Hari 11 - Ayah Mertua
"AYAH?!" Leda membulatkan matanya saat melihat sosok familiar di ambang pintu.
"Ayah kok bisa di sini? Kapan nyampe? Kok nggak WA aku dulu??"
Gadis itu bangkit dan berlari meninggalkan Benjamin yang setengah telanjang, melepaskan kaki kecilnya melompat ke dalam pelukan sang ayah. Pak Budi menyambut dengan tawa renyah.
"Iya, Ayah ada panggilan ke BMKG Sidoarjo, jadi sekalian mampir ke sini. Ayah kan juga ingin lihat 'menantu' Ayah itu seperti apa ...."
Pandangan Pak Budi mendarat ke atas kasur, tepat di arah Benjamin yang buru-buru menutupi dada polosnya dengan selimut. Lelaki itu mengangguk sopan.
"Ahh, Ayah! Kenalin, Yah, ini Ben. Ben, ini ayahku." Leda menengahi dengan sigap.
Dua lelaki dewasa itu saling berjabat tangan, tanpa senyum Leda yang lepas sepanjang melihat kontak tangan ayah dan 'tunangan'nya.
"Ben habis jatuh dari motor, Yah. Kasian." Leda menjelaskan keadaan Benjamin sebelum Pak Budi sempat berkomentar apa-apa.
"Oh, begitu. Jadi sekarang, kamu lagi 'mandiin' dia?" Pak Budi menunjuk Benjamin dengan kedikan kepalanya.
Leda menangguk antusias.
"Kalau begitu, kamu tolong bantu bikinkan Ayah sama Ben minum, ya, Leda? Biar urusan mandi-memandikan ini Ayah yang handle."
Pak Budi dengan sigap memungut handuk yang terendam di atas baskom.
"Oke siap, Pak!" Leda memberikan gestur hormat-grak sebelum berbalik meninggalkan kamar.
Berdua saja di kamar ini dengan 'Ayah Mertua', Benjamin menelan ludah. Pak Budi menghadap lelaki itu dengan handuk basah di tangannya sambil berkata.
"Seumur-umur, saya nggak pernah menyangka akan memandikan seorang Cokro di kamar anak saya sendiri."
🌟
Puluhan pertanyaan timbul dan tenggelam dalam benak Benjamin malam tadi.
Kenapa tiba-tiba bapaknya Leda dateng?
Apa dia tau identitas gue sebenernya?
Dia tau nggak, sih, kalau tunangan ini bohong-bohongan?
Anjir, gue malu banget! Masa dimandiin sama bapak-bapak yang baru kenal, sih?
Namun untungnya pertanyaan-pertanyaan itu langsung terjawab dengan sikap Leda yang selow dan santuy terkait ayahnya. Pun juga percakapan Pak Budi yang ternyata ramah dan sama sekali tidak marah, menandakan bahwa lelaki paruh baya itu sudah tau semuanya.
"Anggap saja kami sedang membantu saudara, seperti Om Moel-mu dulu selalu membantu keluarga saya." Begitu kira-kira ucap Ayah Leda semalam.
Benjamin masih agak bingung kenapa selama ini Mbah Tum bisa sering salah sebut namanya jadi nama bapak ini, padahal mereka nggak ada mirip-miripnya sama sekali. Satu-satunya hal yang sama dari mereka adalah adanya kacamata tipis yang bertengger di tulang hidung.
Pagi itu, Benjamin terbangun dengan antisipasi akan bertemu dengan Pak Budi lagi. Tapi (untungnya) kata Leda, ayahnya itu sedang berkunjung ke rumah lek Adi dan Bi' Khos, bersama Mbah Tum juga. Di rumah itu, Benjamin benar-benar sendiri dengan Leda.
"Kamu lagi ngapain?" tanya Benjamin saat mendapati Leda menuang isi kotak kardus di ruang tengah.
Kalau diperhatikan lagi, ruangan itu sudah bertransformasi menjadi kapal pecah; barang berserakan di mana-mana, album foto, surat-surat, buku catatan, kabel berbagai macam ukuran.
"Bersih-bersih," jawab Leda ringan.
Gadis itu menyempatkan diri melirik kaki Benjamin yang baru kemarin 'disembuhkan' oleh Mbah Tum. Bengkaknya sudah berkurang, namun belum sepenuhnya kembali ke ukuran semula. Benjamin pun masih berjalan agak sedikit terpincang.
Oke, hari ini nggak mungkin langsung ke proyek dia, begitu kira-kira putusnya.
"Mau dibantu?" tawar Benjamin.
