PART 16.1- PENCERAHAN DARI PARA KOMDIS

Cara yang dilakukan demi kebaikan kadang memang di luar dugaan.

###

MEREKA berdua beranjak menuju ambang pintu.

Kayra bisa melihat para komdis dan anggota OSIS akan melewati kelasnya dan sepertinya akan menuju aula. Di aula juga bisa dilihat ada seluruh siswa kelas 10.

Ia melihat Dion dan Jovi berada di yang paling depan. Kemeja yang dikenakan Dion dan Jovi mereka lipat hingga sesiku.
Kayra tersenyum samar menatap Jovi.

Pastinya komdis akan melakukan hal lain lagi yang berhubungan dengan kedisiplinan.

Untung saja sudah kelas 11. Batinnya, karena ia bisa tahu jika target para komdis kali ini hanyalah kelas 10.

"Nih pasti bakalan seru," celetuk salah satu teman sekelas Kayra.

"Seru apaan? Orang komdisnya bakal marah gitu. Kasihan gue sama yang kelas 10," sahut Ratih.

"Eh, karate! Ngapain kasihan sama yang kelas 10?" tantang cowok itu. Yah, entah bagaimana jadinya nama Ratih diplesetkan menjadi karate.

Mereka berdua bertatapan sehingga mengundang teman di samping kanan kiri mereka mengalihkan pandangan ke arah mereka berdua, kecuali Kayra.

"Stefano! Jangan panggil gue karate!" suara Ratih mulai meninggi.

Memang, di kelas Kayra yang baru ini Ratih dan Fano terkenal akan adu mulutnya. Mereka sering bercekcok, siapa lagi kalau bukan Fano yang mengawali.

Sehingga semua temannya merasa biasa saja.

"Kalian berdua bisa diem nggak sih?" tegur Risha.

"ENGGAK!" ucap mereka bersamaan.

Keduanya memandang heran satu sama lain.

"Dasar jomblo ngenes, makanya lo sampe sekarang nggak laku. Lo nya galak sih!" cibir cowok berkulit putih itu sambil tertawa mengejek.

Ratih mulai emosi.

"Dasar, playboy cap kapak!" balasnya.

Fano terlihat tidak terima.

Huh!

Mereka berdua membalikkan badan masuk lagi ke dalam kelas. Ada-ada saja kerjaan mereka berdua itu.

Sedangkan Kayra tak henti-hentinya memandang segerombolan anak OSIS yang melewati kelasnya.

Kak Jo ganteng banget ya. Pikirnya.

Ia mulai melamun. Sampai tidak sadar akan sesuatu.

"Hei!" tegur salah satu teman sekelasnya. Cowok itulah yang dulu menghadang Kayra di pintu kelas itu. Namanya Deka. Kulit sawo matang dan rambut klimis. Itu lah ciri khasnya. Dan, raja genit sebutannya.

"Eh, iya Kak." Kayra berucap polos.

"Ada Mrs Meli," ucapnya. Kayra langsung saja terkejut. Benar saja, guru yang dimaksud sudah ada di kursi guru.

Hah... malunya...

Astaga... bagaimana ia bisa tidak sadar? Ia bahkan tidak tahu jika teman-temannya sudah masuk. Sedangkan dirinya?

Melamunkan Jovi.

"Maaf Mrs," kata Kayra pelan.

Temannya yang lain hanya terkikik geli melihat kepolosan gadis itu.

"Silahkan duduk." guru bahasa inggris itu mempersilahkan Kayra.

Kayra pun melangkah menuju tempat duduknya.

***

"SEMUA DUDUK!" perintah Dion dengan suara yang menggelegar kerasnya. Ya, semua suara yang keras jika berasal dari dalam aula pasti akan terdengar menggema.

Para komdis dan OSIS berjajar di barisan depan. Menghadap ke arah semua siswa kelas 10.

Nyali siswa kelas 10 sepertinya menciut seketika.

"DI DALAM KELAS RAME, DI AULA RAME. APA MAU KALIAN?!" tanya David. Ketujuh komdis menyilangkan tangannya di depan dada. Sedangkan puluhan anggota OSIS mulai berpencar ke setiap sudut barisan. Mereka berdiri di antara pembatas kelas.

Raut wajah mereka sama. Sama seperti komdis. Tidak ada senyuman ramah.

Pasti di pikiran mereka semua ada apa ini? dulu ketika di semester ganjil mereka juga digebrak karena ada razia dadakan. Lalu sekarang masalah apa?

"Aelah... kakak-kakak komdisnya mau ngapain kita lagi sih?" salah satu siswa dari kelas bahasa berbisik pada temannya.

"Tahu tuh, siapa lagi yang buat ulah," jawab temannya tersebut.

