PART 7 - TAK TERBALAS

Tidak salah jika kita memiliki perasaan terhadap seseorang, tapi lihat dulu apa dia merasa terganggu atau tidak? Jangan sampai apa yang kita perbuat membuatnya menjauh.

###

SIANG itu Dion dan beberapa komdis tengah bersantai di kantin. Ya, ini memang waktu istirahat.

"Vin, Dave, lo bisa kan, gantiin gue buat nyeleksi siapa aja yang daftar jadi calon OSIS?" tanya Dion sambil menoleh ke arah kedua temannya itu.

"Siap! Serain aja sama kita-kita di sini, kita juga bakal ngelakuin tugas kita juga kok. Gue udah tahu kriterianya, kayak kemarin kan?" ujar Kevin antusias dan dibalas dengan anggukan oleh Dion.

"Gue denger ada beberapa anak OSIS yang nggak mau daftar OSIS lagi," celetuk Jovi yang sedari tadi hanya mendegarkan mereka berbicara.

"Hmm... Iya tuh," sahut Bryan.

"Nggak usah dipikirin, yang penting urus aja yang niat. Tahun kemarin gue juga digituin sama senior kita dulu," jawab Dion dengan tatapan serius.

Karena menurutnya kepemimpinan bukan main-main.

"Minggu-minggu ini gue sibuk, nggak cuma nyiapin olimpiade gue, turnamen, tapi gue ada perlu juga sama komite sekolah," jelas Dion lagi.

"Oke!" jawab mereka bersamaan sambil tersenyum gokil.

"Kalau gue sempat, selama seminggu ini gue bakal ngecek juga," ucap Dion. Mereka mengangguk.

Ketenaran komdis sepertinya tidak hanya pada masa orientasi saja, itu terbukti sampai saat ini saja masih banyak yang menatap dengan tatapan kagum, menyapa, memberi senyuman dan masih banyak lagi.

"Gue mau balik dulu!" ucap Jovi sebelum meninggalkan mereka di kantin. Ia belum jalan keluar kantin saja bisa dipastikan semua junior menatapnya dengan kagum.

Wajah Jovi memanglah tampan. Seperti perpaduan antara Timur Tengah dan Asia. Badan yang tinggi, tegas dan kulit putih. Walaupun terkadang sikapnya tiba-tiba cuek. Itu yang menyebalkan.

Teman-temannya tahu itu. Dan hanya bisa mengamati. Tidak ada yang berani bertanya kenapa.

Ketika keluar dari area kantin, tiba-tiba ada beberapa siswa kelas sepuluh yang dengan malu-malu maju ke hadapan Jovi.

"Kak Jo, boleh minta foto bareng nggak?" tanya cewek yang dandanannya sedikit berlebihan. Dengan beberapa gelang warna-warni dan bando di rambutnya.

"Hm?" heran Jovi lalu menghentikan langkahnya.

"Iya Kak Jo, boleh ya?" bujuknya lagi.

"Sama aku boleh nggak?" celetuk teman yang satunya lagi.

Di sekitar tempat itu juga banyak yang melihatnya. Dan ada juga kakak kelas yang terlihat kesal melihat pemandangan seperti itu.

Dengan senyum kecilnya akhirnya Jovi mengangguk. Ini bukan kali pertamanya Jovi dimintai foto oleh seorang cewek. Apalagi adik kelas.

"Satu kali aja ya, habis ini aku ada urusan," ucap Jovi ramah.

"Iya nggak apa Kak, eh lo! Fotoin gue, yang bagus ya," jawab perempuan tadi lalu memberikan ponsel ke temannya.

Dengan cepat cewek tadi langsung menggandeng lengan Jovi. Jovi hanya menyunggingkan bibirnya.

"Satu.. Dua.. Tiga!"

KLIK

"Gantian, gue dong!" ucap temannya yang baru saja memotret.

"Aduh... Kakak harus ke sana, udah ya?" belum sempat Jovi melepaskan lengannya dari cewek tersebut, tapi ia malah ditarik. Dan banyak dari kakak kelas yang menatap tajam cewek-cewek di hadapan Jovi saat ini.

"Udah Dek, Kakak ada perlu habis ini. Tuh lihat aja, dilihatin kakak kelas." dengan sabar Jovi berucap lalu mengarahkan pandangannya ke arah sekumpulan kakak kelas yang telihat membicarakan mereka.

"Tapi Kak Jo... " ucap cewek itu dengan mengerucutkan bibirnya yang dibuat-buat.

"Ehem..."

Suara deheman dari arah belakang membuat mereka menoleh. Ya, tenyata itu Felicia.

"Kalau Jovi bilang nggak bisa ya nggak bisa! Kalian ngerti nggak sih?!" bentak Felicia pada kelima perempuan tadi.

