PART 5 - LANGKAH AWAL
Anggaplah semua cibiran yang diberikan padamu adalah cambuk untuk masa depanmu!
###
SIANG itu Raka sedang berjalan ke arah kantin sekolah. Dilihatnya di sepanjang perjalanan menuju kantin, semua siswa Rodriguez memandanginya dengan tatapan seolah mencemooh. Namun ada juga yang terlihat mengagumi cowok itu.
"Eh, itu Raka yang waktu hari terakhir masa orientasi nantang komdis kan?"
"Masih punya muka dia?"
"Masih junior aja sombong! Dia kira dia siapa?"
Gumaman tersebut berasal dari beberapa kakak kelas dan seangkatannya. Walaupun tidak terlalu keras, tetap saja bisa didengarnya.
Raka tidak ingin membuang-buang waktunya hanya untuk meladeni pembicaraan tidak berguna seperti itu.
Sedari tadi ia sudah geram dengan perkataan yang menjelek-jelekkan dirinya. Namun ia mencoba menahannya, mungkin sebagian dari mereka belum mengetahui siapa dirinya. Tapi tidak ada gunanya jika ia menunjukkan siapa dia. Toh, tidak akan mengubah semuanya untuk saat ini.
"Jangan didengerin Ka, mendingan kita makan di stan yang itu aja, iya kan Ju?" Devan mengajak Raka dan Juan ke salah satu stan yang menjual macam-macam makanan dan minuman.
"Lo ngajak gue makan bakso Van?" tanya Raka dengan heran. Ialu ia menarik kursi dan kemudian mendudukinya.
"Em... nggak tahu deh, pengen aja," jawab Devan singkat.
Tidak lama kemudian seorang wanita datang membawa pesanan mereka bertiga.
"Eh, Ju! Lo kan dari Malang, pasti lo sering makan bakso asli Malang, ya?" tanya Devan pada Juan di sela makannya.
Juan mengangguk. "He em... mbahku punya usaha bakso turun temurun. Kalo kalian kesana, makan apa aja gratis kok," ucap Juan dengan entenganya dan kemudian melanjutkan makannya.
"Iya?" sahut Devan antusias. Sepertinya Devan memang suka semua yang berbau gratis.
"Iyo, tapi pas mari mangane... yo kudu bayar..." lanjut Juan lagi dengan cengengesan, Devan hanya melongo. Raka yang mendengar candaan Juan hanya bisa terkekeh.
"Eh Ka, kalau boleh tahu lo anak SMP sana ya?" Devan bertanya pada Raka dan ia sepertinya sudah tahu maksud dari 'SMP sana'.
Raka menghela napas lalu meletakkan gelas sudah ia habiskan isinya tersebut. "Emangnya kenapa? Lo tahu berita tentang gue?"
"Lho, emange ono berita opo tentang awakmu?" celetuk Juan penasaran, cowok berambut klimis itu terlihat tidak sabar mendengarkan penjelasan Raka.
Namun sepertinya ia langsung menjawab pertanyaan dari Devan.
"Gue udah coba ubah sikap gue Van, gue pengen jadi dewasa, nggak nyusahin orang di sekitar gue lagi." Raka terlihat menerawang kembali masa-masa di mana ia masih SMP kemarin.
"Gue nyadar kok Van, sama sikap gue selama ini. Dari dulu sifat gue sombong, angkuh, masa bodoh sama semua orang, suka buat onar. Tapi sekarang gue mau ngubah diri gue," ucapnya dengan serius. Tak ada kebohongan yang terlihat di matanya. Hanya keseriusan.
Devan dan Juan diam terpaku tak berani mengatakan apa-apa lagi setelah mendengar pengakuan dari temannya tersebut.
"Gue nggak heran kalau semua orang sekarang nganggap gue kayak gitu. Mereka nganggap gue adalah Raka si pembuat onar yang selalu terlibat kasus kenakalan remaja waktu SMP dulu dan berlanjut ke SMA ini. Bukan mengenal gue sebagai Eraka Rodriguez.... Gue juga bingung kalau ingat masa-masa itu, mungkin karena dari kecil gue nggak tau yang namnya sosialisasi," ucapnya terdengar memilukan.
