PART 4.1 - KEHANGATAN SEBUAH KELUARGA
Kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam kehidupan adalah hal yang sangat menakutkan dan pasti banyak menguras emosi.
###
IBU Dion menghampiri Jovi dan memeluknya erat. Entahlah, hubungan Jovi dengan keluaraga Dion seperti orang tua dan anak.
Sampai-sampai Jovi menganggap Sarah- ibu Dion seperti mamanya sendiri. Sarah juga tidak keberatan dan malah senang dipanggil 'Mama' oleh Jovi.
"Jovi... Mama kangen Jo... sudah lama kamu nggak ke sini," ucap Sarah dan masih mengeratkan pelukannya pada Jovi.
"Tuh kan, Mama deh. Kalau ada Jovi aku dicuekin. Tahu gitu Dion nggak ngebujuk Jovi buat ke sini," ucap Dion dengan wajah cemberut yang dibuat-buat.
Sarah melepaskan pelukannya dari Jovi. "Ya enggak dong Yon. Kan kalian berdua anak Mama," tegas Sarah yang melihat Dion masih cemberut, sementara Jovi mencoba menahan tawa melihat aksi konyol temannya itu.
"Jo, kamu nginep di sini aja ya?" ajak Sarah yang terlihat sangat merindukan yang sudah dianggap sebagai putra sendiri.
"Nggak bisa, Ma, Jo harus pulang," tolak Jovi lembut.
"Yaudah kalau gitu kalian mandi dulu gih, habis itu makan," ucap Sarah dan mereka pun menuruti apa yang dikatakan wanita itu.
Jovi sudah terbiasa berada di rumah Dion. Dia bisa bergerak dengan cukup bebas seolah itu rumahnya sendiri. Beberapa pakaiannya pun sengaja ia titipkan di sini agar lebih memudahkan jika sewaktu-waktu harus menginap.
Jovi sudah menganggap Sarah seperti ibunya sendiri, terlebih lagi sejak kecil ia tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ibu. Ibunya meninggal ketika ia berusia 1 minggu. Sejak ia tahu kebenarannya ia selalu merutuki dirinya sendiri, dan menyalahkan bahwa kehadirannya di dunia ini lah yang membuat sang ibu pergi untuk selamanya.
Di rumahnya hanya ada dia, ayahnya dan beberapa pelayan. Namun semua itu tidak terlalu berarti baginya. Terkadang ia juga merasa bosan, apalagi belakangan ini hubungannya tidak baik.
Jovi memakai kamar mandi di sebelah kamar Dion, sedang cowok itu di kamar mandinya sendiri.
Jovi dan Dion melangkah menuju meja makan setelah mandi dan mengganti pakaian mereka dengan kaus biasa.
"Sini Jo! Makan yang kenyang ya... Mama udah masakin makanan kesukaan kamu sama Dion nih!" ucap Sarah yang membuat Dion mendengus kesal.
Perilaku ibunya memang seperti itu. Terlihat lebih menyayangi Jovi dari pada anaknya sendiri.
"Iya Ma," jawab Jovi singkat. Entah apa yang dipikirkan Jovi setiap kali melihat Sarah, ditambah lagi makanan buatan Sarah yang membuatnya cemburu dengan Dion yang memiliki kelurga lengkap. Tidak seperti dirinya.
"Pipi kamu kenapa Jo?" Jovi hampir tersedak mendengar pertanyaan Sarah.
"Ehm... nggak apa kok Ma, tadi cuma kebentur," jawabnya bohong. Ia tidak ingin Sarah mengetahui konflik antara dia dan sang ayah.
Dion yang menangkap kegugupan Jovi pun mulai mengalihkan pembicaraan. "Dion bulan depan mau ikut olimpiade matematika Ma, Mama inget kan?" Dion berucap.
"Ooh..." jawab Sarah singkat.
"Kok 'Ooh' doang sih Ma? Giliran Jovi aja Mama antusias banget..." lagi-lagi Dion memasang wajah cemberutnya yang dibuat-buatnya.
"Jangan gitu Yon, Mama juga seneng kok kamu bisa ikut olimpiade itu. Kan kamu anak Mama yang paling ganteng dan pinter," kata-kata Sarah seolah menenangkan Dion. Walaupun ia tahu kalau Dion hanya ingin menarik perhatiannya saja.
Buat apa Dion cemburu pada Jovi? Ia tahu jika sang ibu juga sangat menyayanginya.
