Hari Benjo Nasional (1)
COKRO Group HQ*, Januari 2018.
Benjamin melangkahkan kakinya yang berbalut pantofel hitam berkilat.
Tak, tak, tak, bunyi langkahnya membuat siapa saja—terutama setiap pegawai yang bekerja di lantai itu—sigap memperbaiki sikap.
Matanya terbingkai sepasang kaca. Pandangannya tajam menusuk, menelisik setiap orang yang refleks menunduk ketika berpapasan dengannya.
"Ben, BEN! Oey, Benjo!" Panggilan dengan nada suara yang cempreng tak mengenakkan itu membuat langkah kaki Ben melambat seketika.
Siapa lagi yang dengan kurang ajarnya bisa bebas memanggil namanya sedemikian nista, kalau bukan Petra, Project Manager sekaligus tangan kanannya—dan juga, sahabat dekatnya sedari orok.
"Apa'an," jawab Benjamin cuek.
Dibukanya pintu menuju ruangannya, dan dengan cuek pula, dia menduduki kursi di balik meja kerja yang berhiaskan papan nama akrilik transparan bertuliskan 'Benjamin Cokro, Chief Operation Officer'.
"Lo kenapa ngundur meeting sama vendor dari Gresik jadi jam tiga, sih? Lo lupa ya, ntar sore lo udah di-booking sama Eyang Direktur buat makan malem keluarga!" Petra mulai merepet dan nge-rap tanpa bernapas.
Benjamin sibuk membuka map berisi laporan progress proyek pembangunan LRT (Lintas Rel Terpadu) per-Desember tahun lalu. Kuartal baru, masalah baru. Ben sedang mempersiapkan mental untuk itu.
"Woy, Benjo!" pekik Petra. Ben akhirnya mengangkat wajah, memberinya perhatian utuh.
"What?"
"Denger gak lo? Eyang Direktur minta—"
"Family dinner, tau. Ini kan acara gue, Tra. Ribet amat sih lo."
Petra meremas wajahnya sendiri. Sobat sekaligus bosnya ini sudah lumayan belagu pada hari-hari biasa, apa lagi hari ini adalah hari spesial ulang tahunnya, terasa sekali kadar ke-belagu-an si bos Ben makin mengganda.
"Gue cuma ngingetin. Lo tau sendiri Eyang Direktur paling nggak suka kalo ada yang ngaret. Ntar lo mesti jemput Saras juga kan? Estimasiin tuh waktu di jalan. Kejebak macet mampus lo." Petra duduk di hadapan Ben tanpa dipersilakan.
"Kan yang jemput Saras elo," ujar Ben ringan. Kini dia sedang menggenggam tetikus, memeriksa barisan surel pada layar komputernya.
"Heh? Kok gue?"
"Iya, Tra. Waktu lo kan banyak, sementara gue engga," ucap Ben dengan nada datar.
"Lo minta tolong nih, ceritanya?" kejar Petra.
"Mmm."
"Gak bisa minta tolong yang bener, gitu? 'Petra, temanku yang paling setia dan paling ganteng, bisa nggak kamu jemput Saras di gedung stasiun TV Channel Lim—'"
"Kalo nggak bisa, ya udah, gue pesenin Saras taksi online aja," potong Benjamin sambil meraih gawai.
Getaran ponsel menandakan sebuah pesan WhatsApp dari Pak Aftir, Humas Cokro Group, tiba di layar notifikasinya.
[Pak, barusan saya dapat kabar kalau kecelakaan box girder LRT Pulogadung sudah tercium media. Saya coba damage control seadanya, tapi tetap butuh ijin dari bapak untuk mengeluarkan statement dari pihak kita. Saran saya, kita harus melakukan press release secepatnya. Harap segera balas, terima kasih.]
Benjamin menghela napas. Firasatnya benar.
Sebagai orang yang saat ini memegang jabatan Chief Operation Officer (COO) Cokro Group, Benjamin merupakan pihak yang paling pening jika terjadi apa-apa di lapangan. Pasalnya, meskipun jabatan Benjamin masih bersifat stand-in alias sementara—sebab Benjamin harus menggantikan (almarhum) COO terdahulu yang telah tutup usia—namun tetap saja tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh Benjamin bukan main-main.