Leda otomatis menghentikan gerakannya. Tumben sekali Benjamin menawarkan diri?
"Boleh!" jawab Leda tanpa pikir panjang.
Bagi gadis itu, kehadiran Benjamin di tengah kekacauan ini adalah sebuah kesenangan yang patut disyukuri. Setidaknya, Leda tidak harus bersih-bersih sendiri.
"Ini semua barang-barang dari kamar kamu?" tanya Benjamin sambil mulai memungut beberapa buku bersampul tebal. Sekilas dia melirik beberapa judulnya; 'Welcome to the Universe' oleh J. Richard Gott, 'Parallel Worlds' karya Michio Kaku, hingga 'A Brief History of Time' karangan Stephen Hawking.
Gila. Berat-berat semua, pikir Benjamin.
"Iya, ini sebagian barang-barang dari jaman aku kuliah dulu. Sekarang udah jadi sampah." Leda berujar sambil melipat sebuah jersey tim baseball dengan nama asing.
"Hmmm, gitu." Benjamin menggumam tanpa banyak berkomentar, sementara dengan ekstra hati-hati diposisikannya kaki untuk duduk dengan aman, sebelum akhirnya tangan lelaki itu mulai aktif menjamah bebukuan lain, menatanya di satu sisi.
Mereka tak banyak mengobrol selama beberapa menit, sampai akhirnya Leda memulai pembicaraan.
"Ben ... kamu kan orang yang paling percaya diri yang pernah kutemui, pernah nggak, kamu kepikiran, kalau ... pilihan hidupmu sekarang ini sudah benar? Kamu sudah menemukan Ikigai-mu?"
Benjamin yang hendak menjamah sebuah album foto, jadi menghentikan gerakannya. Entah kenapa Leda hobi tiba-tiba menimpakan pertanyaan seberat karungan beras begini.
"Kamu pikir saya pede?" ulang Benjamin. Dia lebih tertarik akan kalimat pertama yang diucapkan Leda. Tak disangkanya gadis itu menilainya demikian—percaya diri.
"Of course," jawab Leda. "Kamu itu orang yang punya keyakinan sama diri kamu sendiri, kamu tau apa yang kamu mau, dan kamu fokus sama tujuan kamu."
Leda menumpuk lipatan baju lain. Kali ini hoodie berwarna biru gelap.
"Oh?" Benjamin benar-benar tak menyangka. Seumur hidup, tak pernah didengarnya Leda memuji orang lain, terutama dirinya.
Bukannya di mata cewek ini, gue arogan, nyebelin, dan suka semaunya? pikir Benjamin.
"Di balik semua keangkuhan kamu, ternyata kamu orangnya lumayan oke." Leda mengucapkan kalimat yang seakan membanting pujiannya tadi.
Benjamin hanya terkekeh. Nggak papalah. Imbang.
"Sejujurnya, saya sendiri juga masih ... berusaha," ucap Benjamin. "... untuk mencapai apa yang seharusnya saya capai."
"Dan itu yang kamu mau?" tuntut Leda. "Untuk mencapai itu ... yang seharusnya? Untuk jadi CEO?"
Benjamin membeku sesaat, namun buru-buru mengangguk sadar.
"Untuk sekarang, iya. Keinginan saya adalah mencapai tujuan utama saya. Simpel."
"Oh." Leda menggumam sambil meraih baju lain, dan memilin ujung kerahnya tanpa melipat. Sepertinya sesuatu mengganggu pikiran gadis itu.
Benjamin sadar akan perubahan sikap ini, namun sebelum dia sempat menanyakan apa-apa pada Leda, matanya menangkap sesuatu yang jatuh dari sela album foto yang digenggamnya.
Sebuah polaroid. Gadis muda yang wajah hati-nya sudah mulai familier di mata Benjamin itu sedang memeluk leher pria kaukasia. Senyum di wajah Leda versi lebih muda itu tidak bisa berbohong. Masih sama. Senyum Leda yang sedang bahagia.
"Ini foto kamu, Lee?" tanya Benjamin sembari memperhatikan benda itu.
Leda melongokkan kepala, menjatuhkan pandangan pada foto yang dimaksud Benjamin, dan mengangguk singkat.
"Waktu di New Jersey?" lanjut lelaki itu.
"Iya."
"Sama mantan pacar kamu?"
"Yap. Namanya Finneas." Kali ini Leda memperhatikan air muka Benjamin. Wajah lelaki itu memancarkan kedutan aneh.
"Ada yang salah?" tanya gadis itu kemudian.
"Nggak, nggak, cuma ... saya nggak tau aja kamu masih nyimpan foto dia."
