VOLUME 1: Chappu 一 [Natsu]
Rokusaki termangu di meja kerjanya. Sebatang pensil ia ketuk-ketukkan di sebelah kening, amat pelan. Sesekali ujung pensil yang tumpul itu ditempelkannya ke dagu. Ia sudah mirip seperti seorang guru yang tengah meneliti hasil tugas siswa-siswi. Beberapa lembar kertas putih nan bertoreh terpajang rapi di atas meja gambar, lengkap dengan penggaris besi serta penghapus berbahan karet yang siap menjalankan fungsi masing-masing.
Sudah sekian menit Rokusaki bergumam bak mengingat sesuatu dalam pikirannya. Sesekali membuang napas seraya memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Otak seakan membeku, namun terasa panas baginya. Goresan-goresan indah di atas kertas putih membuat pandangannya meredup. Baru kali ini, seorang komikus seperti dirinya mengalami hal yang sangat tidak diduga, sebelumnya ia tidak pernah mengalami pemberhentian sebagaimana saat ini. Tetapi bukan berarti proyek kali ini akan berujung pada kegagalan. Ia hanya perlu mengistirahatkan diri sejenak setelah bertaruh waktu tiga jam lamanya di hadapan meja gambar.
Pesta hanabi* di luar sana tampak begitu meriah. Langit malam dihiasi warna-warni bunga api nan memukau. Indah meskipun hanya sesaat. Tetapi lelaki itu tak acuh. Ia lebih menyukai kamarnya yang tertutup lagi sunyi. Baginya, kamar merupakan satu-satunya area yang aman untuk bersembunyi dari kerasnya dunia luar. Muak ketika ia senantiasa melihat anak-anak berkelahi di gang-gang sempit, bertemu bapak-bapak yang berjalan sempoyongan di trotoar karena habis menikmati berbotol-botol sake**, atau mendapati kebisingan yang berasal dari kendaraan kota.
Pukul delapan malam, akhir dari kesibukannya berpikir telah ditentukan. Sang lelaki meletakkan pensil yang sedari tadi ia pegang di sisi bawah alas meja yang sedikit miring itu. Tak lama setelah itu, ia merasakan gejolak aneh dari perut dibarengi dengan suara seperti lenguhan sapi. Bunyi dari sana menandakan bahwa Rokusaki perlu memakan sesuatu.
Segera, kakinya melangkah keluar dari kamar, mencari sesuatu di dapur yang sekiranya bisa dimakan. Ia lalu meraih gagang kulkas dan membukanya. Hanya terdapat beberapa asparagus dan daging ikan cunang mentah. Sedangkan ia sama sekali tidak bisa memasak. Paling-paling, ia hanya pandai merebus mi instan dan menghangatkan makanan kaleng.
"Baiklah, sepertinya ini akan menjadi penderitaanku yang selanjutnya."
Rokusaki tidak ingin mati kelaparan. Dengan terpaksa dirinya harus keluar beberapa meter jauhnya, mencari setidaknya mi instan dan satu-dua makanan ringan. Ia pun bergegas kembali ke kamar, mengenakan jaket tipis karena terpaan angin di luar ruangan akan cukup menggelitik kulit. Tiga hari yang lalu justru lebih parah. Hujan turun dengan deras mengguyur Tokyo dan sekitarnya. Untung saat itu Rokusaki tidak sedang kekurangan stok makanan seperti sekarang ini.
Lelaki berusia 21 tahun itu melangkahkan kaki, keluar dari rumah dua tingkat itu. Keramaian kota begitu jelas saat dirinya sampai di persimpangan jalan. Pesta kembang api belum juga usai. Gadis-gadis mengenakan yukata*** terlihat berseliweran di sekitar. Tak jauh dari tempat Rokusaki berjalan, tepatnya di sekeliling sungai Sumida, kerumunan orang terlihat sangat banyak. Untuk apa lagi mereka di sana jika bukan karena pesta hanabi? Pesta yang diadakan setiap sabtu terakhir di bulan Juli tersebut tidaklah mungkin mereka lewatkan begitu saja.