COO bertanggung jawab atas pelaksanaan operasional dari proyek-proyek krusial perusahaan. Dan tahun ini, proyek terbesar yang dijalankan oleh Cokro Group adalah pembangunan MRT dan LRT di Jakarta. Sialnya, pada tengah malam tadi, box girder LRT di kawasan Utan Kayu, Jakarta Utara, roboh.
Hal itu terjadi saat pekerja yang bertugas melakukan stressing (penarikan kabel baja—termasuk kabel tendon—untuk menyatukan box girder menjadi kesatuan span girder) mendengar suara retakan. Saat hendak diperiksa, span tersebut roboh dan mengakibatkan lima korban luka-luka. Korban sudah dibawa ke rumah sakit—tentu saja—tapi media masih mengejar-ngejar pihak Cokro Group yang menaungi proyek LRT tersebut.
Benjamin memijit pelipisnya yang kini mulai berkedut.
"Tra, jemput Saras sekarang juga," perintah sang COO sambil mengetik balasan pesan Pak Aftir Humas.
"Hah? T-tapi kan bentar lagi gue harus—"
"SEKARANG!"
🌟
Gedung Studio TV Channel 5 riuh rendah akan kegiatan rutin pekerjanya—terutama pada jam-jam seperti sekarang, beberapa saat sebelum acara berita siang Flash Headline, di mana ruang divisi news broadcast akan disibukkan dengan segala persiapan kru yang bertugas.
Salah satu dari mereka, wakil ketua divisi sekaligus News Director bernama Griselda Saraswati, sedang pening-peningnya membolak-balik draft berita.
"Cokro Group kena lagi, Ras?" tanya Eva Sania, Head Anchor sekaligus penyiar utama Flash Headline, yang sedang membaca draft berita serupa.
Eva bisa merasakan kecemasan Saras yang kini sedang menggigit-gigit bibirnya.
"Ehm, iya. Tapi udahlah, Mbak, coba di-proofread dulu itu materinya, bisa kan dibacain nanti pas on air?" jawab Saras yang kini mengipaskan lembaran draft itu di depan wajah. Ruangan broadcast dilengkapi dengan pendingin udara, tapi entah kenapa Saras masih bisa berkeringat.
"Ini... infonya detail banget, Ras. Kamu dapet sumber dari mana? Bukan hoax kan ini? Jangan ngarang loh ya! Saya nggak mau bacain berita yang nggak valid kebenarannya." Eva melirik Saras dengan pandangan menyelidik.
"Bukan hoaks kok, Mbak, itu cuma ... prediksi. Ah, nggak. Itu bukan cuma prediksi, tapi bakal beneran terjadi. Saya jamin itu." Saras mengajukan pembelaan seiring pintu masuk ruangan broadcast terbuka tiba-tiba.
"Petra!" Saras memekik dengan wajah lega.
Eva Sania membuka bicara, "Nah, ini nih, orang Cokro-nya dateng. Petra, coba kamu baca draft ini, akurat nggak sama—"
"Sori gue potong, Mbak, gue butuh banget ngomong sama Saras. Urgent. Dan iya, apapun berita yang ditulis Saras di situ, bacain aja. Gue dah yaqueen bin percaya seratus persen!" Petra merepet sambil menarik lengan Saras, meninggalkan Eva yang kini menggelengkan kepala sambil membolak-balik draft berita.
Petra menggiring Saras ke luar ruangan broadcast.
"Tra, Ben gimana? Dia baik-baik aja?" tanya Saras dengan wajah khawatir. Dia tau berita ini merupakan hantaman terbesar selama Benjamin menjabat sebagai COO sementara.
"Cranky parah! Eh, iya, lo nulis apa aja? Buru kasi tau, biar gue sampein ke Humas buat dijadiin statement. O iya, tadi pas di jalan gue juga sempet telponan sama pihak Humas, katanya mereka minta dibikinin press release, cuma ini si bos Ben minta lo dateng ke kantor sekarang juga, gue curiganya dia mau ngasi statement pake private interview dan ... aduh, ah! Pusing pala gue! Jadi Project Manager kok berasa kek kacung begini yak." Petra mengacak rambutnya frustasi.
Saras menghela napas. "Oke, Tra, tenang. Biar gue yang urus semua. Masalah statement, press release, sama interview, lo percayain aja ke gue. Cuma gue nggak bisa ikut lo sekarang, Tra, gue sendiri lagi hectic di sini."