"Maksudnya?" Devan masih heran dengan pernyataan Raka yang tersebut.
Jarang memang, ada seorang cowok yang dengan gamblang menceritakan kehidupannya pada temannya. Apalagi masih baru. Tapi sepertinya tidak untuk Raka. Ia berani. Ia tidak takut. Terutama mengakui kesalahannya.
"Gue lahir di Amerika, baru ke sini waktu gue SMP. Omongan gue aja masih belum begitu lancar, lo tahu kan? Bahkan terdengar aneh... tapi gue udah menyesuaikan selama tiga tahun gue di Indonesia. Gue coba biat membaur, baik gaya bahasa dan kebiasaan anak jaman sekarang. Kalau dulu gue nggak peduli kenapa SMP itu nggak berani ngeluarin gue padahal banyak masalah yang udah gue timbulin, tapi sekarang gue tahu. Keterlibatan orang tua gue yang buat itu semua. Sekarang gue malu banget kalau inget waktu itu."
Kedua cowok di depannya lagi-lagi hanya diam tidak berani memotong sedikit pun pembicaraannya.
Suasana di kantin mulai sepi.
Devan menghirup napas dalam-dalam sebelum berbicara pada Raka. "Gjni, Ka, semua udah lewat. Lama-kelamaan gue yakin lo bisa berubah. Gue sendiri nggak munafik kalau gue juga ngalamin apa itu kenakalan remaja." Devan menepuk bahu Raka seolah menenagkan temannya itu yang masih diam menghadap ke bawah.
Juan mengangguk setuju dengan ucapan Devan. Entahlah kenapa gaya bicara Devan seperti seorang motivator.
"Iyo. Wong namae remaja pastine nggak bakal lepas tekan masalah sing koyok ngunu iku." Juan ikut menimpali.
Raka tersenyum kecil. "Eh, jam istirahat mau habis iki," ucap Juan setelah melihat ke arah jam tangannya. Dan Kantin pun mulai sepi.
"Eh iya." Devan berdiri.
"Kalian duluan aja, gue tadi disuruh ke ruang olah raga habis ini," ucap Raka dan kemudian beranjak dari tempat duduknya.
Mereka berdua pergi meninggalkan Raka di tempat itu, Raka berjalan ke arah ruang olah raga dengan sedikit berlari.
Ketika akan sampai di ruangan itu, ia melihat seorang cewek yang tak asing baginya.
Dia, Audy si komdis. Dilihatnya komdis itu membawa tumpukan dokumen. Dan terlihat menyusahkan.
Raka menghampiri komdis tersebut, walaupun dalam hatinya merasa sangat gugup. Ini adalah pertama kalinya ia menatap langsung cewek yang ia kagumi. Di SMA.
"Sini, gue bantuin Kak!" Raka mengambil sebagian tumpukan kertas itu dari Audy. Audy hanya menatapnya cowok di depannya saat ini dengan heran.
"Enggak usah, biar gue aja. Sebentar lagi juga sampai ke ruang guru," ucapnya sambil mencoba mengambil kembali tumpukan kertas itu dari Raka, namun Raka dengan santai berjalan menuju ruang guru.
Audy hanya bisa mendengus melihat tingkah Raka.
"Makasih, udah bantu," ucapnya dengan cuek lalu meninggalkan Raka yang masih berdiri di depan ruang guru setelah menaruh tumpukan dokumen tadi di salah satu meja. Raka hanya bisa tersenyum melihat punggung cewek itu yang lama kelamaan tak terlihat dari pandangannya.
***
Sesampainya di kelas, Raka langsung memberitahukan info yang telah didapatnya dari guru olahraga tadi. Ia langsung mengajak Kayra untuk datang ke ruangan club music seperti yang mereka bicarakan kemarin.
"Kay! Ayo ke ruang club music," ajak Raka sambil membawa gitar akustiknya.
"Ayo!" Kayra bergegas mengenakan tas punggungnya. Sengaja memang mereka belum pulang. Semua temannya terlihat sudah meninggalkan kelas.
Sesampainya di ruangan tersebut, sudah ada banyak kakak kelas maupun seangkatan. Dengan santainya mereka memasuki ruangan tersebut. Di sana juga terlihat beberapa anggota OSIS terutama komdis dan grup kakak kelas yang kemarin mengisi acara penutupan masa orientasi. Ya, PMS juga sepertinya memang sudah tergabung dengan club di sekolah itu. Tak heran jika mereka terlihat sangat berbakat.
