05| Prinsip Sasinka akan Cinta

Challenge: 400 comments for next chapter

***

Sekarang Senin.

Artinya sudah lebih dari satu minggu sejak Inka memberi kartu namanya kepada Adnan. Semenjak hari itu tidak ada satu pun pesan masuk, tidak pula kedatangan pria itu menemuinya.

Mungkin caranya salah. Mungkin sikapnya terlalu gegabah. Kadang-kadang dalam seminggu ada semacam perasaan menyesal. Mengapa ia mengajukan diri ke depan Adnan layaknya wanita penjaja. Ya ampun, kapan lagi ada seorang pria yang ia tawari cuma-cuma. Sepajang sepak terjang asmaranya baru Adnan saja yang dapat perlakuan berbeda.

One night stand, katanya?

Jikalau bukan anak dari pemilik Rumah Sakit swasta yang jadi incarannya, Inka bisa saja melayangkan bogem mentah atau mengambil minuman terdekat untuk ditumpahkannya ke atas kepala Adnan. Untung saja kendali dirinya masih sebaik saat bertugas di kantor.

Bagaimana pun ia lakukan semua ini demi bisa membungkam mulut Ibunya. Ibu harus tahu, anak tengah perempuannya bisa mendapat pria yang lebih dari sekadar pekerja tambang atau pemilik perusahaan penerbitan. Lihat saja, Ibu. Lihat saja. Inka serius soal ini. Tidak masalah meskipun ujung-ujungnya pernikahannya kelak hanya sebatas pembuktian. Mungkin Ibu memang ingin lihat anak perempuannya hancur sekalian.

"Nih, Nek, daripada bengong." Janita meletakkan segelas americano dingin dan sekeping croissant di dalam kertas roti ke atas meja Inka. "Liatin terus tuh HP nggak bakal tiba-tiba ada suami keluar dari layar."

Inka menggeser seluruh tumpukan pekerjaan dan menarik gelas kopi untuk langsung diteguknya.

Janita menangkap wajah lusuh wanita yang genap dua bulan lagi resmi berganti usia. Lalu menempatkan bokongnya ke ujung meja. "Kenapa? Belum disamper juga sama dokter pujaan?"

Tak tak tak. Bunyi ketukan ujung kuku Inka yang dicat hijau lime terdengar berirama. Tatapannya mengawang pada permukaan meja. "Heran."

"Heran soalnya baru ini lo ditolak orang," ejeknya.

"Nggak. Gue masih heran aja, masa baru pertama kenalan udah dikira ngajak tidur."

Janita terkekeh. "Mungkin dia biasa dapet tawaran gitu kali, Nek. Jadinya trust issue."

"Nggak tau lah. Terserah dia. Datang nggak dateng, gue udah nggak peduli."

"Nggak peduli atau pura-pura nggak peduli? Udah lebih dari tiga belas tahun gue kenal lo ya, Nek. Gue udah apal banget kalau ada benih-benih di mata lo."

"Gue nggak naksir yang gimana-gimana. Bukan love at first sight juga. Tapi sehubung desain idung gue lebih peka nyium bau duit, gue jadi tertarik. Mukanya mirip duit."

Janita tertawa lepas. "Lagian bukan tukeran nomor WA atau apa kek gitu yang lebih canggih dan informal. Malah ngasi kartu nama."

"I don't care that much, though. Nggak penting juga."

"You told yourself that you don't care tapi gue yakin aslinya lo kepikiran kenapa dia nggak nelpon-nelpon. Ya kan? Udahlah jujur aja."

"Gue cuma lagi obses untuk membungkam mulut nyokap gue," jelasnya. "Kepala gue udah mau meledak. Tiap waktu dia nyuruh gue cepet nikah. Masalahnya, gengsinya nyokap gue itu nggak pake nalar. Beda sama gue yang wajib kudu pake kecermatan dan logika berpikir."

"Logika berpikir dari mane kalo lu cari spek anak konglo sementara anak pejabat aja lo tolakin mulu."