"SEMUA NUNDUK!" perintah Dion.

Semua siswa kelas 10 menunduk.

"YANG BAWA PONSEL, MATIKAN DULU! CEPAT!" perintah Jovi.

Dengan sigap puluhan siswa di sana segera mematikan ponsel mereka.

"MENUNDUK LAGI!" saat ini giliran Frisya yang memerintah.

Dion melangakah menyusuri barisan para siswa.

"MEMALUKAN!" bentaknya dengan suara yang keras.

"KALIAN UDAH BESAR!"kata Jovi keras.

Suara mereka saling sahut menyahuti.

"COBALAH BERSIKAP DEWASA!" sahut Kevin.

"KALAU DARI AWAL TIDAK INGIN BERSEKOLAH DI SINI SILAHKAN, KELUAR!!!" bentak Jovi. Ia berjalan menyusuri tiap barisan.

"MASIH BANYAK YANG KURANG BERUNTUNG DEK!" Frisya menyahuti dengan suara yang lantang juga.

"RENUNGKAN!!!" perintah Dion.

"DULU, YANG INGIN MASUK KE SINI BANYAK, TAPI NGGAK SEBERUNTUNG KALIAN! TAPI APA SEKARANG? NGGAK ADA YANG BISA DIBANGGAKAN! SELAIN MASALAH DAN MASALAH TERUS!" bentak David.

Emosi semua komdis sepertinya meningkat. Mereka saling adu suara dan menyahuti.

"SEMUA NUNDUK! JANGAN ADA YANG MELIRIK KANAN KIRI!!!" bentak Frisya.

"KITA TAHU, PASTI DI ANTARA KALIAN ADA YANG MEMAKSAKAN KEHENDAK ORANG TUA KALIAN."

"KALIAN BISA BERBANGGA DIRI KARENA BISA MASUK SEKOLAH INI, TAPI SELALU INGAT! KALIAN HANYA BERUNTUNG!" Jovi menyahuti dengan keras.

"NGGAK ADA PRESTASI YANG BISA DIBANGGAKAN!" Audy menyahuti sambil berjalan pelan.

"UNTUK ANAK IPA DAN IPS! DENGARKAN!" kata Dion.

"SAYA DENGAR ADA YANG MENGHINA ANAK DARI JURUSAN BAHASA, BENER?!" lanjutnya lagi.

"ASAL KALIAN TAHU, MUNGKIN DI SEKOLAH LAIN BAHASA DIANGGAP KELAS PALING BAWAH, TAPI DI SINI TIDAK! BAHASA MALAH LEBIH UNGGUL!" Frisya menyahuti.

Yah, mungkin Frisya tidak terima karena dia berasal dari jurusan itu.

"JANGAN PERNAH MENGHINA ANAK DARI JURUSAN BAHASA! KARENA TANPA BAHASA KALIAN NGGAK BISA GO INTERNASIONAL, INGAT ITU!!!" sahut Bryan.

"SEMUA JURUSAN SAMA, ITU YANG KALIAN PILIH SEJAK MASUK DI SINI." David berjalan dengan angkuhnya.

"KALAU KITA DENGAR ADA YANG MENGHINA ANAK BAHASA MAUPUN SEBALIKNYA, HADAPI SAYA!" kata Jovi.

"RODRIGUEZ NGGAK PERNAH MELIHAT SESEORANG DARI STATUS EKONOMI! ENGGAK!" Dion menghentak-hentakkan pelan telapak kakinya sambil melihat seluruh siswa kelas 10.

Sedangkan anggota OSIS yang lainnya tersenyum mengejek diam-diam.

"NGGAK USAH MEMAKSA ORANG TUA KALIAN UNTUK MEMBAYAR BIAYA SEKOLAH KALIAN! RODRIGUEZ BISA MEMBERI KERINGANAN, ASAL MEREKA KE SINI! DENGARKAN BAIK-BAIK!" lanjut Dion.

"YANG BERANGKAT SEKOLAH NGGAK DENGAN KENDARAAN SENDIRI, JANGAN MEMAKSA ORANG TUA KALIAN UNTUK MEMBELIKAN!" lanjutnya lagi.

"KASIHAN MEREKA. MEREKA MEMBIAYAI KALIAN ITU NGGAK MURAH! MEREKA KERJA, BANTING TULANG DEMI ANAKNYA BIAR DAPAT PENDIDIKAN YANG BAIK!"

"Bayangkan Dek... tadi pagi... kalian masih bisa lihat mereka, diberi uang saku dan kalian pergi gitu aja tanpa pamit. Kalian nggak pernah tahu sakitnya hati orang tua kalian jika kalian seperti itu." suara komdis yang tadinya keras tiba-tiba menjadi melankolis.