Jovi yang melihat itu hanya bisa tersenyum kecil. Bagaimana tidak? Dia tidak pernah mendapatkan kehangatan keluarga di rumahnya. Dion lah yang beruntung mendapatkan itu.
Dion beruntung, kata Jovi dalam hati.
"Jo! Gimana kabar papa kamu?" pertanyaan itu sontak membuat Jovi diam termenung. Menghentikan aktivitas makannya.
"Baik kok Ma," jawabnya singkat.
"Syukurlah kalau gitu, Mama takutnya dia maksa kamu lagi Jo. Sifatnya dari dulu memang seperti itu, keras kepala. Mama sampai heran. Ck..." Sarah berucap bagaimana itu, Fero--papa Jovi.
Jovi sengaja berbohong, dia tidak ingin Sarah tahu apa yang terjadi, pasti Sarah akan menyuruhnya tinggal di rumah ini. Mengingat ayah Dion dan ibunya sangat menyayanginya. Jovi tidak ingin itu terjadi, ia hanya ingin hidup mandiri.
Sarah mulai bercerita sedikit tentang Fero. Kebetulan atau tidak, Fero adalah teman Sarah semasa SMA. Anak mereka sekarang menjadi sahabat yang sangat akrab. Sayangnya masih ada yang kurang yaitu keberadaan Dea- ibu Jovi yang telah dulu meninggalkan keluarga kecilnya.
"Ma, Jovi pulang dulu ya." Jovi beranjak setelah menyelesaikan makan malamnya.
Sarah ikut berdiri. "Cepet banget sih Jo? Mama kan masih pengen kamu di sini," ucap Sarah agak lirih.
Dion yang melihat itu hanya bisa mendengus dan memutar bola matanya.
"Nggak bisa Ma, kan Jo juga harus pulang," jawabnya lagi dan Sarah hanya bisa mengangguk pasrah.
Mereka berjalan menuju pintu utama.
"Gue pulang dulu Yon, Ma," pamit Jovi dan mencium punggung tangan Sarah.
"Hati-hati Jo, kapan-kapan kamu nginep di sini ya?" ucap Sarah ketika Jovi akan menyalakan mesin motornya, sebegitunya Sarah sampai mengantar sampai ambang pintu masuk.
Jovi hanya tersenyum kecil. Seragam sudah ia masukkan ke dalam tas punggungnya. Beberapa saat kemudian meninggalkan halaman rumah Dion.
***
Sesampainnya di apartemen, Jovi langsung meletakkan tas punggung di meja kamarnya. Kemudian menuju kamar mandi untuk sekadar mencuci muka.
Setelah itu ia merebahkan tubuhnya sambil membaca buku pelajaran. Ia sangat menyukai pelajaran fisika, karena menurutnya, itu adalah ilmu yang 'pasti' dan sudah dibuktikan oleh ilmuwan dunia. Dan Jovi ingin menjadi seperti mereka. Karena itu ia memilih jurusan IPA.
Cowok itu mengutak-atik ponselnya.
Sudah lama ia tidak membuka aplikasi sosial medianya, terutama Instagram.
Entahlah, ia juga heran setiap kali membuka aplikasi itu. Ia bukan artis ataupun orang terkenal, namun kenapa banyak sekali yang mengikuti akunnya?
Ia tidak terlalu memikirkan tentang followersnya. Postingannya saja hanya sedikit, ia juga tidak menyukai yang namanya 'selfi' ia hanya mengunggah foto yang menurutnya biasa.
Rata-rata postingannya yaitu candid sebagian besar adalah gambar yang diambil temannya secara iseng. Dan kebanyakan ia ditandai oleh teman-temannya.
Ia tidak terkejut ketika melihat notifikasi banyak yang mengikutinya dan komen-komen tentang fotonya pun hanya ia baca kadang sampai terkikik geli.
Cowok beralis tebal itu mengamati kamarnya. Ruangan tersebut sangatlah sunyi, sering kali ia merindukan sang ibu di saat-saat seperti ini. Walaupun ia sama sekali belum pernah melihat secara langsung. Biasanya di rumah, ia hanya bisa menatap foto sang ibu sebagai pengobat rindu. Itulah kenapa ia sangat menghargai siapapun yang disebut 'Ibu' karena sejak kecil ia belum pernah merasakan kasih sayang dari seorang ibu.