"Aduh, Ras! Kalo lo nggak ikut gue, bisa-bisa gue yang dibunuh ama Benjo!"
"Nggak akan," ucap Saras dengan nada ringan. "Percaya aja sama gue, masalah Ben biar gue yang urus. Lo bantu gue ya, Tra? Biarin gue selesein kerjaan di sini, ntar kalo udah, gue bakal langsung cabut nyusul lo. Ya?"
Petra membuang muka, ragu. Dia tau amukan Benjamin jika ada orang yang gagal melaksanakan tugas. Bisa rubuh HQ Cokro Group di-bom nuklir sama COO jadi-jadian itu.
"Please, Tra, ya?" Kini Saras menarik lengan jaket Petra, memandang mata sang Project Manager lurus-lurus.
Saras mempunyai mata yang indah, alis yang tegas, dan tulang wajah yang menawan. Ditatapi titisan dewi begini rupa, Petra akhirnya mengangguk juga. "Iya deh."
🌟
Rumah utama kediaman keluarga Cokro—lebih tepatnya, rumah Eyang Kakung—merupakan bangunan mansion dengan halaman super luas, dikelilingi pohon cemara, rumput jepang, taman aneka flora, dan double-way berpaving yang membutuhkan waktu sepertiga menit untuk dilalui mobil yang masuk dari gerbang utama.
Pintu ganda kayu gaharu terbuka lebar, tepat saat mentari sudah merujuk jauh ke arah Barat. Langit sudah jingga, dan Benjamin Cokro baru saja tiba.
"Lha, ini cah bagus yang ulang tahun kok malah baru datang," sambut lelaki berusia senja dengan rambut putih yang mulai membotak. Kulit wajahnya yang keriput menyuguhkan senyum ke arah Benjamin, cucunya yang paling setia.
"Eyang Kakung," sapa Benjamin sambil menyalimi sang kakek. "Maaf, tadi Ben kena macet," dusta pemuda itu. Sebenarnya, dia baru saja selesai meeting dan berdiskusi panjang dengan Saras.
Ah, iya. Saras. Perempuan itu berdiri di ambang pintu, tersenyum dengan sopan. Dia tiba bersama Benjamin, namun tetap saja merasa canggung kalau harus menginjakkan kaki di rumah keramat ini, tempat orang-orang paling berkuasa di ibu kota tinggal dan berkeluarga.
"Saras, kok nggak masuk? Sini," panggil Ben yang baru saja selesai menyalami keluarganya.
"I-iya ...." Saras masuk dengan langkah kikuk, dan mulai menyalami orang-orang yang sedang duduk di ruang keluarga.
Eyang Kakung, sang Direktur Utama, pemimpin suri Cokro Group yang begitu dihormati, merupakan orang yang pertama Saras salami. Saras menempelkan punggung tangan Eyang Direktur di keningnya. "Sehat, Nduk?" tanya sang Eyang.
Lalu, Pakde Manu sang CEO. Saras tau dia adalah anak pertama dari Eyang Direktur. Paman pertama dari Benjamin itu tersenyum ramah pada Saras. Perempuan itu membalas senyum, diam-diam menyimpan berbagai informasi tentang sepak terjangnya sebagai CEO—orang dengan pengaruh terbesar setelah Direktur—yang mulai pasif dan vacant dari dunia korporasi.
Setelah itu, camer sekaligus ayah Benjamin, Pak Niar, yang kini menjabat sebagai CFO. Degup jantung Saras berdetak paling kencang sekarang. Pak Niar menyalami dengan cepat dan dingin, tidak senyum, tidak menyapa, dan tidak peduli. Chief Financial Officer yang menggagahi sektor finansial Cokro Group itu tampaknya masih memandang Saras sebagai benalu, alih-alih calon menantu.
Terakhir, Om Moel, paman ipar yang merupakan suami dari satu-satunya anak perempuan Eyang, Imelda Cokro, bibi Benjamin yang menetap di Surabaya. Tak jelas apa pekerjaan Om Moel ini, sepertinya dia itu investor? Atau enterpreneur? Hmmm, Saras nggak yakin.