Benjamin buru-buru menyelipkan kembali benda yang membuat telapak tangannya tiba-tiba terasa panas itu. Hm, mungkin bukan telapak tangan saja. Rasanya telinga Benjamin juga sedikit panas mendengar Leda dengan lepas menyebut nama laki-laki itu, dada Benjamin juga berdegup tak nyaman.
"Sini," ujar Leda sambil merebut album foto di tangan Benjamin, membuka-bukanya untuk mengeluarkan polaroid terkutuk tadi, dan beberapa foto saat rambutnya masih berwarna delima. Kesemua foto-foto itu memiliki satu unsur yang sama: ada Finneas di dalamnya.
Leda lalu memasukkan foto-foto itu ke kantong plastik merah besar, yang difungsikan sebagai tempat sampah sementara. Benjamin terbelalak melihatnya.
"Loh, loh, kok dibuang? Nggak sayang itu, fotonya?" Benjamin bertanya setengah terpaku.
"Nggak." Leda menggeleng pasti. "Harusnya udah aku bakar dari dulu-dulu, cuma kelupaan. Kamu juga ya, Ben, harus berani."
Benjamin mengerutkan alis, tak sepenuhnya mengerti kenapa objek pembicaraan ini malah berbelok pada dirinya.
"Nanti, kalau kamu udah balik ke Jakarta, kamu harus berani juga ngehapus semua hal tentang Saras dari hidup kamu—fotonya, di hape kamu, sosmed, dan lain-lain."
Benjamin terpekur mendengar kalimat Leda. Tak disangkanya gadis yang selama ini cerita, periang, dan peduli ini bisa berubah menjadi begitu ... pahit.
Sebelum lelaki itu sempat merespons apa-apa, Leda sudah lanjut berucap dengan satu kalimat pamungkas.
"Karena cuma orang bodoh yang masih berharap sama pasangan yang udah berkhianat."
🌟
Makan siang hari ini agak berbeda. Setelah membantu Leda berbenah barang-barang artefaknya, Benjamin dan gadis itu diundang untuk makan bersama di rumah Bi' Khos dan Pak Adi, lengkap bersama ayah Leda dan Mbah Tum yang sudah bercengkerama di rumah kades itu dari pagi.
"Sekalian aja kali, ya, habis makan kita ngecek proyek? Kamu pasti was-was dari tadi, nggak dapet update apa-apa dari Alif." Leda berucap sembari menuntun Benjamin memasuki rumah paman-bibinya itu.
"Kamu udah mulai bisa baca pikiran saya, ya?" jawab Benjamin.
"Hehe." Leda tertawa pelan. Rasanya kalimat Benjamin tadi membuat mereka seperti bisa telepati. 'Klik' saja dan langsung mengerti.
"Lhaaa ini dia, calon mantumu sudah datang ini, Bud." Sambutan dari Lek Adi membahana ketika Benjamin dan Leda bertatap muka dengan mereka di meja makan.
"Sini, Cong, duduk," ucap Bi' Khos mempersilakan.
Sambutan hangat itu membuat Benjamin merasa sedikit canggung. Kenapa mereka memperlakukannya begini spesial? Seakan-akan dia adalah bagian keluarga yang sesungguhnya?
"Gimana kakimu, Ben? Sudah mendingan?" tanya Pak Budi, ayah Leda, yang langsung membuat Benjamin paham seketika.
Oh, itu sebabnya. Dia lagi masa penyembuhan, pantas saja keluarga Leda jadi lebih perhatian.
"Sudah bisa dibuat jalan kok, Pak. Ini rencananya habis makan siang, saya sama Leda mau ngecek proyek perbaikan jalan," jawab Benjamin dengan sopan.
"Oh ya? Jadi benar, ya, proker yang perbaikan jalan itu kolaborasi anak KKN sama kamu, Ben?" balas Pak Budi.
"Benar, Pak."
"Apa bener 'dak apa-apa kamu, Cong? Itu kakinya suda enakan?" Bi' Khos menyela, terdengar nada khawatir terseilp dari kalimatnya.
"Nggak apa-apa kok, Bi'. Nanti aku yang nemenin si Ben." Leda menjawab dengan nada meyakinkan, sembari menyerok jatah nasi untuk piring Benjamin.
"Duh kah, mak cek kopennya (wah, sangat perhatian) kamu Dek! Liat itu, Bud, si Leda bisa juga jadi bini' se gennah (istri yang benar)." Bi' Khos mengucapkan pujian yang terdengar sedikit aneh di telinga Benjamin.