Sewaktu ia masih kecil yang mengurusnya adalah beberapa baby sitter dan sesekali keluarga dari kedua orang tuanya.
Sang ayah sangat terpukul atas kepergian ibunya, bagaimana tidak? Setelah seminggu kelahiran Jovi, ibunya meninggal. Dokter mengatakan bahwa ibunya terkena kanker darah dan sudah stadium akhir.
Selama ini Fero-ayahnya tidak pernah mengetahui itu karena Dea selalu menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja, walaupun sebenarnya tidak. Hal itulah yang sepertinya disesali Fero selama bertahun-tahun sampai sekarang. Sampai-sampai ia tidak ingin mencari pengganti Dea walaupun Jovi juga menginginkannya.
Untung saja Jovi bisa bertahan hidup. Karena sangat berpeluang besar ia tertular penyakit yang sama. Ditambah lagi, selama ia dikandungan, Dea sudah mengidap penyakit tersebut.
Jovi mengusap kasar wajahnya. Ia benar-benar lelah. Sekarang yang ada dalam pikirannya adalah cara mendapatkan uang, karena tabungannya sepertinya tidak cukup jika terus digunakan.
Ia mau kerja apa?
Ia pusing memikirkan itu dan tanpa sadar ia sudah terbawa ke alam mimpi.
***
"Eh, lo semua nggak ngerasa janggal gitu sama kelas kita?" tanya Raka membuka pembicaraan.
Mereka berempat sekarang berada di kantin sekolah karena ini adalah jam istirahat.
"Janggal kenapa?" tanya Devan pada Raka sambil menenggak habis jus jeruk yang sudah ia pesan.
"Ya, seharusnya kan kelas kita jumlahnya genap tapi kok ganjil ya? Mana absensinya belum dikasih," jelas Raka dengan mengerutkan keningnya.
"Ehm... Nggak tahu deh, mungkin emang jumlahnya ganjil atau nggak itu kesalahan teknis," jawab Bella dengan entengnya sambil menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya.
"Yaudalah... kalau ada anak baru kayaknya nggak mungkin juga kan?" celetuk Kayra. Kemudian ia berdiri untuk mengembalikan piring dan gelas setelah ia selesai makan.
Suasana di kantin sekolah lumayan ramai, terlihat banyak kakak kelas yang juga menggunakan kantin sebagai tempat berkumpulnya grup mereka.
Ada yang hanya berbincang dengan temannya, dan aja juga yang sambil memainkan gitar. Entahlah, kakak kelas di sini kebanyakan terlihat masa bodoh dengan siapapun, tapi beberapa ada juga yang ramah.
Waktu istirahat masih tersisa 15 menit, Raka dan ketiga temannya masih asyik duduk-duduk di kursi kantin sambil menatap banyak siswa datang dan pergi ke tempat tersebut.
Hanya itu yang mereka lakukan, toh jika kembali ke kelas juga masih sepi karena semua keluar kelas dan kegiatan belajar mengajar belum terlalu efektif.
Beberapa saat kemudian terdengar suara gaduh dari arah depan kantin yang sontak saja membuat semua yang ada di kantin menoleh ke arah sumber tersebut. Dan ternyata si ketua OSIS dan beberapa temannya yang juga sama-sama OSIS akan memasuki area kantin.
"Kak Jo! Boleh minta foto bareng nggak?"
"Kak Kevin..."
"Kak Dave..."
"Kak Jovi..."
"Kak Bryan..."
"Kak Dion..."
Suara teriakan tersebut berasal dari siswa perempuan yang berada di lantai atas, sepertinya mereka kagum dengan pesona kelima komdis tersebut.
Sungguh hal yang memalukan, namun bagaimana lagi? Tidak ada yang melarangnya, itu adalah hak mereka, selagi kelima komdis tersebut tidak terganggu.
Kelima komdis tersebut sepertinya tidak menggubris panggilan dari siswa-siswa tersebut dan hanya menyunggingkan senyuman.
Mereka terus berjalan dengan pedenya masuk kantin. Kayra, Raka, Devan dan Bella yang sempat melihat itu hanya bisa tersenyum kecil.
"Hai!" sapaan tersebut berasal dari si ketua OSIS, ia menyapa Raka dan ketiga temannya. Mereka hanya bisa menatap Dion dengan keheranan.
Sementara keempat komdis yang lainnya meninggalakan Dion dan berlalu ke salah satu stan di kantin tersebut.
"Ada apa kak?" tanya Bella.
