PART 26 - DISAKITI, LAGI

Apa sakit menyakiti perasaan adalah hal wajar di suatu hubungan? Tapi mengapa harus berulang kali?
###

ESOK harinya di kelas Kayra semua temannya tengah berkumpul. Mereka sedari tadi membicarakan tentang gadis itu. Terutama Fano dan Deka. Kedua cowok itu merasa bersalah pada Kayra atas kejadian yang kemarin terjadi.

Tidak hanya mereka berdua yang merasa bersalah. Tapi semuanya. Mengingat, Kayra menjadi bahan bully-an. Bukan Jovi.

"Rat! Kayra hari ini masuk nggak?" tanya Deka. Cowok itu menghampiri Ratih di mejanya.

Ratih mengutak-atik ponselnya. "Nggak tahu, chat gue nggak dibales."

"Parah nggak, sih sakitnya?" ujar Deka lagi.

"Iya, chat gue juga nggak dibales," sahut Bila.

"Gue ngerasa bersalah banget sama dia," kata Fano penuh penyesalan.

"Gue juga kali," sahut Deka.

"Udah, mending gimana kalo pulang sekolah nanti ita jengukin dia?" kata Ratih.

"Gue setuju! Gue ikut."

"Gue juga!"

Kekompokan dan solidaritas siswa kelas 11 IPA 1 kian terlihat. Memang, selain dikenal banyak biang gombal, di kelas itu juga banyak anak aksel. Siapa lagi kalau bukan Kayra dan dua temannya. Sementara itu di tahun sebelumnya yaitu Dion, Jovi dan Audy.

Selang beberapa lama terdengar suara pintu diketuk. Mereka semua mengarahkan pandangan ke arah pintu yang tertutup. Tampang mereka tercetak jelas sekali penuh kewaspadaan.

"Eh, eh, Mrs Rere dateng." Semua siswa di kelas itu buru-buru duduk di tempat masig-masing.

Gagang pintu bergerak dan pintu terbuka. Dugaan mereka salah. Ternyata itu adalah seseorang yang mereka nanti-nanti.

Itu Kayra. Semua mata tertuju padanya. Ratih bangkit dari duduknya. Begitupun dengan yang lainnya.

Kayra berjalan pelan. Ia menunduk. Pikirannya berkecamuk. Antara takut teman-temannya akan mencibirnya.

Fano dan Deka maju mendekati gadis itu.

"Kayra... Kita minta maaf." Deka dan Fano mengatupkan kedua telapak tangannya.

Kayra terkejut melihat semua itu. Ia tidak bisa berkata apa-apa.

"Kita di sini teman kamu, Dek. Kita minta maaf kalau ada salah. Terutama soal kemarin-kemarin. Pasti kamu risih banget. Dan... mulai sekarang kita akan ngedukung apa yang buat kamu senang. Dan kita juga akan lindungi kamu dari cibiran itu semua karena kita keluarga..." Ratih memeluk Kayra dengan sayang setelah mengucapkan kata-kata tadi. Semua temannya juga ikut berhambur memeluk gadis itu.

Tangis haru tidak bisa dibendungnya lagi. Ia tidak menduga jika teman-temannya ternyata sangat menyayanginya.

Mereka semua melepaskan pelukan itu.

Kayra masih mencoba menghapus air matanya. "Sebelumnya... maaf karena Kay nama kelas ini jadi perbincangan yang nggak enak. Kay minta maaf..." katanya pelan sambil mengatupkan kedua telapak tangannya. Semua tersenyum lega.

***

Sedangkan di kelas Jovi keadaan hening.

Dion bahkan yang lainnya tidak ada satupun yang berani bertanya atau berucap pada Jovi. Komdis itu bersikap biasa. Memang, sejak saat itu Dion dan Jovi seperti perang dingin di antara mereka.

"Jam pertama sama kedua kosong. Terus ketiganya baru mulai try out," kata salah satu teman perempuannya yang baru saja memasuki kelas.

"Wuh! Lega gue," sahut salah satu cowok di kelas itu.

Tanpa bicara, Dion bangkit dari duduknya. Ia berjalan keluar.

Sedangkan Jovi memandang jam tangannya. Masih pagi. Batinnya. Lalu dengan santai ia berjalan keluar kelas juga.

Teman-temannya yang berada di kelas hanya bisa menatap heran. Mereka pasti mengira dua sahabat baik itu hubungannya renggang akibat satu cewek. Dan sepertinya mengerti keadaan mereka. Jadi mereka hanya bisa melihat saja. Tidak mau ikut campur. Karena jika ada salah satu yang dibela atau diunggulkan maka itu sama saja membuka jalan permusuhan.

