-Jumat ke-20
Tema 20: The Queen of Nightmares and Storms
*
Jumat ke-20, aku dan Kiina secara spontan menjadi sukarelawan untuk mengatur jalannya para warga yang sedang mengungsi ke gedung serbaguna dan sekolah dekat bukit. Tak peduli fakta bahwa tubuh kami basah kuyup diterpa hujan deras, badai, bahkan, bukan hanya hujan.
Sementara air permukaan tanah semakin naik, di belakang ada sebatalyon tengkorak yang berjalan memburu kami.
Komite Kebencanaan dan militer sudah mengambil alih situasi dan sedang menangani masalah ini, hanya saja, rasanya mereka takkan bisa menandingi kekuatan teman kami, Lintang. Sumber datangnya badai dan sepasukan tengkorak itu berasal dari Lintang yang hari ini tidak ada di sekolah, lambat laun diketahui bahwa ia ada di tengah alun-alun kota, di sana lah gadis itu mengeluarkan kekuatannya.
Lintang memanggil awan mendung untuk berkumpul dan membentuk badai tepat di atas kepalanya. Ia lalu merekahkan tanah, memanggil pasukan mayat hidup, berupa tengkorak yang melangkah bergemeletuk dan bisa menyerang siapa saja.
"Pelan-pelan! Harap jangan panik! Kalian sudah berada di tempat yang aman!" Kiina tak henti-hentinya berteriak untuk mengatur kerumunan. Meski seringnya, suaranya tenggelam oleh suara kilat, guntur, dan hujan.
"Melangkah dengan hati-hati!" Aku pun tak mau kalah membantu.
Sampai seseorang gadis menepuk pundakku, dan aku melihat seorang gadis dengan tubuh dan rupa yang sangat persis dengan Lintang.
"Kirana?" tanyaku.
Meski tidak terlalu jelas, tapi rasanya matanya bengkak. Sama seperti saudari kembarnya, Lintang, kami juga tidak melihatnya tadi di sekolah, jadi aku dan Kiina agaknya lumayan terkejut.
"Apakah benar saudariku ada di alun-alun?" tanyanya.
"Iya, masuklah ke gedung serbaguna!" ajakku.
Kirana menggeleng. "Aku yang akan menghentikan saudariku!" ujarnya sambil berbalik arah menuju alun-alun.
"Apa?! T-tunggu?!" Aku menoleh ke arah Kiina dan dibalas anggukan olehnya.
Bersama Kirana di depan, kami menyusul dengan kerepotan, menerjang genangan air dan hujan deras, serta kemungkinan akan ada pasukan tengkorak yang menerjang kami dari segala belokan. Namun, ajaibnya, Kirana dapat mengeluarkan tenaga (entah, seperti angin dari telapak tangannya, kurasa) yang mampu melumpuhkan pasukan-pasukan tengkorak—secara literal, karena segala sendi yang mereka miliki langsung copot.
Terengah-engah kami sampai di alun-alun kota.
"Kirana?! Bagaimana ...." ucapan Lintang terpotong.
Sementara Kirana berdiri dengan tegas sekitar lima puluh meter di depannya. Aku dan Kiina memutuskan untuk berhenti di sebalik tembok, jaga-jaga kalau ada sesuatu yang membahayakan.
Benar saja, Lintang segera menggerakkan pasukan tengkorak itu menerjang ke arah Kirana. Namun, gadis itu tidak gentar sama sekali. Pasukan tengkorak itu berhenti menyerang Kirana saat sudah sampai sejengkal di depan wajahnya.
"Kau tidak akan bisa melukaiku," ujar Kirana.
Lintang menganga, tak percaya.
"Ada keraguan dalam hatimu bukan?" Kirana bertanya sekali lagi.
Lintang mengetatkan kedua rahangnya. "Tidak ada sama sekali!" Dia kembali menggerakkan pasukan tengkorak itu, hanya saja, pionnya tidak dapat bergerak.
Wajah Kirana tidak dapat ditebak.
"Aku adalah saudarimu, aku minta maaf atas semua kelakuanku yang menyakiti hatimu," ujar Kirana.
"Diam!" Lintang membentak.
"Soal Ayah dan Ibu, aku akan membantumu bicara dengan mereka, ya?"
"Mereka tidak mau mendengarkanku, percuma!"
"Mereka akan mendengarkanku! Kemudian, kita akan lalui kehidupan bersama-sama, oke? Aku saudarimu! Ayo kita lalui ini bersama-sama!"
Aku menoleh ke Kiina.
"Sepertinya, pelatuk yang membuat Lintang mengeluarkan kekuatannya yang dia dapat hari ini, adalah karena masalah keluarga."
Aku termenung. Lintang dan Kirana memang sepasang kembar identik, tapi Lintang sering dirisak dan jadi bahan pembicaraan—secara negatif—di sekolah. Aku bertanya-tanya apakah Lintang juga mendapat paksaan di rumah.
"Oh! Hujannya berhenti," ujar Kiina.
Aku mendongak. "Benar."
Aku kembali menoleh ke Kirana dan Lintang. Pasukan tengkorak sudah berubah menjadi serpihan abu yang sekarang basah, sementara hujan sudah reda, dan awan mendung perlahan terurai. Kirana mendekati Lintang yang terduduk dengan bahu bergetar, kemudian berpelukan.
"Aku harap, mereka bisa melalui masalah apapun itu bersama-sama, dan saling membantu." Aku bergumam.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top