VOLUME 2: Chappu 十一 [Hatsudayori]

Pukul tujuh malam di penghujung tahun yang akan selesai enam jam lagi. Tepi sungai Sumida terlihat cukup ramai. Beberapa muda-mudi berdiri di jembatan, menikmati indahnya kerlap-kerlip lampu yang sengaja dipasang di sekitaran sungai. Hiasan pohon cemara warna-warni berdiri tegak di setiap tempat: depan pertokoan, rumah-rumah, sekitar alun-alun.

"Indahnya."

Akibara bergeming di antara orang-orang. Tepi sungai yang diterangi cahaya lampu membuatnya tenggelam dalam kesunyian. Ia merasakan hawa yang teramat dingin meski mantel yang ia gunakan sudah cukup tebal. Sudah hampir tiga puluh menit ia berada di sana menunggu seseorang. Sudah tiga hingga empat kali netranya melirik jam yang tergelang di tangan. Setetes dua tetes rintik salju jatuh tenang di atas permukaan smartwatch tersebut.

"Maaf membuatmu menunggu." Suara itu datang bersamaan dengan derap langkah dari belakang Akibara.

"Kau sangat--"

Kata-katanya mengambang, bak melihat sosok Dewi nan indah jelita. Mizuno tampil dengan balutan mantel berwarna cokelat yang serasi dengan warna rambutnya, rok pendek sedikit naik ke atas lutut yang tampak feminin. Senyum mengembang bagaikan adonan yang diberi soda kue.

"Ah, aku punya sesuatu untukmu malam ini."

Kemudian Mizuno merogoh saku mantelnya, mengeluarkan telepon genggam lalu melepas sarung tangan. Diketiknya sesuatu di layar monitor itu. Setelah beres, ia menunjukkannya kepada Akibara agar dibaca dengan saksama. Tulisan itu berisi tiga baris frasa kanji yang diketik secara horizontal. Kira-kira isinya begini:


Akibara terdiam, fokus membaca tiga butir frasa itu. Tanpa ia sadari, sudut bibirnya tersungging. Ada desir aneh yang muncul tiba-tiba di dalam dada. Seperti perasaan gugup bercampur senang.

"Maksudmu, lampion di sekeliling kita ini menemaniku sejak tadi? Hmm, kata-kata yang indah," gumamnya.

"Haiku* khusus untukmu yang sudah lama menungguku di tempat ini," sahut sang gadis seraya mengedarkan pandangan ke sekitar sungai.

"Aku bahkan tidak pernah mendapatkan nilai di atas rata-rata saat pelajaran sastra, kecuali jika itu menggambar."

Celetukan Akibara terdengar masuk akal bagi Mizuno. Lelaki itu memang sangat tidak mahir dalam berpuisi. Sekalipun demikian, ia menganggap gambar-gambar yang Akibara buat merupakan puisi tersendiri baginya.

"Kapan kau akan membuat cerita komik tentang diriku? Ha?"

"Tidak akan pernah."

Tawa riang terdengar amat mengejek. Dengan kasar Mizuno mencubit pipi Akibara, membuatnya meringis kesakitan. Ibu jari dan telunjuknya sudah sangat hafal dengan kulit wajah itu. Akibara hanya bisa mengaduh, mengikuti tarikan yang jemari Mizuno lakukan untuk mengurangi rasa sakitnya. Gadis ini benar-benar sangat usil.

"Kau! Lepaskan!"

"Tidak mau, sebelum kau mengajakku ke tempat yang lebih baik dari tempat ini."

"I-iya, iya. Ayo kita ke tempat lain saja."

Mizuno melepas cubitan mautnya. Ia tampak berpikir sejenak. "Aku ingin makan manisan. Kita beli permen kapas, ya!"

Mendengar nada manja Mizuno, Akibara menghela napas panjang. Ia harus benar-benar menuruti setiap perkataan dari Mizuno. Jika tidak, maka pipinya itu akan terancam merah membengkak. Akibara tidak ingin hal itu terjadi.

