27,5 - 27,9

These violent delights have violent ends, and in their triumph die, like fire and powder,  which as they kiss consume. The sweetest honey is loathsome in his own deliciousness, and in the taste confounds the appetite. Therefore love moderately. Long love doth so. Too swift arrives as tardy as too slow.

- Romeo & Juliet, William Shakespeare.

*

Kiina dengan keadaan masih belum seratus persen sembuh, agak terkejut saat melihatku mendorong pintu kamar rawat inap dengan muka babak belur.

"Kau...?"

"Terpeleset dan terjatuh di jalanan." Bagus, terima kasih atap sekolah yang sering berdebu dan terima kasih Erza sudah membuatku tersungkur.

"Tidak sakit?" tanya Kiina.

"Sakit, tapi ada yang lebih penting dari itu."

Kiina menelengkan kepala.

"Jawabanku."

Mata gadis itu membulat, aku tidak tahu apa yang ia rasakan saat kalimat itu keluar dari mulutku, tapi kalau aku sendiri, rasanya ada genderang perang yang sempat bertabuh di dalam dadaku.

Aku menarik napas sebentar.

"Tapi, kau harus sembuh dulu, oke?"

Gadis itu mengulas senyum dan berkata padaku bahwa, kalau ada kemajuan yang baik, paling cepat ia akan keluar dari rumah sakit tiga hari lagi, di lanjut rawat jalan di rumah selama seminggu lagi. Kasus terburuknya, mungkin Kiina harus ada di rumah sakit selama sekitar seminggu lagi.

"Kalau aku belum sembuh sekitar tujuh hari lagi, aku berikan kamu tantangan."

"Apa?" tanyaku kebingungan.

"Menyelinap ke rumah sakit saat malam!"

Lalu, ucapan Kiina yang terakhir malah jadi kenyataan. Gadis itu sempat memburuk dan membuatku khawatir, ia jadi harus dirawat lagi di rumah sakit selama seminggu.

Di hari Jumat minggu ke-28, aku benar-benar menyelinap masuk ke dalam rumah sakit. Aku sudah masuk sejak sore sebenarnya, lalu saat mendekati jam tutup pengunjung, aku bersembunyi di dalam toilet terdekat dari kamar inap milik Kiina.

Perawat atau satpam yang sempat patroli santai-santai saja, malah, tidak masuk ke toilet. Keberuntungan?

Saat koridor sudah sepi—dan gelap, dan mengerikan—aku dengan cepat kembali ke kamar Kiina. Gadis itu terkikik pelan saat aku kembali masuk ke kamar inap.

"Bisa kau jawab sekarang?"

"Perjanjiannya adalah saat kau sudah sembuh."

"Baiklah."

Lima detik kemudian, kami hanya diam.

"Baiklah, aku akan mengatakannya," ujarku.

Gadis itu kembali menoleh ke arahku. Tubuhnya yang sudah bersandar di dipan brangkar bermandikan sedikit cahaya bulan yang masuk dari ventilasi di atas jendela yang ditutup kerai plastik.

"Aku mencintaimu, tapi kau masih harus memilih salah satu. Aku tidak mau merusak hubunganmu, dan aku tidak keberatan jika pada akhirnya, kita akan bersahabat saja."

Kiina terdiam. "Bukankah, suasana dan kalimat darimu sangat tidak romantis?"

Mukaku memanas. "Oh, ayolah!" Aku memekik pelan.

Kiina tersenyum. "Ayo ke atap rumah sakit. Aku akan cerita semuanya, kenapa aku tidak bisa memilih, ataupun jika aku memilih salah satu, pada dasarnya sebenarnya, sama saja aku sudah memilih kalian berdua.

"Dua hal yang harus kau ketahui. Satu, aku bingung, atas apa yang sudah kulakukan. Dua, aku bukan berasal dari dunia ini."

*

Walaupun ucapannya sempat membuatku tertegun, tapi Kiina adalah Kiina, dia eksentrik, unik, dan misterius. Inginnya aku tidak percaya atas apa yang ia katakan, tapi, semua yang dikatakannya benar-benar membuatku tercengang.

Di belakang tubuhnya, aku memegangi tiang infus yang tersambung ke tangannya. Di sanalah, Kiina mengatakan semuanya padaku.

"Aku mempunyai seorang saudara kembar, kami hidup di keluarga yang biasa saja, oleh karena itu, saat di masa-masa terpuruk, keluarga kami rasanya benar-benar tidak bisa mengatasi permasalahan tersebut.

"Aku dan saudara kembarku hidup bersana teriakan, makian, suara benda keras yang dipukul atau terjatuh. Saudara kembarku mengatakan padaku, bahwa ia ingin, barang satu hari saja, ada satu hari yang damai bagi keluarga kami. Aku pernah mengatakan itu bukan?

"Namun, puncaknya, saat orang tua kami tidak sengaja mengatakan bahwa melahirkan kedua anak di saat bersaman ternyata merepotkan. Aku terkejut, saudara kembarku merasakan lebih dari terkejut. Tepat tiga hari kemudian, di depan sekolahnya, tanpa menekan bel penyeberangan, ia berlari menjemput ajalnya."

Kiina mulai meneteskan air mata. "Saudara kembarku adalah anak laki-laki yang baik, supel, dan suka tersenyum tipis. Menurutmu, apakah dia pantas mati di tengah jalan?"

Aku tidak menjawab.

"Keadaan keluarga kami jauh dari kata bagus. Ibu mengusir Ayah, dan malam-malamku selalu dipenuhi tangisan dan penyesalanku terhadap kematian saudara kembarku.

