PART 27 - ROMANTIS

Saling pengertian akan menciptakan keharmonisan dalam sebuah hubungan.
###

SEORANG pria dewasa tengah membawa sebandel kertas berjalan dengan gagahnya menuju sebuah ruangan.

Ketika sampai di sana, dilihatnya semua siswanya sudah duduk dengan tertib.

"Siang, semua!" sapanya lalu meletakkan bendelan kertas di meja sampingnya.

"Siang!" jawab mereka bersamaan.

"Oke, karena ini tahun ajaran baru jadi pasti ada anak aksel baru, kan?" ucapnya sambil melihat ke arah semua murid yang ada di depannya.

"Oke, seperti yang sudah dijelaskan oleh pak kepala sekolah kemarin pada semua siswa aksel baru maupun yang senior, kalian akan mengerjakan sebuah project. Dan setelah saya lihat data mata pelajaran yang kalian perioritaskan ternyata... tidak seimbang," ujarnya. Semua memperhatikan dengan serius.

"Saya lihat tadi untuk anak aksel yang junior tidak ada yang mengambil bahasa, hanya ada dua siswa aksel senior yang mengambil bahasa. Dan untuk itu jangan berkecil hati untuk yang senior, kalian bisa mempresentasikan sendiri. Lagi pula tahun kemarin kalian berdua sudah melakukan itu dalam kelompok kan?" katanya sambil melihat ke arah siswa perempuan yang duduk di meja paling depan. Keduanya siswa senior pastinya.

Mereka berdua mengangguk mengerti.

"Oke terima kasih. Untuk itu pembagian project kelompok ini akan saya bagi sesuai mata pelajaran pilihan kalian. Sebelum itu saya ingin tahu siapa saja siswa aksel kelas 10," ujarnya. Dan sekitar sepuluh siswanya mengangkat tangan. Beberapa terlihat malu-malu.

"Silahkan perkenalkan diri kalian. Siapa yang dulu?"

"Saya!" seorang siswa laki-laki dengan antusias mengacungkan tangan lalu berdiri. Semua mata tertuju padanya. Tidak terkecuali teman yang duduk di sebelahnya.

Ia maju dengan pedenya. Senyuman mengembang ia tunjukkan.

"Siang! Perkenalkan, nama saya Aldion Dyanta. Bisa dipangil Aldi atau Dion. Kelas 10 IPA 1. Di sini saya memilih pelajaran matematika. Mohon bantuannya kakak-kakak," kata cowok itu. Beberapa dibuat terkekeh geli melihat tingkah Dion yang sangat percaya diri itu.

"Oke, selanjutnya sebelah Dion!"

Cowok yang duduk di sebelah Dion kemudian berdiri. Sedangkan Dion duduk kembali.

"Jangan gugup, Jo!" bisiknya pelan.

Yang dimkasud pun berjalan pelan. Cowok itu menunduk seolah takut menatap siswa lainnya.

"Silahkan perkenalkan diri kamu," kata Pak Billy—pembimbing siswa aksel.

Pandangan semua siwa di ruang tersebut mengarah pada cowok tinggi berkulit putih serta rambut dengan tatanan messy bangs-nya itu.

"Nama saya... Jo-Jovian Alviero," katanya gugup. Ia mencoba menatap mata semua siwa di depannya namun rasa gugupnya sangat kentara.

"Sa-saya... memilih fisika," lanjutnya.

Beberapa siswa aksel senior menatap heran dengan cowok tampan namun terlihat penakut itu.

Pak Billy yang melihat kegugupan itu lalu mulai berbicara. "Selanjutnya! Silahkan duduk!" katanya.

Cowok itu kemudian duduk kembali di samping Dion.

Beberap saat kemudian waktunya digunakan untuk memperkenalkan diri bagi siswa aksel baru.

"Baiklah akan saya bacakan pembagian kelompoknya. Project ini akan kalian presentasikan tiga bulan selanjutnya, jadi persiapkan diri kalian dengan baik. Karena itu juga akan menjadi bahan penilaian dan pertimbangan," jelas Pak Billy.

"Untuk yang pertama... Jovian Alviero, fisika dengan Azalea Khaliqa." Pak Billy berucap sambil melihat data di kertas yang ia pegang.

Seketika mata cowok bernama Jovi tadi melotot. Ia gugup, karena seperti yang dijelaskan Pak Billy tadi jika siswa yang sudah dibagi kelomponya pasti duduk sebangku.