"Nggak. Gue yakin ini masalahnya ada di nyokap gue."

Kadang-kadang, ucapan Ibu bisa menyentil egonya, mempertanyakan kenapa hingga kini ia masih berangkat pagi dan pulang larut malam. Kenapa hidupnya tak juga berubah; masih saja menjadi karyawan kantoran.

Inka sebenarnya bisa memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Ia bekerja sebagai HR Manager di WanderLa, perusahaan teknologi terkemuka Asia Tenggara yang menyediakan platform online untuk layanan perjalanan dan gaya hidup, dengan gaji yang cukup tinggi. Tapi Ibu mungkin benar soal hidupnya yang stagnan.

Astaga. Ia menarik napas, mengusir pikiran itu dengan menggeleng pelan. Dengan pekerjaannya sekarang pun, Inka bisa membeli banyak yang diinginkannya. Bulan lalu, ia bahkan sempat liburan ke Korea dengan uang sendiri. Tak masalah. Lagipula, sejak lulus kuliah, ia tak pernah lagi bergantung pada uang Bapak, tidak seperti kakak dan adiknya.

Setelah menemukan jawaban, Inka langsung berseru, "Dari ujung rambut ke ujung kaki monthy spend gue minimal sepuluh juta. Belum keitung listrik gue, bensin, makan, ngopi, dan lain-lain," tukasnya sambil merobek kecil ujung croissant dan memasukkannya ke mulut usai bicara. "Jadi itulah alasan kenapa gue harus cari cowok konglomerat."

Mendengarnya, Janita melepaskan napas besar.

"Intinya gue nggak mau lower my standar karena selama ini gue sudah sangat sangat capable merawat diri gue dengan baik, gue fasilitasi diri gue dengan pendidikan mumpuni, gue makan dengan teratur, makan apa pun yang gue mau, gue bisa beli mobil, beli apartemen, traveling ke luar negeri, bangun rumah pakai hasil dari kerja keras gue sendiri, so gue nggak mau jatohin standar gue untuk laki-laki yang nggak ada usaha. I'm worth it. Always was. And always be."

"Yes, you are, Babe." Janita tersenyum jenaka sambil menggangguk-angguk. "Tapi ya Nek, misalnya lo dapet laki-laki yang ada di atas lo, dari segi finansial, pendidikan, dan lain-lain, sempet nggak di benak lo kalau si laki-laki lebih unggul ini nantinya justru bisa buat lo cemburu atau minder?"

"Nggak lah. Ngapain gue minder, suami suami gue." Inka menyesap es kopinya. "Ada juga dia yang malu kalau nggak bantu gue buat maju."

"Ya, oke. Berarti lo nggak akan minder, but...."

"No buts." Inka menyela. Menggoyangkan telunjuknya. "Selagi gue punya value, sadar betapa berharganya nilai gue, aware akan kecakapan dan segala sesuatu yang gue miliki, kenapa enggak cari laki-laki yang bisa provide buat cari bahagia di muka bumi. Gue nggak mau turunin standar walau lagi dipaksa tuntutan. Jadi selagi bisa nahan omongan nyokap, nggak ada salahnya bertahan sedikit lebih lama. Supaya gue dapetnya yang 'Eugh' sekalian. Titik. No debate."

"Okay, okay. Gue percaya." Janita tersenyum seraya bahunya mengedik.

"Pegang kata-kata gue. Kalau gue jadi sama yang ini sampe nikah, gue bakal potong pendek rambut gue segini." Inka menggosok bagian atas pundaknya seperti gerakan memotong.

"Lo pikir gue percaya. Sasinka and her long hair are bestie, dude. Nggak ada sejarahnya lo pangkas rambut demi cowok. Tiga belas tahun gila gue kenal Sasinka, dan lo nggak pernah motong rambut apa pun alesannya. Apalagi demi laki-laki. My bet, seumur hidup rambut lo nggak akan dipangkas lima senti di bawah bahu."