"Dengar ya. Jovi itu punya gue. Jadi lo jangan ganggu dia," lanjutnya lagi. Lalu menggandeng lengan Jovi dan mengajaknya menyingkir dari tempat itu.

Baru saja melangkah meninggalkan mereka, tiba-tiba Felicia berbalik ke belakang.

Jovi menatap heran Felicia yang menghampiri cewek-cewek.

"Dengar ya, kalau sampai lo post foto lo sama Jovi tadi, gue pastiin lo gak bakal tenang di sini!" ancaman sadis Felicia berhasil membuat kelima cewek-cewek itu menunduk takut.

Felicia kembali menggandeng lengan Jovi menuju lorong.

"Fel, kamu ngapain sih tadi?!" tanya Jovi ketika sampai di lorong sambil mencoba melepaskan tangan Felicia yang masih menggandeng lengannya.

Felicia menatap Jovi lekat, ia menghentikan langkahnya di lorong.

"Apanya sih Jo? Oh... yang tadi?" jawabnya dengan enteng.

"Hmm."

"Aku nggak mau kamu digangguin sama mereka Jo, itu aja," jelas Felicia dan masih menatap Jovi.

"Tapi Fel, kamu nggak seharusnya bentak mereka kayak tadi! Apalagi sampai dilihatin banyak siswa!" ujar Jovi yang terlihat kesal. Suaranya terdengar seperti membentak.

"Emang salah, kalau aku ngelakuin itu demi kamu?" jawab Felicia, suaranya terdengar lirih. Ia menundukkan kepalanya.

"Bukan gitu Fel, aku nggak enak aja nanti tanggapan mereka ke aku, apalagi ke kamu. Kamu seharusnya mikir ke sana." Jovi mengelus bahu Felicia pelan.

"Kamu selalu gitu Jo, nggak pernah ngertiin aku. Aku cuma nggak mau mereka dektin kamu!" mata Felicia mulai berkaca-kaca.

Untunglah di sekitar lorong sangat sepi, sehingga sepertinya tidak ada yang melihat mereka.

"Please Fel. Berhenti bersikap over protect ke aku. Aku bisa jaga diriku sendiri. Aku malah nggak bisa bebas kalau kamu selalu kayak gini ke aku." Jovi melangkah mendekat ke arah Felicia yang bersandar pada dinding lorong.

Ia terisak, entahlah. Seorang Felicia menjadi sangat rapuh seperti ini, tidak seperti biasanya.

"Please Fel, jangan nangis, aku nggak mau melukai seorang cewek. Apalagi karena aku," ucap Jovi pelan. Entah dorongan dari mana ia lalu mengusap air mata yang membasahi pipi mulus Felicia.

Felicia masih terisak, mungkin dalam hatinya ia merasa bahwa Jovi membencinya hingga mengucapkan kata-kata seperti tadi.

Ia mencoba berbicara sambil terisak. "Apa kamu nggak bisa kasih kesempatan ke aku Jo? Sedikit pun kamu nggak pernah ngertiin aku..." ucapnya pelan dan masih menunduk.

"Maaf Fel, aku nggak ingin nantinya kamu terluka karena aku. Aku nggak mau nyakitin siapapun," ucap Jovi tulus.

"Kenapa Jo?..."

"Maaf... aku cuma nganggap kamu sebatas teman Fel." Jovi mengusap pelan rambut cewek yang di hadapannya saat ini.

"Kenapa Jo? Apa udah ada yang ngisi hati kamu?" tanya Felicia mencoba menghapus air matanya sendiri lalu menatap Jovi.

Jovi terdiam sejenak.

Apa sudah ada yang mengisi hatinya saat ini?

"Belum, aku belum bisa melupakan dia." jawabnya dalam hati.

"Bukan Fel." Jovi menggeleng pelan.

"Lalu apa? Apa aku kurang cantik buat kamu?!" pekik Felicia langsung.

"Bukan Fel, kamu malah cantik, banyak cowok yang suka sama kamu dan... maaf itu bukan aku."

Felicia kembali menangis. Jovi tidak tahan melihat seorang perempuan menangis. Dengan pelan ia memeluk cewek itu. Isakan Felicia masih belum terhenti. Ia menangis di dekapan Jovi sambil memukul kecil dada si komdis itu, yang pasti tingginya lebih dari cewek itu.

"Maaf Fel...kamu berhenti nangis ya, nggak enak dilihatin adik kelas," ucap Jovi sambil mencoba menutupi wajah Felicia di dekapannya. Ia menuntun masuk ke toilet perempuan yang dekat dengan tempatnya itu. Dengan Felicia yang masih berada di dekapannya.

Tatapan aneh tersirat jelas dari beberapa siswa yang berada di sana. Felicia masih menyembunyikan wajahnya di dada Jovi.