Kembali ke Jovi. Ia berjalan dengan gaya khasnya. Berjalan dengan tampang datar tanpa senyum. Ketika melewati beberapa kelas, ada yang menyapanya. Terutama cewek, dan si komdis itu hanya menyunggingkan senyumannya. Irit.

Ia berjalan ke arah perpustakaan yang sebelah kirinya adalah ruang kelas Kayra.

Sepertinya perpustakaan adalah tempat yang aman dan nyaman. Ia selalu merasa tenang jika berada di sana. Melihat buku-buku yang tersusun rapi membuat pandagannya cerah. Wangi ruangan yang berpadu dengan aroma buku-buku menambah kesan tersendiri bagi siapapaun yang masuk ke tempat tersebut.

Ia berjalan pelan menyusuri barisan rak-rak buku yang tingginya sekitar 2,5 meter itu. Melihat-lihat di barisan rak buku ilmu managemen.

Ia terdiam sejenak. Ia ingat, Fero selalu memaksanya untuk mengambil jurusan itu. Karena nanti ia sangat diharapakan oleh sang ayah akan menjadi penerusnya. Menjadi pemimpin perusahaan yang bergerak di bidang property. Membangun pusat proyek-proyek besar. Tentunya saham mitra kerjanya tidak main-main.

Tapi menurut Jovi itu terlalu mengupayakan keinginan mendapatkan uang.

Jika jalan pemikiran Jovi sama dengan sang ayah, maka sedari dulu ia akan memfokuskan pada bidang matematika. Yang ia sendiri juga bisa. Tapi kecintaannya terhadap fisika lebih besar.

Ia sangat ingin membuat sebuah perubahan bagi Indonesia. Seperti menjadi anggota NASA misalnya. Pasti akan mengangkat nama Indonesia di jajaran negara di dunia. Tapi bukan ketenaran yang ia harapkan, tapi cita-cita. Ia sangat ingin sekali melakukan sebuah penelitian yang setidaknya ilmuan dunia belum menemukannya.

Cowok ber-IQ 190 itu mengambil sebuah buku tebal yang berisi tentang galaksi dan seluruh isinya. Begitupun gaya yang terjadi.

Ia membuka buku itu sambil berdiri.

Beberapa siswa di perpustakaan tersebut ada yang diam-diam megamati Jovi. Dan penjaga perpustakaan di sana tengah asyik melihat acara talkshow di tivi yang menempel di dinding perpustakaan.

Jovi menyandarkan punggungnya di rak buku. Dengan satu tangan menyangga buku itu sedangkan yang lainnya ia masukkan ke saku celananya.

"Jo!" panggilan itu membuyarkan aktivitas membacanya. Ia gugup melihat siapa yang saat ini berada tidak jauh darinya.

"Fel," kata Jovi pelan.

Jovi segera menyimpan buku tadi di rak tempatnya. Lalu memandang ke arah gadis berambut lurus itu.

"Udah lama ya Jo, aku nggak ngomong sama kamu," kata Felicia pelan.

Jovi diam. Ia hanya menyunggingkan senyumannya.

"Fel..." Jovi menggantung perkataannnya.

"Apa dia berarti buat kamu, Jo?" tanya Felicia. Ia sepertinya sengaja menekankan siapa dia.

Jovi maju selangkah. "Apa maksud kamu Fel?"

Tempat berdiri mereka saat ini sedikit tidak terlihat dan bisa dibilang agak ujung. "Aku nggak mau bahas ini sebenarnya Jo," ujar Felicia.

"Kenapa sih Jo, kamu nggak pernah nganggap aku itu istimewa?"

"Fel!" tekan Jovi. Ia tidak bisa mengeraskan suaranya, karena ini di tempat yang memang seharusnya tenang.

"Jangan potong dulu,"sergah Felicia.

"Selama ini aku bersiakp kayak gitu ke kamu, kamu pikir aku nggak nahan malu? Aku tahu Jo, beberapa cewek pasti nganggap aku yang enggak-enggak. Tapi itulah aku... Aku udah nyoba buat kamu, suka sama aku. Tapi kenyataannya... Kamu lebih milih dia," jelasnya.

"Please Fel... Jangan mulai. Aku nggak mau cari musuh atau menumbuhkan musuh. Apalagi sama kamu. Nggak!" tukas Jovi pelan.