Tidak disangka seseorang menghampiri mereka dengan senyuman yang mengembang, itu Dion si ketua OSIS.
"Eh... kalian masuk aja nggak apa, ada yang kelas 10 juga loh..." ucap Dion terlihat senang.
Akhirnya secara tidak langsung semua siswa yang tergabung dengan club music pun saling mengenal.
Begitupun juga dengan Kayra, tidak butuh waktu lama untuk langsung akrab dengan yang lain. Mereka semua ramah. Itulah yang Kayra rasakan.
Bisa dipastikan kalau pertemuan ini hanyalah untuk perkenalan, karena bagaimana pun juga memang perlu beradaptasi.
Terlepas dari itu, selain hanya teman sekelas dan beberapa siswa saja yang mengetahui identitas Raka, di ruangan tersebut hanya segelintir saja yang mengetahui. Yang lain bersikap biasa-biasa saja seolah tidak ada kesenjangan dan jarak di antara mereka. Raka pun lega merasakan itu semua.
Ya, Club music di Rodriguez dibimbing oleh seorang guru. Club itu memiliki jadwal tersendiri. Hari berkumpul anggota setiap hari Selasa, namun diperbolehkan juga jika selain hari itu datang untuk berlatih maupun menggunakan alat musik yang sudah tersedia di dalam studio.
Ya, di dalam ruangan tersebut memang ada sebuah studio yang lumayan besar dan lengkap segala macam alat music pun ada. Mulai dari gitar, bass, drum, keybord, kajon dan masih banyak lagi.
***
"Pagi semua!" seorang pria berdiri di depan para siswa aksel. Ya, dia adalah pembimbing baru siswa aksel di Rodriguez. Sabtu ini memang ia sudah dijadwalkan mengisi kelas aksel.
"Pagi Pak," jawab mereka kompak.
"Oke! Langsung saja saya akan memperkenalkan diri, nama saya Vicky Chandra Winata. Saya pembimbing baru kalian." Semua terlihat serius memandang pria tersebut.
"Sekarang tahun ajaran baru, pastinya di sini ada anak akselerasi baru, bukan? Berapa banyak anak akselerasi yang lolos tes kemarin?" tanyanya dengan senyuman mengembang.
Sepuluh siswa aksel kelas 10 mengangkat tangan tidak terkecuali dengan Raka, Kayra dan Ana yang berasal dari kelas yang sama.
"Oke! Bisa saya simpulkan bahwa semua jumlah anak aksel di sini ada 20 anak kan?"
"Iya... " jawab mereka singkat.
"Silahkan perkenalkan satu persatu diri kalian pada saya di depan sini. Mungkin beberapa dari kalian belum mengenal satu sama lain. Dimulai dari si ketua OSIS. Mana nih, ketua OSIS?" ucapnya lagi dengan terkekeh.
Dan yang dimaksud pun berdiri dengan tegasnya. Dion maju ke depan tetap dengan gayanya, namun beda dengan ketika berakting dulu.
"Hai semua! Kalian pasti udah tahu gue kan?" katanya dengan pede. Namun sepertinya ucapannya hanya untuk bergurau. Karena tidak lama setelahnya cowok itu terkekeh.
"Ya, nama saya... eh bentar gue apa saya ya?" lagi-lagi dia seperti melawak di kelas tersebut.
Semua siswa aksel yang lain hanya terkekeh geli melihat tingkah ketua OSIS tersebut.
"Pake gue aja nggak apa kok Kak komdis..." sahut seorang cowok yang juga seangkatan dengannya dengan cengengesan.
Sepertinya memang siswa aksel yang senior kebanyakan memiliki sifat humoris. Itulah yang membuat hubungan antar senior dan junior tetap terjaga sampai saat ini. Walaupun tahun ajaran baru dimulai.
"Ooh gitu... makasih Kakak..." suara Dion tiba-tiba menjadi seperti anak manja. Dan lagi-lagi semua hanya tertawa tak terkecuali Pak Vicky.
