PART 38 - ZIARAH
"Duduk sini!" perintah Jovi. Dengan nurut Kayra duduk di tanah, di samping sebuah makam bertuliskan 'Alfiana Adea'. Terlihat jika makam tersebut sudah lama, walaupun begitu masih terawatt dan bersih sama dengan yang lainnya.
Jovi ikut duduk bersila. Kayra mengamati sekelilingnya, sepi, namun ada juga beberapa orang yang baru saja meninggalkan lokasi pemakaman. Pemakaman tersebut dikelilingi oleh pohon puring dan kamboja sehingga kesan rindang sangat terasa. Kemudian tangannya bergerak melepaskan topi yang ia pakai.
Gadis berponi itu mengambil posisi yang menurutnya nyaman di atas tanah berumput tersebut. Ia mengamati makam di depannya, dipenuhi rumput-rumput kecil yang membuatnya terlihat rapi.
Lalu pandangannya terarah ke seseorang di sampingnya. Ia melirik Jovi intens, ia tahu jika Jovi sedang memikirkan sesuatu.
"Kak?" Kayra menyentuh lengan Jovi, mencoba menguatkan perasaan cowok itu. Ia tahu, kehilangan orang yang sangat dicintai pasti meninggalkan kesedihan yang sangat mendalam. Walaupun ia sendiri belum pernah mengalami.
Jovi mengirup napas dalam-dalam.
"Ilaahadrotinnabiyyilmustofa rosulillahi shollallahualaihiwasallam...." Jovi memulai membaca doa dengan pelan. Kayra mengikuti cowok itu. Ziarah ini sangat berkesan bagi gadis itu, ia bisa tahu siapa ibu Jovi walaupun sudah berbeda alam.
Setelah selesai berdoa, Jovi mengusap wajahnya sebagai tanda selesai. Lalu tangannya menyentuh batu nisan persegi yang berada di depannya. Cowok beralis tebal itu mengelus pelan, seolah sedang mengusap kepala wanita yang sangat ia cintai itu.
"Ma... Ini Jovi. Jovi minta maaf karena udah jarang jengukin Mama... Maaf..." ujarnya pelan. Kayra yang mendengar itu seolah terbawa suasana.
"Jovi harap Mama bahagia di sana. Maaf untuk saat ini Jovi nggak bisa menuhin keinginan Mama buat memiliki anak yang penurut. Jovi pembangkang Ma... Jovi udah buat kecewa semuanya, termasuk Papa..." semakin ke sini, suara Jovi makin lirih.
"Tapi Jovi janji Ma... Jovi akan buktiin ke semuanya kalau Jovi bisa banggain Mama,Papa, Om Handi dan semuanya, dan Jovi bakal buktiin sama orang yang nganggap Jovi remeh. Nggak lama lagi Jovi akan buktiin sama Papa, Jovi mau buat Papa bangga dan bebas, Jovi tahu selama ini Papa nggak pernah bahagia punya anak Jovi Ma..." curahan dari lubuk hati Jovi terdalam sudah ia luapkan. Ia dengan jelas mengingat kata-kata ayahnya waktu itu jika sang ayah tidak pernah bahagia dan dirinya tidak pernah membuat sang ayah bangga memiliki anak dirinya.
"Jovi bosan dengan kehidupan ini Ma... Jovi pengen cepet nyusul Mama." Senyuum miris seketika terukir di bibir Jovi.
Kayra yang mengetahui itu kemudian berucap "Kak!" seolah teguran Kayra menyadarkan Jovi dari khayalannya barusan.
Cowok itu mengusap air mata yang akan turun di matanya. Jovi menoleh ke gadis itu.
"Jangan pernah ngomong kayak gitu Kak... Kay ada di sini, selalu untuk Kakak. Jangan merasa menjadi orang nggak berguna, Kak Jo lebih dari itu. Kakak yang selalu buat Kay optimis, jangan jadi pesimis Kak. Apalagi sampai ngucapin kata-kata kayak tadi. Jangan Kak..." Kayra berucap sambil menatap Jovi.
Cowok itu mengangguk pelan. "Makasih, maaf, tapi... Kakak... nggak..."
"Lupain yang tadi." Kayra tersenyum kecil. Ia sedikit lega bisa membantu mengurangi kesedihan Jovi. Walaupun ia tidak melakukan sesuatu yang begitu berarti. Pikirnya.
Detik selanjutnya Jovi merangkul bahu gadis itu agar lebih dekat.
"Walaupun Jo nggak pernah tahu Mama bahagia atau nggak, Jo yakin, kalau Mama di sini, pasti Mama seneng lihat calon istri Jovi ini."
