6. Penyelesaian Mandiri

Aku sedang menyeret keranjang besar wortel saat toko sayuran Nakamura digemparkan oleh eksistensi kokoh Maeko. Gadis yang tidak ada manis-manisnya itu berdiri tegap di tengah jalanan sempit Yanaka Ginza dengan tangan terkepal tinggi-tinggi--guna memamerkan medali hasil jarahan. Ia angkat bicara setelahnya, mengucap salam keras-keras seperti ingin merampas fokus dari seluruh penghuni Yanaka Ginza.

Bibirku terbuka tanpa bisa berkata-kata, aku tahu betul bentuk kepribadian Maeko--yang ajaib dan penuh kejutan--tapi jujur saja ini sedikit memalukan.

Tidak lama, suara hentakan beradu dengan barang-barang jatuh, asalnya dari lantai dua--toko sayuran Nakamura. Kemungkinan besar Paman Nakamura berlari tergesa-gesa setelah mendengar salam lantang putrinya, hingga tanpa sadar menyenggol pun menjatuhkan barang-barang.

"Beri aku selamat!" Si Tengil Maeko bicara dengan kepongahan di sana-sini, dadanya membusung dan tangannya tergantung di pinggang. "Hei! Kenapa diam saja? Terpesona?"

Mengalah dan tidak ingin Maeko menciptakan lebih banyak keributan, aku menepukkan tangan sambil merapal kata-kata yang ingin ia dengar. "Selamat, selamat, kamu memang hebat." Gadis berambut cepak itu membalas dengan senyum bangga dan wajah terangkat. Ia bisa saja terbang melewati atmosfer Bumi jika tidak cepat-cepat disadarkan.

Paman Nakamura menginterupsi tepuk tanganku dengan sibakan kasar pada tirai yang memisahkan kios dengan kediaman Keluarga Nakamura. Sepotong kue cokelat bertabur ceri bertengger memenuhi ceruk tangan, dan senyum serupa milik Maeko menghiasi wajah Paman Nakamura.

Mengetahui kehadiran ayahnya, Maeko berhenti menyombongkan diri. Cepat-cepat ia hampiri ayahnya, menyambar kue, dan memindahkan ke atas mesin kasir. Sebuah pelukan erat ia berikan kepada sosok yang kini turut merapalkan ucapan Selamat--Paman Nakamura. Keduanya berputar-putar sepanjang kios, mengabaikan tepuk tangan yang makin merapat.

Seolah tersihir oleh fenomena hangat dalam kios, pejalan kaki yang kebetulan lewat berhenti untuk mengapresiasi. Mereka bertepuk tangan dan memberi selamat tanpa repot-repot menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Benar-benar Tidak ada yang peduli dengan penyebab utama dari tindakan saling berbagi afeksi berlebihan tanpa malu antar pemilik toko Nakamura.

Justru aku yang merasa malu dan memalingkan diri.

Perlahan tepukanku terhenti, digantikan oleh gerak cekatan guna melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Wortel-wortel ini tidak bisa merangkak turun dari keranjang besar pun melemparkan diri ke keranjang-keranjang kecil dalam kios. Seseorang harus membantu mereka, atau apapun itu aku berkilah.

Beruntung, kerumunan membubarkan diri satu-dua menit kemudian, bersamaan dengan hilangnya pelukan milik sepasang ayah-anak bermarga Nakamura--jika tidak aku akan semakin malu.

Samar suara lembut Maeko dari balik tirai menggantikan keriuhan. Ia tengah bercerita, menjelaskan jalannya pertandingan, kekalahan lawan-lawannya, juga Pak Misuki--guru pendamping karate--yang mentraktir seluruh peserta selepas acara. Gadis kasar ini berubah menjadi lembut di hadapan Paman Nakamura, ajaib bukan?

Kadang aku ingin melakukan hal serupa, berceloteh di hadapan Kakek atau sejenisnya. Namun perbedaan umur dan jaman menjadi penghalang besar, banyak hal yang tidak Kakek pahami dan aku tidak punya cukup tenaga juga rasa percaya diri untuk mejelaskan. Jadi aku lebih banyak mengalah, mengambil topik yang Kakek pahami, seperti jam, mesin-mesin sederhana, atau kondisi Yanaka Ginza.

"Ryu, ayo tutup tokonya, Ayah masak banyak, makanlah dulu sebelum pulang." Maeko mengagetkan. Senyum segar di wajahnya merekah bersama kesenangan-kesenangan pasca pertandingan dan obrolan. Aku mengangguk, mengimani ajakan Maeko meski sejatinya ingin menolak. Maksudku, seharusnya aku menyantap makan malam dengan Kakek selagi bisa.

Gadis yang tidak ada manis-manisnya itu membantuku, ia menyapu lantai kios sementara aku memasukkan keranjang-keranjang sayuran ke dalam. Paman Nakamura datang setelahnya, ia menyibukkan diri dengan jumlah uang dalam mesin kasir, catatan-catatan, serta jumlah nyata sayuran yang tersisa. "Kamu sudah bicara dengan Asami?" Maeko bertanya tiba-tiba.

Aku enggan menjawab sebab Paman Nakamura berada di tempat dan mungkin mengamati atau mendengarkan. Logikanya, masalah anak-anak tidak seharusnya diketahui oleh orang dewasa, sebab mereka--orang dewasa--telah memikul permasalahan lain yang lebih rumit. Jadi kuberikan tatapan tidak senang ke arah Maeko.

Seperti paham dengan apa yang aku pikirkan Maeko mengangguk lantas melanjutkan apa-apa yang sedang ia lakukan. Omong-omong sebagian besar toko di Yanaka Ginza berhenti berbisnis pukul tujuh malam saat musim panas, dan pukul enam untuk musim yang lebih dingin. Berhubung saat ini pohon-pohon sudah mulai meranggas jadi sudah genap seminggu kios tutup lebih awal.