"Oke, perkenalkan nama gue Aldion Dyanta. Kelas 12 IPA 1. Biasa dipanggil 'Kak Dion' sama adek kelas," ucapnya dengan tegas lalu tersenyum jahil.
"Oke! Sekarang giliran yang lainnya. Ketua OSIS silahkan kembali ke tempatnya," kata Pak Vicky.
Dan satu jam itu digunakan untuk memperkenalkan semua anak aksel yang berjumlah 20, perkenalan itu sangat menarik apalagi dari kakak senior yang tiba-tiba melawak dengan kekonyolana. Sungguh menyenangkan bila berada di kelas tersebut.
***
"Itu adalah jadwal pelajaran yang akan kalian terima, usahakan selalu hadir," ucap Pak Vicky sembari membagikan lembaran kertas.
"Oh ya, mungkin untuk yang kelas 10 masih belum paham betul sistem akselerasi di sini. Jadi saya akan menjelaskannya." Suasana kelas sangat tenang, semua memperhatikan Pak Vicky yang sedang berbicara.
"Untuk kalian yang kelas 10, memang kalian juga mengikuti pelajaran regular seperti yang lainnya. Tapi pelajaran yang diberikan di kelas aksel lebih pada pendalamannya. Saya harapkan kalian bisa menyesuaikan dengan kakak kelas kalian yang dulu juga seperti kalian. Maka dari itu agar lebih efisien, untuk kelas 10 jam akselerasi jatuh setiap hari sabtu dan minggu. Beda dengan kelas 12, mereka hanya hari sabtu saja. Saya harap kalian bisa menerima itu," ucapnya panjang lebar dan tak mengurangi keramahannya.
"Ada yang tidak setuju atau yang perlu ditanyakan?" ia mengarahkan pandangannya ke arah semua siswa terutama kelas 10.
Semua menggeleng, pertanda paham.
"Karena siswa aksel berasal dari setiap jurusan maka dari itu di kelas ini kalian akan lebih dilatih. Terutama apabila ada olimpiade atau kejuaraan yang lain. Setiap jurusan akan dibina oleh guru yang sesuai dengan mata pelajaran yang kalian pilih. Misalkan yang mengutamakan matematika, kalian akan dibimbing langsung oleh guru tersebut agar lebih menguasai materi dibandingkan dengan yang kalian dapat di kelas regular. Kalian mengerti?" semua terlihat mengangguk mengerti.
"Dan jangan sungkan-sungkan untuk bertanya pada kakak aksel kalian apabila mengalami kendala. Jadi untuk kelas 12 saya mohon ajari juga mereka sesuai dengan mata pelajaran yang mereka pilih atau pun yang lainnya."
"Siap Pak!" jawab Dion dengan antusias.
Semua tersenyum senang.
"Baik! Dan tidak lama kalian juga akan saya bagi kedalam kelompok untuk membuat project bersama sesuai mata pelajaran yang kalian pilih. Matamatika dengan matematika, fisika dengan fisika, kimia dengan kimia, ekonomi dengan ekonomi maupun yang lain. Kelas 12 mungkin sudah pernahkan mengerjakan project seperti itu tahun kemarin, iya kan?"
"Ya, Pak," jawab mereka kompak.
"Bagus, jalinlah kerja sama yang baik antar senior dan junior. Untuk project nanti juga akan saya sampaikan seperti apa dan akan saya bagi kelompoknya. Sepertinya pas kalau dibuat 2 orang setiap kelompoknya. Jadi akan ada 10 kelompok yang mengerjakan project itu."
"Sebentar, saya akan melihat data mata pelajaran yang kalian pilih masing-masing." ia mengambil sebuah dokumen yang pastinya berisi tentang data-data siswa aksel di meja sampingnya.
"Wow!" ucapnya takjub, entah apa yang ada di pikirannya setelah melihat data-data tersebut. Semua yang berada di ruangan tersebut menatap Pak Vicky heran.
"Ada apa Pak?" tanya Bryan.
"Saya nggak nyangka ya, kalau siswa aksel tahun sekarang seimbang. Dan... di sini nggak ada yang jurusan bahasa sama sekali ya?" ucapnya lalu berdecak sambil menatap semua yang berada di ruangan tersebut.
