-Jumat ke-12

Tema 12: Buka buku terdekat darimu di halaman 83, kalimat pertama di sana akan jadi kalimat pembuka di ceritamu.

*

"Saya dan istri saya terkadang saling menimpali seperti ini ...."

Oh, ini adalah hari yang baik untuk melihat opera sabun, menurut ayahku. Maksudku, hei, istrinya, yang adalah ibu kandungku, tiba-tiba menghilang di hari Jumat ke-12. Kemudian ayahku, hanya diam di depan televisi sejak jam 8 pagi tadi, dan sekarang sudah jam 6 sore.

Tanda-tanda Ibu kembali tidak ada. Aku mengerang.

"Ayah, Ibu menghilang, loh, dan di sini kita cuma nonton opera sabun di televisi!"

Racauanku hanya dibelas gelak tawa orang-orang di televisi yang tertawa karena gurauan suaminya terhadap apa yang dikatakan si istri kepadanya sendiri.

"Kau tahu sendiri kan, bencana Jumat minggu ini adalah orang menghilang. Bukan Ibumu saja, banyak yang menghilang, dan negara memutuskan untuk tidak melakukan pencarian, toh bencana Jumat selesai kalau sudah pergantian hari."

Aku berdiri dari sofa.

"Lalu, kalau tidak kembali?"

Sekali lagi, yang menjawab adalah suara tertawa dari televisi. Ayahku? Hanya menatap televisi dengan wajah datar.

"Lebih baik aku melakukan sesuatu daripada diam di depan televisi. Kalau tidak, nasib Ibu akan sama seperti kembarannya, 20 tahun yang lalu."

Aku keluar dari rumah. Tepat saat aku baru saja meraih ponselku, ada chat dari Kiina.

"Mau sama-sama mencari Ibumu?" tanyanya.

Wah, gadis gila.

"Ayo." Aku membalas.

Tak lama, kami bertemu di persimpangan.

"Hari ini aku akan mengikuti rencanamu," ujar Kiina.

"Kita akan menelusuri semua tempat favorit Ibuku. Tapi untuk mempersingkat waktu, aku punya firasat kalau kita harus mengunjungi rumah makan, Ibuku pasti butuh makan malam, 'kan?"

"Kenapa kepikiran begitu?" tanyanya.

"Karena pagi tadi, aku dan Ayah sudah menghubungi teman-teman Ibuku, hasilnya ya ... tidak ada. Sementara itu, Ibu tidaj mengunjungi pasar dan supermarket di malam hari. Tapi kalau rumah makan favorit Ibuku, aku tahu tempatnya karena kami termasuk pelanggan setia."

Kiina mengangguk dan menerima semua usulanku. Kami segera berjalan dengan tempo sedang di bawah langit malam yang berwarna biru tua, tanpa awan dan penuh bintang. Bulan? Oh, aku baru sadar jika bulan juga menghilang.

Meski agak letih karena berjalan, kami segera sampai di warung masakan mi berkuah kare pedas yang separuh bangkunya sudah terisi pengunjung.

"Ayo masuk."

Aku dan Kiina mengambil tempat duduk di meja bar, dan pemilik rumah makan itu segera mengenaliku serta membuatkan menu. Kiina aku samakan menunya denganku, dan aroma rempah kuah kare menguar di dalam ruangan, aroma yang membuatku berkali-kali meneguk air ludahku sendiri.

"Aromanya sedap," gumam Kiina.

Aku tersenyum.

Sambil memasak di depan kami, aku menanyai pemilik itu jika saja Ibuku ada makan di rumah makan ini. Tanpa banyak tanya (karena ia tahu bencana hari ini), ia dengan wajah penuh simpati menjawab pertanyaanku dengan gelengan.

Ibu tidak ke sini.

Aku pun meminta ijin untuk menunggu di dalam toko sambil menunggu jika saja Ibuku mampir. Pemilik mengiyakan, dan saat makanan datang, sesuap kuahnya sudah nendatangkan memori buatku.

"Ibu suka masakan ini, tempat ini adalah tempat yang bikin Ibuku bersemangat, sekaligus tempat yang menurutku ... membuatnya sedih."

Kiina membulatkan mata sambil menikmati makanannya, menyimak ceritaku.

"Katanya, restoran ini sudah lama berdiri. Ibuku dan kembarannya sering makan di sini."

"Ibumu punya kembaran?" tanya Kiina.

Aku mengangguk. Lalu melanjutkan ceritaku, bahwa dua puluh tahun yang lalu, kembaran Ibuku menghilang karena bencana hari Jumat. Jika Ibuku nanti tengah malam sudah kembali ke rumah, bisa dikatakan bahwa bencana kali ini berbeda dengan apa yang sudah terjadi, tapi kalau tidak kembali? Itu adalah kemungkinan terburuk.

"Makanya, aku ingin mencarinya dulu. Setidaknya aku sudah berusaha." Aku tersenyum lemah.

"Rencana B." Kiina menyahutiku. "Apakah ada satu tempat lagi, jika Ibumu nanti tidak ke sini sampai rumah makan ini tutup?"

Aku berpikir, seingatku tidak ada.

Mangkok kami sudah bersih dan sudah diangkut, aku dan Kiina hanya duduk mengamati hiruk pikuk rumah makan itu, sampai hiruk pikuk tersebut perlahan menghilang.

Aku berpamitan ke pemilik toko, dan pemilik itu membawakan dua boks mi kuah kare pedas, gratis, kepadaku. Aku membayar dan mengucapkan terima kasih.

Di luar toko, aku teringat sesuatu.

"Ingat bukit belakang sekolah?" tanyaku ke Kiina.

Gadis itu mengangguk.

"Di puncaknya ada danau, di sana tempat favorit ibuku juga!"

Dengan agak tergesa, kami berlari kecil menuju ke belakang sekolah. Kami terpaksa harus memberanikan diri untuk menaiki jalanan setapak yang tidak diterangi apapun. Namun, makin jauh ke atas, jalanan yang kami lalui diterangi oleh puluhan kunang-kunang.

Makin lama, kunang-kunang itu bertambah.

"Kau tahu tidak kalau ada sebagian orang yang percaya bahwa kunang-kunang adalah kuku orang mati?" Kiina berujar.

"Aku harap itu berarti pertanda baik," jawabku.

Benar saja, di puncak bukit, di dek kayu yang menjorok ke danau, aku melihat punggung seorang perempuan yang terduduk di sana. Bahunya terlihat naik turun dari tempatku melihat, di sekitarnya banyak kunang-kunang beterbangan.

"Ibu!" Aku menyerahkan bungkusan yang kubawa ke Kiina, lalu memelesat, memeluk Ibuku dari belakang.

"Rio! Dia sudah bahagia di alam yang lain, Rio!" Ibuku terisak.

Aku memeluknya, menepuk-nepuk punggungnya.

"Arina sudah tidak akan kembali ke Ibu, tapi Arina sudah menemukan tempatnya, di mana dia bisa bahagia."

Itulah ucapan yang kudengar malam itu, di danau yang dibanjiri kunang-kunang.

Aku penasaran, apakah ratusan kunang-kunang di sini adalah perwujudan dari arwah kembaran Ibuku?

*

Credit: kalimat pertama yang kupakai adalah kalimat di buku "Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat" dari Mark Manson.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top