"Ehmm.... Nggak kok, cuma mau tanya, kalian udah masuk ekstra apa aja? Kalau kalian mau gabung aja di club music. Banyak macam-macam divisinya kok," jelas Dion dan mereka hanya mengangguk paham.
"Oh ya, Ka! Gabung aja, lo bisa main musik kan?" tanya Dion lagi sebelum meninggalkan mereka dan bergabung dengan keempat komdis yang lain.
Raka menimbang-nimbang tawaran dari Dion, sepertinya menarik juga. "Ouw... kayaknya seru tuh, Kay ikut yuk?" ajak Raka dan Kayra hanya membulatkan mulutnya membentuk 'O' karena terkejut.
"Oh.... Iya, iya, nanti gue pikirin. Kalau kalian Van, Bell?" tanya Kayra pada mereka berdua.
"Nggak!" ucap mereka bersamaan dan mereka saling berhadapan, Bella memutar bola matanya kesal dan Devan tersenyum genit.
Bella melotot tidak suka dengan tatapan Devan yang membuatnya tidak nyaman.
"Ehem..." deheman itu berasal dari Raka yang tiba-tiba membuyarkan ketegangan di antara mereka. Bella yang merasa tidak enak, kemudian berdiri.
"Yaudah yuk Kay, mending kita balik aja ke kelas," ajak Bella sambil memegang piring dan gelas untuk dikembalikan ke stan tempat ia membeli makanan tersebut.
Kayra hanya menahan tawa melihat aksi lucu teman-temannya tersebut.
"Huuh... dasar ya si Raka awas lo!" geram Bella yang masih menggerutu di samping Kayra.
Mereka masuk ke kelas lebih dahulu, meninggalkan Raka dan Devan yang masih di kantin.
"Jangan marah, Bell," ucap Kayra.
Bella masih mengerucutkan bibirnya kesal.
Waktu istirahat sudah selesai, terlihat semua siswa sudah masuk ke kelas masing-masing.
Tiba-tiba Raka datang dan berdiri di depan, sepertinya ada yang ingin disampaikan, murid yang lainnya pun duduk di tempatnya masing-masing.
"Attention Please! Gue di sini di suruh Pak Didit selaku wali kelas kita buat mendata siapa aja yang jadi anak aksel. Jadi silahkan angkat tangan yang merasa jadi anak aksel," ujarnya panjang lebar.
Kayra pun mengangkat tangannya dan terlihat satu anak juga mengangkat tangan, jadi di kelas ini hanya ada tiga anak aksel. "Yaudah, berarti cuma tiga kan?" ucapnya lagi.
"Oh ya, Pak Didit habis ini bakal masuk ke kelas kita. Tapi gue nggak tahu deh apaan. So don't be noisy in this class okey?!" ucapnya sebelum kembali ke tempat duduknya yang berada di sebelah Devan.
Selang beberapa menit terdengar suara gagang pintu terbuka dan ternyata Pak Didit bersama seorang siswa laki-laki. Wajahnya asing. Cowok tersebut sudah mengenakan seragam yang sama seperti murid lainnya.
"Greeting!" komando Raka dan semua mulai memberi salam.
"Siang Pak!" sapa murid 10 IPA 1 bersamaan. Pak Didit berdiri di depan, di sampingnya berdiri juga siswa yang sepertinya murid baru.
Semua yang ada di kelas tersebut menatap heran ke arah cowok itu. "Eh, tuh anak siapa sih?" tanya Bella berbisik pada Raka dan Devan yang berada di depannya. Raka hanya mengendikkan bahu, tidak tahu.
"Siang semuanya! Di sini Bapak akan memeperkenalkan murid baru, sebenarnya sih sama seperti kalian yang membedakan hanyalah ia baru masuk. Jangan berpikiran negatif dulu tentangnya. Ia berasal dari Malang, Jawa Timur. Ia sudah melakukan tes seperti kalian sebelum masuk ke sini, kan tesnya via online. Jadi dia menjalani tes tersebut ketika masih berada di sana," jelas Pak Didit dan yang lainnya mengangguk mengerti.
"Silahkan perkenalkan diri kamu," ucap Pak Didit dengan lembut. Dan murid baru itu tersenyum kecil menanggapinya.