Jovi berulang kali mengusap keringat dingin di pelipisnya. Ia benar-benar gugup. Setahunya ia tidak pernah berbicara sama sekali dengan siswa senior. Bahkan teman saja hanya segelintir yang ia ingat namanya. Termasuk Dion.

Setelah membacakan nama siswa dan pasangan kelompoknya, mereka kemudian berpindah tempat. Dan untuk anak aksel yang memilih bahasa tadi , mereka duduk berdua. Hanya saja yang membedakan adalah tugas yang akan mereka presentasikan. Yaitu individu, karena kelas 10 kebetulan tidak ada yang memilih bahasa.

Jovi berjalan dengan gugup menuju tempat kakak kelas perempuan yang bernama Alea itu. Dilihatnya kakak kelasnya itu diam. Mungkin memang begitu. Sedangkan Dion berpasangan dengan kakak kelas laki-laki. Dan dia duduk berseberangan dengan Jovi.

Setelah duduk di samping kakak kelasnya itu, Jovi benar-benar gugup. Ia sama sekali tidak pernah duduk sebangku dengan teman perempuannya. Bahkan di kelasnya ia duduk degan Dion yang notabenya adalah teman barunya.

"Jovi." Ahirnya Jovi dengan susah payah mengucapkan namanya sendiri sambil menyodorkan tangan kananya ke arah kakak kelasnya itu.

Mendengar itu, gadis itu menoleh ke Jovi dengan senyuman manisnya.

"Alea," sahutnya sambil membalas salaman itu.

Jovi ikut tersenyum. Ia mengamati wajah kakak kelasnya itu.

Cantik, rambut hitamnya serta wajah ovalnya membuat cowok itu sekilas tidak berkedip.

Jovi menggeleng dari lamunannya. Entah kenapa ia mengingat masa-masa ia mengenal seseorang yang pertama kali mengisi hatinya itu.

Yah, seperti yang dikatakan Dion tadi siang, itulah yang membuatnya tiba-tiba mengingat sesuatu yang telah terjadi beberapa bulan yang lalu.

Namun segera ia mencoba mengalihkan pikirannya. Ia tadi berniat akan menemui Kayra untuk menyelesaikan kesalahpahaman yang sudah terjadi.

Sebenarnya ia sangat kesal dengan ucapan Dion tadi. Entah itu benar atau hanya sekadar candaan. Tapi jika dilihat tadi, tidak ada nada bercanda yang terdengar dari suara Dion yang begitu mengintimadasi.

Ia berjalan menuju ruang kelas Kayra dekat perpustakaan tadi. Di perjalanan menuju sana, banyak yang menyapa. Dan seperti biasa juga ia hanya menarik sudut bibirnya. Benar-benar irit.

Ketika sampai di depan kelas Kayra. Pintu sudah tetutup.

Apa mungkin semuanya sudah pulang? Pikirnya.

Jovi mengacak rambutnya kesal. Ia memegang gagang pintu. Sudah terkenci. Jadi benar, semua siswa kelas 11 IPA 1 sudah pulang.

Jovi makin gusar. Ia menarik napas panjang. Berulang kali ia menendang-nendangkan kakinya.

Ia berjalan menuju lorong yang berujung ke lapangan. Ia berniat melewati jalan itu agar dekat dengan area parkir.

Ia masih menunduk dan menggerutu dalam hati.

Apa yang harus ia lakukan? Pikirnya. Pasti Kayra sudah salah paham. Bagaimana jika kayra benar-benar membencinya. Ia tahu, ini bukan kali ertamanya mereka marahan karena perempuan lain.

Hah... semua membuat Jovi bingung.

Ia melihat area parkir, sudah sedikit sepi. Ia mengeluarkan motor sport warna birunya itu. Yah, Jovi sering memodifikasi body motor kesayangannya itu. Itu sebabnya warna motornya sering berganti sesuai keinginannya.

Dan saat ini motornya ia ganti berwarna biru dengan beberapa pola berwarna merah.

Ia mengendarai motornya menuju gerbang paling timur, berharap mungkin Kayra masih di sana. Biasanya gadis itu menunggu taksi di halte depan.

Dan keberuntungan memihaknya. Belum sempat motornya keluar dari gerbang, ia melihat ceweknya tengah duduk di bangku pinggiran lapangan.

Kayra sepertinya tidak mengetahui keberadaannya.

Jovi mematikan mesin motornya dan berjalan menuju ceweknya yang tengah memegang ponsel.

"Kayra!" panggilnya pelan.

Kayra menoleh. Ia agak sedikit terkejut melihat Jovi sudah berada di depannya. Karena asyik bermain ponsel tadi. "Oh, Kak Jo."

