08| Adnan dan Peringatannya
***
Inka menyadari Ibu jarang berbagi cerita dengannya. Tapi pagi ini, dengan Adnan, Ibu jadi banyak bicara. Termasuk menceritakan masa-masa muda yang dijalaninya sewaktu tinggal di Belanda.
Inka bahkan tak tahu menahu cerita Ibu yang pernah bekerja sebagai bartender di klub malam Amsterdam sewaktu sebelum menikah dulu.
Yang lebih mengejutkan, Ibunya yang hampir tidak pernah memasak tiba-tiba saja menyediakan sarapan untuk mereka. Pekerja rumah bilang kali ini Ibu turun langsung ke dapur sejak pagi buta. Meski Inka tahu sebetulnya Ibu hanya ikut-ikutan menata. Urusan meramu dan lain hal tetap diserahkan pada jejurumasak sebab Ibu paling enggan tangannya licin terkena minyak apalagi sampai bau bawang.
Jadi mustahil percaya kalau semua masakan pagi ini Ibu yang buat.
Ibu malas masak dan masakannya tidak pernah senikmat buatan Bapak. Sedari dulu pun Ibu tidak pernah mengajarkan ketiga putrinya berkutat di dapur. Bapak lah yang paling suka melakukannya.
Sekarang di meja makan kayu jati tua, berderet berbagai hidangan yang jarang Inka temui jika berkunjung—nasi liwet taburan teri, sayur asem, ayam goreng serundeng beraroma kelapa pekat, rawon yang bau bumbunya menyelimuti penjuru ruang, sampai aneka jajanan pasar yang memanjakan mata semua ada. Lalu dengan bangga Ibu mengaku-aku pada Adnan semua itu hasil olahnya.
"Khusus untuk Mas Adnan lho ini Ibu buat, ayo dicicip dulu." Ibu menghidangkan semangkuk sayur asem ke hadapan Adnan. "Dulu sewaktu kecil Inka suka sekali makan ini."
Inka tersenyum kecut. Ia rasa Ibu pasti lupa makanan favoritnya. "Ah, Ibu," sahutnya. "Dulu kapan? Enakan rawon lah," sambarnya sedikit menggoda. "Aku kan udah nggak makan sayur asem dari pas masuk TK. Ibu lupa ya?"
Ibu menoleh sesaat, memberinya tatapan beringas.
Inka tersenyum, berpura-pura menarik ritsleting di bibir. Sementara Adnan duduk di samping kirinya, mengaduk kopi hitam dalam cangkir keramik tanpa banyak bicara. Sorot matanya tenang, namun jelas Inka merasa Adnan tidak sepenuhnya nyaman, seakan ada yang membuat pria itu ingin segera meninggalkan Yogyakarta.
"Tadi malam tidur nyenyak, Mas?" Ibu bertanya lagi. "Jogja sudah panas. Takutnya AC-nya tadi malam ndak kerasa. Tapi tetap bisa tidur kan, Mas?"
Adnan hanya mengangguk pelan, lalu meneguk kopinya.
Inka yang paham, langsung mengambil alih percakapan. "Mas Adnan memang lebih suka yang panas-panas sih, Bu. Ruang operasi juga panas ya, Mas? Pengap. Takut salah potong saraf orang."
Adnan menoleh. Tatapan garangnya menyorot tajam pada Inka meski di depan mereka masih ada Ibu.
Inka lekas terkekeh kecil. "Bercanda, Mas sayaaang."
Tadinya ia tidak ingin menggoda, tapi entah kenapa menggoda Adnan mulai jadi satu kegiatan yang ia suka.
"Kamu nanti balik naik apa, Mas? Bareng sama anak Ibu?"
"Saya naik pesawat."
"Ya, begitulah Mas Adnan. Calon istrinya harus mandiri." Inka menyahut. Pura-pura merapikan bulu mata lentiknya yang sudah dipoles maskara dengan ujung jari. "Nyetir sendiri."
Keduanya kompak menoleh.
"Kamu mau saya antar atau bagaimana?"
Inka menyipitkan mata, "Nggak deh. Nggak yakin dokter ini sanggup nyetir delapan jam ke Jakarta. Terima kasih tawarannya ya, Mas Adnan."
"Barusan saya bukan lagi nawarin."
Di kolong meja, lutut Inka sengaja mengadu dengan paha Adnan.
"Jawaban kamu masih kaku aja sih, Sayang. Stres ya kebanyakan operasi otak orang? Iya? Stres? Tegang banget kayaknya saraf kamu." Kemudian Inka berpaling pada Ibu. "Calon suami aku unik ya, Bu. Hari-hari minta digigit."
"Saya bisa. Tapi kamu yang nggak tanya."
"Sudah, sudah. Malah ribut di depan makanan."