"What if I dared to cut it two inches above my shoulders?"

"No way."

"Yes way," ungkapnya jumawa. "Hanya jika gue bisa nikahin konglomerat. Adnan Akhtar misalnya."

"In your dream."

"Alright," nadanya terdengar angkuh. "Let's see then." Sekarang mending lo doain gue biar besok gue ketemu dia di Rumah Sakit."

"Ngapain ke RS?"

"Cek calon." Setelah itu menggigit satu potong besar croissant.

Agak lama keduanya terpekur dalam pikiran masing-masing. Sampai Janita angkat bicara, "Tapi lo pernah nggak, sekali dalam hidup lo, lo liat sosok cowok, yeah, in the end, he's my red string of fate, cowok yang pantas gue perjuangkan karena gue cinta sama dia bukan karena lo obses akan sesuatu di luar kendali lo?"

"Never."

"Sekali?"

"Never. Kalau gue tertarik, artinya gue suka, dari suka kan bisa lanjut jatuh cinta. Walau gue sendiri nggak pernah bener-bener ngerasain cinta sama cowok. Laki-laki yang sampai hari ini gue cintai sepenuh hati baru bokap gue aja."

"Dua puluh sembilan tahun? Dan baru bokap lo aja?"

"He is. One and only, until this day. Belum ada lagi laki-laki yang gue sayang sepenuh hati."

Janita menembuskan napas pelan. "Ternyata hati, pikiran, dan nalar lo lebih complicated dari yang gue kira, Beb. Selama ini gue pikir lo bakalan iri sama orang yang saling mencintai."

"Gimana mau iri, nyokap gue aja nggak pernah sayang sama Bapak gue."

"What? Gimana, gimana?" Janita membenarkan letak duduknya.

"Nyokap gue nggak pernah cinta ke bokap gue. Selama ini bokap gue jatuh cinta sendirian. Makanya Tuhan kasih tiga anak perempuan, mungkin ada maksud supaya cinta yang bokap terima lebih banyak dari yang dia kasih ke nyokap.

Janita tak tahu harus memprosesnya dari mana. Lebih dari satu dekade bersahabat, ia baru mendengar cerita ini keluar dari bibir Inka.

"Nggak kaget gitu mukanya. Mereka ketemu pas kuliah." Inka melanjutkan karena menemukan raut wajah Janita yang dipenuhi tanya. "Bokap naksir berat sama nyokap. Dikejarlah tuh mati-matian si nenek lampir. Bokap gue juga rada bulol."

Janita sempat tertawa lalu merapatkan bibir merasa bersalah. "Sorry. Sampe segitunya lo marah sama nyokap lo?"

"Gue udah banyak dendamnya ke nyokap dari gue balita kayaknya. Pokoknya pas muda, bokap gue itu loyal banget ke dia. Apa-apa dikasih, semua yang diminta nyokap gue diturutin. Waktu masih PDKT udah beliin HP, sewa restoran buat ultah nyokap, diajak liburan ke Jepang. Cewek gila mana yang jelas-jelas abis nolak cowok tapi begitu diajak ke luar negeri langsung mau. Dan lo tau apa yang lebih gilanya?"

"Apa?"

"Nyokap gue masih sama cowoknya."

"Sumpah?!" Mata Janita membeliak.

"Ngapain boong. Jatohnya gue fitnah nyokap sendiri dong. Begini aja gue udah dosa buka aib Ibu sendiri," tuturnya.

"It's okay. Gue nggak akan bilang yang lain." Janita mengusap pundak Inka sekilas, masih agak syok. "Terus kenapa akhirnya ortu lo bisa nikah?"

"Selain bokap gue bucin mampus, ortu pihak nyokap lebih restuin bokap gue yang memang udah mapan dari lahir. Jadilah mereka nikah. Tapi lo tau apa? Sampai gue masuk SD, nyokap gue masih cowok itu."