"Apa segitu bencinya kamu sama aku?"

"Nggak!" tegasnya.

"Kamu tahu kan, kalau perasaan seseorang itu nggak bisa dipaksa. Sama seperti aku. Aku nggak bisa maksain buat suka sama kamu. Aku cuma nganggap kamu hanya sebatas teman, itu aja. Please... aku harap kamu ngerti."

Felicia menunduk. Ia harus bisa menerima semua apa yang diucapkan Jovi, walaupun hatinya terasa sakit. Ia menyukai Jovi sejak komdis itu menginjakkan kakinya di sekolah elit itu. Dan pastinya ia menjadi kakak kelas. Dulu Jovi memanggilnya 'kakak'. Namun panggilan itu berubah ketika ia menjadi seangkatan. Sama seperti yang lainnya.

Dulu Jovi memanggil David, Kevin dan Frisya yang notabenya kakak kelasnya dengan embel-embel 'kakak' namun ketiganya berkata jika memanggil nama membuat mereka terlihat akrab. Apalagi mereka se-jabatan. Sama-sama komdis.

"Banyak Fel, cowok yang suka sama kamu," lanjutnya lagi.

"Tapi kamu juga tahu kan, kalau perasaanku nggak mungkin dipaksain buat suka sama cowok lain!" Felicia tetap keukeuh dengan keinginannya.

"Udah deh Fel... Please... kita masih bisa temenan."

Felicia menatap lekat cowok tinggi di depannya saat ini. Ia menghela napas panjang.

"Oke! Mulai saat ini aku nggak bakalan ganggu kamu, dan kita masih bisa temenan kan?" kata Felicia tersenyum ceria tiba-tiba.

Jovi ikut tersenyum. Ia lega.

"Janji!" Felicia mengulurkan kelingkingnya. Dengan senang hati Jovi juga membalasnya.

"Janji!"

Brakk

Seketika pandangan mereka dan beberapa anak di perpustakaan mengarah ke bagian tengah ruang itu. Di rak bundar.

Jovi terkejut melihat siapa yang tengah mengambili beberapa majalah sekolah yang jatuh.

"Maaf." itu suara Kayra.

Ia berlari keluar perpustakaan.

Kayra dengan terburu-buru menuruni tangga sambil menunduk.

Ia melihat semuanya tadi. Melihat Jovi berduaan dengan Felicia, tersenyum dan mengaitkan kelingking.

Pikirannya selalu negatif jika melihat Jovi dekat dengan perempuan lain. Apalagi tadi Felicia, yang jelas-jelas selalu membuatnya minder.

Ini bukan pertama kalinya Jovi menyakiti perasaan gadis itu. Tapi ini adalah yang ketiga. Setelah gadis Perancis dan di big pensi kemarin.

Memang, selama ini apapun alasan yang Jovi berikan untuk itu selalu Kayra maafkan. Karena pada dasarnya Kayra pribadi yang pemaaf.

Tapi tidak untuk kali ini. Pikirnya.

Untuk apa memaafkan seseorang yang terlalu sering menyakiti hati?

Ia berjalan cepat sampai-sampai tidak mengetahui orang yang juga tengah lewat di depannya. Alhasil ia menabraknya.

"Ugh..." keluh yang ditabraknya.
Ia mendongak. Ternyata Dion.

"Maaf Kak Di," katanya serak dan tetap melanjutkan jalannya menuju ruang kelas yang tidak jauh dari tempat.

Dion mengangguk. Namun perasaanya tidak enak, Kayra bersuara serak dan raut wajahnya seperti menahan sesuatu.

Tidak lama kemudian Jovi menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa.

"Kayra!" panggilnya.

Dion langsung menatap Jovi. Ia beranggapan jika ada apa-apa dengan Kayra tadi yang menyangkut Jovi.

"Jo!" panggilnya. Jovi berhenti di depan Dion.

"Lo apain Kayra, hah?!" tanyanya dengan nada keras.

"Gue... Gue nggak bisa jelasin!" Jovi langsung melengos meninggalkan sahabatnya yag berdiri mematung sambil mengepalkan tangan itu.

"Lo nyembuyiin sesuatu lagi, Jo," batinnya.

Dion mengarahkan pandangannya ke anak tangga. Felicia berjalan tergesa-gesa.

Dion semakin curiga.

Kayra, Jovi, Felicia?

Sebenarnya apa yang terjadi dengan mereka? Tanyanya dalam hati.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top