Tiga

Narasumber: "Divorce is not like a break up. It's more like a death. Khususnya ketika lo adalah orang yang paling jatuh cinta di hubungan itu, namun harus memutuskan perceraiannya. Pernikahan, jika berhasil, beneran bisa membawa surga ke dalam rumah lo. Dan kalau lo gagal, lo mendapat yang sebaliknya."

_______________________________________

POV
Lingga Hananto

Tebet, Juli 2021

Sebagai penyedia jasa angkut pindahan, ada satu hal yang membuat aku mulai betah menekuninya.

Pertama, penghasilan kotor per bulan bisa melebihi gaji kantoranku sebelumnya. Bahkan meski sudah dipotong buat ongkos kernet, upah sopir per muatan, bahan bakar, gaji admin, uang makan, rokok, dan bayar polisi—supaya muatan menggunung dibolehkan lewat. Aku masih bisa menyimpan lebih dari apa yang bisa aku simpan ketika masih kerja kantoran. Tentu setelah aku tahu pola mainnya di bisnis ini.

Awalnya memang cuma dapat tiga muatan dalam seminggu. Tapi ceritanya lain setelah aku menemukan taktik yang berhasil dengan baik. Gampang sebenarnya. Aku membuat sebuah grup di Facebook yang namanya semacam "Info Kos dan Kontrakan Jakarta". Setiap hari selalu ada orang yang mencari indekos atau kontrakan dengan berbagai macam kualifikasi. Yang mana itu berarti ada peluang yang hampir sebanyak itu pula mereka juga akan relokasi.

Setiap ada anggota grup yang membagikan info pencarian indekos misalnya, banyak pemilik indekos yang akan menyambar di kolom komentar untuk menawarkan properti mereka. Di situ jugalah aku beraksi. Aku hanya perlu menyalin-tempel templat info jasa angkut pindahanku di kolom komentar. Hasilnya? Dalam sehari satu armada bisa memenuhi order pindahan 3-5 kali dengan rentang ongkos 150-500 ribu per muatan, tergantung jarak angkutnya.

Lalu bagaimana kalau aku bilang, aku mengelola sembilan grup serupa dengan jumlah anggota mencapai puluhan bahkan sampai ratusan ribu per grupnya? Mudah saja. Cukup tambahkan spefisikasi nama daerah di setiap grupnya. Jaksel, Jakbar, Jakut, Jaktim, Depok, Bekasi, Tangerang, atau daerah mana pun. Maka setiap saat akan muncul peluang calon pelanggan.

Dalam sehari bisa ada belasan hingga puluhan orderan yang akan dibagi rata sesuai jadwal dalam sepekan. Itu sebabnya aku punya tiga pikap. Bapak berinvestasi di satu pikap yang aku pegang sendiri. Dua lainnya aku percayakan ke sopir lain yang kupekerjakan; Hafis dan Falah, plus dua kernet bebas untuk sistem harian

Dari yang awalnya melakukan kerja admin sendiri, sampai akhirnya aku merekrut Lisa, adik perempuan Pak Badri—kernetku. Lisa bertanggung jawab mengatur jadwal untuk ketiga pikap, posting komentar, menjaga pintu masuk grup untuk hanya menyetujui pencari indekos dan pemilik properti saja, mengawasi dan menghapus komentar kompetitor yang menyelundup masuk ke grup, mengatur pembayaran nontunai, dan berkomunikasi dengan klien.

Jadi total ada tujuh orang yang bekerja di lingkaranku. Tiga sopir termasuk aku, tiga kernet bebas/gonta-ganti, dan satu admin. Doakan, semoga segera bisa nambah satu armada lagi. Aku sedang ingin punya mobil boks.

Kedua, fisikku bugar. Kalau Pak Badri sedang tak ikut ngernet, aku sendirian yang bongkar-muat di lokasi.

Sebelumnya mana sempat aku olahraga. Punya kartu anggota pusat kebugaran pun jarang aku gunakan. Tapi semenjak di bisnis ini, fisikku lebih bugar dari yang bisa aku harapkan.

