-Jumat ke-2

Tema 2: Buat karya yang diawali dengan kata-kata, "Dia mengubah nasib dengan jarinya ...."

*

Dia mengubah nasib dengan jarinya yang berubah menjadi kristal jernih berwarna biru yang sangat mewah.

"Safir?" Kiina di sampingku bergumam.

Betul, yang kami lihat sekarang adalah teman sekelas kami, Lilian, dengan wajahnya yang panik seperti sedang tertangkap basah. Tangan kirinya menggenggam gumpalan kain–yang kurasa, itu salah satu sisi sarung tangan—, sementara tangan kanannya, mengilat kebiruan diterpa sinar matahari.

Hari ini adalah hari Jumat minggu kedua sejak aku bertemu dengan Kiina, dan aneh rasanya kalau di hari Jumat tidak ada kejadian yang "aneh". Namun, ternyata, kejadian aneh itu menimpa teman kami sendiri.

"Apakah ini parah, nantinya?" Aku bergumam.

"T-tolong, jangan laporkan aku ke Komite Bencana Jumat." Bibir Liliana bergetar.

Aku dan Kiina saling memandang.

"Yah, itu tergantung, tapi ...." Kiina menggantung kalimatnya, sementara aku menghela napas.

Oh, ya, Kiina ternyata adalah siswi baru di sekolahku, dan kita sekelas. Kalau kau penasaran dengan apa yang terjadi minggu kemarin, yah, kita sempat kena masalah dengan anggota Komite Bencana Jumat karena hujan yang kami buat "mengotori" apapun yang ada di bawahnya.

Langit? Oh, langit baik-baik saja, sampai hari ini semua baik-baik saja, setidaknya sekitar 3 jam yang lalu, kami kira semua masih baik-baik saja.

"Aku, hanya ingin membantu gadis kecil itu." Lilian menunduk.

Lilian juga teman sekelasku, yang otomatis teman sekelas Kiina juga. Tanpa kami suruh, Lilian segera menceritakan semua yang terjadi. Mulai dari berangkat sekolah tadi, ia menemukan fakta bahwa ujung jari-jemarinya berubah menjadi kristal biru, dan apapun yang ia sentuh dengan jari tangan kanannya, berubah menjadi berlian biru berharga tinggi.

"Keluargaku tentu sudah tidak dapat mengadopsi anak lagi, jadi aku setiap hari bertemu dengannya di peron."

Sedikit banyak, aku mengetahui bahwa Lilian adalah keluarga berada yang kini sedang bergerak menuju kebangkrutan.  Dia adalah gadis baik dengan rasa empati yang tinggi kurasa.

Lilian lalu menceritakan bahwa ia rutin membawa bekal makanan untuk anak gadis miskin yang mengemis di peron. Ia bahkan menganggap gadis itu sebagai adik kecilnya sendiri.

"Gadis kecil itu tidak punya orang tua, seperti aku dulu," ujar Lilian, sesenggukan.

Betul, Lilian adalah seorang yatim piatu yang diadopsi keluarga kaya.

"Kau tahu, pengemis sering diusir karena mereka kotor dan jelek, tidak merawat diri. Padahal pengemis ada karena keegoisan orang-orang berada, kan?"

Aku tertegun, Kiina menunduk.

"Mereka hanya butuh bertahan hidup, tapi ada yang memilih untuk tutup mata pada kesalahan mereka sendiri, dengan posisi mereka di tengah masyarakat sosial."

Ah, ya, dan ini Lilian sekali. Maksudku, cara bicara ini, kritis dan langsung tepat pada poin permasalahan. Peringkat 1 paralel memang keren.

"Jadi?" tanyaku.

Lilian mengusap matanya dengan sebelah tangan.

"Aku mengubah batu-batu kerikil menjadi batu safir."

Di sinilah awal mulanya.

"Tapi, aku ingin memberikan kekayaan yang cukup karena aku sadar, setelah hari Jumat berakhir, aku tidak akan dapat membantu lagi. Bukan hanya untuk gadis kecil itu saja, tapi untuk keluargaku. Jadi aku mengubah apapun menjadi batu safir untuk rencananya kujual sebelum hari ini berakhir, t-tapi ...." Lilian kembali menangis.

"Kau dikejar oleh orang-orang yang melihatmu memakai kekuatan ajaib itu." Kiina melengkapi kisah ini dengan tepat. "Lalu, kau refleks menggandeng gadis itu dengan tangan ajaibmu."

Begitulah, hingga gadis kecil itu berubah menjadi patung batu safir. Dia kemudian menjadi "sensasi" selama 6 jam terakhir sampai aku dan Kiina memutuskan untuk membantunya lari ke dalam aula sekolah, tempat di mana kami duduk sekarang. Sekolah sampai tidak dilanjutkan dan semuanya heboh gara-gara orang-orang dewasa merangsek masuk ke sekolah demi memburu Lilian.

Manusia, memang seperti itu ya, tiba-tiba bisa beringas.

"Kami tidak akan melaporkan ini ke Komite Bencana Jumat, hanya saja, kejadian ini terlalu besar sehingga komite pasti akan tahu dengan sendirinya." Aku membuka percakapan.