Si Bibi' mau muji apa ngejek, sih? pikirnya.
"Bisalah, anak paling cantik ini." Kali ini Pak Budi memuji Leda dengan benar. Benjamin tertawa tipis melihat kedekatan mereka.
"Lebi baik lagi mon nolongin (kalau membantu) Bibi' ker-ringkes (bersih-bersih), ya Dek?" Bi' Khos mengode ke arah Leda.
Gadis itu tertawa lepas mendengar celetukan bibiknya.
"Boleh itu. Leda, kamu bantu-bantu Bi' Khos beberes saja. Biar si Ben nanti Ayah temani ke proyeknya, gimana?" tawar Pak Budi.
Benjamin mendadak merasa kesulitan menelan kunyahannya.
"Seriusan, Yah?" Suara Leda terdengar girang dan penuh harap. Oh tidak.
"Iya, nggak apa-apa. Ayah juga kebetulan mau ngobrol sama berdua sama Ben."
Oh tidak, tidak, tidak.
🌟
"Alif, perkenalkan, ini Pak Budi, dia ... ayahnya Leda." Benjamin dengan suara berat memperkenalkan sang ayah mertua pada Kordes yang menjadi pemimpin sementara proyek kolaborasi mereka.
"Oh, calon mertuanya Mas Ben, ya? Salam kenal." Alif menjabat tangan Pak Budi dengan formal. Lelaki paruh baya itu mengangguk mengiyakan.
"Kalau sudah, ayo langsung saja, Lif. Bantu saya catch up sama apa aja yang udah jalan dari kemarin." Benjamin mengakhiri ramah-tamah kilat itu dengan satu kalimat padu. Tujuannya masih jelas dan fokus pada siang itu.
Lima belas menit berjalan berkeliling, Benjamin mendapati laporan progres proyeknya bersama Alif itu lumayan signifikan.
Hampir setengah dari lubang-lubang sepanjang jalan utama Desa Pandalungan sudah tertutup rapat, dengan lapisan batu split, asphalt cold mix yang dipadat-ratakan dengan tandem roller, membuat Alif dengan percaya diri berkata, "Kayaknya besok atau lusa sudah selesai ini proyeknya, Mas."
"Begitu, ya? Kerja bagus, Alif. Besok saya pastikan saya akan datang ke lokasi proyek untuk ikut memantau," ucap Benjamin.
"Ini karena dibantu sama Pak Dayat dan Mbak Vivi juga kok, Mas. Sama anak-anak KKN dan warga desa juga. Beruntung proyek kita ini disambut baik sama orang-orang, jadi responnya positif banget, dan hasilnya jadi bagus juga, cepat selesai." Alif memandang lurus jalan yang setengah jadi diperbaiki itu.
"Iya. Untuk masalah laporannya, gimana, Alif?" Benjamin masih fokus rupanya.
"Bahan-bahannya sudah aman kok, mas. Ada dokumentasi, rincian pembiayaan, barang-jasa yang dipakai apa saja, sampai result alias perbandingan before-after-nya juga ada. Nanti saya akan duplikat dan kirimkan ke Mas Ben kalau semuanya sudah selesai."
Benjamin bernapas lega. Ditepuknya bahu Alif dua kali, menandakan rasa terima kasih yang tulus dari hati.
Percakapan itu merupakan penghujung kunjungan Benjamin ke lokasi proyek. Matahari telah menjorok ke arah Barat saat lelaki itu kembali berjalan pulang bersama Pak Budi, 'ayah mertua' yang sedari tadi mendampinginya.
"Ternyata kamu orangnya lumayan workaholic juga ya, Ben?" Pak Budi membuka obrolan.
"I-iya sih, kayaknya, Pak ...." Lelaki itu masih merasa sedikit canggung jika ditinggal berdua saja dengan ayah Leda tersebut.
Dan tampaknya Pak Budi juga bisa merasakan itu, sikap Benjamin yang kaku bagai batu.
"Saya mau cerita sedikit, boleh?" tanya Pak Budi. Benjamin mengangguk saja.
"Sebenarnya, saya agak kontra waktu mendengar si Moel, ommu itu, mau 'menjodohkan' keponakannya dengan anak saya. Apa lagi, ternyata ini tidak benar-benar mengikat tali seperti perjodohan pada umumnya. Saya waktu itu takut, saya merasa ... nggak rela, kalau Leda dimanfaatkan untuk hal begini."
Benjamin bisa merasakan langkah kakinya memberat. Lelaki itu menelan ludah tanpa sadar.
"Begitu ya, Pak?" respons Benjamin seadanya.