Tidak ada nyanyian serangga semi--yang menandakan awal musim panas--di Tokyo. Tidak ada lonceng angin yang biasanya digantung di depan pintu rumah orang-orang. Sedikit lebih senyap, Rokusaki menikmati perjalanannya menuju minimarket terdekat sebelum seorang bocah perempuan tiba-tiba menangis di depan sebuah stan permen kapas. Tangisannya cukup keras, membuat raut muka si penjual permen kapas kebingungan harus melakukan apa.
Berisik sekali!
Karena kasihan--lagi pula ia benci mendengar suara tangisan--Rokusaki menghampiri anak gadis yang tengah mengelap air matanya dengan kedua tangan sembari sesenggukan. Ia memberi isyarat pada si penjual permen kapas agar mengambilkan satu. Diraihnya tusuk kertas berbalut gumpalan manis nan empuk dari tangan penjual itu, lalu bertinggung menyamakan tubuh sang bocah. Gumpalan legit itu diberikannya bersamaan dengan senyuman kecil.
"Ini untukmu. Lain kali bawalah uang jika ingin membeli sesuatu, ya," ujar Rokusaki.
Sang bocah meraih permen pemberian Rokusaki dengan amat gembira, sirna sudah kesedihannya. "Terima kasih, Kak."
Setelah membayar, Rokusaki kembali melanjutkan perburuan menuju ke sebuah minimarket tepat di sebelah stan permen kapas. Pintunya terbuka secara otomatis ketika dirinya melangkahkan kaki. Tanpa menunggu lama, ia bergegas mencari-cari apa saja yang perlu dan ingin ia makan. Mengambil dua kap mi instan, dua bungkus keripik kentang, serta sekaleng es kopi, kemudian membawa semua itu ke meja kasir.
"Totalnya 1.600 yen."
Jemari si lelaki merogoh dalam-dalam saku celana. Secarik kartu yang terselip di dompet beralih ke tangan kasir. Rokusaki lalu keluar bersama plastik isi macam-macam. Semua yang perutnya inginkan sudah berada di genggaman. Ia hanya perlu kembali ke rumah, memanaskan air di dapur, lalu menikmati hidangan hangat di dalam kamar sunyinya.
Sepasang kaki itu melangkah menerobos gelap malam. Sedang di sisi lain, orang-orang masih menikmati perayaan meriah yang diadakan setahun sekali. Ada yang tengah duduk manis bersama pasangan, ada yang menikmatinya dengan keluarga kecil mereka, dan ada juga yang berdiri sendiri.
Melihat pemandangan itu semua, Rokusaki seketika mematung. Gejolak di dalam dirinya mencuat. Terasa degup tegang berbalut perasaan kalut menyerang sanubari. Ia sedikit mengingat serpihan-serpihan masa lalu bersama dengan orang-orang yang ia cintai dan sayangi. Serpihan memori itu terus berlanjut, seakan ingin bersatu kembali lalu menohok tepat di antara sepasang tulang rusuk.
Bunyi klakson mobil yang lewat di depannya membuyarkan suasana. Rokusaki kembali dari masa kelam, memutar posisi. Ia melanjutkan perjalanan menuju hunian minimalis yang jaraknya tinggal dua blok lagi. Rumah yang cukup mewah bekas peninggalan sang ayah, hanya satu bagian yang ia suka dari tempat itu. Selebihnya hanya menyisakan luka dan duka. Meski begitu, terkadang dua hal tersebutlah yang dapat membuatnya sadar akan pentingnya memperjuangkan diri sendiri tanpa harus melibatkan orang lain. Masa-masa inilah, sang komikus tengah melakukan hal itu.
***
"Apakah bulan ini akan ada kelanjutannya? Kita tunggu saja kehadiran volume kesembilan dari serial komik Olomos Si Penakluk Planet Arghon ...."
Secuil suara dari televisi tembok menjadikannya sebagai teman sunyi. Sembari menyesap kuah mi beraroma gurih, Rokusaki memposisikan diri duduk di atas ranjang dengan kepala menghadap layar gambar bergerak itu. Ia sedikit khawatir melihat tayangan berisi info seputar komik. Memang, persaingan di dunia sastra kini semakin meningkat. Banyak kreator-kreator muda yang berbakat mulai bermunculan. Mereka saling menunjukkan puluhan karya terbaik mereka di permukaan. Di samping itu, peminatnya bukan hanya dari kalangan remaja saja. Namun banyak orang dewasa yang juga memberi perhatian lebih pada komik. Alhasil, keuntungan demi keuntungan sukses diraih. Tentu saja bagi mereka yang mau dan rela duduk seharian di depan meja gambar sembari bermain jari di atas kertas.