"Iya. Pak. Cuma ada yang dari IPA sama IPS. Kalau tahun kemarin ada satu atau dua, gitu, yang dari bahasa," jelas Dion dan yang lain langsung menatap ke arahnya.
"Oke! Langsung saja ya, kalau gitu saya akan membagi kelompoknya. Jadi yang junior sekalian bisa bertanya pada yang senior apabila ada yang kurang dimengerti, walaupun project ini masih semester depan," ucapnya dengan serius.
"Dan ingat! Di sini saya tidak membeda-bedakan teman. Semua netral, jadi kalian harus menerima siapa yang menjadi kelompok kalian. Karena keberhasilan kalian bergantung dengan kerja sama dan kekompakan dari setiap kelompok." Pak Vicky maju beberapa langkah sambil membawa lembaran data tersebut.
"Aldion, matematika. Kamu satu kelompok dengan Brillyana ya?" ucapnya sambil menatap ke arah Dion. Dion terlihat setuju, kelihatannya memang Dion bukan orang yang pemilih.
Sedangkan siswa yang dimaksud adalah Ana -- teman sekelas Kayra. Ia hanya diam.
"Siap Pak!" jawab Dion dengan percaya diri dan senyuman mengembang.
"Audy Awindya, matematika. Kamu dengan Eraka Rodriguez." sontak saja Raka langsung melotot tak percaya dan Audy terlihat biasa-biasa saja.
Ya, secara tidak langsung siswa aksel sudah mengetahui siapa Raka sebenarnya dan mereka terlihat biasa-biasa saja.
"Bryan, fisika. Kamu dengan Alex Marcello," lanjutnya lagi.
"Kemudian... Jovian, fisika dengan Kayrasya."
Kontan saja Kayra hampir memuncratkan air mineral yang sedang ia minum. Ia mencoba menoleh pelan ke arah Jovi dan dilihatnya Jovi hanya menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa ditebak.
Dengan cepat Kayra menghadap ke depan. Ia menghela napas panjang.
'Ya ampun... kenapa harus sama Kak Jo? Kayaknya Kak Jo nggak suka sama aku. Tatapannya aja udah kayak gitu,' ucapnya dalam hati.
Kayra merasa rendah di hadapan Jovi, entah kenapa ia masih merasa tidak enak atas tragedi di hari pertama masa orientasi. Walaupun sebenarnya juga merasa tidak nyaman dengan semua komdis maupun kakak OSIS yang lainnya.
Setelah beberapa saat, semua sudah dibagikan kelompoknya dan Pak Vicky menyuruh setiap siswa untuk pindah tempat dan duduk bersama kelompoknya agar mempermudah. Sepertinya tempat itu untuk seterusnya.
Dan bisa dipastikan kalau yang junior lah yang harus menghampiri kakak senior. Begitupun Kayra, dengan gemetar dan gugup Kayra melangkahkan kakinya pelan ke meja tempat Jovi.
Meja ruang aksel bisa dipakai untuk dua orang permeja.
Ia duduk di kursi sebelah Jovi, tidak ada satu kata pun yang ia ucapkan begitu pun Jovi. Jovi tetap diam dan memfokuskan pandangannya ke arah buku yang sedang dibacanya.
"Oke! Karena ini pertemuan awal saya dengan kalian jadi tidak akan lama hari ini. Namun minggu depan akan berjalan seperti semula. Dan untuk yang kelas 10 besok kalian diharapkan masuk karena akan ada pembagian buku khusus kelas aksel. Dan untuk kelas 12 buku akan diberikan menyusul karena juga menyesuaikan kurikulum."
"Oh ya satu lagi, tempat duduk kalian ini sudah fix untuk seterusnya selama menjadi siswa aksel," ucapnya lalu memerintahkan Dion agar memimpin doa sebelum meninggalkan kelas.
"Attention! Let's pray together!" kata Dion dan yang lainnya pun berdoa menurut agama dan keyakinan masing-masing.
"Finish!"
"Oke sekarang kalian boleh pulang dan jangan lupa untuk sharing ilmu dengan yang lain." mereka semua akhirnya meninggalkan ruangan.
Ketika semua sudah pulang, Kayra masih berada di depan pos satpam karena menunggu taksi. Sopirnya sengaja tidak ia hubungi karena hari ini ia tidak bisa mengantarnya karena kata Maria anak Pak Mamat sedang sakit.
