PART 33 - JATUH SAKIT
Mengejar cita-cita tidak harus mengikuti ego
###
"APA maksud kamu nggak pergi ke Oxford?" tanya Fero dengan kemarahan yang ia tahan.
Jovi menaap mata sang ayah. "Jovi... Punya alasan sendiri buat ngundur itu semua, Pa."
Plakk
Lagi-lagi sebuah tamparan lah yang ia terima.
"Kamu emang nggak henti-hentinya bikin Papa marah, ya?" ujar Fero. Pria itu menatap sang anak dengan tatapan yang tidak bisa ditebak.
Jovi masih menunduk.
"TATAP PAPA!" bentaknya yang membuat beberapa asisten rumah tangga tadi semakin ketakutan.
"APA INI YANG PAPA DAPATKAN DARI ANAK PAPA?! JAWAB!" suara Fero makin menggelegar.
"Untuk saat ini Jovi belum siap buat ke sana Pa! Jovi... Jovi punya alasan sendiri yang nggak bisa Jovi kasih tahu." Jovi berucap. Suaranya melemah.
"KATAKAN, APA ALASAN KAMU!"
"Enggak, Pa!"
Fero mengembuskan napasnya berat.
"Jo... Jo... Papa nggak habis pikir sama kamu. Dulu kamu ngelawan Papa karena nggak mau nerusin perusahaan Papa. Oke, Papa terima. Papa udah nyoba buat ngertiin kamu! Tapi sekarang apa? JAWAB!" lagi-lagi Fero membentak.
"Jovi nggak bermaksud buat mainin itu, Pa."
"Nggak berniat kata kamu? Papa udah rela kamu ngambil keputusan buat jadi apa yang kamu inginin. Papa support kamu di bidang yang kamu tekuni. Tapi sekarang, apa maksud kamu ngehancurin impianmu sendiri, hah?!"
"Bisa nggak sih kamu sehari aja buat Papa bahagia karena memiliku anak seperti kamu?!"
Deg
Ucapan Fero langsung menohok hati Jovi. Apa maksudnya?
Bahagia?
Sehari?
Jadi selama ini ayahnya tidak pernah bahagia memiliki anak dirinya?
Apa ia hanya sebuah beban di hidup sang ayah?
Banyak pertanyaan yang memerlukan jawaban terlintas di benak Jovi.
Sepintas ia merasa menjadi seseorang yang paling sengsara di dunia. Ayahnya tidak menginginkannya, begitu?
Namun ia mencoba mengontrolnya.
"Jovi punya alasan sendiri Pa. Dan salah satunya yaitu Jovi mau nerusin perusahaan Papa! Jovi akan ambil managemen nanti!" Jovi berucap serius.
"NGGAK PERLU!"
Jovi menatap sang ayah. "Apa maksud Papa?"
Fero tersenyum sinis. "Sebagian perusahaan Papa akan Papa alihkan pada Reksa dan Meggy."
"Jangan Pa!"
"Kenapa? Kamu nggak suka? Itu hak Papa, karena apa? Papa udah setuju kalau kamu kuliah ke Oxford dan ambil jurusan yang kamu inginkan. Hanya dengan cara itu Papa bisa mempertahankan perusahaan orang tua Papa. Papa udah nggak muda lagi, Jo!" jelas Fero.
"Enggak Pa! Jangan mereka! Mereka ada niat buruk sama ki—"
Plakk
"HENTIKAN MAS!"
Fero sontak langsung menoleh ke arah ambang pintu setelah melayangkan tamparan keras ke pipi anaknya itu. Di sana Rihandi datang dengan tatapan yang sulit ditebak.
"Mas nggak punya hak buat nyiksa dia!" kata rihandi sambil berjalan mendekat.
"Nggak usah ikut campur!" balas Fero tak kalah garang.
Lagi-lagi beberapa asisten rumah tangga yang menguping secara diam-diam sangat ketakutan apalagi melihat Jovi beberapa kali terkena tamparan.
"Dia bagian dari keluarga saya, jadi apapun yang terjadi padanya itu juga tanggung jawab saya!"
"tolong lah Mas, hentikan sifat Mas yang egois ini! Mas bisa membunuhnya jika terus seperti itu!" Rihandi menatap Fero.
Fero diam seribu bahasa.
"Biarkan dia menentukan keputusannya sendiri! Dia sudah dewasa, pasti sudah tahu mana yang baik dan buruk baginya."
