-Jumat ke-16
Tema 16: Bertemu seseorang di dalam bus yang mengubah pandangan tokohmu.
*
Uhh ... ini sudah genap seminggu sejak aku menemukan tulisan nama "Rino" di gantungan kunci berbentuk pensil itu. Yang lebih mengesalkan lagi, bisa-bisanya aku tidak tahu soal keberadaan pensil mini yang tergantung di tas ranselnya.
"Hah ...." aku menghela napas.
Jumat ke-16 hari ini rasanya tidak akan ada bencana apapun yang terjadi, meski begitu, aku sedang tidak ada semangat untuk berangkat ke sekolah. Meski aku tadi berpamitan untuk berjalan ke sekolah, nyatanya aku malah naik bus dengan awan mendung kecil yang menggumpal di depan dada kiriku.
Yah, aku yakin, awan ini adalah keanehan yang terjadi di hari Jumat ke-16 ini.
Sekarang sudah lewat jam sekolah atau pun jam bekerja, dan aku masih duduk di bagian belakang bus, menurut ke mana pun bus ini akan pergi.
"Nak!" Aku agak terkejut saat sopir bus berperawakan gempal itu memanggilku. "Mendekat lah ke sini!"
Sedikit ragu, aku menuruti panggilannya dan duduk di kursi nomor satu, tempat di mana Pak Sopir bisa melihatku. Mataku sempat melirik ke arahnya, dan dada kirinya bersinar warna kuning madu yang lembut, juga hangat. Ada busur pelangi kecil juga di sana.
"Kau mau ke mana?" tanyanya sambil masih memasang senyum yang lebar.
"Tidak tahu," jawabku, jujur.
"Melihat hatimu yang mendung seperti itu, tentu saja aku tidak perlu menanyakan apakah kau ada masalah, 'kan?" Dia tergelak dengan suaranya yang berat. "Mau pergi ke pantai?"
Aku mengangguk. "Boleh." Yah, tidak masalah, pergi ke manapun aku mau.
Bus yang tinggal ditumpangi olehku itu melaju menuruni perkampungan, butuh beberapa menit saja bagi kami untuk sampai ke jalan raya yang berjarak enam meter dari pantai. Sopir menghentikan bus dan menarik rem tangan.
"Putriku berkata kalau air yang bergerak bisa membersihkan masalah, dalam pikiran atau hatimu, meski kau hanya melihatnya saja."
Aku memandanginya, warna kuning madu di depan dadanya meredup, begitu juga dengan warna pelangi di sana.
"Memandangi laut, atau malah merendamkan kaki di tepian pantai adalah kebiasaannya, sampai lima tahun lalu, ia sudah tidak melakukannya lagi."
"Kenapa?" tanyaku.
Pak Sopir tersenyum. "Karena dia sudah tidak ada lagi di sisiku."
Mengerti maksudnya, kepalaku pun menunduk. "Maaf."
"Loh, tidak usah meminta maaf." Pak Sopir kembali tergelak dengan suaranya yang dalam. "Aku sempat tenggelam dalam duka, aku bahkan kehilangan pekerjaan tak lama setelah pemakamannya dilangsungkan. Sampai suatu hari, aku sebenarnya berniat untuk menyusulnya."
Mataku membulat.
"Saat laut sudah menenggelamkan mata kakiku, rasanya seperti ada sesuatu yang menyadarkanku. Saat air laut itu kembali ke tengah lautan, rasanya semua yang membuntu di dalam pikiran dan hatiku, ikut kembali ke laut.
"Kemudian suara putriku kembali terngiang, walau dia telah tiada, kenangan dan cintaku terhadapnya tidak akan hilang." Pak Sopir itu tersenyum kepadaku. " 'Aku akan berada di dalam kenangan dan hati Ayah.' Itu yang dia katakan."
Warna kuning madu dan pelangi di depan dada kirinya kembali bersinar terang.
"Dia juga sempat menyuruhku untuk tetap hidup demi orang lain yang berjuang untuk hidup. Makanya aku memutuskan untuk kembali menjadi sopir bus, mengantar orang untuk bekerja, atau mengabtar murid-murid yang sedang menempuh pendidikan, kadang aku juga buka sesi curhat seperti sekarang ini, untuk siapapun. Mereka semua, sedang berjuang untuk hidup kan?"
Aku tertegun, lalu memandangi lautan dari jendela di sampingku.
"Saat aku punya seorang putri, istriku langsung meninggalkanku, tapi aku masih bisa berjuang. Saat aku ikut kehilangan putriku juga, aku sempat bingung dan tersesat. Ini lah sifat buruk manusia, mereka secara sadar, mau jatuh cinta—cinta dalam artian apapun. Namun, mereka tidak bisa menerima dan bersiap menerima rasa sakitnya."
Mataku membulat, sesuatu dalam diriku terasa terketuk mendengar pernyataan tersebut.
"Kau sudah menyatakan diri untuk siap jatuh cinta. Makanya, kau juga harus siap untuk memperjuangkannya, merawatnya agar tidak hilang, dan cukup dalam berduka jika kau kehilangan objek atau subjek apapun yang masih atau pernah kau cintai saat itu. Meski kau bisa istirahat barang sebentar, hidup adalah persoalan untuk terus bergerak maju."
Masih membelakangi Pak Sopir, tak terasa sudah ada air mata yang meleleh dari kedua mataku. Dengan segera aku menyeka wajahku menggunakan lengan jaket dan mengucapkan terima kasih.
"Bapak ini adalah orang yang baik," ujarku.
Pak Sopir kembali tergelak. "Terima kasih. Sekarang, pandangi saja lautan sampai kau merasa siap untuk bercerita, aku siap mendengarkan. Atau kau merasa cukup dengan segala permasalahanmu dan mempunyai jawabannya? Kapan pun kita siap untuk kembali."
Aku mengangguk, sambil memandangi lautan yang terus bergerak konstan, rasanya aku sudah menemukan jawabannya. Tanpa kusadari, awan mendung di dada kiriku semakin menipis, dan terlihat semburat sinar berwarna merah muda.
"Aku ingin kembali ke sekolah."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top