"Haduuuh....lama banget sih. Kok tumben nggak ada taksi." kesal Kayra yang tidak melihat satupun kendaraan itu melewati depan sekolahnya.
TIIIN...TIIIN...
Terdengar bunyi klakson yang membuat Kayra akhirnya menggeser langkahnya ke samping yang berada di depan jalan masuk. Dan dilihatnya adalah Dion si ketua OSIS dan di belakangnya ada juga motor sport, namun Kayra tidak bisa melihat siapa itu karena helm yang dipakai tertutup.
Dion berhenti tepat di depan Kayra dan mematikan mesin motornya. Begitupun motor yang berada di belakangnya, sepertinya mengikuti saja apa yang Dion lakukan. Dion melepas helmnya dan menatap ke arah Kayra. Kayra hanya diam ternganga.
"Hei! Nggak pulang?" tanya Dion dengan senyuman tipisnya, senyuman itu sukses membuat Kayra gugup untuk menjawab pertanyaan tersebut.
"Ehm... masih nunggu taksi Kak," ucapnya dengan gugup. Sedikit ia menoleh ke arah belakang Dion, dilihatnya seseorang membuka helmnya dan Kayra langsung mengarahkan pandangannya kembali pada Dion.
Ya, cowok yang berada di belakang Dion adalah Jovi. Entah apa yang dirasakan cewek itu setiap kali melihat Iovi. Ia merasa lebih gugup.
"Mau aku anterin?"
"Enggak usah Kak. Kakak pulang aja. Mungkin sebentar lagi taksinya dat..."
"Yon! Ayo cepet!" belum sempat Kayra menyelesaikan ucapannya. Jovi langsung memotongnya. Ia terlihat jengkel karena menunggu temannya itu.
"Iya Jo," jawabnya sambil menyalakn mesin motornya lagi.
"Beneran nggak mau dianter?" tanya Dion lagi pada Kayra dengan nada jahil.
"Hem." Kayra menggeleng pelan.
"Yaudah hati-hati," ucapnya lagi.
Motor Dion dan Jovi pun melaju meninggalkan cewek itu.
Entahlah Kayra sendiri bingung kenapa sikap Dion sangat baik kepadanya. Tidak seperti teman yang satunya lagi, cuek dan hah... tatapannya itu membuat Kayra bergidik ngeri.
Tidak lama kemudian sebuah taksi berhenti di depannya. Ia pun memasuki taksi tersebut.
"Perumahan 'A Raya' Pak!" seru Kayra pada sopir taksi tersebut. Walaupun ini masih agak siang , ia tidak menyia-nyiakan waktunya untuk bersenang-senangdi luar. Sepertinya Kayra memang lebih suka berada di rumah, belajar dan menonton drama korea kesukaannya.
***
"Jo! Lo kemarin kan minta bantuan gue buat nyariin pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan lo kan?" ucap Dion mengawali pembicaraan. Mereka berdua sekarang berada di kafe biasa tempat mereka dan teman-teman yang lain berkumpul.
Ya, sepulang dari kelas akselerasi tadi mereka berdua menyempatkan diri ke kafe tersebut walaupun hanya memesan sedikit menu.
"Hem? Lo udah dapet?" tanya Jovi sambil memakan mi kuah yang sedang dilahapnya.
"Hem. Tapi gue nggak tahu deh kalau lo setuju apa enggak." Dion meneggak jus melon yang berada di hadapannya.
"Jadi gini,"
Dion mengatakan semua yang ingin ia katakan.
Sekitar satu jam mereka berada di kafe tersebut. Dan cuaca sepertinya tidak mendukung untuk mereka berlama-lama berada di sana.
"Jo! Pulang yuk. Kalau lo emang ambil pekerjaan itu datang langsung aja ke alamat yang gue kasih," ucap Dion dan kemudian beranjak dari tempat duduknya. Jovi pun begitu.
Ia kembali menggunakan jaket tebalnya. Mereka berdua mempercepat karena takutnya hujan akan turun dengan derasnya di sore ini.
***
Leave vote and comments below! ;)
Thanks for reading and including this story to your RL guys
Love you ;)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top