PART 27.2 - PARA PENYEMANGAT

Kegagalan tidak akan membuat seseorang dicap bodoh. Tapi itu adalah sebuah langkah awal menuju kesuksesan.
###

"Ih... Kak Jo bangun!" Kayra memukul pelan lengan atas Jovi.

"Kak Jo capek, please... sebentar aja. Kak Jo butuh sandaran. Apalagi sandaran hidup," ucapnya dengan enteng sambil tersenyum genit.

Kayra menggertakkan gigi. "Kalau ada yang lihat gimana?"

"B Aja!" lagi-lagi Jovi menjawab dengan gamblang dengan mata masih tertutup.

Kayra mengembuskan napas pasrah. Dilihatnya suasana lapangan sekitar sudah sepi karena hari sudah semakin sore.

Jovi dengan santainya masih memejamkan mata. Tapi Kayra yakin jika si komdis itu tidak benar-benar tertidur.

Kayra menyentuh rambut tebal Jovi. Rambut tebal namun selalu terlihat rapi setiap harinya. Kemudian beralih memandang kedua mata Jovi. Bulu mata cowok itu begitu lentik, mirip perempuan. Lalu hidungnya, tidak diragukan karena Jovi bertampang ketimur tengahan. Lalu bibirnya, Kayra menggeleng pelan. Bibir merah itulah yang kemarin... hah... ia geli sendiri jika mengingatnya.

Lalu kulit putih bersih tanpa noda sedikitpun, pasti lembut. Ingin sekali Kayra menyentuh kulit wajah Jovi namun ia urungkan takut Jovi tiba-tiba membuka mata.

"Kak Jo kok kurusan ya?" batinnya.

"Kak Jo belum makan?" tanyanya.

Jovi menggeleng.

"Gimana bisa makan kalau dari tadi mikirin kamu yang ngambek," ucapnya santai.

"Hu... Uh!" Kayra mengerucutkan bibirnya.

"Kak Jo harus makan. Biar nggak sakit, tuh lihat, pipinya tirus gitu."

Jovi menyentuh pipinya. Masih dengan mata terpejam.

"Nggak apa," ucapnya santai.

"Kak Jo... udah sore, Kak Jo nggak pulang?"

Jovi kemudian membuka matanya. "Pulang ke mana?"

"Ya ke rumah Kak Jo. Kak Jo nggak kasihan sama om Fero? Pasti dia kangen Kakak kalo Kakak selalu di apartemen," ucap Kayra.

Jovi diam. Entah kapan terakhir kali ia menemui sang ayah. Yang jelas hubungannya sudah mulai membaik.

"Awshh!" Jovi menjerit sambil memegangi kepalanya.

"Kak Jo, Kak Jo kenapa? Ada yang sakit?" Kayra panik melihat Jovi tiba-tiba menjerit dan kesakitan.

"Kepala Kak Jo sakiiit!" Jovi memegangi kepalanya. Kayra panik seketika. Pikiran parnonya mulai bermunculan.

"Kak Jo tenang ya... Aduh... Gimana nih... Habis ini kita ke rumah sakit ya..." kata Kayra.

Jovi menuruti apa yang diucapkan gadis itu. Ia memejamkan matanya mencoba rileks. Pusing di kepalanya masih berdenyut-denyut. Entah ada apa.

Kayra menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidak ada yang bisa dimintai bantuan.

Ia begitu panik saat ini.

"Kak Jo rileks-in aja pikirannya," Kayra mencoba memberi saran dengan napas memburu saking khawatirnya.

Ia menunduk menatap Jovi, komdis itu memejamkan mata.

"Kak Jo sakit apa sih, Kak?..." tanyanya dalam hati.

Kayra mengambil ponselnya di saku kemejanya. Ia berniat menghubungi sopir ayahnya agar cepat ke sana.

"Ih... Nggak diangkat!" kesalnya.

"Kak Jo nggak apa Dek, nggak usah khawatir." Kayra langsung menatap Jovi yang sudah membuka matanya.