"Ah, udah biasa kok, Bu." Inka mengibaskan tangan. "Jangankan ribut di depan makanan, ribut sampe gigit-gigitan di atas ranjang juga pernah."
Ibu melotot kaget. Wajahnya tampak syok berat. Jika ada riwayat jantung, mungkin wanita tua itu sudah kena serangan.
"Bercanda," seloroh Inka lalu tertawa. "Kaget gitu mukanya, kayak nggak pernah aja," bisiknya di ujung kalimat. Dulu Ibu lebih parah, keluar masuk hotel berkali-kali dengan pria lain saat ia masih duduk di bangku sekolah.
Kadang Inka mengadu pada Bapak. Bapak hanya menanggapinya dengan cara lembut. Lalu malamnya ia akan dengar Ibu mengamuk, mengancam akan menceraikan Bapak. Paling parah Ibu ingin bunuh diri sampai akhirnya Bapak kembali dibuat tidak berkutik. Selalu ada saja akal-akalan Ibu yang membuat Bapak menyerah.
Sepertinya Ibu tidak terlalu mendengar umpan pertikaian yang ia lempar. Wanita itu menyiduk nasi untuk Adnan.
"Saya nggak bisa makan berat," tolak Adnan tanpa tedeng aling-aling.
"Coba sekali, Nak. Masakan Ibu enak lho. Sampai Jakarta nyesel nanti ndak bisa icip."
"Saya nggak bisa masukin makanan ke lambung saya sebelum jam sepuluh."
"Oh yasudah, nanti minta dihangatkan supaya bisa makan jam sepuluh."
"Nggak bisa, Ibu" pungkas Inka. "Kami ada kerjaan di Jakarta. Samsul mana? Siapa namanya? Hansip? Siapa ya itu yang kemarin Ibu kenalin? Maaf aku lupa. Ibu mungkin bisa panggil dia suruh habisin. Kemarin-kemarin juga undang Samsul makan."
Ibu tampak hampir meledak, namun menahan diri. Sejak kemarin Inka merasakan adanya perubahan Ibu. Ibu jadi bersikap lebih sopan di depan Adnan. Sepertinya sosok Hansa yang kemarin amat Ibu banggakan juga dengan cepat terlupakan.
"Oh yasudah. Kalau begitu habiskan kopinya saja." Ibu kembali duduk. Ada kilatan ambisi di balik maniknya. "Coba Ibu mau dengar, sudah sejauh apa hubungannya. Rencana pernikahannya bagaimana?" Nada suaranya terdengar seperti seseorang yang sedang menakar seberapa besar nilai investasi yang akan didapat. "Soalnya sampai kaget Ibu tahu-tahu Inka kenalin kamu."
"Ada banyak yang kita pertimbangin. Persiapannya juga nggak sehari-dua hari."
Raut wajah Ibu menunjukkan ketidakpuasan. "Yah, Tapi kan semakin cepat semakin baik. Apalagi kalau sudah punya calon seperti Mas Adnan, sudah sukses, mapan, ganteng pula. Nanti cucuku mesthi bakal ayu lan ganteng. Sudah ah jangan terlalu lama ditunda." Lantas Ibu berpaling pada Adnan, mencoba menggali lebih dalam. "Ibu paham pernikahan itu perlu perencanaan matang, apalagi kalau mau yang besar dan meriah. Ibu ndak keberatan tunggu sedikit lebih lama kalau pernikahannya nanti diadakan di tempat yang mewah, bukan begitu?"
Adnan akhirnya berbicara, suaranya datar dan tanpa emosi. "Saya bicarakan dulu dengan Inka. Gimana pun ke depannya, saya dan Inka yang akan jalani pernikahan."
Inka menahan tawa mendengar jawaban Adnan yang tak memberi celah untuk Ibu terus mendesak. "Betul. Maaf ya, Bu. Mas Adnan bukan ketus. Cuma terlalu jujur. Semoga nggak sakit hati."
"Oh, ndaaak." Ibu tertawa lepas yang malah terdengar dipaksakan. "Mana mungkin sakit hati."
"Iya, mana mungkin sakit hati." Inka tersenyum lebar. Membiarkan dirinya sendiri yang menangkal segala macam omongan Ibu. "Wong calonnya potensial gini mosok sakit hati."
Tatapan Ibu sedikit menajam, tapi tetap tersenyum, meskipun jelas bahwa Ibu tidak menyukai bagaimana percakapan ini berjalan. "Ya, tentu. Untuk apa sakit hati. Kita itu kan harus realistis, tapi jangan lupa, menikah itu sekali seumur hidup, pestanya diadakan sekali, jadi jangan tanggung-tanggung."
