-Jumat ke-6

Tema 6:


*

"Mau melihat peri?" Kiina bertanya padaku saat kami makan di kantin sekolah.

"Ada ya?"

"Siapa tahu sekarang ada, sekarang hari Jumat loh, apapun bisa terjadi."

Ya, dan seperti yang sudah kita semua duga, Kiina merencanakan untuk bolos sekolah (lagi) di minggu keenam dalam bulan ini. Namun, aku menolak, karena aku pribadi tidak mau mengulang kelas. Untungnya Kiina menurut, walaupun, kita semua masih tidak lupa dengan motto-nya bukan?

Itu, dua jam yang lalu.

Sekarang, aku dan Kiina berada 50 meter dari sekolah. Masuk ke kedalaman hutan di bukit di belakang sekolah kami.

"Katanya, ada dongeng lokal di sini yang menyebut bahwa bukit ini adalah bukit peri, 'kan?"

Aku mengangguk di belakangnya. "Betul," jawabku setelah sadar kalau ia tidak bisa melihat bahwa aku mengangguk.

"Sudah berpikir satu permohonan?"

Ah, ya. Ternyata Kiina sangat tahu soal kota ini, ya. Dongeng lokal di sini mengatakan bahwa ada banyak peri yang bisa mengabulkan permintaanmu, tapi hanya bertahan selama kurang dari satu hari saja. Kalau aku tidak salah, hanya sampai matahari terbenam di hari itu.

Tiba-tiba saja, ada kerlip-kerlip kecil yang terbang di depan mata kami berdua.

"Apakah itu ...?" Kiina yang terperanjat menggantung kalimatnya, lalu menoleh padaku.

Aku mengangguk.

Kami langsung mengejar kerlip-kerlip itu, berlari menyusuri jalan setapak sampai menembus semak-semak, pokoknya ke manapun kerlip itu terbang.

"Tangkap!" Aku menurut perintah Kiina.

Kami bergantian untuk maju dan mengatupkan tangan kami menangkap kerlip kecil yang lincah itu.

"Dapat!" ujarku berbisik.

Perlahan, aku membuka kedua telapak tanganku.

"Jangan makan aku!" pekik manusia mungil bersayap yang bergetar dan meringkuk di dalam katupan tanganku.

"Kami tidak akan menangkapmu," ujar Kiina.

Aku menurunkan peri yang masih sesenggukan itu. Wajahnya kebingungan melihat kami berdua yang tersenyum hangat kepadanya.

"Jangan takut pada kami, mengerti?"

Peri itu mengangguk, lalu menunduk.

"Apa kalian ingin membuat permohonan?" ujar makhluk itu.

Kiina tersenyum. "Betul! Permohonan yang sederhana!"

"Maaf, aku tidak bisa melakukannya." Peri kecil itu menunduk.

"Apa?" Kami terkejut.

"A-aku, sebenarnya kabur dari tempat tinggalku." Peri itu mulai bercerita.

Peri kecil yang malang itu, sampai sekarang tidak bisa mengabulkan permohonan manusia. Ia terlihat seperri tidak mempunyai kekuatan ajaib dibanding dengan saudara-saudaranya. Oleh karena itu, ia merasa tidak pantas dan bermaksud pergi ke danau yang juga kami tahu, ada di kota ini. Ia bermaksud menenggelamkan dirinya agar ia bisa terlahir kembali, dan menjadi peri yang pantas agar bisa berdiri di samping saudara-saudaranya.

"Hmm ...." Kiina menempatkan telunjuk di dagunya. "Kalau begitu, mau berlatih?"

Peri itu mendongak dan menghentikan tangisnya.

"Harus ada permohonan dulu, 'kan?" Kiina tersenyum.

Entah kekuatan apa yang Kiina pakai, peri itu terbujuk (maksudku, aku juga sering terbujuk dengan Kiina. Mungkin, dia memang penuh pesona saja?). Ia terbang tak jauh dari tanah, mengarahkan tongkatnya yang lebih kecil daripada tusuk gigi ke angkasa.

"Katakan permohonanmu, Manusia!"

"Buat awan yang penuh dengan semak dan bunga yang cantik!" Kiina membalas.

Peri itu berkali-kali mengayunkan tongkatnya, berkali-kali juga tidak ada yang gagal, tapi aku melihat Kiina tak pernah berhenti tersenyum, begitu juga peri itu yang tak pernah berhenti bersemangat mengayunkan tongkatnya, meski aku yakin, dia sendiri tahu kalau ia akan berkali-kali gagal.

Namun, aku yakin, sesuatu pasti akan terjadi ....

"Katakan permohonanmu, Manusia!" Peri itu berteriak sekuat tenaga.

"Buat awan yang penuh dengan semak dan bunga yang cantik!" Kiina tak kalah semangat.

Tongkat kecil yang diayunkan berpendar, mengalahkan pendar matahari senja. Angin kencang berembus, menerbangkan apapun di sekitar kami tanpa amarah, dan seluruh awan-awan di atas kami berubah menjadi kumpulan semak-semak yang penuh dengan bunga.

"Berhasil!" Kiina terpekik.

Wah! Aku terpana! Hujan bunga berguguran dari awan dan hembusan angin yang kencang.

"T-terima kasih!" Peri itu menunduk dan menangis.

Kiina tersenyum dan merengkuh si peri kecil dengan hati-hati.

"Yang perlu kau lakukan adalah selalu berdiri saat kau jatuh, mengerti? Karena kau pasti bisa, seiring waktu. Tidak perlu terburu-buru, setiap makhluk punya waktunya sendiri, jadi jangan patah semangat dan jangan memaksa diri." Dengan jari telunjuknya, Kiina menyentuk puncak kepala peri kecil.

Di bawah awan yang menumbuhkan bunga, kami menyaksikan peri-peri lain yang menjemput peri kecil itu kembali ke rumah. Ia tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih, tentu saja kami harus mengembalikan banyak terima kasih juga karena telah menciptakan pemandangan yang indah.

"Besok sampai beberapa tahun ke depan, kita tidak bisa melihat peri-peri lagi di haru Jumat, loh."

"Eh?" Pertanyaanku lagi-lagi tergantung.

Sekarang yang tersisa di antara kami, lagi-lagi hanya keheningan. Aku memandanginya yang berdiri melawan angin, di puncak bukit di belakang sekolah. Ia tersenyum damai, matanya tertutup seolah menikmati hujan bunga dan aroma wangi yang tersebar di sekeliling kami.

Kiina, dia ... sedikit misterius, bukan?

*

Didedikasikan buat rayhidayata 
🙄🙄🙄🙄🙄

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top