Ia berhenti di depan wastafel. Keadaan toilet sudah sepi, hanya tinggal mereka berdua saja.

"Udah Fel... Jangan nangis. Aku minta maaf..." Jovi mencoba mendorong sedikit badan Felicia. Ia memegang bahu cewek itu.

Felicia masih terisak. Ia mencoba berbicara. "Lebih baik kamu tinggalin aku di sini sendirian Jo," ucap Felicia.

"Tapi Fel... " sergah Jovi.

"Keluar Jo!" bentak Felicia pelan.

Jovi pun keluar dengan perasaan kacau. Sebenarnya ia sangat tidak ingin melukai siapapun. Terutama seorang perempuan. Karena ia tidak mau mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya.

Ia tahu bahwa Felicia sangat menyukainya namun apa boleh buat ia juga tidak mau melukai hati cewek itu nanti.

Ia berjalan pelan menuju kelasnya. Dilihatnya kemeja dan rompi yang ia kenakan sedikit basah. Itu karena Felicia menangis di dekapannya tadi. Namun tak ada masalah baginya soal itu.

Di kamar mandi, Felicia masih terisak.

"Kenapa Jo? Kamu nggak mau nerima aku?" batinnya.

Sedari tadi ia menangis sesenggukan. Ia tak peduli berapa banyak yang sudah melihatnya kacau seperti ini.

"Arrgggghhh... Apa salah gue?!" makinya sambil memandang wajah kacaunya di kaca besar depannya.

Ia tidak menyangka begitu besarnya pengaruh Jovi terhadapnya.

***

Seorang siswa laki-laki sedang berjalan menuju arah lorong, tapi tiba-tiba ia menghentikan langkahnya ketika mendengar sesuatu.

"Arrgggghh... Apa salah gue?!" ia mendengar dari arah toilet perempuan. Suara teriakan tepatnya.

Karena takut ada apa-apa ia langsung masuk saja tanpa memedulikan sekitar.

Ia terkejut ketika melihat seorang siswa yang sedang terisak di depan kaca besar. Dengan gemetar ia menghampirinya.

"Mbak e... Mbak e... " panggilnya. Ya, itu Juan. Cewek yang dipanggil pun menoleh dengan menunjukkan wajah yang berlinang air mata.

"Mbak e kena opo toh mbak?" Juan berjalan mendekat. Mencoba memastikan bahwa yang diajak bicara memang cewek sungguhan.

"Ngapain lo di sini hik... hik... " tanya Felicia yang masih terisak.

"Em... Aku tadi lagi lewat. Terus dengar suara orang teriak. Yo aku masuk ae," ucapnya dengan logat khas.

Ia tetap saja menjawab pertanyaan Felicia.

"Mbak e kenapa toh mbak? Cantik-cantik kok nangis di sini. Emange ada yang sakit ta mbak?" tanyanya lagi. Felicia mencoba tidak terisak lagi.

"Diem lo! Mendingan lo keluar, atau perlu gue panggilin satpam karena lo udah berani-beraninya masuk ke toilet cewek hah?!" ancam Felicia.

"Tenang mbak, aku di sini nggak niat jahat kok. Mendingan mbak e cuci muka dulu ae biar nggak kelihatan jelek kayak gitu." Felicia lalu menatap tajam cowok di depannya saat ini.

"Maksudku, biar mbak enggak kayak gini. Lagian emang mbak gak masuk ke kelas?" ucap Juan meyakinkan. Walaupun Felicia agak bingung dengan bahasanya.

"Yaudah mbak aku keluar dulu," ucapnya sopan. Tanpa pikir panjang lagi Felicia akhirnya mencuci wajahnya dan merapikan tatanan rambutnya agar tidak terlalu kentara jika ia baru saja menangis.

***

"Jo, kenapa sama si Felicia tadi?" tanya Dion. Mereka berdua menuruni tangga.

"Apa secepat itu beritanya bisa menyebar?" pertanyaan Dion malah dijawab dengan sebuah pertanyaan oleh Jovi.

Dion tersenyum mendengar jawaban temannya itu. Ia merangkul bahu Jovi.

"Ya nggak gitu Jo, tadi anak-anak bilang mereka lihat Felicia nangis dan di depannya itu ada elo. Emang ada apalagi sih sama dia?" tanya Dion.

"Ribet, lo nggak bakal ngerti," jawab Jovi sambil mengeluarkan kunci motor dari saku celananya.

"Yaudah, pokoknya gue terus dukung lo Jo. Apapun yang lo mau," ucap Dion dengan mengembangkan senyuman.

"Lo sekarang mau pulang? Terus katanya lo bantuin David sama Kevin buat nyeleksi?" tanya Dion.

"Sorry, untuk hari ini gue pengen istirahat dulu. Kepala gue pusing," jawab Jovi sambil menatap ke depan.

