Dua
POV
Lingga Hananto
Bogor, Maret 2011
ESA YANUAR, TINGGI dan bugar dalam seragam paskibraka putih cerahnya, melangkah keluar dari terik matahari dan masuk ke dalam bayangan teduh auditorium, lokasi pembekalan delegasi dari sekolah kami yang akan diseleksi sebelum dikirim ke kabupaten. Hari itu akan diumumkan tiga orang.
Spanduk dengan desain bertema nasionalisme terbentang lebar pada bagian depan ruangan, menampakkan potret jajaran gagah anggota ekskul Paskibraka pilihan. Salah satunya tentu Esa, yang saat itu aku doakan penuh harap semoga dia menjadi salah satu yang lolos sampai ke Istana.
Aku masih mengenakan jas lab, berdiri di depan pintu yang hanya terpisah satu bangunan dari auditorium, menunggu Yesi yang belum keluar dari kelasnya. Seorang polisi bernama Pak Mahesa yang bertanggungjawab melatih ekskul Paskibra di sekolah kami melangkah menyusul pasukannya. Aku berjalan mendekat sampai ke tepi jendela. Memperhatikan keheningan sempurna dari kaki-kaki yang berdiri tegap dan lurus itu, serta lekukan rapi badan-badan yang terlatih secara disiplin.
Bukan hanya aku yang penasaran. Anak-anak yang lain juga menyaksikannya penuh kagum pada pasukan kebanggaan kami itu. Aku bisa mendengar para cewek memohon agar pintu tidak ditutup. Tetapi guru pembina berhasil mengusir mereka meski dengan sorakan kecewa. Saat itulah Yesi tiba, terengah-engah, keringat mengembun di wajahnya. Aku ingin sekali menawarinya tisu.
"Maaf, tadi nulis banyak banget!" keluh Yesi sambil memijat pergelangan tangannya yang bernoda spidol. Dia sekretaris kelas.
"Belum diumumin, kok."
"Esa udah masuk?"
"Udah masuk semua."
Yesi mengerjap dan mengatur napas. Lalu berderap ke jendela sampai napasnya mengembun saking wajahnya terlalu dekat dengan kaca. Aku berdiri di belakangnya. Kepala Yesi hanya setinggi daguku. Ia malah pernah memaksaku bergabung ke ekskul Paskibraka karena tinggiku dan Esa benar-benar sama. Waktu itu kujawab, "Aku orangnya nggak disiplin." Ditimpali oleh Esa, "Disiplin bisa dilatih kok, Han." Lalu Yesi menyeletuk, "Bilang aja nggak mau item." Kami bertiga tertawa di depan gelas es teh masing-masing.
Tangan Yesi menarik-narik ujung jas labku, "Lingga, udah mau diumumin!"
_________________________________________
Sahlil Ge: "Jadi waktu itu panggilannya Lingga atau Hananto?"
Narasumber: "Yang manggil Hananto cuma temen SMP. Mulai SMA aja yang banyak pada manggil Lingga."
_________________________________________
Sudah lebih dari sepuluh menit dan bahkan belum ada pengumuman sama sekali. Aku mulai jenuh. Perutku melilit karena aku tidak menyarap pagi itu.
"Katanya tadi udah mau pengumuman?" tanyaku.
"Kamu merengek kayak anak kecil, deh," tukas Yesi.
Aku memutar mata. Kerumunan makin ramai. Aku mencoba menahan sabar sebentar lagi.
"Aku yakin Esa lolos. Dia yang paling rapi gerakannya dibanding yang lainnya," ujarku.
"Iya, tahu. Aku cuma perlu mastiin dan dengar sendiri."
"Aku juga ada pengumuman hari ini."
"Pengumuman apa?" Yesi menoleh padaku.
Aku padahal sudah membicarakan tentang pengumuman itu sehari sebelumnya. Kompetisi KIR. Kalau karya ilmiahku lolos bakal maju ke tingkat provinsi. Tapi aku memilih tidak menjawab.
"Oh, itu. Paling kamu lolos. Siapa lagi kalau bukan kamu orang udah langganan. Cuman, ini seleksi pertamanya Esa. Dia pengin banget lolos. Semalam kami ngobrol sampai kuota SMS-ku habis."
Aku, Yesi, dan anak-anak yang lain pasti punya tebakan yang sama bahwa Esa akan jadi salah satu yang lolos. Namun hari itu hasilnya meleset jauh. Esa tidak lolos. Bak kabar tak naik kelas, Esa berjalan melewati kami berdua dengan wajah menghindari tatapan. Di sisi lain, Yesi membatu tak tahu harus bagaimana. Jujur, aku juga sangat tidak menyangka.
Meninggalkan Yesi di tempatnya berdiri, aku segera mengejar Esa di sepanjang koridor yang langkahnya mengarah ke kantin. "Sa!" panggilku memburu, "Esa!"
Setelah berhasil mengimbangi langkahnya, aku juga tidak tahu harus berkata apa. Kuperhatikan wajahnya sembari terus berjalan. Esa melepas peci hitamnya dan memberikannya padaku untuk dipegangkan. Lalu jemarinya cekatan melepas atribut di seragan menyusul kancing-kancing warna emasnya.
"Aku lolos kok. Sejak awal aku lolos. Tapi aku ngundurin diri."
Refleks aku mendorong tubuhnya ke samping. "Nggak usah bercanda! Aku tahu kamu pengin banget lolos sampai ke Istana."
Yang menyahut perkataanku hanya matanya yang memerah dan penuh dengan amarah.
Langkah kaki Yesi mencapai kami berdua. Tatapan kami bertukar satu sama lain. Namun tatapan Esa ke Yesi benar-benar berbeda. Lebih kesal dari sebelumnya. Kemudian Esa merebut kembali peci dari tanganku, dan melenggang pergi saat aku masih berusaha memahami kalimat dan maksud dari wajahnya.
Yesi mengejar Esa hingga ke kantin. Sementara aku berdiri di tengah lalu lalang anak-anak di koridor, pundak tersenggol-senggol, dan mulai berpikir Esa sedang tidak bercanda. Tetapi kenapa dia harus marah kalau itu keputusannya sendiri?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top