Keduanya melangkah dari tepi sungai menuju ke penjual permen kapas. Untung saja gadis itu tidak meminta es krim di saat dingin begini. Setiap Mizuno membeli makanan, itu tandanya Akibara juga harus ikut menikmati makanan yang sama seperti dirinya. Bayangkan saja jika musim dingin begini dia disuruh makan es krim. Pulang dari jalan-jalan pasti langsung terkena flu.

Membeli permen kapas, menikmati baumkuchen ukuran kecil, jalan-jalan di taman, foto bersama, semuanya dilakukan dengan gembira di malam itu. Keduanya tampak senang dan bahagia. Setelahnya mereka memutuskan untuk pulang ke rumah karena Mizuno sudah terkantuk di tengah jalan.

Mereka berdua menjauh dari keramaian, duduk berdampingan di salah satu kursi panjang di trotoar. Jam menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Keramaian di tempat yang mereka kunjungi tadi belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, bahkan semakin banyak yang datang.

"Akankah kita selalu jalan-jalan bersama seperti ini esok hari?" tanya Mizuno selagi mulutnya menguap lebar.

"Kenapa bertanya seperti itu?" heran Akibara.

"Ah, lupakan saja. Sebaiknya kau memesan taksi untukku."

"Untuk kita."

Setelah obrolan singkat itu, Akibara berdiri di tepi jalan, bermaksud menghentikan taksi di tengah-tengah gerimis salju. Dirinya pun sudah cukup lelah dan mengantuk.

"Ayo berdiri!" pekik Akibara kepada Mizuno yang semakin nikmat memejamkan mata di tempat duduk.

Sebuah mobil berhenti di depan Akibara. Ia buru-buru meraih lengan Mizuno yang seketika tercekat. Sepasang mata yang awalnya sayu berubah menjadi segar kembali. Namun terlihat seperti orang kesakitan.

"Ada apa dengan lenganmu?" tanya Akibara penasaran.

"Ini ... ah, tidak apa-apa," timpalnya, "sebaiknya kita cepat naik ke taksi itu."

Dua sejoli itu kemudian menaiki mobil. Mereka melewati jalanan yang sedikit lebih ramai dari biasanya. Di sepanjang perjalanan, tak ada suara apapun. Tidak ada percakapan. Tidak ada batuk maupun dehaman. Namun Akibara menanyakan sesuatu setelah hampir larut dalam suasana hening.

"Lukamu itu gara-gara ayahmu, kan?"

"Eh? Sudahlah! Tidak perlu dipikirkan. Aku baik-baik saja. Ini cuma luka karena aku ceroboh."

Meskipun tertutupi oleh mantel, tetapi Akibara tahu luka yang ada di lengan Mizuno cukup parah. Mungkin saja lebam bekas dipukul dengan benda keras. Mungkin juga luka sayatan benda tajam.

Ia tidak tahan melihat gadis yang selama ini mewarnai hidupnya menderita. Pernah, sekali waktu ia datang menjemput Mizuno yang rencananya akan mengerjakan tugas sekolah bersama. Saat itu pagi di hari minggu. Di pintu rumah, Mizuno sedang terkapar lunglai dengan banyak sekali memar di sekujur lengan dan wajahnya. Di sana ia juga mendapati ayah Mizuno yang beringas itu berdiri menatap anaknya dengan tatapan sinis. Saat itu, Akibara tidak bisa melawan orang dewasa. Dirinya hanya seorang anak SMA biasa. Ia kemudian mengajak Mizuno pergi ke rumahnya dan mengobati luka-luka.

Akibara menatap lekat-lekat gadis yang tengah tertidur pulas di jok mobil di sisinya. Ia segera mengambil ponsel dari saku jaket. Lalu mengetik sebuah pesan singkat untuk Mizuno agar dibacanya setelah sampai di rumah nanti.