"Bagaimana?" Maeko kembali bertanya setelah Paman Nakamura membawa masuk uang hasil penjualan ke dalam.

"Aku sudah bicara dengan Asami." Jawabku sambil mengingat-ingat kejadian siang tadi serta kecanggungan-kecanggungan setelahnya.

"Jadi?" Maeko tidak sabar.

Aku menunduk, memilah-milah kata yang tepat untuk menggambarkan penjabaran Asami. Jujur saja, jawaban Asami siang tadi berbelit-belit dan tidak runtut--untungnya Aku cukup cakap untuk memahami. "Ya, Asami memang pernah mengganggu murid lain saat SMP, tapi ia tidak melakukannya untuk bersenang-senang."

Alis Maeko meninggi, ia diam sejenak seperti menungguku menjelaskan lebih lanjut. "Ada sekelompok anak nakal di Suwadai, mereka menyeret Asami dan memaksanya berbuat buruk, jika Asami tidak menurut ia takut akan menjadi target selanjutnya." Maeko mengangguk meski wajahnya nampak tidak senang. "Lalu--,"aku menjeda.

"Jadi kamu akan bagaimana setelah ini?"

Aku mengambil pengki dan meletakkannya dekat Maeko. "Asami sudah pernah menjelaskan posisinya dan meminta maaf kepada kawannya yang menjadi korban, ia bilang, sepertinya ia dimaafkan."

"Aku menanyakan apa yang akan kamu lakukan Ryu!" Maeko tidak sabar. Tangannya terlipat di depan dada dan kekesalan tergaris di dahinya. Mengetahui perubahan Maeko, aku mengambil alih sapu di tangannya dan menuntaskan prosesi pembersihan lantai.

"Dengarkan dulu, Asami berniat meminta kawannya itu untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di Suwadai, ia bilang aku tidak perlu cemas, ia bisa mengatasinya sendiri." Maeko nampak sangsi, bibirnya tertekuk dan tatapannya menjauh.

"Jadi kamu tidak akan melakukan apa-apa?"

"Itu masalahnya." Kutinggalkan Maeko untuk membuang sampah sebelum kembali bicara. "Aku sudah bilang akan menemani Asami menemui kawannya akhir pekan ini, tapi seperti yang kamu tahu, aku punya kerja sambilan di kedai, pagi hingga sore--tiap akhir pekan, aku tidak mungkin melewatkan kesempatan untuk membantu Asami tapi kerja sambilanku." Maeko menghentikan kalimatku dengan jentikan jari.

"Ternyata kamu membantu Asami sekedar untuk mendekatinya, ingin jadi pahlawan ya?" ia mencemooh.

"Bohong jika aku menjawab tidak, tapi tidak hanya itu, aku sudah berteman lama dengan Asami tentu aku harus membantu saat ia kesusahan." Aku beralih ke pintu gulung, menariknya turun hingga bunyi krak pengait terdengar dan mengunci di akhir. Maeko berbalik, ia mengambil beberapa langkah menuju tirai pembatas, lantas kembali bicara.

"Apa kamu juga akan repot-repot membantu jika aku yang berada di posisi Asami?" Gadis itu memunggungiku, memberatkan suasana yang kurang sedap.

"Kamu ini bicara apa?" Aku mendekat, menjadika paku-paku di samping kiri meja kasir sebagai tujuan. "Tentu saja bodoh, meski aku rasa kamu tidak akan menghadapi kesulitan seperti itu." Lanjutku sambil menggantungkan celemek berlogo sawi putih--khas toko Nakamura.

"Kamu tahu, aku juga tidak bersenang-senang." Maeko menoleh. Aku hendak menanyakan apa maksudnya, tapi gadis itu melanjutkan. "Aku menenangkan para berandal juga tidak untuk bersenang-senang, meski semakin lama kurasa cukup menyenangkan, tapi sebagian besar murid Ueno tetap takut melihatku."

"Lalu?"

Maeko menggeleng, seperti ia tidak percaya bahwa aku tidak menemukan poin dari penjelasannya. "Maksudku, 'tidak untuk bersenang-senang' tidak bisa dijadikan pembenaran Ryu."

"Asami dipaksa, Maeko!" Aku mengedik di akhir.

"Kalau kamu dipaksa untuk menggangguku apa kamu akan menurut?"

"Aku jelas tidak akan menurut, tapi Asami itu berbeda, ia tidak kuat atau tegas sepertimu, atau sepertiku."

Paman Nakamura kembali memasuki kios dan aku kembali diam. "Aku sudah mengira." Kini Maeko menatapku lekat-lekat, tangan kanannya menyandar di bahuku sementara tangan kirinya mendekam di pinggang. "Tapi tetap saja, mendengarmu membela Asami, rasanya tidak menyenangkan."

"Apa--?" Aku tidak sempat menyelesaikan kalimatku.

"Ayo makan, aku melantur tadi." Sebab Maeko memaksaku masuk dan menelan kelanjutannya bulat-bulat. "Omong-omong, nilai-nilai Kazuhiko payah sekali akhir-akhir ini."










👺_____👺_____👺_____👺

Di titik ini saya sadar betapa susahnya bikin cerita uwu-uwu khas remadja (eiy sadar diri, ini cerita enggak uwu), mending bikin cerita bacok-bacokan :D

Seonggok parang melayang melewati kerumunan masa di Yanaka Ginza, menukik ke sana-kemari, lantas menancap tepat di ubun-ubun Pandu.
Tamat

To be continued ...
Komorebi-nya bukan bacok-bacokannya

Pandu

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top