Ketiga, aku bisa melihat bagaimana kisah-kisah bermula dan berakhir dari rumah ke rumah. Beberapa yang sudah langganan bahkan sering hanya memberiku kunci kontrakannya agar aku yang menbongkarnya sendiri. Mulai dari mahasiswa, pekerja, pengantin baru, keluarga kecil, keluarga besar, hingga yang pindah untuk mengakhiri keluarganya.

Rumah selalu bisa mencerminkan siapa penghuninya. Bagaimana mereka menata isinya, pilihan warnanya, merek perabotannya, sampai utuh atau tidak barang-barangnya.

Seperti sore ini ketika aku memuat barang milik klien tanpa ditemani kernet karena Pak Badri sedang ada hajatan di tempat adik iparnya. Klienku ini seorang pemuda yang baru wisuda dan hendak pindah dari Menteng ke Tanah Abang karena dapat kerjaan di area Sudirman. Orangnya ikut naik di kursi penumpang. Penuh bangga ia menceritakan gaji 5 juta per bulannya yang aku tanggapi dengan dukungan. Seenggaknya, toh dia nanti akan sadar itu bukan nominal yang bisa dibanggakan untuk bekerja di area bisnis itu. Dari cara bicaranya yang muluk-muluk, barang-barang bermerek yang ia pakai, dan gaya hidupnya yang sangat bisa dibaca. Dua-tiga bulan pertama palingan dia akan mulai mengeluhkan gajinya.

Aku tersenyum membayangkan reaksinya kalau aku katakan empat tahun yang lalu aku adalah salah satu pegawai yang memegang posisi elite di salah satu gedung pencakar langit area itu. Tapi itu tidak perlu. Aku jauh lebih menyukai hidupku yang sekarang. Bekerja dengan alur waktuku sendiri, berpakaian senyamannya, tak perlu pusing dengan baju melipit atau parfum yang semerbak, dan tak perlu menjadi orang lain untuk menyenangkan atasan.

Pukul delapan malam kurang sepuluh menit, aku sudah selesai membongkar muatan. 250 ribu, dibayar kontan.

Aku menelepon ke rumah, berbasa-basi dengan Jian yang masih menungguku pulang untuk main PS sampai larut. Ah, hatiku. "Papa udah mau balik kok. Jian mau Papa beliin apa?" Jawabannya kalau bukan Happy Meal ya sate ayam. Anak ini sesimpel aku.

Saat panggilan terputus, ada tiga pesan beruntun yang masuk dari nomor baru. Sekilas kulirik itu orderan. Masih sering ada yang mengirim pesan ke nomorku langsung. Biasanya itu mereka yang dapat nomorku dari kenalannya yang pernah jadi klienku. Aku sengaja mengabaikan karena sudah janji dengan Jian untuk pulang tepat waktu. Lalu kugeletakkan ponsel di dasbor.

Kuputar musik untuk menemani sepanjang jalan pulang. Albumnya Naff cocok. Kunyalakan sebatang rokok dan meneguk air mineral. Sengaja aku mengambil rute memutar balik melewati bundaran HI, cuma buat melihat bekas gedung kantorku dulu. Meski sering melewati area ini, tetapi aku jarang sekali memperhatikannya lagi sampai malam ini.

Ponsel bergetar, nomor baru yang tadi mengirim pesan sekarang menelepon. Dengan terpaksa aku mengangkatnya. Suara perempuan terdengar di ujung sana.

"Mas, masih bisa angkut pindahan nggak, ya?"

"Maaf, Kak. Saya udah mau pulang. Besok saja gimana?" tawarku.

"Sekarang aja nggak bisa, ya?"

"Kakaknya posisi di mana?"

"Saya di Menteng mau ke Ulujami. Saya nggak bawa barang banyak kok. Tiga koper sama dua ransel. Nggak ada perabotan."

"Ulujami, Pasanggrahan?"

"Iya bener, Mas. Bisa, ya?"