"Ya," tanggap Pak Budi. "Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Om Moel-mu itu pasti nggak akan menjerumuskan Leda. Dia adalah orang baik. Makanya saya percaya."
"Oooh ...."
Dan langkah kaki mereka berlanjut lagi. Tak berapa lama, Pak Budi kembali membuka suara.
"Kamu tau, Ben? Melihat kamu disiplin sekali bekerja seperti tadi, rasanya saya seperti melihat diri saya sendiri, sewaktu masih muda dulu. Keras kepala, fokus pada tujuan, dan terkadang ... malah lupa sama hal yang sebenarnya lebih penting."
Mendengar itu, Benjamin melepaskan tawa ringan.
"Masa sih, Pak? Kebetulan, Mbah Tum sering salah manggil nama saya jadi nama Bapak."
"Oya? Hahaha." Pak Budi balas tertawa. "Maklumi saja ya, Ben. Sudah nenek-nenek, pikun pula."
Benjamin hanya mengangguk. Sejujurnya, dia masih tidak mengerti kenapa Pak Budi dan Mbah Tum memiliki pikiran yang sama. Bisa-bisanya dia disamakan dengan lelaki yang tak lain adalah ayah Leda ini.
"Kalau saya boleh tanya ... tadi maksudnya apa, ya, Pak?" Benjamin tidak suka memendam rasa ingin tahunya. Lebih baik lepaskan saja.
"Hmmm, apanya yang apa?" balas Pak Budi.
"Itu, maksudnya ... Bapak malah lupa sama hal yang lebih penting? Memangnya ada yang lebih penting dari pekerjaan, Pak?" Benjamin bertanya hati-hati.
Terdengar tawa renyah dari lelaki paruh baya di samping Benjamin itu. Butuh beberapa detik untuk Pak Budi merangkum kalimat di dalam benaknya, hingga akhirnya dia berkata,"Ada. Bagi saya, Leda."
"Leda?" ulang Benjamin.
Pak Budi mengangguk. "Ya. Dulu, saya sangat termotivasi untuk terus kuliah, selesai sarjana, saya kejar magister. Tujuan saya satu, demi membangun fondasi yang kuat untuk karir saya, agar bisa menafkahi keluarga yang saya cintai—Leda dan ibunya—dengan layak, sekaligus juga mengejar passion sebagai Astronom."
"Bukannya itu bagus, Pak?" bingung Benjamin.
"Ya, kalau dibilang bagus ya bagus. Tapi kamu tau kan, Benjamin, the road to hell is paved with good intentions. Niatmu baik, belum tentu hasilnya baik."
Mendengar itu, kerutan di kening Benjamin terlipat semakin nyata. Kok rasanya berat sekali, ya, kata-kata Pak Budi?
"Dulu, saya terlalu fokus sama tujuan saya, sampai saya lupa bahwa yang harus berjuang memenuhi kebutuhan keluarga selama saya kuliah itu adalah ibunya Leda. Dia sudah cerita, kan? Ibunya kerja di Bali dan tidak pernah kembali lagi?" ujar lelaki paruh baya itu.
Benjamin mengangguk.
"Saya tidak bisa menyalahkan dia, Ben. Wanita memang layak mendapatkan kehidupan yang baik, keluarga yang baik dan peduli. Sejak saat itu, saya belajar bahwa tujuan yang terlalu jauh digapai itu tidak sebanding untuk dijadikan prioritas utama, jika yang akan kita korbankan adalah orang yang paling kita sayang."
Kalimat Pak Budi bagaikan sambaran petir di sore terang itu bagi Benjamin. Tak pernah terpikirkan di benak lelaki itu sebelumnya, bahwa sesuatu yang tadinya pasti, akan dipertanyakan dengan tiba-tiba seperti ini.
Benjamin merenungkan obrolan mereka sepanjang sisa hari. Dia pun sadar, bahwa Mbah Tum tak sepenuhnya salah.
Tampaknya, Benjamin dan Pak Budi memang memiliki kesamaan substansial yang tak kasat mata; mereka sama-sama pekerja keras, ambisius, berkemauan kuat, dan visioner. Bedanya, Benjamin yang masih muda dan angkuh, masih diberikan kesempatan untuk berkaca pada pengalaman hidup Pak Budi yang terlewat pahit, tentang apa yang semestinya menjadi prioritas.
Malam itu Benjamin sulit tertidur.
Selama ini, apakah dia sudah benar menempatkan tujuannya sebagai prioritas utama? Apakah itu yang diinginkannya? Menjadi CEO?
🌟
[2488 Words]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top