"Ini toh, calon mantumu, Yar? Wuah, ayu tenan yo (cantik sekali ya)! Heh, Niar, kok merengut aja tho wajahmu itu. Senyum lah, Yar, smile." Om Moel berkicau menggoda Pak Niar, yang bukannya meleleh, tapi malah makin beku. Om Moel terkekeh saja.
"Siapa namamu? Saras, ya?" Om Moel menanyai Saras dengan nada ramah. Perempuan itu mengangguk sopan. Sudah tau tapi masih nanya, lucu.
"Iya, Om Moel. Salam kenal, akhirnya kita ketemu juga."
"HEHEHE, iya Saras. Sini, sini, duduk. Kita lagi menunggu sepupu-sepupunya Ben ini, anak-anaknya Pakde Manu."
Saras duduk menuruti perintah Om Moel, tepat di sebelah Benjamin.
Selama setahun lebih menjalin hubungan dengan Benjamin, Saras kerap kali mendengar cerita tentang Om Moel ini, paman yang paling hangat, penyayang, humoris, dan paling berperan sebagai father figure seorang Benjamin, lebih dari ayah kandungnya sendiri. Saras bisa melihat jelas itu sekarang, setelah bertemu orangnya langsung.
"Bagaimana keadaan di kantor, Ben? Aman semua?" Suara berat Pak Niar memulai pembicaraan.
Benjamin mengangguk sambil tersenyum ke arah Saras, "Iya, Pa, beruntung kita punya Saras yang bantu damage control."
Pak Niar mengerutkan kening. "Bantu?"
"Iya, Papa ... tadi tuh si Saras dan timnya di Channel 5 nge-cover kita pake headline berita yang berpihak sama Cokro Group. Biasanya kan kalau ada kasus begini, media selalu bikin spekulasi ngawur dan memojokkan pihak kita. Nah, untung aja ada Saras yang gercep, jadinya nggak ada berita simpang-siur yang kesebar sembarangan." Benjamin menjelaskan pada ayahnya sambil menerima suguhan minum dari ART mereka.
"Begitu?" Pak Niar menghirup gelas kopinya. "Papa sudah baca, headline sekaligus isi berita dari media online Channel 5. Di situ tertulis pihak kita sudah bertanggung jawab pada keluarga korban, betul? Biaya rumah sakit, santunan, itu semua yang tertulis di sana, yang katamu merupakan damage control itu."
Benjamin mengangguk, "Iya, betul. Bagus toh, Pa? Jadi kita nggak—"
"Sekarang Papa tanya, apakah berita itu berasal dari kamu yang membuat keputusan, atau dia?" Pak Niar menunjuk Saras dengan dagunya. Perempuan itu membeku seketika.
"Maksud Papa?" Benjamin membenahi letak kacamatanya. "Doesn't matter who initiate it, Pa, yang jelas kan media jadi berada di pihak kita, dan—"
"Berarti bukan kamu?" potong Pak Niar. "Bukan kamu yang menginisiasi pertanggungjawaban itu?"
"Niar, sudahlah ... toh benar kata Benjamin, yang penting citra Cokro Group terselamatkan. Masalah damage control, kan sudah ada orang-orang kita yang mengurus."
Pakde Manu menengahi sambil memandang Saras dan Ben dengan pandangan iba. Dia hafal betul tabiat adiknya, Niar, yang begitu keras terhadap anaknya sendiri.
"Jangan mengentengkan begitu, Mas Manu. Coba pikirkan, bagaimana kalau ada media lain yang kroscek fakta ke lapangan langsung? Menanyakan pada keluarga korban, misalnya. Apa nggak jadi bumerang buat kita, kalau kenyataannya berbeda dengan apa yang diberitakan?" Pak Niar berucap dengan nada tegas.
Benjamin menggenggam telapak tangannya, menahan emosi.
"Papa jangan mikir negatif dulu dong! Kenyataannya kita langsung follow up dengan apa yang diberitakan timnya Saras! Ben sudah ngirim tim Humas untuk ngurus keluarga korban, sesuai seperti yang diberitakan."
"Oh ya?" cibir Pak Niar. "Dan itu membuatmu menjadi apa? Budak media? Hei anakku, kamu itu calon pemimpin! Sejak kapan kamu jadi boneka yang mau disetir sama perempuan oportunis ini, hah?!"
"Niar!" Kini suara Eyang Kakung yang menegur. Suasana menjadi beku seketika.