"Tapi Kak Jo tadi kesakitan..." Kayra berucap gusar.

Jovi bangkit dari rebahannya. Tangan kirinya masih memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut. "Kak Jo nggak apa, akhir-akhir ini emang sering pusing," jelas Jovi.

Kayra masih menatap panik dengan kondisi Jovi walaupun Jovi menyangkalnya. Ia menggertakkan giginya. "Jangan egois, Kak!"

Jovi malah tertawa miring. "Udah, nggak apa. Mending kamu pulang."

Kayra tambah kesal dengan jawaban yang diberikan Jovi.

"Oke! Fine. Kak Jo nggak bisa dikhawatirin!" Kayra berdiri dengan kesal. Ia berlalu meninggalkan Jovi.

Ia berjalan menuju gerbang dengan perasaan kesal.

Sedangkan Jovi menatap Kayra yang berjalan menjauhinya.

"Kak Jo baik-baik aja, Dek," ucapnya dalam hati.

***

Di rumahnya, Kayra sangat kesal. Jovi selalu menyangkal apa yang sudah terjadi meskipun itu fakta.

"Dek! Kok nggak dimakan?" ucapan Andrew membuyarkan lamunan Kayra yang saat ini tengah berada di ruang makan.

"Ah... Iya, Pa."

Andrew tersenyum melihat ekspresi putri semata wayangnya itu.

"Besok ada seleksi siswa yang ikut kejuaraan ya?" tanya Andrew.

Kayra mengangguk. "Iya."

"Yang diseleksi siswa kelas 10 aja?"

"Iya, Ma."

Andrew menatap Maria, begitupun dengan wanita itu. Mereka heran dengan jawaban yang putri mereka berikan. Selalu singkat.

"Kamu nggak enak badan?" tanya Andrew.

Kayra menggeleng. "Enggak." lagi-lagi jawaban yang ia berikan sangat singkat padat dan jelas.

"Papa nggak memaksa kamu untuk selalu menjadi yang utama. Tapi ingat, Papa sama Mama selalu support kamu apapun yang terjadi," jelas Andrew penuh kasih sayang.

"Makasih Pa." Kayra menatap sang ayah.

Kayra lalu berdiri. Ia berjalan menuju sang ayah.

Lalu memeluk ayahnya dari samping. "Kay sayang Papa... Kay minta maaf kalau sering buat Papa sama Mama kecewa, marah, Kay minta maaf. Kay nggak bermaksud," katanya sambil memeluk erat Andrew.

"Hei! Kamu nggak pernah bikin Papa kesal ataupun marah. Malah kamu bikin Mama sama Papa bangga punya anak seperti kamu," jelas Andrew sambil mengelus sayang rambut anak gadisnya itu.

"Makasih Pa... Kay saaayang Papa. Kay janji akan jadi anak yang selalu membanggkan Mama sama Papa," ucapnya dan diakhiri ciuman di pipi sang ayah.

"Mama nggak dicium?" Maria tiba-tiba bersuara.

Kayra berpindah memeluk sang ibu. "Kay sayang Mama juga... Mama selalu ngertiin Kay, kasih nasihat..." ucapnya tergantung. Matanya berkaca-kaca.

"Hei! Nggak boleh nangis dong. Masa anak Mama yang udah besar nangis?" Maria megusap pipi Kayra lembut. Kayra menghadiahi ciuman.

"Kita semua saya kamu, Sayang." Andrew mendekat ke putrinya lalu mencium pipi kiri Kayra sedangkan Maria mencium pipi kananya.

Kayra tersenyum bahagia. Ia sangat bersyukur memiliki keluarga yang selalu menyayanginya dan selalu memberi dukungan padanya. Baik di suka dan dukanya.

***

"Oke sekian seleksi untuk siswa aksel dan siswa yang lainnya," ucap Bu Mecca pada beberapa siswa di ruang aksel.

"Untuk yang tidak terpilih saya harap jangan berkecil hati dan putus asa. Masih ada harapan untuk kalian," lanjutnya. Terlihat 5 orang siswa berdiri di sampingnya. Sedangkan beberapa lagi duduk di depannya.