"Renungkan! Mereka rela berpanas-panasan demi mendapatkan uang. Di sini kalian enak-enakan. Apa itu nggak kurang ajar?!"

"Mereka hanya ingin kalian mencari ilmu yang benar."

"Tapi kalian nggak tahu yang akan terjadi nanti..."

"Kalian pulang... dan di rumah kalian sudah banyak orang..."

Suasana hening mulai terjadi. Air mata haru mulai bermunculan di wajah siswa kelas 10 yang masih menunduk.

Audy dan Frisya bisa membawakan penuturan itu hingga mengena ke mereka semua.

"Ada bendera kuning di depan rumah kalian... " semua komdis diam, begitupun dengan anggota OSIS. Yang berbicara saat ini hanyalah Audy dan Frisya.

"Apa yang kalian lakukan? Menyesal? Nggak ada guna! Itu yang terakhir kalinya kalian melihat mereka."

Hiks... Hiks... Hiks...

Suara isakan mulai terdengar agak kencang. Beberapa siswa perempuan terisak, mungkin mereka menyadari apa yang dimaksud para komdis.

Beberapa anak cowok terlihat berkaca-kaca.

"Mama..." terdengar ada yang memanggil nama ibunya pelan.

"Apa yang akan kalian lakukan?" ucap Audy pelan.

"Minta maaf pun nggak berguna, Dek!" Frisya menyahuti.

"Apa ini balasan yang kalian berikan? Jawab... "

"Sampai mereka... " Audy menggantung ucapannya.

"Ingat, Dek! Waktu nggak bisa diputar kembali... " Audy bersuara sangat lirih... Terdengar gemetar.

Suara isakan masih bisa terdengar sampai beberapa saat kedepan.

Tanpa diduga Dion dan Kevin duduk di kursi dan sudah siap dengan gitar akustik mereka.

Namun kelas 10 masih menunduk sehingga tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh para komdis.

Dion mulai memainkan senar gitarnya.

Otomatis sebagian siswa kelas 10 menghadap ke depan.

"TETAP NUNDUK! " bentak Bryan.

Engkaulah nafasku
Yang menjaga di dalam hidupku
Kau ajarkan aku menjadi yang terbaik

Suasana hening mulai terjadi. Namun isakan air mata malah semakin menjadi.

Kau tak pernah lelah
Sebagai penopang dalam hidupku
Kau berikan aku semua yang terindah

Aku hanya memanggilmu ayah...
Di saat ku kehilangan arah...
Aku hanya mengingatmu ayah...
Jika aku tlah jauh darimu...

Dion menyanyikan lagu itu dengan penuh penghayatan. Sungguh, ini merupakan surprise yang tidak terduga dari para komdis.

Kau tak pernah lelah
Sebagai penopang dalam hidupku
Kau berikan aku semua yang terindah

Aku hanya memanggilmu ayah...
Di saat ku kehilangan arah...
Aku hanya mengingatmu ayah...
Jika aku tlah jauh darimu...

Di sela nyanyian yang dibawakan Dion, kedua komdis mulai berkata lagi.

"Renungkan, Dek!"

Aku hanya memanggilmu ayah
Di saat ku kehilangan arah
Aku hanya mengingatmu ayah
Jika aku tlah jauh darimu

Aku hanya memanggilmu ayah
Di saat ku kehilangan arah
Aku hanya mengingatmu ayah
Jika aku tlah jauh darimu

Ketika sudah memasuki bagian akhir lagu, dion dan Kevin memainkan lagi. Dengan lagu yang berbeda pasti.

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah..

Seperti udara kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas, ibu... ibu...

Derai air mata tidak henti-hentinya mengalir.

Mungkin inilah yang disebut "Pencerahan".

Mereka menyanyikan lagu itu bersama hingga selesai.

Sungguh hebat para komdis membuat mereka sadar hanya dengan penuturan saja. Semua itu tidak lepas dari siapa yang merencanakan ide tersebut. Ya, Dion lah yang merencanakan itu sedemikian hingga.

Setelah setengah jam semua siswa kelas 10 diberi pencerahan oleh para komdis, mereka semua kembali ke kelas masing-masing.

***

Setelah urusan di aula atas tadi sudah selesai dan semua murid kelas 10 sudah kembali ke kelas masing-masing, tidak dengan Dion. Masih ada masalah yang belum ia selesaikan. Yaitu Ricky.

Ketika berada di aula atas tadi ia tidak melihat cowok yang kemarin hari berkelahi dengan si biang kerok itu. Dion khawatir jika yang ia dengar itu menjadi kenyataan. Siswa itu... akan keluar dari Rodriguez.