"Jangan tanggung-tanggung..." Inka mendekatkan bibirnya ke telinga Adnan, "Soalnya nanti Ibu yang sumbang catering-nya," tuturnya usil.
Ibu langsung tertawa. Dari cara Ibu tertawa Inka yakin hati Ibu sudah panas membara. Dengan santai Inka meraih gelasnya, menyesap teh yang sudah hampir dingin, sambil memandang Ibu dengan tatapan menang menikmati kekalahan Ibu atas celetukan-celetukannya. Ia jadi tahu, ia tidak akan bisa berbuat banyak di depan Adnan.
Kalau bukan karena kehadiran Adnan, Ibunya pasti sudah memberondongnya dengan ujaran-ujaran menyakitkan.
Masih bersikap manis, Ibu melajutkan dengan kalimat lainnya, "Kamu kelihatan lebih beda sekarang, Nak. Lebih bahagia. Lebih dewasa. Apa karena Mas Adnan?"
"Bahagia itu relatif toh, Bu. Kalau pagi ini lebih ke arah bahagia lihat Ibu masak, yang jelas bukan karena sayur asem."
Di tengah ketegangan antara anak dan Ibu, ponsel Adnan bergetar. Ia menatap layarnya sesaat. "Saya keluar sebentar. Telepon penting," ujarnya sambil berdiri.
Setelah Adnan beranjak, seketika itu pula sikap Ibu berubah. Senyumnya yang tadinya terkesan dipaksakan kini berganti dengan raut wajah muram. Ia merapikan helai-helai rambutnya yang sebenarnya tidak perlu dirapikan, lalu menatap Inka dengan pandangan penuh perhitungan.
"Katamu calonmu itu punya semua. Sayang kalau kamu ndak bisa memanfaatkannya dengan baik," ujarnya, dengan nada yang terdengar lebih ke arah menuntut daripada menasihati. "Kamu kan tahu, acara pernikahan itu mahal. Apalagi kalau undangannya banyak. Keluarga besar, teman-teman bapakmu, kolega Ibu, semuanya pasti pingin pesta yang besar dan mewah. Kita kan harus jaga nama baik keluarga. Jangan sampe malu-maluin."
Inka menahan napas, berusaha tidak langsung tersulut. "Oh, Ibu tenang aja. Aku sama Mas Adnan kan udah sama-sama dewasa. Jadi pasti tahu yang terbaik buat kita berdua," jawabnya dengan senyum tipis, namun ada nada dingin di dalamnya.
"Ibu kan cuma mau yang terbaik buat kamu. Dan ingat, pernikahan itu investasi jangka panjang. Kalau pestanya bagus, semua orang akan ingat, dan itu bisa jadi langkah awal yang baik untuk masa depan. Bisa tambah relasi dari kalangan atas. Jangan orang ecek-ecek kamu undang. Makanya, Ibu didik kamu untuk pintar-pintar cari pasangan. Jangan terlalu hemat juga, toh cuma sekali seumur hidup. Apa salahnya adakan pesta besar. Awas nanti malah menyesal seumur hidup."
Inka mengangkat alis, mencoba menahan diri agar tidak menyela. Faktanya, Ibu tidak pernah benar-benar memikirkan kebahagiaannya; yang ada di kepala Ibu hanyalah soal status dan gengsi.
Selanjutnya Ibu mendengus pelan, lalu meneguk teh hangat di depannya. "Ya, pokoknya pikirkan baik-baik. Jangan sampai nanti menyesal," katanya, dengan nada yang semakin lama semakin terdengar seperti ancaman terselubung.
***
Kepala Inka terasa seperti akan meledak. Perbincangannya dengan Ibu di meja makan pagi tadi seharusnya sudah cukup untuk sarapan emosionalnya hari ini. Namun, ada satu masalah lagi yang belum terselesaikan.
Hansa Gaurav. Mobil mewah pria itu masuk tergesa-gesa dan terparkir serampangan di halaman rumah. Hansa muncul dari dalam mobil dengan rambut klimisnya yang tampak terlalu banyak diberi gel, menambah kesan necis namun juga menegaskan betapa jengkelnya dia saat itu. Wajah Hansa memancarkan kemarahan. Langkahnya panjang dan besar menuju Inka, seolah-olah ingin mengeluarkan semua kegundahannya dalam satu waktu.
"Ngomong dulu sama aku," ujar Hansa. Suaranya dipenuhi kemarahan yang mendidih.
"Apa sih?" Balas Inka. Alisnya mengerut jijik.
"Semalem aku mau telepon kamu nggak bisa. Aku diblok? Nomor yang Ibu kasih kenapa nggak aktif?"
"Kalau ada yang mau ditanya silakan ke nyokap gue, okay?"
"Kamu nggak bilang soal cowok kemarin."