"Anu—"

Aku refleks berdiri, Kiina juga spontan berdiri sambil bersiap dengan tongkat bisbolnya. Aku segera menutup jalur gerak Kiina agar Kiina tidak sembrono menyerang seorang murid berkaca mata di depan kami.

"Siapa?" tanyaku.

"Doni, erm ... kelas 2-3."

Anak kelas sebelah?

"Sejak kapan di sana?" tanya Kiina.

"Sejak awal kalian bercerita, karena sebelumnya aku sudah ada di sini sendirian. Jadi, aku bisa pastikan kalau aku bukan dari pihak pemburu. Aku ... menawarkan bantuan."

Doni meletakkan bola basket yang ia bawa ke lantai aula, lalu dengan tangan kirinya, ia menyentih bola basket itu. Tak lama, bola tersebut segera berubah menjadi lembaran karet tipis dan benang.

"Tanganku bisa membalikkan waktu benda-benda yang kusentuh. Kita tidak dapat menjamin kalau benda-benda dan manusia yang sudah berubah karena sentuhan cewek itu kembali besok. Jadi, lebih baik kita ubah sejak awal saja, kan?"

Wow, mengejutkan, Doni tiba-tiba berkata dengan tegas dan jelas.

Setelah berdiskusi sebentar dengan Kiina dan Lilian, kami setuju untuk keluar sekolah dan mengembalikan semuanya seperti sedia kala. Kami keluar lewat pintu belakang yang sepi orang, tapi ya ... keluar sekolah memang tidak mudah.

Berkali-kali, aku dan Kiina harus mengayun tongkat bisbol demi menghalau kerumunan orang, sementara Lilian berusaha untuk tidak tertangkap, dan Doni mengembalikan semua yang sudah Lilian sentuh.

Tepat jam 4 sore, kami sampai di stasiun. Doni menyentuh patung gadis kecil itu dan gadis itu kembali seperti semula. Lilian segera menghambur, memeluk gadis itu dengan kedua tangan yang ia balut sarung tangan.

Lilian menangis kuat.

"Bukankah sebaiknya kita segera pergi," ujarku melihat orang-orang yang sudh berkerumun di sekitar kami.

"Tidak, kecuali Doni bisa mengubah tanganku seperti semula." Lilian berkata dengan tegas.

"Apa?!" Doni terpekik. "Mana bisa?"

"Coba lah!" Lilian mengulurkan tangannya yang kebiruan.

"Tapi ... bagaimana kalau aku ... menghilangkanmu .... Kau tahu kan, konsekuensinya? Aku bisa membalikkan waktu benda, loh!" Doni menyembunyikan kedua tangan di belakang tubuhnya.

Lilian tersenyum. "Aku yakin padamu kalau kamu tidak akan melakukan hal seperti itu."

Aku dan Kiina berpandangan-pandangan sebelum mengangguk bersamaan.

"Lilian sudah mengijinkannya, coba lah, Don."

Doni menggigit bibirnya, menguatkan dirinya sebelum meraih, mengenggam tangan Lilian.

"Maafkan aku," ujar Doni.

Tangan biru Lilian bersinar, kemudian muncul retakan.

"Oh, apakah ini bur—"

"Ssh!" Ucapanku dipotong oleh Kiina yang sama-sama khawatir.

Suara sesuatu yang pecah terdengar, disusul permata-permata biru yang jatuh ke lantai peron.

"Tanganku kembali!" Lilian terpekik.

"Safir!" Orang-orang berteriak dan lari dengan kecepatan penuh ke arah kami.

"Lari!" Aku berteriak sambil menggandeng Kiina.

Doni dengan tangan masih menggenggam tangan Lilian juga berlari, dan Lilian juga menggendong gadis kecil itu. Kami selamat keluar dari peron sementara orang-orang berebut safir biru yang tinggal seberapa itu.

Sampai di luar, Lilian menurunkan gadis kecil itu dan menghambur ke pelukan Doni, dengan ulasan senyum paling lebar miliknya. Dari jarak tertentu, aku dapat melihat Doni salah tingkah karena tiba-tiba dipeluk, sementara di ujung mata Lilian, sudah bertengger air mata, air mata yang penuh syukur dan kebahagiaan, dengan matahari terbenam di belakang mereka.

"Jadi, sampai kapan kita bakal gandengan tangan seperti ini."

Eh?

Aku menoleh ke Kiina yang memasang senyum jail, lalu ke bawah, ke arah tanganku yang menggamit tangannya.

"Maaf!" Aku berteriak, melepaskan tanganku dari tangannya sementara Kiina tertawa renyah.

Di hari Jumat minggu kedua, aku menemukan sepasang orang yang saling mengubah nasib dengan jarinya, juga suara tawa Kiina yang renyah.

Duh, sebentar, apa kalian percaya dengan "jatuh cinta pada pandangan pertama" ?

Karena sepertinya, aku .... Lupakan. Yang penting, hari Jumat minggu kedua ini, kami berdua selamat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top