"Perkenalkan nama saya Juan Putra Bagaskara panggil saja Juan. Saya berasal dari Malang, tepatnya di kota Batu. Saya baru masuk hari ini karena dua minggu yang lalu saya dan orang tua saya masih sibuk menyiapkan kepindahan kami ke Jakarta. Salah satu alasan saya pindah ke Jakarta yaitu pekerjaan ayah saya yang berada di sini. Sekian dari saya. Mohon kerja samanya teman-teman," ujarnya panjang lebar dengan suara khasnya yang agak 'medok'.
Semua yang berada di kelas itu terlihat menyambutnya dengan baik.
"Jadi, saya mohon kerja samanya antar kalian. Saya tidak mau mendengar berita buruk yang berasal dari kelas ini. Yang saya inginkan yaitu prestasi siwa di sini. Jadi Juan, silahkan duduk di sebelah Ana," ucap Pak Didit sambil menunjuk bangku yang masih kosong di sebelah siswa perempuan yang terlihat nerd alias culun. Tepat di belakang Kayra dan Bella.
Juan pun duduk di sebelah Ana-cewek nerd itu.
Jika dilihat-lihat wajahnya cukup tampan, penampilannya pun rapi. Gaya bicaranya bisa dibilang agak sedikit 'Ndeso' untuk yang baru mendengarnya. Rambutnya tertapa dengan rapi dan klimis.
"Yaudah kalau begitu saya tinggal silahkan mengenalkan diri kalian pada teman baru kalian, sebentar lagi sepertinya jam waktu pulang," kata Pak Didit sebelum meninggalkan ruang kelas.
"Pak Didit!" panggil Raka, dan Pak Didit pun menoleh ke arahnya.
"Saya sudah mendata siswa di sini yang menjadi siswa aksel, dan jumlahnya hanya tiga Pak," ucap Raka.
"Oh.... Yaudah terima kasih," ucap pria berkulit putih dan tinggi itu kemudian meninggalkan ruang kelas.
Satu per satu murid dalam kelas tersebut menghampiri Juan untuk berkenalan dengannya. Tak terkecuali dengan Raka.
Dan kelas 10 IPA 1 menjadi genap siswanya.
"Hei, gue Raka," sapa Raka sambil menjabat tangan Juan ala 'tos' dan Juan pun menyambutnya dengan senyuman ramah.
"Juan," jawabnya dengan logat khasnya.
"Kayra."
"Bella."
"Devan."
Mereka bergantian bersalaman.
"Wah kamu enak ya nggak ikut masa orientasi kita. Kalau kamu tahu huuh... pasti nggak akan terlupakan pengalamannya deh," ucap Kayra menceritakan tentang apa saja yang terjadi ketika masa orientasi kemarin.
"Haha... iyo aku durung mrene palingan seru yo," jawabnya lagi-lagi dengan bahasa Jawa. Kayra hanya bisa tersenyum tipis karena tidak teralu mengerti.
"Apa? Gue nggak terlalu paham bahasa Jawa," celetuk Devan dan Raka pun mengangguk sama.
"Oh sorry. Maksudku itu aku belum ke sini paling seru ya?" koreksinya lagi dan keempat anak di depannya hanya mengangguk dan bibirnya membentuk 'O'.
Tidak butuh lama Juan bisa menyesuaikan dengan kelas tersebut. Saat ini saja ia sudah akrab dengan Raka dan beberapa cowok di kelas tersebut.
KRIIINGGG...
Bel berbunyi dan semua siswa keluar kelas.
Kayra menuruni anak tangga bersama beberapa teman perempuan lainnya sambil bercengkrama. Untunglah Kayra mudah bergaul, ia sangat menyukai teman-teman barunya di kelas. Walaupun pada semester depan ia sudah tidak satu kelas lagi.
Drrt...Drrt...
Ponsel Kayra bergetar, ia pun langsung mengangkat teleponnya. Temannya yang melihat itu berpamitan pada Kayra untuk pulang terlebih dahulu. Kayra hanya mengangguk dan duduk di sebuah bangku depan kelas, entah kelas berapa, untuk menerima telepon yang ternyata dari mamanya.
"Loh kok gitu sih? Terus Kay harus pulang sendiri gitu?"
"..."
"Yaudah deh."
Kayra mematikan sambungan panggilan tersebut dan mulai berdiri, terlihat di sekitar tempat itu memang sangat sepi. Karena semua sudah pulang. Namun ada juga beberapa yang masih lalu lalang.
Ia berjalan menuju arah lorong sekolah sambil membenarkan tali tas punggungnya yang agak kendor.