Deg
Jantung Kayra berdetak begitu cepat kala mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Jovi. Jovi sendiri seolah tidak merasa aneh ataupun canggung mengucapkan kata itu, bahkan dengan sadar.
"Jovi bahagia Ma, sama Kayra. Dia penyemangat Jovi, dia yang buat Jovi sekilas ngelupain masalah yang nimpa Jovi. Mama pasti suka sama Kayra," ujar Jovi berandai-andai.
Kemudian cowok itu berdiri dengan mengajak Kayra juga. "Jo harap Mama juga bahagia kayak Jovi di sini."
Hati Kayra teriris pilu mendengar setiap kata demi kata yang terlontar dari mulut Jovi untuk sang ibu. Sampai-sampai kerongkongannya serasa sesak. Seolah udara susah masuk kala mencerna dan meresapi bagaimana perasaan Jovi yang dicurahkan pada angan semu itu melalui angan-angan.
"Assalamu'alaikum, Ma," kata Jovi lalu menggandeng tangan Kayra.
"Bentar Kak," cegahnya, Kayra berlutut sambil menyentuh nisan tersebut.
"Ini Kay Tante, Kay janji, Kay nggak akan ngecewain Tante. Kay harap Tante bahagia, Kay akan selalu mendoakan yang terbaik," ujarnya pelan yang membuat Jovi hanya samar-samar mendengarnya.
Ia kembali berdiri.
"Ayo Kak!" Kayra menggandeng lengan Jovi. Dilihatnya Jovi sepertinya tidak rela meninggalkan tempat tersebut, sesekali cowok itu kembali melihat ke belakang.
"Ini!" Kayra memberikan topi hitam berinisial "K" tersebut pada Jovi sebelum mereka menaiki motor sport biru tersebut.
Dari momen yang baru saja ia alami, Kayra merasa menjadi orang yang beruntung karena masih memiliki keluarga yang lengkap. Dan ia baru saja merasakan bagaimana pedihnya tidak memiliki seseorang yang seharusnya menjadi tempat meluapkan segala curahan hati. Jovi tidak seberuntung dirinya dalam hal keluarga. Karena itu, dengan sendirinya hati cewek itu bergerak untuk membuat sebuah perjanjian semu pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah menyia-nyiakan seseorang yang telah berarti bagi hidupnya. Termasuk seorang Jovian Alviero.
***
Waktu pulang sekolah di hari Jumat berbeda dengan empat hari sebelumnya. Kayra melewati koridor sekolah dengan santai.
Ia merasa lega karena apa? Para penghujat, penghinanya tadi serempak menghampirinya di kelas untuk meminta maaf. Karena itu, ia begitu yakin dengan apa yang dikatakan oleh Jovi bahwa masih banyak yang menyanyangi dirinya. Hanya saja ia tidak menyadari itu semua.
Dan dengan senang hati cewek itu memaafkan. Ia juga senang, masalahnya berangsur membaik dan betapa bodohnya kemarin ia sampai menjadi pesimis. Sampai-sampai terpikirkan olehnya jika ia ingin pindah sekolah.
Tidak! Dia tidak boleh menjadi pecundang! Ia harus ingat dan yakin apa yang sudah dikatakan Jovi.
Itulah pegangannya saat ini.
Ia berjalan dengan senyuman mengembang. Ada yang menyapanya, dan ia dengan senang hati memberikan senyuman dan balasan.
Hari ini, ia sama sekali tidak melihat satu pun siswa kelas dua belas. Mungkin mereka masih sibuk mengurusi segala hal mengenai kelanjutan study mereka.
Kayra sama sekali tidak tahu menahu akan apa yang Jovi lakukan. Yang ia tahu, cowok itu berniat melanjutkan study di Universitas Indonesia melalui jalur khusus. Karena memang cowok itu tidak mendaftarkan diri melalui jalur undangan maupun tes. Balik lagi, karena keputusan yang diambil Jovi itu mendadak.
Dan kayra sendiri tidak terlalu berani menanyakan hal yang lebih mendalam. Karena apa? Semua yang direncanakan Jovi menurutnya seperti misteri. Sulit ditebak dan dikira-kira.
Drrrt... Drrrt...
Ia dengan segera mengangkat ponselnya dan menepi untuk duduk di bangku sebelah ruang kepala sekolah yang dekat dengan gerbang depan.
"Iya?"
"..."
"Iya Pak, nggak apa. Kay tunggu di sini aja. Kata mama nggak boleh pulang naik taksi, jadi Kay tunggu aja," katanya pada seseorang di seberang sana.
