia jawab dengan spontan. Untungnya pembawaan Hardi dan Mira cukup terbuka, sikapnya ramah. Terlebih Mira cukup enak diajak bertukar informasi mengenai beberapa macam judul buku meskipun Hardi memperingati jangan bicarakan soal buku ketika mereka sedang makan.
Kedua pria di meja ini tentu tidak banyak bicara. Itu pula yang mempermudah Inka mengarang bebas sejak detik pertama, seperti pertemuan pertama mereka sebelas bulan lalu di acara pernikahan teman, Adnan yang sesekali datang menemuinya sepulas dinas, atau momen-momen kecil yang mereka lalui bersama selama sebelas bulan terakhir.
Sebelas bulan apanya!
Semua itu hanya karangan. Tidak ada sebelas bulan pertemuan.
"You owe me ya, Dokter," katanya usai makan malam berakhir. Menuntun Adnan ke mobilnya setelah mengantar kepergian mobil Hardi dan Mira.
Adnan mengangkat satu alisnya, berdiri di samping pintu mobil.
"Tadi saya udah jawab semua sendiri. Kamu lepas tangan. You owe me. Besok saya mau makan yang manis-manis soalnya muka kamu asem."
"Nggak bisa, besok saya ada urusan di rumah sakit," katanya masih saja ketus.
"That's okay... kalau gitu—"
"Jangan kebanyakan minta. Saya nggak ada urusan sama permintaan aneh-aneh kamu."
Sekilas Adnan menatapnya tajam, namun tidak bergeming. Ia hendak meraih pintu mobil, tetapi dengan cepat Inka menyelipkan tubuhnya di antara Adnan dan pintu mobil, membuat jarak di antara mereka hampir tak ada lagi. Adnan bisa merasakan hangat napas Inka yang begitu dekat di dagunya, dan aroma parfum mahal lembut yang menyelinap di udara, menguar dari bahu Inka yang bersih dari kain dan hanya ada satu tali hitam menggantung di tengkuk.
"Bayarannya nggak ada?" tanya Inka mencoba bersikap lebih santun dan rapuh. Tak pernah ia mengeluh begini pada seorang pria kecuali Bapak. "Saya stres banget tadi ditanya macem-macem. Nggak dikasih text, tiba-tiba diberondong pertanyaan, apa nggak pusing kepala saya."
Malam ini perempuan itu berdiri di atas sepatu heels bertali keperak-perakan. Kendati demikian, tinggi wanita itu hanya mencapai batang hidungnya. Sedari Inka masuk tadi pun Adnan sudah memperhatikan langkah jingkat kucing betina dan gaun hitam ketat badan yang membentuk siluet tubuh, lekuk pinggang yang lebarnya kurang dari kertas A4, serta payudara yang cukup kencang. Masih terekam jelas bagaimana bentuk buah dada itu dalam genggamannya saat mereka di Jogja beberapa malam lalu.
Adnan menghela napas panjang, mencoba menahan kekesalan yang sudah mulai menggelayut. "Nanti," desaunya malas. "Nanti saya pikirin. Sekarang minggir. Besok saya ada keperluan pagi-pagi."
"Nggak mau nunggu nanti. Saya mau sekarang." Ada kilatan tekad dalam mata Inka, sebuah tekad yang mengundang ketegangan tak terduga.
Inka tidak sungguh-sungguh menagih. Sudah ia katakan berapa kali, ia mulai senang menggoda pria seperti Adnan yang sulit didekati.
"Kalau nggak bisa besok, mungkin bisa dibayar sekarang?"
Adnan terdiam, seluruh tubuhnya menegang. Dalam sekejap, suasana berubah, dari marah menjadi sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih berbahaya. Ada getaran yang tidak bisa ia hindari, membentang di antara mereka seperti benang tipis yang siap putus kapan saja. Mata Adnan menelusuri wajah Inka.
Namun, sebelum Adnan bisa berkata apa-apa, Inka sudah lebih dulu mengangkat wajahnya lebih tinggi, bibirnya nyaris menyentuh bibir Adnan.
Keheningan terasa begitu mencekam, setiap tarikan napas mereka terdengar jelas.
"Aku mau sekarang," ulang Inka, kali ini suaranya lebih pelan. Tidak ada penyebutan formal seperti beberapa saat lalu.
Namun, sebelum Adnan bisa berpikir lebih jauh, Inka mengambil inisiatif. Ia meraih kerah kemeja Adnan, menariknya mendekat.
Sungguh berani. Dan kurang ajar. Adnan balas menatap wanita itu intens. Sekilas, ia tampak seperti hendak mendorong Inka pergi, tapi kemudian, dalam gerakan yang tiba-tiba dan tanpa ampun, ia menarik Inka lebih dekat. Bibir mereka bertemu dalam ciuman panas, mengakhiri malam itu dengan satu ledakan yang memang ingin Inka ulangi setelah malam di Jogja. Terbuai, Inka tidak pernah menemukan rasa dari cumbuan yang sebaik milik Adnan Akhtar.
Ciuman itu berlangsung sejenak, cukup lama untuk membuat darah mengalir lebih cepat, cukup singkat untuk meninggalkan mereka berdua terengah-engah. Ketika akhirnya Adnan melepaskan Inka, mereka berdua berdiri di sana, di tengah keremangan lahan parkir yang begitu sunyi, mereka terdiam, seolah mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
"Lunas." Sebelum akhirnya Inka tersenyum manis. "Yang tadi sekaligus bayaran waktu kamu curi start di kamar saya." Kemudian ia menyingkir dari pintu mobil Adnan, "Anyway, your superior confidence leaves me craving more. Nanti kita bahas lagi yang belum tuntas. Hati-hati di jalan, Mas." Setelah itu berlalu masuk ke mobilnya lebih dulu.
***
Ckckck udah gak ketolong ya dua orang itu
Ayo voment guys. Klik di ujung kiri bawah ok ok
Challenge 1k comments
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top