Rihandi menarik napas pelan sebelum melanjutkan pembicaraannnya. "Seharusnya Mas ngerti, dia punya alasan tersendiri buat menunda ke Oxford tahun ini. Dan dia bahkan rela akan mengambil managemen nanti demi Mas!" jelas Rihandi, pria itu tadi tidak sengaja mendengar keributan yang sampai terdengar dari luar rumah.
"Seharusnya saya yang bilang gitu. Saya sudah rela jika Jovi tidak mau meneruskan perusahaan. Karena saya mencoba memahami dia!" balas Fero.
Jovi menyugar rambutnya frustasi, ditambah lagi dua orang dewasa beradu mulut di depannya. Itu membuatnya makin pusing.
"Cukup Pa! Om! Jovi ngaku salah, Pa, Jovi minta maaf udah ngecewain Papa. Tapi itu udah keputusan Jovi Pa, Jovi harap Papa bisa nerima itu semua," kata Jovi lirih.
"Jo!" Rihandi menyentuh bahu Jovi.
"Om nggak perlu terlalu membela Jovi. Jovi tahu, Jovi salah."
"Jovi mohon Pa... Percaya Jovi. Jovi nggak akan ngecewain Papa dan akan menjadi apa yang Papa inginkan."
Fero masih diam.
"Permisi Pa, Om, Jovi mau kembali," ujar Jovi.
Cowok itu kemudian melangkah keluar.
Sedangkan Rihandi masih menatap kakak iparnya itu dengan tatapan kesal.
"Permisi Mas, bukan saya lancang, saya ke sini untuk menyampaikan pesan dari Pak Julian." Rihandi memberikan sebuah amplop yang pastinya berisi surat.
***
"Fero memang benar-benar bodoh!" kata pria berkemeja hitam yang tengah bersantai di kursi panjang dekat kolam renang.
Seorang anak laki-laki diam-diam mengintip apa yang dilakukan oleh pria itu selagi ayahnya tidak ada di rumah.
Yah, Jovi menguping.
Tidak lama kemudian cowok berusia sekitar lima belas tahunan menghampiri pria itu.
"Om Fero memang bodoh Pa!" cowok itu, itu Meggy.
Jovi menatap kesal pada mereka, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa.ia hanya bisa terus mendengarkan ayah dan anak itu berbicara.
Meggy mengambil segelas air putih yang berada di meja depannyalalu meminumnya.
"Untuk apa Fero meyekolahkan bocah itu. Sudah bagus bocah itu berada di rumah saja."
"Hmm. Siapa lagi kalau bukan Rihandi yang terus ikut campur Pa. Om Fero takhluk jika mendengarkan perkataan dia," sahut Meggy.
Ayah dan anak itu memang sedari dulu memiliki niatan buruk pada keluarga Fero. Reksa yang tidak lain adalah kakak kandung Fero sebenarnya sangat membenci sang adik. Karena menurutnya Fero selalu mendapatkan semuanya. Terutama kekayaan.
Dan Fero tidak tahu akan hal itu. Fero selalu bersikap baik pada kakaknya tersebut. Bahkan pekerjaan saja Fero yang memberikan karena Reksa bisa dibilang kurang beruntung dalam hal pekerjaan. pria itu sangat berbanding terbalik dengan sang adik. Sejak dulu, Fero memang lebih pandai dari sang kakak dan selalu menjadi kebanggan orang tua mereka.
Sang anak, Meggy, tidak ada bedanya dengan Reksa. Sama-sama berhati buruk.
"Sekali aneh, anak itu akan aneh!" kata Reksa dan diangguki oleh Meggy.
Reksa dan Meggy memang sering ke rumah Fero. Mereka bak seorang tuan rumah. Datang dan pulang seenaknya sendiri. Apalagi mereka dengan enaknya memakai fasilitas yang ada. Seperti mobil maupun ruangan.
"Anak seperti dia diharapkan akan meneruskan perusahaan, bagaimana bisa?" Reksa berkata mencibir.
Jovi mengepalkan tangannya geram di balik dinding pembatas antara taman belakang dan rumahnya.
Jovi tahu jika Reksa tidak suka jika dirinya disekolahkan di sekolah pada umumnya.
"Meg! Kamu harus bisa mengambil itu semua dari Jovi. Bagaimanapun caranya kita harus membuat Fero menyerahkan sahamnya pada kita."
"Iya Pa."