"..."
"Iya, sama-sama."
Kemudian gadis itu mengantongkan kembali ponselnya. Ia mengetuk-ketukkan kakinya ke tanah sambil duduk di bangku tersebut. Ya, ia harus menunggu sopirnya menjemput. Sang ibu sudah mengatakan jika ia tidak boleh menaiki transportasi umum. Pasti semua itu berhubungan dengan keselamatannya. Apa boleh buat?
Keadaan sekitarnya mulai agak sepi. Beberapa saat kemudian matanya tertuju pada sosok yang tak asing baginya yang baru saja keluar dari ruang kepala sekolah. Cowok berkemeja putih itu Dion. Reflek ia berdiri.
"Kak Di!" panggilnya.
"Hei!" Dion berjalan mendekat ke arahnya dengan wajah sumringah.
"Kak Dion, mau kemana? Rapi amat?" Kayra mengamati penampilan Dion yang terlihat rapi.
"Kak Dion mau berangkat sekarang." Sontak Kayra melotot. Ia tahu maksud Dion.
"Sekarang juga?" pertanyaan itu diangguki oleh Dion. Seketika pikiran Kayra terbang meluas mengingat masa-masanya dulu mengenal sosok di depannya saat ini.
Dion yang selalu jahil, suka menggodanya ketika berada di kelas aksel, mengajarinya mata pelajaran yang sulit, mengajarinya main basket sampai datang menemuinya untuk memeberi semangat waktu Kayra mengikuti olimpiade dulu.
Tidak terasa, hampir satu tahun ia mengenal sosok yang sangat berjiwa pemimpin itu. Dion adalah panutan semua siswa. Tidak hanya kepandaiannya saja, namun tata krama pada semua warga sekolah patut diacungi jempol.
"Hei!" tegur Dion ketika mengetahui Kayra melamun.
"Ah, iya?" sahut Kayra serak. Berat rasanya melihat salah satu sosok penyemangat di hidupnya harus pergi jauh. Walaupun itu untuk melanjukan study.
"Kenapa?" tanya Dion dengan senyum simpul. Kayra dibuat gugup seketika.
Kayra tersenyum tipis. "Kay cuma mau ucapin banyak terima kasih atas apa yang udah Kakak lakuin buat Kay, Kak Dion selalu nasehatin Kay biar nggak pesimis dan masih banyak lagi. Sekali lagi makasih Kak Di," katanya.
"Iya," jawab Dion singkat.
"Kamu juga, belajar yang rajin, jangan pesimis, dengerin apa yang diucapin orang tua kamu. Itu semua demi kebaikan kamu. Dan ya... Kak Di harap kamu jadi juara dan bisa banggain sekolah ini setelahnya." Pesan Dion. Kayra mengangguk pelan.
"Jangan pernah takut ngelawan siapapun selama kamu di pihak yang benar. Jangan mudah menyerah, Kak Di ngga mau denger kamu menyesali kegagalan. Ingat kata Kak Di dulu. Kegagalan tidak akan membuat seseorang dicap bodoh."
Lagi-lagi Kayra ,mengangguk. Ia sangat mengingat dengan jelas perkataan Dion dulu.
"Makasih Kak Di..." detik selanjutnya Dion berjalan mendekat untuk merengkuh tubuh gadis itu. Kayra dibuat terkejut seketika. Namun kemudian tangannya bergerak memeluk balik Dion.
"Terima kasih, kamu udah pernah ngisi hati ini. Walaupun Kakak nggak bisa miliki kamu," ujar Dion tulus sembari mempererat pelukannya.
Kayra entah mengapa merasa begitu sedih dan kehilangan. Ia baru saja mengetahui jika ada seseorang yang begitu mengharapkannya tapi ia sendiri tidak mungkin memaksakan sesuatu yang bukan dari kehendaknya. Pilihannya sudah jatuh pada yang lain.
"Kak..." Kayra berucap. Kemudian Dion melepaskan pelukannya. Ia berdehem sekilas.
Ia menunduk sedikit. "Kak Dion akan tunggu berita keberhasilan kamu!" Ujarnya sembari mengajak gemas poni Kayra.
Kayra tersenyum sekilas sebelum sosok di depannya berlalu pergi menuju sebuah mobil sedan yang sudah menanti di depan gerbang.
Ia tersenyum kecil. Semoga hari keberhasilan itu memang benar datang pada dirinya kelak. Ya... Semoga saja.
***
I just wanna tell you. When i was writing this part, i was crying. Sure!
Anyway thanks for reading this story guys... give votes and comments to this story. Love you...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top