"Terima kasih, Bu," ujar salah satu siswa perempuan lalu berdiri dan mencium punggung tangan Bu Mecca.

Kayra pun begitu. Setelah keluar dari ruang tersebut raut wajah yang tadinya begitu semangat kemudian berubah menjadi murung.

Ia berjalan lesu menuju ruang kelasnya kembali. Jam istirahat pertama sudah hampir habis.

"Semuanya pasti kecewa." ia membatin sambil terus berjalan menuju kelasnya.

Hingga ia tidak sadar siapa yang sudah memandangnya di depan.

Brukk

Ia menabraknya. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan.

"Kak Di?"

Ya, itu Dion. Cowok itu tersenyum manis pada Kayra.

"Hei! Kok murung?" tanya Dion.

"Nggak apa." Kayra berbohong.

"Sini!" Dion menggandeng tangan Kayra. Ia menuntun gadis itu untuk duduk di gazebo sebelah ruang kelas.

Kayra diam, bingung dengan apa yang akan dilakukan Dion.

Suasana area sekitar mulai sepi. Hanya ada beberapa siswa saja yang terlihat berlalu lalang. Dan dion mengabaikan. Ia tidak peduli.

Mereka duduk berhadapan di kursi tempat itu.

"Hei, kenapa? Cerita sama Kakak," bujuk Dion.

Kayra menghela napas. "Nggak ada," ujarnya lesu.

"Dek, walaupun Kak Di bukan siapa-siapa kamu. Kamu udah kakak anggap kayak adik Kakak sendiri. Apapun masalah kamu, cerita. Mungkin Kak Di bisa bantu," jelas Dion penuh kasih sayang.

Kayra menatap Dion lekat. "Kak Di, benci Kay?" Kayra malah balik bertanya.

Dion tersenyum kecil lalu menggeleng dengan mantab. Jelaslah... Dion tidak pernah membenci cewek yang ia sukai. Apalagi Kayra.

"Walaupun Kak Di nggak di posisi dia, Kak Di nggak mau hubungan kita renggang. Kak Di nggak pernah menyesal dekat dengan kamu," katanya.

Kayra tahu siapa yang dimaksud Dion.

"Kak Dion nggak pernah dendam. Malah Kak Dion mau ikatan kita terjalin terus," lanjutnya.

"Kak Dion nggak benci Kak Jo, kan?" Kayra menunduk.

Dion menggeleng sambil tersenyum tipis. Jelas... Dion tidak pernah membenci sahabat baiknya itu. Apapun yang terjadi.

"Dengerin, Jovi adalah sahabat Kakak yang terbaik, terdekat dan udah Kakak anggap kayak saudara. Apapun yang dia lakukan, Kak Dion selalu dukung. Dan ketika dia melakukan kesalahan... Kak Dion bakal lakuin sesuatu," jelasnya.

"Kamu jangan ada pikiran Kak Dion benci sama Jovi, soalnya dia udah sama kamu. Dia pantas dapetin kamu."

Kayra diam.

"Sekarang cerita, ada apa?"

Kayra menarik napas panjang. "Kay gagal seleksi Kak..." ucapnya sambil menunduk.

"Kegagalan bukan akhir dari segalanya. Tapi itu awal!" balas Dion.

"Kay takut semuanya kecewa..." ungkapnya.

"Sekarang dengerin..." Dion berucap lembut.

"Kegagalan, itu ibarat nasi yang katanya udah jadi bubur. Nggak berguna. Tapi bubur itu bisa jadi spesial jika diolah dan diberi topping. Sama dengan usaha."

Kayra mulai mencerna setiap ucapan Dion. Cowok itu selalu ada saja hal untuk membuatnya optimis.

Dion tahu apa yang saat ini dirasakan Kayra. Pasti cewek itu sangat putus asa. Dion sangat tahu jika cewek di depannya saat ini selalu saja merasa takut akan kegagalan. Dion sudah hafal betul bagaimana Kayra jika di dunia kejuaraan.