"Saat itu, satu-satunya penghiburku adalah tetangga depan rumah. Anak laki-laki bernama Rino." Kiina tersenyum.

Gadis itu mulai menceritakan hubungannya dengan Rino. Katanya hubungannya semenyegarkan air, sampai entah kapan, hubungan itu berubah dari air menjadi sebuah gula kapas yang manis. Namun, nasib Kiina rasanya selalu tidak beruntung, Rino mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat saat akan berangkat menuju ke sebuah olimpiade, di mana saat itu ia habis menyatakan perasaannya ke Kiina.

"Di duniaku, ada satu bukit yang sama dengan yang ada di belakang sekolah kita, tempat aku dan saudara kembarku sering berburu kunang-kunang. Malam itu, mengikuti jejak kunang-kunang, aku bertemu dengan seorang wanita yang memiliki sepasang sayap sepanjang enam depa masing-masingnya.

"Wanita itu memberikanku sekotak tabung berisi tiga bunga dandelion ajaib katanya. Langsung saja, di tempat aku mencoba meniup bunga itu. Aku maunya tidak percaya, tapi kehadiran seorang wanita dengan sayap saja sudah mustahil di duniaku.

"Tiba-tiba saja, aku terbangun di kamarku, dengan suara berisik dari lemari."

Dari lemari itu lah, Kiina mengaku jika ia bertemu dengan saudara kembarnya, dan dari apa yang telah ia selidiki, bunga dandelion itu membuatnya dapat pergi ke dimensi lain tempat saudara kembarnya masih hidup.

Berbekal kesimpulan itu, di hari Jumat, dengan cara yang sama, Kiina pergi ke lemari dan keluar di sebuah kamar, di sana ada potret dirinya dan seorang wanita juga seorang pria, tampak bahagia.

Setelah bertemu dengan saudara kembarnya, Kiina bertemu dengan dirinya yang lain dengan orang tua yang lain. Meskipun secara fisik, gadis itu tidak melihat kalau dirinya kembar dua identik, saat ia keluar kamar, orang tuanya yang kedua juga menyambutnya, dan memanggilnya Kiina.

"Kemudian, soal Rino dan kau, kau adalah ...."

"Aku adalah Rino."

Kiina tersenyum. Kota ini merupakan kota tempat nenek-kakeknya hidup, dan ia sesekali mengunjungi kota ini. Hari Jumat itu bukanlah pertemuannya denganku untuk yang pertama kali, melainkan sudah yang kesekian kali, karena aku adalah versi lain dari Rino.

Gadis itu menatap lurus ke mataku.

"Namun, di dunia ini pun, aku tidak dapat menyelamatkanmu."

Mulut bibir itu segera menjelaskan bahwa di duniaku ini, di mana Rino adalah Rio (aku), terdapat sebuah anomali. Anomali itu adalah setiap keanehan yang terjadi di hari Jumat, yang merupakan kumpulan cerita yang pernah ia dan mendiang saudara kembarnya buat di dunianya.

"Maaf," ujarnya.

Aku tidak dapat mengatakan apapun. Duniaku ternyata bergerak mengikuti jalur cerita yang dibuat orang lain?

"Waktuku di dunia ini juga terlalu cepat, dan aku tidak tahu cara untuk menghentikan bencana di duniamu ini." Gadis itu tersenyum sendu. "Aku hanya terlalu egois, karena aku ingin bersamamu, lebih lama, maka dari itu ...."

Ia menggantung perkataannya. Tangannya meraih sesuatu dari tas selempang kecil yang ia bawa, sesuatu berbentuk seperti peti dari entah apa bahannya, kuningan? Atau kayu?

"Satu lagi dandelion, dan aku akan mengakhiri dunia ini, mengakhiri semuanya. Kita akan berjumpa kembali, aku yakin!"

Dandelion ditiup, tanah di bawahku bergetar, dan di haru Jumat terakhir itu, tubuh Kiina tenggelam dalam cahaya, sementara langit di atasku retak.

*

Kiina yang menceritakan padaku tentang pertemuan terakhirnya setelah kami repot-repot membersihkan darah gang keluar dari kedua lubang hidungnya.

Barusan tadi, ia sudah pergi, ditelan dalam cahaya, menuju dimensi terakhir. Tempat ia, aku, dan Rino (atau Rio) bisa berkumpul di satu dunia. Juga, harapannya, dunia di mana ia punya lebih banyak waktu.

Meski aku tahu itu sedikit mustahil. Kiina tidak menceritakan ke Rio bahwa konsekuensi melakukan perjalanan antar dunia paralel seperti ini, artinya, ia harus membayar 10 tahun setiap 1 hari yang ia habiskan.

Pada akhirnya, umurnya akan memendek seiring dia hidup.

"Manusia akan mati juga pada akhirnya, tapi aku akan berusaha hidup sebaik mungkin. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan terakhirku." Begitu ujarnya.

Sampai sekarang ini, aku tidak tahu, Kakak kembarku yang egois karena ingin memiliki semuanya (aku dan Rino, atau Rio) dengan segala waktu yang damai dan indah ... atau cinta yang ia rasakan? Cintanya kepadaku dan Rino yang membuatnya menjadi egois?

Uh ... kurasa, jawabannya adalah yang kedua. Kurasa, cinta itu adalah bentuk keegoisan, dan karena aku mencintai Kakakku, jadi aku juga ingin bertindak egois, aku harap Kakakku baik-baik saja di dunia paralel yang baru.

Sampai jumpa kembali!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top