Ia masuk ke ruang BP untuk menyelesaikan permasalahan.

"Siang Bu Lina," sapa Dion pada wanita paruh baya yang tengah duduk di tempatnya itu.

"Siang, sudah selesai urusan di aula tadi?" tanya Bu BP itu.

Dion mengangguk.

Yah, sepertinya sudah menjadi hal biasa jika komdis melakukan tugas dan hal-hal yang menyangkut siswanya. Karena itu memang wewenang yang diberikan para komdis.

"Bu, boleh saya lihat daftar bio data siswa kelas 10?"

"Untuk apa?"

"Ada urusan yang sangat penting," katanya.

Bu lina kemudian membuka-buka map besar dan tebal yang berada di lemaari sampingnya.

"Ini." dia memberikan map berwarna biru tua itu pada Dion.

Di ruangan BP hanya ada Dion dan Bu Lina saja.

Dion kemudian membuka map itu. Mencari siapa nama cowok yang ia temui kemarin hari.

Setelah beberapa saat kemudian tangannya berhenti membalik setiap lembaran kertas tersebut.

"Arsyad," katanya pelan.

"Ada apa Aldi?" tanya Bu Lina.

"Bu, boleh saya tahu tentang siswa ini?" ia menunjukkan bio data siswa bernama Arsyad itu.

Bu lina melihat kertas di map itu.

"Dia Arsyad. Murid berprestasi, dia masuk ke sini karena Rodriguez yang meminta. Dia... anak panti," kata Bu Lina pelan.

"Bu Lina, sudah mendengar tentang dia dengan Ricky yang berkelahi itu?" tanya Dion.

Bu Lina melepas kaca matanya sebelum berbicara lagi.

"Hem... Ricky sudah saya kembalikan ke orang tuanya."

"Maksudnya?" Dion tidak mengerti.

"Ricky sudah saya DO dari sini. Saya tahu Aldi, kamu juga akan menyelesaikan masalah dia kan?"

Dion tersenyum kecil ternyata hal yang ingin dia selesaikan sudah didahului oleh pihak BP.

"Kamu sudah bekerja keras dalam masa kepemimpinan kamu Aldi, sekarang giliran kamu fokus dengan ujian kamu saja," tutur Bu lina.

"Tapi Bu... saya merasa ini adalah tanggung jawab saya yang belum terselesaikan." Dion tetap dengan pendiriannya.

"Apanya yang belum selesai?"

"Siswa yang bernama Arsyad itu... saya takut dia akan keluar dari Rodriguez. Karena kemarin, saya tidak sengaja mendengar dia berkata begitu ketika berkelahi dengan Ricky," jelas Dion. Ia terlihat sendu.

Bu lina menatap tak percaya dengan apa yang dikatakan Dion.

Siswa bernama Arsyad itu dengar-dengar sangat berprestasi walaupun ia bukan anak aksel.

"Sebenarnya ini masalah pribadi yang tidak boleh diberitahukan sembarang orang," ujar Bu Lina.

Dion menatap serius guru BP berusia 40-an itu.

"Arsyad dan Ricky itu sebenarnya saudara. Walaupun berbeda ayah dan ibunya. Ayah kandung Arsyad sudah meningal.

Lalu ibunya menikah dengan seorang duda yaitu ayah Ricky.
Ricky sepertinya memang membenci Arsyad. Karena itu sejak SD Arsyad memilih untuk tinggal di panti untuk membantu sesamanya dan tidak merepotkan orang tuanya.
Ibunya sering membujuknya, tapi ia tidak mau. Ayah tirinya juga seperti itu. Hingga dia dan Ricky dipertemukan di sini.
Ricky mungkin tidak terima melihat Arsyad. Ia beranggapan ibu Arsyad lah yang merusak keluarganya dan hanya memanfaatkan ayahnya saja.
Padahal tidak," jelas Bu Lina panjang lebar.

"Bagimana ibu bisa tahu semua itu?"

"Kamu lupa saya guru BP? Setiap guru memiliki trik-triknya Aldi untuk menyelesaikan sebuah masalah yang berhubungan dengan muridnya," kata Bu Lina sambil tersenyum.

"Yasudah Bu, saya permisi. Izinkan saya menyelesaikan masalah ini. Ini yang terakhir sepertinya. Sebelum regenerasi selanjutnya," ujar Dion sambil berdiri.

"Silahkan."

Dion menyalami Bu Lina lalu keluar ruangan tersebut.

***
Bab ini edisi revisi, habis dapet ide lagi buat nambahin sesuatu di pencerahan hehe

Dylan Jordan as Stefano Imanuel (teman sekelas Kayra)

***

----Nadya----

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top