Jovi mengingat betul apa yang ia dengar lima tahu silam. Pembicaraan kakak dari sang ayah dan anaknya. Pembicaraan yang menghina ayahnya dan juga dirinya. Sejak itu ia semakin giat belajar dan ia ingin membuktikan pada mereka berdua jika ia tidak bodoh seperti apa yang ada di pikiran mereka.
Itulah sebabnya tadi ia melarang sang ayah memberikan wewenang perusahaannya pada mereka. Alasannya sudah pasti jika ia sudah tahu niatan buruk ayah dan anak itu.
Ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Walaupun begitu, ia sangat menghargai kerja keras sang ayah dalam meraih itu semua.
Saat ini ia mengemudikan motornya menuju apartemen.
Namun tiba-tiba terbesit keinginannya untuk menemui sang kekasih. Sudah empat hari ia tidak bertemu dengan gadis itu.
Ia sangat merindukan Kayra. Senyumnya, kepolosannya dan suaranya.
Ia melajukan motornya menuju perumahan tempat Kayra berada.
***
"Masuk sekolahnya kapan, Dek?" tanya Andrew pada putrinya yang tengah memindahkan file dari kamera SLR nya ke laptop.
"Senin besok, Pa," jawabnya.
Andrew manggut-manggut.
"UAS-nya kapan?" tanyanya lagi. Ya. Beginilah orang tua Kayra. Selalu mengawasi dan mengontrol apapun yang menyangkut putrinya. Terutama dalam hal sekolah.
"Masih tiga bulan lagi Pa, kan nggak ada ujian tengah semester." Kayra menatap Andrew yang juga tengah mengerjakan sesuatu di laptopnya. Andrew duduk di kursinya dengan meja di depannya, sedangkan Kayra duduk bersandar di sofa dengan laptop berada di meja depannya.
Dan tidak lupa tivi menyala menemaninya.
Ia memindahkan foto-foto yang berada di kamera tersebut. Mulai dari foto hasil meliput pensi sampai foto teman-temannya yang meminjam kameranya untuk berfoto ria. Kayra tidak keberatan jika ada yang meminjam barangnya.
Beberapa detik kemudian ponselnya bergetar.
Ia melihat pesan yang masuk. Seketika senyum terpancar di wajahnya.
19.45 PM
Dek, Kak Jo pengen ketemu kamu sebentar. Kakak ada di depan rumah kamu. Please.
"Hah? Kak Jo ada di depan?"
Ia bergegas berdiri.
"Pa, Kay mau keluar sebentar aja. Cuma di depan gerbang ya?"
"Ngapain?" tanya Andrew.
"Sebentaar aja ya?" ucapnya memohon. Dan Andrew pun menganggukinya.
Kayra berjalan keluar. Dilihatnya mulai gerimis di luar sana.
"Duh... Gerimis lagi." Kayra bergegas lari keluar gerbang.
Di depan gerbang seseorang yang empat hari tidak ia lihat tengah berdiri di sana. Membelakanginya.
"Kak!" panggilnya. Dan Jovi pun menoleh.
Cowok itu menampilkan senyum manisnya.
Kayra mendekat ke Jovi.
"Kak Jo ngapain ke sini malam-malam?"
"Rasa rindu yang membawa Kakak ke sini," ujarnya pelan.
Seketika wajah Kayra memanas.
Jovi bisa-bisanya membuat gombalan seperti itu.
"Apa sih, Kak?" Kayra terlihat salah tingkah.
Jovi mendekat ke Kayra.
"Kak Jo kok kelihatan lemas gitu?" ujarnya.
Jovi menggeleng pelan.
Dan detik selanjutnya cowok itu sudah merengkuh tubuh Kayra. Kayra dibuat terkejut.
Gadis itu tersenyum senang ketika Jovi memeluknya. Namun tiba-tiba ia merasakan tubuh Jovi sangat hangat dan beban tubuh cowok itu seolah menimpanya.
"Kak Jo!" Kayra menatap Jovi.
"Kak Jo! Kak Jo kenapa? Kak Jo bangun... Jangan buat Kay khawatir Kak..." Kayra berucap gusar. Di sisi lain ia mencoba menopang tubuh Jovi yang terkulai di pelukannya.
Ia hampir terjengkang ke belakang.
"Kak Jo banguun." Kayra menepuk punggung Jovi. Namun komdis itu tak kunjung memberikan respon.
Ia semakin khawatir dengan kondisi Jovi yang tiba-tiba limbung.
"PAK SATPAM TOLOOONG!" teriaknya ke arah satpam yang bekerja di rumahnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top