Jovi mendekat. "Masih marah?" tanyanya. Kayra diam tidak menjawab.

"That's very clear," jawab Kayra dengan mimik wajah yang dibuat-buat.

Jovi mengembuskan napasnya pelan. "Oke, oke. Kak Jo ngaku salah. Nggak seharusnya Kak Jo kayak gitu. Tapi percaya, Kak Jo nggak ada hubungan sama sekali sama Felicia selain teman."

Kayra menatap Jovi intens.

"Playboy..." Kayra bergumam pelan, namun Jovi masih bisa mendengar dengan jelas.

Jovi berdecak. "Ck. Oke! Kamu boleh ngatain Kak Jo playboy kek, bad boy, jelek, nggak ganteng, tukang seling... hmpp" belum selesai Jovi menyelesaikan celotehan asal-asalannya. Kayra dengan cepat membungkam mulut si komdis itu dengan telapak tangannya.

Jovi melotot kaget melihat Kayra terkikik di depannya.

"Udah selesai, ngomongnya?" tanya Kayra.

Jovi dibuat mati kutu. Kayra melepas telapak tangannya dari bibir Jovi.

"Setan kecil..." Jovi bergumam.

"APA?!" Kayra berteriak tidak terima ia dikatai.

"Dasar! Playboy sombong!" sungut Kayra kesal.

"Biarin wlek!" Jovi menjulurkan lidahnya dan detik itu pula pukulan keras melayang ke lengan atas kanannya.

Plakk

"Rasain tuh!"

"Uh... penyiksaan!" Jovi berkata sambil mengusap-usap lengan yang terkena pukulan tadi.

"Masih marah?" tanya Jovi lagi.

Sekarang giliran Kayra yang berdecak. "Ck. Sekali lagi Kay maafin, tapi jangan harap lagi untuk selanjutnya!" katanya lalu tersenyum manis ke arah Jovi.

"Yeay!" kata Jovi menirukan suara anak kecil. Kayra dibuat terkikik geli mendengar kata itu. Menggelikan. Seorang Jovian yang cuek dan pelit senyum bisa melawak juga. Batinnya.

"Kay udah dengerin penjelasan Kak Felicia." Jovi ternganga mendengar kata-kata Kayra barusan.

"Iya?" Kayra mengangguk.

"Kak Jo! Semangat buat UN Senin besok!" kata Kayra sambil mengepalakan tangannya.

"Merci," balas Jovi dengan bahasa Perancis beserta gaya pembacaannya yang khas.

"Kak Jo! Besok Kay mau seleksi. Bakal ada 5 anak yang dipilih buat ikut ajang di luar negeri loh...," ujarnya dengan bersemangat dengan mata terlihat berbinar.

"Iya? Yang ke Singapur?"

Kayra mengangguk.

"Kok Kak Jo tahu?"

Jovi tersenyum tipis. "Apa sih, yang nggak Kakak tahu? Dulu waktu segini Kak Jo udah go internasional," ucapnya dengan gaya sombongnya.

"Sombongnya..." ejek Kayra. Jovi mulai menyombongkan dirinya lagi.

"That's fact," sahutnya dengan kedipan mata genit.

"Ya, ya, ya. Kak Jo tahu nggak? Anak 5 itu kalau lolos seleksi bakal ke Singapur satu minggu dan dikasih tiket liburan ke Universal Studio Kak!" ujarnya antusias.

Jovi hanya tersenyum senang melihat Kayra sangat antusias. Ia mengurungkan menyombongkan dirinya lagi.

Dulu, ia juga sering mendapat hadiah liburan. Dan itu dominan ke Eropa. Walaupun saat itu umur Jovi masih bisa dibilang belum cukup. Tapi apa boleh buat?

"Kak Jo doain kamu salah satu di antara mereka. Aamiin..." tangan cowok itu bergerak mengelus rambut Kayra.

"Aamiin..." Kayra membalas dengan senang.

"Sekarang, mau Kak Jo antar pulang, nggak?" tawar Jovi.

"Nggak usah, Kak Jo duluan aja. Habis ini sopir Papa jemput Kay kok."

"Oh... Kak Jo tungguin aja sampai kamu dijemput." Jovi kemudian duduk di bangku panjang yang menghadap ke lapangan tersebut. Di samping cewek berponi itu.

Dalam hitungan detik, Jovi merubah posisinya menjadi rebahan di paha gadis itu. Kayra melotot kaget.

"Kak Jo!" Kayra memukul lengan atas Jovi.

"Biarkan seperti ini, Dek," sahut Jovi manja sambil memejamkan matanya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top