Benjamin menyadari kekasihnya yang sudah gemetaran. Saras menggigit bibir, menahan tangis.
"M-maaf, saya permisi dulu ...." Saras buru-buru bangkit dan menenteng tasnya, berjalan meninggalkan ruang keluarga Cokro.
Benjamin yang menyaksikan itu otomatis bangkit dari kursinya, mengejar sang kekasih.
"Ras ... Saras!" Benjamin menarik lengan Saras saat perempuan itu hendak melangkahkan kaki ke halaman mansion.
"Ben, maaf, aku ... nggak sanggup." Saras mulai sesenggukan, diusapnya air mata berulang kali dengan punggung tangannya.
"Hey, hey, its okay. Aku yang harusnya minta maaf. I'm so, so, so sorry atas perkataan Papa di dalam." Benjamin maju selangkah untuk mendekap Saras dalam pelukannya.
Perempuan itu lantas terisak, menangis dalam genangan dada bidang Benjamin. Hatinya sakit, harga dirinya terluka. Dicemooh sebagai oportunis di depan muka akan membuat mental siapapun runtuh seketika.
"I've tried my best, but my best wasn't enough ... mustahil bisa jadi baik di mata papamu kalau dia aja nggak suka sama aku, Ben. Seberapapun aku berusaha, tetap aja buruk di mata dia. A-aku ...."
"Sssshhhh, Saras, udah," bisik Benjamin di telinga Saras. Ditepuknya punggung perempuan itu, menenangkan.
"Ben ... aku nggak bisa ada di sini. Aku mau pulang."
"Pulang? Tapi ... ah, nggak bisakah kamu tahan sampai makan malam?"
"I'm sorry, I just can't. Aku nggak bisa. Maaf." Saras melepaskan diri dari pelukan Benjamin, mengusap air matanya dan bersiap pergi.
"Fine," ucap Ben akhirnya. "Hati-hati di jalan, ya? Kabari aku kalau kamu sudah sampai rumah."
Saras hanya mengangguk sebelum berbalik, memunggungi Benjamin hanya mampu melepas kepergian Saras yang berbaik hati mampir ke kediaman keluarganya malam itu dengan pandangan sayu.
Saras adalah kekasih yang cantik jelita, juga merupakan wanita karir yang punya fondasi kokoh dalam pekerjaannya menjalankan perputaran media di ibu kota. Profesinya sebagai News Director membuat Saras selalu terdepan dalam menampung berita, juga fakta, dan dengan itu semua—koneksi, power, dan kuasa.
Entah apa yang membuat Pak Niar, ayah Benjamin itu selalu menatap Saras dengan pandangan miring, skeptis, dan tidak menerima. Kurang apa coba, perempuan itu?
"Kamu ndak apa-apa, Le?" suara hangat Om Moel menyadarkan Benjamin. Pria paruh baya itu menepuk tangannya di bahu sang ponakan, membuat Benjamin mengangguk kaku.
"Iya, Om. Tapi Saras jadi pulang, barusan ...."
"Ah, yawis, ndak papa. Biarkan dia menenangkan diri," ucap Om Moel sambil mengangguk paham. "Sekarang masuk ayo, Le, ada yang perlu kami bicarakan denganmu."
Ben menghela napas. Diikutinya langkah kaki Om Moel memasuki mansion.
Saat menutup pintu, Ben melayangkan pandang pada jejak-jejak kepergian Saras yang membuat hatinya sedikit ngilu.
Selamat tinggal Saras, selamat datang realita.
🌟
[2488 Words]
.
.
O iya, sekedar info aja, jadi begini kira-kira gambaran hierarki C-suite title di Cokro Group.
Kalau diibaratkan anggota badan, di Cokro Group itu:
1. Direktur kayak jantungnya perusahaan; yang berdegup, yang bikin hidup.
2. CEO (Executive) itu otak, yang bikin rencana dan ngambil keputusan besar.
3. CFO (Financial) itu tangan, yang megang uang.
4. COO (Operating) itu kaki, yang ngejalanin dan ngerealisasiin semuanya.
O iya lagi, mumpung di sini, sekalian kuselipin lagi deh silsilah keluarga Cokro. Biar nyambung gitu, sama info yang di atas 😅
*HQ (Headquarter ) = Kantor Pusat
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top