"Kamu kira Kak Dion langsung berhasil setiap ada kejuaraan? Enggak! Semua butuh usaha. Selalu merasa lah kurang! Kurang akan ilmu. Jangan selalu mengeluh. Mengeluh nggak akan menyelesaikan semuanya," jelas Dion.

"Tapi, Kak..."

"Yang namanya perlombaan, kejuaraan, olim pasti ada aja yang menang dan yang kalah. Kalau salah satu itu nggak ada. Bukan sebuah persaingan,"

"Kak Dion nggak mau kamu putus asa. Kak Dion mau kamu melakukan karena keinginan kamu dan kesenangan kamu. Bukan karena orang lain!"

"Ingat! Yang terbaik untuk orang lain belum tentu terbaik untuk kita," lanjutnya.

"Kak Di kenapa sih, selalu peduli sama Kay dan yang lainnya?" pertanyaan Kayra tiba-tiba membuat Dion terpaku lalu tersenyum kecil.

"Nggak tahu aja, emang Kak Di pengen," balasnya.

"Kak Di, makasih selalu buat Kay optimis, Kak Di baik banget sama Kay," tutur Kayra. Dion tersenyum tipis. "Sama-sama."

Kayra tersenyum kecil walaupun ia paksakan.

"Coba gini!" perintah Dion kemudian. Kayra menatap si ketos itu. Dilihatnya Dion mengangkat dua jarinya. Telunjuk dan tengah membentuk huruf V.

Kayra mengikuti perintah Dion.

"Hmm?"

"Taruh di samping kanan kiri ujung bibir... lalu...senyum yang lebaaar," ujar Dion. Ia tersenyum lebar.

Kayra terkikik geli melihat aksi Dion yang menurutnya sangat lucu dan menggelikan itu.

"Makasih Kak Di."

"Sekarang panggilnya Di? Bukan Yon?" tanya Dion sambil tersenyum menggoda.

"I... Ih! Sama aja!" balasnya.

"Yaudah, kamu masuk gih. Jangan sedih. Pasti ada jalan lain buat ngeraih itu semua." Dion berdiri lalu mengusap sayang rambut gadis itu.

"Kay duluan Kak!"

Lalu berlalu meninggalkan Dion untuk menuju ke keasnya.

***

Sesampainya di kelasnya Kayra hanya diam. Dan semua temannya sudah tahu apa yang terjadi. Tidak ada satu pun yang berani bertanya. Mungkin mereka memberi waktu Kayra agar bisa tenang.

Sedangkan Raka, termasuk dari kelima siswa yang terpilih dalam seleksi tadi. Saat ini cowok itu tengah duduk bersantai dan bersenda gurai dengan Fano ce es.

Cowok itu menoleh sekilas pada Kayra. Ia bisa menatap kesedihan yang terpancar dari mata cewek itu.

Entah dorongan dari mana ia menghampiri Kayra dan duduk di kursi depan Kayra yang kebetulan tidak diduduki oleh pemiliknya, yaitu Bila.

Dilihatnya Kayra masih menunduk. Pasti sangat sedih.

"Kay? Are you oke?" tanyanya.

Kayra mengangkat kepalanya menghadap depan. Raka tersenyum manis kepadanya.

Kayra mengangguk pelan.

"Don't cry! Anything will be okey!" tutur Raka.

"Gue tahu Kay... ini pasti keinginan yang lo harapin. Tapi percaya gue, ada jalan lain selain ini!" kata Raka. Ratih yang berada di samping Kayra hanya bisa diam dan mendengarkan penuturan cowok bule itu.

"Gue nggak sanggup buat ngecewin orang-orang yang gue sayang," ujar Kayra lesu. Ia menumpukan dagunya ke meja sedang kedua telapak tangannya berada di samping kanan kiri.

"Trust me!" Raka menggapai telapak tangan Kayra. Kayra menatap cowok itu.

Dengan lesu ia mengangguk.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top