"Hanya komik yang bisa membuatku hidup."
Itulah moto yang selalu Rokusaki teguhkan untuk dirinya sendiri. Terlebih saat ini sesuatu dalam pikirannya seperti menolak diajak bekerja sama. Agaknya ia perlu menanam lebih kuat frasa itu ke dalam diri. Jangan sampai hal-hal lain membuat impian yang selama ini ia idam-idamkan kandas begitu saja.
Sang pemuda telah usai melahap hidangan. Kini saatnya ia kembali bercengkerama bersama alat-alat gambar, ditemani sekaleng kopi dingin juga keripik kentang. Beringsut mencari titik nyaman, tubuh Rokusaki sudah siap sedia di meja kerja yang bersebelahan dengan ranjang tidur.
"Sial, apa yang harus kugambar sekarang?" gerutunya seraya kedua tangannya memegangi kepala. "Baiklah, fokus ... tenang."
Otaknya seakan-akan tersesat entah ke mana. Bagaimana jika minggu ini dia gagal menyelesaikan satu bab untuk disetorkan ke editor? Apa yang akan ia katakan kepada para penggemar setia komiknya di media sosial?
"Haah," keluh Rokusaki, menghela napas. "Andaikan mereka jadi tokoh sungguhan, pasti akan kusuruh menyelesaikan cerita mereka sendiri."
Rokusaki bersandar di kursi. Kedua matanya terpejam, membayangkan tokoh-tokoh dalam komiknya beraksi. Imajinasi seperti itu seringkali ia renungkan, kemudian segudang ide bermunculan, mengalir bagaikan aliran air dari pegunungan menuju dataran rendah. Namun kali ini aliran air itu terhalang oleh sebuah batu besar. Rokusaki tak bisa menjangkau celahnya, membuat air terhenti sampai di situ.
Di saat si pemikir tengah menjelajah imaji, sebuah suara perempuan entah dari mana asalnya membuat ia terlonjak lalu jatuh dari kursi.
"Dasar tukang gambar amatir ...."
Selanjutnya, ia terperangah melihat sinar putih menyilaukan mata, berpendar dari kertas-kertas bergambar dua tokoh yang sedang bertarung. Kertas-kertas itu lama-kelamaan makin bersinar, lebih terang ... lebih terang.
Retina Rokusaki tak kuat menerima pancaran sinar aneh itu karena seisi kamar disinari cahaya putih. Spontan ia memicingkan mata. Lamat-lamat ia melihat dua sosok tengah melayang di hadapannya. Awalnya Rokusaki sempat takut, barangkali mereka para maling yang membobol rumah dengan cara sulap atau sejenisnya. Tetapi ketakutannya berakhir setelah mendapati dua sosok aneh nan nyentrik terpampang nyata.
Tentu ia sangat mengenali sosok-sosok tersebut. Satu orang perempuan dengan pakaian besi berwarna kombinasi biru-putih mengilap, rambut putih panjang terurai, telinga dilengkapi dengan benda mirip mikrofon, serta terpajang kacamata unik di mata kanannya.
Sedang satu figur lainnya ... lebih seperti model kit yang Rokusaki koleksi di etalase. Pakaian kelabu serbalogam bertajuk android dengan persendian berwarna hijau menyala, kepalanya tertutup helm yang dilengkapi dengan sepasang antena. Di salah satu lengannya terdapat senjata berupa pedang laser.
Sekali lagi, Rokusaki tak dapat mempercayai apa yang saat ini ia lihat. Ia yakin sekali bahwa ini hanyalah mimpi ... atau berkhayal. Ia terlalu lelah lantaran pekerjaannya yang akhir-akhir ini memberatkan.
Ka-kalian ....
Olomos?
Antroma?
-TBC-
Footnote:
*Hanabi: Pesta kembang api di Jepang.
**Sake: Salah satu jenis minuman keras. Biasanya terbuat dari beras yang difermentasi.
***Yukata: Pakaian sejenis kimono yang biasa digunakan saat perayaan-perayaan musim panas, kadangkala dipakai seusai mandi. Yukata lebih mudah dikenakan daripada kimono.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top