"Cowok apa? Itu maksudnya?" Inka mengarahkan tatapan pada sosok Adnan yang sudah berdiri mendahuluinya. Dan Hansa baru sadar pria ini belum pulang sejak semalam. Kemeja Adnan sudah berganti warna menjadi biru pudar. "Calon gue?"
"Ini urusan kamu sama aku dulu." Hansa tampak semakin marah, wajahnya memerah dan suaranya meninggi, "Kamu nggak bilang. Kenapa baru bilang sekarang? Kita kan baru mau mulai."
Rasanya Inka ingin muntah mendengar nada emosional Hansa yang memekakkan telinga. "Mulai apaan? Udah deh lo diem, dari kemarin gue tahan-tahan. Kepala gue beneran pening liat lo. Sekarang gini aja, stop deketi gue. Gue nggak mau. Sisa urusan lo silakan atur sama orang di dalam rumah gue aja. Gue nggak tau apa-apa. Serius. Udah ya."
Hansa menggeleng kukuh. "Nggak. Nggak bisa gitu. Kalau gini gue jadi merasa dipermainkan."
"Permainkan apaan?" Dahi Inka mengerut dalam.
"Gini aja deh," Handa merogoh saku jinsnya. "Gue minta nomor lo. Nanti gue samperin ke Jakarta. Kita ngobrol berdua. Selesain semua. Gue berasa dibohongin. Asal lo tau, gue udah bilang bokap mau bawa lo ketemu keluarga besar. Kok jadi gini?"
"Aduh, gue nggak tau deh sumpah. Tanya nyokap gue aja. Atau persunting nyokap gue silakan."
"Nomor kamu dulu siniin."
"Kok maksa gitu."
Hansa semakin mendesak ponselnya ke depan Inka. "Udah sini dulu. Aku cuma mau ngomong baik-baik. Mau kenalan baik-baik. Nggak ada niat jahat."
"Lo nggak boleh dong ngajak kenalan kayak perampok."
"Dari awal kan aku ngajak kenalan baik-baik. Harusnya bilang kalau lagi deket orang. Terus malem itu kenapa juga masih jawab telepon aku? Kemarin juga masih ngobrol di teras. Nggak ada nolak-nolak."
Tidak mau ambil pusing, Inka mengambil langkah maju, namun dengan sigap Hansa menghalaunya.
Inka menarik napas dalam-dalam dan membuangnya kasar. Menekan rasa jengkel yang bercokol di dada. "Apa lagi? Dari awal gue nggak bilang kita bisa deket. Gue nggak pernah kasih kesempatan apa pun."
Ego hansa tergores mendengarnya. Malu ia rasakan. Emosinya kian terbakar. "Coba jelasin udah deket berapa lama sama dia?" Lelaki itu berkata seakan-akan tidak ada Adnan di dekat mereka. "Kemarin bilangnya belum jauh. Berarti aku masih bisa. Masih ada kesempatan."
Oh God, rasanya Inka mau meraup mulut Hansa dalam satu kepalan. "Gue-Aku-Gue-Aku. Lo ngomong yang konsisten dong ah. Jijik dengernya."
"Nomor aja. Nomor yang aktif." Hansa bersikukuh. "Nanti aku susul ke Jakarta kalau udah nggak sibuk."
Namun saat Hansa sekali lagi mendorong ponselnya, Adnan sudah berdiri persis di samping Inka. Tatapannya dingin tanpa emosi. Dengan satu gerakan tenang dan tegas, dia mendorong ponsel Hansa yang mengarah pada Inka. "Pergi. Jangan ganggu perempuan saya."
Inka tak tahu jenis emosi apa yang sedang ditampilkan Adnan, tetapi mendengar dua kata di akhir kalimat adnan mengusik sesuatu di hatinya. Bukan cinta. Bukan juga kasmaran. Mungkin semacam perasaan tersanjung mendengar kata 'Perempuan Saya' keluar dari mulut pria kaku dan dingin seperti Adnan Akhtar.
"Berani usik milik saya, saya buat kamu hancur." Itu serius. Bukan gertakan belaka. Adnan tidak pernah menggertak untuk menakut-nakuti. Adnan tidak pernah memberi ancaman untuk diingkari. Apa yang yang dikatakannya barusan adalah janji. Sama seperti saat kecil, Papa selalu tanamkan jangan biarkan orang lain merebut posisinya, mengambil apa yang sudah jadi miliknya.
Dan hari ini Adnan tegaskan Sasinka adalah miliknya. Maka sekali saja menyentuh apa yang ia miliki, ia akan memastikan orang itu tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk melakukannya lagi.
***
Absen di sini :D
Challenge 2k comments <3
Jangan lupa klik tanda bintang di ujung kiri layar ok ok <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top