"Hei!" seseorang menyentuh bahunya, sontak saja Kayra terkejut dan langsung menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Dion dan Jovi.
"Oh, hai Kak..." jawab Kayra dengan gugup. Benar dugaanya selama ini kalau Jovi adalah pria yang sangat cuek, namun karisma seorang komdis tetap menempel dalam dirinya. Ini saja ia masih menyilangkan tangan di depan dada seolah bosan dan sesekali menatap Kayra dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Kamu minat nggak ikut club music?" tanyanya pada Kayra.
"Em... masih mikirin Kak, kalau Raka ikut Kay juga ikut kayaknya," jawab Kayra sambil tersenyum kecil.
"Lucu deh, gaya bicaramu," Dion terkikik kecil. Kayra sedikit kesal namun tak apalah.
"Gabung aja, seru kok! Kalau ada acara kan kita bisa perform bareng-bareng," Dion meyakinkan lagi.
"Iya kan Jo?" tanyanya sambil menoleh pada Jovi yang masih menyilangkan tangan di depan dada.
"Hmm..." hanya itulah jawaban dari Jovian.
Kayra yang melihat itu hanya dapat mengerutkan keningnya. Sikap Jovi sungguh beda dengan Dion.
"Aku tunggu loh ya! Kamu kan bisa main gitar.... Jadi kenapa enggak?" kata-kata Dion seolah memaksa Kayra untuk mengatakan "Iya".
Kayra membalas pertanyaan Dion hanya dengan senyuman tipis.
"Em.... Yaudah Kak, Kay mau pulang dulu. Udah hampir sore," pamit Kayra setelah menengok jam yang melekat di tangan kirinya.
Kayra berlalu meninggalkan dua cowok itu. Entahlah apa yang ada dipikiran Kayra saat ini.
Gabung atau tidak?
"Jo! Lucu banget deh dia ya?" ucap Dion sembari berjalan ke arah parkiran sekolah. Jovi hanya mengendikkan bahunya.
"Gue duluan Jo," ucap Dion sambil menyalakan mesin motornya, kemudian berlalu meninggalkan Jovi yang masih berada di area itu. Ketika ia akan menaiki motor sportnya tiba-tiba ponselnya bergetar.
Ia menggeser layar ponselnya. Di sana tertera 'Papa'.
Seketika ia menghela napas dan akhirnya mengangkat telepon tersebut.
"Iya Pa?" ucapnya datar, malas untuk berbicara banyak dengan papanya saat ini.
"..."
"Enggak! Jovi nggak mau!"
"..."
"Kenapa harus sama Jovi Pa?"
"..."
"Iya, Jovi anak Papa. Tapi kenapa masalah bisnis Jovi jadi ikut-ikutan sih?!" Jovi berucap kesal.
"..."
"Oke! Kali ini Jovi nurut. Ya, ya, ya. Jovi bakal ke rumah buat ganti baju terus habis itu ke sana. Puas?!" ucap Jovi kesal. Kenapa ayahnya selalu bertindak egois? Apa ini salah satu rencana ayahnya untuk membuat Jovi menuruti semua kemauannya?
Jovi mau tidak mau sore ini harus pulang ke rumahnya, bukan ke apartemen.
Sesampainnya di depan gerbang rumahnya, seorang satpam membukakan gerbang setelah Jovi membunyikan klakson motornya.
Jovi menghentikan motornya di depan pintu masuk. Ia menaiki beberapa anak tangga sebelum membuka pintu utama. Ia membuka pintunya dengan mudah karena tidak dikunci. Seorang pelayan perempuan paruh baya menghampirinya.
"Mas Jo! Bibi kangen sama Mas Jo! Kemana aja selama ini? Tuan bilang kalau Mas Jo palingan ada di apartemen ya?" tanyanya panjang lebar seperti merindukan orang yang berada di depannya saat ini.
"Iya Bi, Jovi untuk sementara waktu tinggal di apartemen aja," jawab Jovi singkat.
Ia pun berlalu menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Tidak terlihat keberadaan papanya memang, karena papanya menyuruhnya untuk datang ke sebuah tempat yang alamatnya sudah ditunjukkan lewat pesan. Entahlah ia bingung, mau bagaimana lagi? Ia menganggap hanya untuk kali ini saja ia menuruti apa kata sang ayah.
***
Leave vote and comments below! ;) thanks for reading and including this story in your RL
Love you ;)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top