"Hah? Really? Bokap lo diselingkuhin?"

"Lo pikir aja sendiri deh. Otaknya di mana. Gila deh nyokap gue kalau diceritain detail. Udah abis kata-kata gue buat dia. Makanya sampai hari ini nyokap gue obses sama cowok tajir."

Bibir Janita tandas kelu.

"Lo pikir gue ngasih banyak syarat pas SMA sampe satu sekolah ngecap gue cewek mantre karena siapa kalo bukan nyokap gue yang seneng cekokin mindset gue harus kaya, harus ini, harus itu. Pokoknya anak-anak Ibu harus kenal laki-laki dari keluarga berada," sambung Inka menirukan ucapan Ibu kala itu. Ucapan itu kini menjadi pamflet abadi di kepalanya. "Itu dia yang buat gue males jatuh cinta. Gue selalu tahan diri gue buat nggak jatuh terlalu dalem saat jalin hubungan."

Janita cukup mengangguk-angguk. Batinnya ingin mengatakan banyak hal namun bibirnya kaku. Ternyata kehidupan sahabatnya ini tak sesederhana kelihatannya, yang Janita pikir penuh kenikmatan.

"Terus kan sekarang itungannya lo udah mateng ya, Nek, dan lo mau tetap menjadikan nilai atau pola pikir nyokap lo sebagai rem dari kehidupan lo atau lo justru mau menikah ketika lo yakin dia memang pria yang pantes dan paling tepat?"

"Yang tajir lah." Inka berseru tegas. "Otak gue tuh udah nggak bisa tolerir cinta remaja dan mabuk kepayang ala FVT. Di otak gue cuma tertanam jangan dapet cowok pemalas, miskin, banyak omong, nggak modal, nggak punya aset, bau, kumel—cuma itu. Cuma itu aja. Nggak ada kepikiran gue cari laki-laki yang bisa buat gue berdebar setiap waktu. Gue liat... dari contoh yang ada. Toh, nyokap-bokap gue langgeng sampai bokap meninggal. Jadi selagi dia mapan, mapan banget, konglomerat, gue harus kejar, dengan catatan gue nggak mendua atau selingkuh ketika gue udah sama dia. That's it."

Hening. Janita menarik napas begitu dalam. "Gila sumpah. Prinsip hidup lo ternyata se-mind blowing ini. Sumpah gue nggak abis pikir sama semua konspirasi hidup lo."

"Jangan dipikirin makanya."

"Maksud gue, apa lo nggak takut nantinya dapet cowok tajir atau abusive?"

"Ada proses kenalan. Sekali dia main tangan gue yang cerain, gue masukin penjara gimana pun caranya."

"Kalau dia selingkuh?"

"Tinggal selingkuh balik. Susah amat."

"Tapi lo bilang nggak mau selingkuh."

"Dia duluan yang selingkuh. Dia jahat, gue jahatin balik lebih pedih. Enak aja."

Saat keduanya kembali tenggelam dalam pikiran masing-masing, pintu ruangan Inka diketuk dari arah luar. Tak lama muncul salah satu anak magang.

"Mbak, katanya ada yang nunggu di luar."

"Siapa?" tanya Inka. "Mbak siapa? Aku atau temenku?"

"Mbak Sasinka diminta ke lobi."

"Siapa yang suruh?"

"Itu, Mbak... tadi ada mas-mas pegawai di sini juga. Cuma saya belum kenal namanya. Suruh saya ke ruang HR bilangin yang namanya Mbak Sasinka ada yang cari di lobi," ujar anak magang itu tergugu.

"Oh yaudah, bentar lagi turun."

***

Sebetulnya part ini hanya berisi prinsip Inka soal bagaimana dia memandang cinta dan aku mau ceritain sedikit tentang latar belakang keluarganya, kenapa Inka sampai sekeras ini memandang cinta. Ditunggu aja gimana nanti ke Mas Dokter. Terima kasih yaa komennya, kalian baik sekali <3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top