"Maaf banget nih, Kak. Saya sudah close dulu buat malam ini. Kalau besok saya bisa angkut pagi-pagi. Saya baliknya ke Tebet, kok. Dekat tuh nanti ke Menteng-nya. Ini saya masih di Tanah Abang baru banget tadi nganter dari Menteng."

"Oh, gitu ya. Ya udah. Ongkosnya berapa, Mas?"

"250, Kak. Besok tapi, ya."

"Oke, Mas. Besok pukul sembilan ya, Mas."

"Siap, bisa, Kak. Nanti share lokasi saja, ya."

"Oke, Mas."

Aku tiba di rumah tepat waktu. Jian masih nonton tv di pangkuan Bapak sambil bercengkrama. Bukan main bahagianya dia saat aku membawa pulang kedua makanan kesukaannya. Happy Meal ada, sate ada.

Kami makan ramai-ramai bersama orang tuaku juga. Ibu malah panggilan video sama Nadira, adik perempuanku satu-satunya yang lagi kuliah di Undip meski masih daring.

Setelah itu main PS di kamar sebentar buat memenuhi janjiku sama Jian. Tapi dia cuma sanggup setengah jam karena anak itu sudah terkantuk-kantuk. Dia mau tidur asalkan aku tetap main PS. Jian memang kalau tidur tv atau film di tablet pun harus tetap dinyalakan. Dan malam ini dia maunya tidur dipangku sambil nonton aku main PS.

Saat dia mulai terasa berat yang artinya tertidur pulas, dengan hati-hati aku memindahkannya ke kasur dan kumatikan PS-nya. Dia masih melindur minta dinyalain lagi, namun aku bisikkan di telinganya, "Udah, tidur aja. Papa temenin, kok." Sambil kudekap, dan kembali pulaslah dia.

Ponsel bergetar, Yesi menelepon.

"Halo, Mas, Jian udah tidur?"

"Udah ini baru pulas," jawabku dengan suara pelan.

"Oh, ya udah. Cuma mau ngecek aja."

Aku tidak menyahut.

"Aku besok jam delapan nyampe situ ya jemput Jian."

"Iya, ke sini aja."

Hening canggung menjeda sesaat.

"Ya udah, gitu aja."

"Iya."

Klik.

Kuletakkan ponsel di nakas. Lalu kembali merengkuh Jian untuk tidur.

Aku sudah nyenyak. Aku sudah bermimpi. Saat getaran kuat ponsel di nakas membangunkanku.

Kuraih dengan meraba-raba. Kulirik layar ponsel dengan mata menyipit. Tiga panggilan tak terjawab dari nomor yang sama. Klien perempuan yang tadi. Ponsel masih kupegang saat panggilan keempat masuk. Agak kesal aku mengangkatnya. Namun, suara isak tangis yang pertama kali kudengar dari ujung sana menahan kekesalanku. "Mas, maaf banget. Bisa tolong saya? Sa-ya perlu pergi sekarang. Saya ta-hu ini nggak sopan banget. Kalau barang-barang saya muat di mobil pasti udah saya pesan taksi dari tadi. Tolong banget."

***























Selamat buat kamu yang baca ini sejak awal.
Saya sengaja nggak kabar-kabar di mana pun soal cerita ini. Biarkan ini jadi rahasia kecil kamu. But I don't mind if you want to share it to your closest ones. Pembaca saya di Instagram belum saya kasih tahu. Biarin mereka tahunya kalau sudah mau tamat aja atau tahu dengan sendirinya. I really enjoy this quietness.

Kemampuan bercerita dan menulis saya sedang ditantang di sini. Setiap bab saya tulis di ponsel. Setiap bab juga saya tulis sehari sebelum publikasi. Saya nggak ada stok bab. Pegangan referensi saya hanya rekaman percakapan panjang dan perpesanan WhatsApp dengan narasumber. Tanpa sinopsis. Tanpa playlist.

A trully fresh from the oven.
Don't try this at home!

Seperti yang saya bilang di awal, ini urgent publication.

Tolong temani saya. Saya nggak mau sesak sendirian. Babnya akan pendek-pendek.
Just enjoy it, okay?

I love this story so much. I hope you so.

Thanks for stopping by.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top