"Ouu tapi besok bantu mereka."

"Hmm."

Sepanjang jalan menuju area parkir, tidak sedikit dari adik kelas terutama yang perempuan menyapa mereka berdua. Dan Jovi hanya menyunggingkan senyumnya sedikit.

"Tuh si Felicia!" ucap Dion seolah menunjukkan pada Jovi. Dari kejauhan dilihatnya Felicia sedang berjalan memasuki ruangan kepsek dengan menundukkan kepalanya tanpa menoleh sedikit pun.

Cewek itu selalu datang ke ruang sang ayah setiap pulang sekolah.

Pemandangan yang menurut Jovi tidak mengenakkan itu membuatnya semakin bersalah. Ingin rasanya ia memanggil dan mengucapkan permintaan maaf, tapi ia urungkan karena masih ragu. Ini semua membuatnya bertambah bingung.

"Ih! Ada si manis di sana," ucap Dion dengan cepat ia menghampiri cewek yang dimaksud.

Ya, yang dimaksud adalah Kayra. Jovi yang melihat temannya begitu antusias hanya bisa diam sambil memandanginya. Ia kemudian melanjutkan jalannya ke area parkir.

***

Seminggu setelah kejadian itu, hari-hari Jovi tenang tanpa adanya Felicia yang menggangu. Beberapa kali ia berpapasan dengan Felicia, namun cewek itu tidak menatapnya. Perasaan bersalah makin besar di diri Jovi.

Tapi apa boleh buat? Yang ia lakukan juga demi kebaikan cewek itu. Karena ia juga tidak mau memberi harapan yang tidak menentu yang pada akhirnya akan membuatnya lebih susah.

"Pengumuman penerimaan anggota OSIS baru udah ditempelin di mading depan kelas. Yang mau lihat silahkan!" ucap Raka dan kemudian keluar kelas. Ia duduk di bangku depan kelasnya.

"Alhamdulillah aku keterima. Ka, Van aku keterima!" ucap Juan dengan girangnya lalu menghampiri Raka.

"Keterima apa Ju? OSIS?" tanya Devan.

"Iyo!"

"What? Minggu lalu lo daftar OSIS kenapa gue nggak tahu?" Devan terlihat heran.

"Kamu nggak tanya Van!" jawab Juan.

"Haha...selamat ya Juju." Raka tiba-tiba nyengir tidak jelas.

"Juju?" tanya Juan yang terlihat kesal karena panggilan Raka barusan.

"Lo sih, lucu," jawab Raka masih mencoba menahan tawanya lagi, melihat ekspresi Juan.

"Hah?! Lucu apanya?"

"Udah, Ju jangan dengerin Raka. Selamat ya Ju lo keterima." Devan mencoba menenangkan Juan dan menyuruhnya untuk duduk.

Tidak lama kemudian muncul lah Kayra dan Bella dari balik pintu. Kedua cewek itu tempat lihat asyik tengah menertawakan sesuatu.

"Lagi ngomongin apa sih?" tanya Bella.

"Ngomongin kamu, Bell," sahut Devan dengan senyuman yang mengembang. Bella hanya memutar bola matanya, kesal.

"Kamu keterima Ju? Selamat ya." tanya Kayra yang kemudian duduk di samping Raka.

"Iya Kay, padahal aku nggak nyangka loh aku bisa keterima. Soalnya tesnya itu menegangkan." Juan mulai bercerita. Bella yang tadinya berdiri mulai duduk merapat. Ia duduk di bangku depan Kayra, bersebelahan dengan Devan.

Juan mulai bercerita kala semua calon anggota OSIS disuruh datang ke sekolah tersebut pukul tujuh malam. Para komdis membagi menjadi beberapa kelompok dengan setiap kelompoknya berisi lima orang. Para komdis menjelaskan anturan main. Dan setelah dua jam kelompok Juan mencari sesuatu di kegelapan, apalagi juga ditakut-takuti dengan hantu bohongan, akhirnya mereka menang. Karena tes itu digunakan juga untuk mengatur mental, dan sudah membuat pesertanya terkaget-kaget. Karena itulah disebut 'jurit malam'.

"Lo nggak takut?"

"Yo takut lah semua pada jerit-jerit," jelasnya lagi.

"Ooo," ucap mereka kompak.

"Ehem..." deheman tersebut berasal dari seseorang di hadapan mereka. Sontak saja mereka langsung mendongak ke depan.

"Eh... Mrs Rere. Maaf Mrs," ucap Raka. Dan mereka berlima kemudian berdiri dan menyalami gurunya itu.

"Ayo sekarang kalian masuk!" perintah Mrs Rere, dan kemudian mereka pun masuk ke dalam ruangan kelas.

***

Leave vote and comments below! ;)

Thanks for reading and including this story to your RL guys
Love you ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top