"Terima kasih untuk malam ini, Mizuno."

Dariku, Akibara Rokusaki.

***

"Uhh ...."

Rokusaki terbangun, tak sadar dirinya terlelap di atas meja kerjanya. Dilihatnya jam beker yang menunjukkan pukul lima pagi. Kepalanya kembali merasakan sakit yang luar biasa. Ia mengalami tidur nyenyak disertai mimpi buruk. Tidurnya memang singkat, tetapi mimpinya itu terasa sangat panjang dan membuat ia bangun dengan keringat membasahi seluruh tubuh.

Astaga, mimpi itu lagi.

Ia melangkah dari tempat duduk, berniat menuju ke kamar mandi di sebelah ruang tidurnya. Dengan perlahan melangkahkan kaki melewati tubuh Olomos dan Antroma yang terbaring di atas lantai kamar. Tumben sekali Antroma tidur di atas lantai? pikirnya mengalihkan perhatian sekejap ke arah wanita itu.

Sesampainya di kamar mandi, Rokusaki membasuh mukanya agar terasa lebih segar. Setelah itu baru ia menggosok deretan gigi putihnya.

Kapan dia pergi dari mimpiku? Ah, sepertinya memang tidak bisa.

Rokusaki telah selesai bersibuk diri di kamar mandi. Kala dirinya melangkah menuju keluar ruangan, tiba-tiba sosok gadis yang selama ini menghantuinya kembali muncul di hadapan.

"Mizuno?"

"Ya. Ini aku, Akibara."

Di tempatnya, Rokusaki tak dapat berkutik. Ia berusaha menahan dadanya dari degup kencang, mencoba untuk mengalihkan pikiran dari gadis itu. Namun gadis itu terlalu nyata terlihat dari sepasang netranya.

"Kau masih merindukanku?" tanya sosok tersebut.

Rokusaki tertegun, "Aku--aku selalu merindukanmu, Mizuno. Aku selalu memikirkan dirimu."

Bayangan Mizuno tersenyum, "Terima kasih atas perhatiannya. Namun asalkan kau tahu, kau tidak perlu meratapi kematianku lagi. Janganlah bersedih karenaku! Janganlah berpikir tentang penyesalanmu!"

Sekali lagi Rokusaki merenung. Kepalanya tertunduk lesu, tidak tahan lagi menatap sosok Mizuno yang ada di hadapannya. Rokusaki memang bersalah karena telah memberi penyesalan terhadap dirinya sendiri. Kehadiran sosok Mizuno selama ini bukanlah karena dia menghantuinya, tetapi perasannya sendirilah yang sudah mengusik pikiran dan hidupnya. Halusinasi Rokusaki terlampau tinggi menghadapi hal seperti itu sendirian.

"Ikhlaskanlah diriku, Akibara. Tetaplah hidup untuk dirimu sendiri!"

Air mata tak dapat dibendung. Rokusaki nenangis sejadi-jadinya. Jika saja dirinya masih bisa memeluk Mizuno, saat ini juga dia akan melakukannya. Sekarang dirinya hanya bisa menangis dan meratap.

"Aku akan ... aku akan berusaha untuk mengikhlaskan dirimu. Aku berjanji," lirih Rokusaki sambil sesenggukan. Tubuhnya jatuh bersimpuh. Kedua tangannya bertumpu pada lutut.

"Selamat tinggal!"

Seketika itu, sosok Mizuno lenyap. Ada seulas senyum yang terlukis sebelum sosok itu menghilang dari hadapan Rokusaki. Rokusaki pun bangkit dari bersimpuhnya. Kini ia harus lebih menjalani hidup tanpa membawa penyesalan terhadap orang lain. Yang patut ia lakukan adalah mendoakan Mizuno di alam sana.

- TBC -

Footnote:

*Haiku: sejenis puisi Jepang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top