Chappu 十 [Hana]

"Baiklah, saatnya beraksi lagi!" pekik Olomos berapi-api.

"Kita lanjutkan pertarungan kita tempo hari, wahai Olomos," tantang Antroma di hadapannya.

"Hah, akui saja kekalahanmu! Satu sayapmu itu sudah kutebas. Apakah kau masih belum kapok juga?"

"Jangan harap aku mengangkat bendera putih. Ini demi menjaga planet Arghon dari orang licik sepertimu."

Tatapan Antroma amat tajam. Bagi siapa saja yang mendapat sorot abu-abu tajam tersebut, maka sudah dipastikan mental orang itu ciut sebelum berkelahi. Namun tampaknya Olomos tidak mudah terintimidasi olehnya. Lelaki yang dijuluki Sang Penakluk oleh para pembaca komik Chocomilk-sensei itu justru berbalik melayangkan pandang.

Atmosfer di dalam ruangan seketika berubah total, dari yang awalnya sejuk karena ulah pendingin ruangan, kini menjadi naik suhu melebihi suhu normal.

Bak dua serigala yang menunggu salah satunya menerkam, keduanya terlihat menyiapkan senjata dan kuda-kuda terbaik mereka. Yang satu mulai menghunuskan pedang laser, sedangkan satu lagi berniat menghalau dengan tongkat peraknya tanpa gentar.

"Rasakan ini, Antroma!"

"Takkan kubiar--"

"Kalian sedang apa?"

Dua sosok itu mematung kala pintu ruangan dibuka oleh seseorang bersamaan dengan terlontarnya sebuah pertanyaan.

"Apa yang kalian lakukan di kamarku? Mengobrak-abrik buku, pakaian, dan juga meja kerjaku?"

Antroma dan Olomos bergeming. Buku-buku memang terlihat berserakan di lantai kamar. Puluhan kertas kosong memenuhi sebagian sudut. Namun, itu bukan karena ulah pertarungan mereka berdua. Buku-buku dan kertas-kertas itu sudah berantakan sebelum keduanya memutuskan untuk adu senjata. Itu karena Antroma suka sekali membaca, tetapi sehabisnya buku itu tidak ia kembalikan ke rak seperti semula. Juga Olomos yang sangat hobi membuat origami dari kertas sampai-sampai ia tidak menyadari sudah hampir seonggok kertas putih berbagai bentuk bertebaran banyak memenuhi sisi kamar.

Rokusaki geleng-geleng kepala. Ia tidak habis pikir dengan sesuatu yang bersarang di diri mereka. Kadang-kadang bijak, sesekali mencurahkan kasih sayang, pun tak jarang menjengkelkan. Poin ketiga yang paling sering.

Segera Rokusaki membereskan kamar yang sudah seperti tempat pembuangan sampah itu. Satu per satu dipungutnya kertas dan buku dari segala penjuru, termasuk juga wadah bekas makanan ringan peninggalan Antroma sehari-hari. Itu salah satu sampah yang tidak pernah absen dari kamarnya.

"Ini sudah malam. Sebaiknya kalian berdua sudahi pertikaian."

Antroma mengelak, "Tidak, tidak. Kau mungkin tidak tahu kalau kami berdua sudah selesai dua puluh halaman selagi kau pergi dari rumah. Lihatlah di meja itu." Rokusaki mengikuti arah telunjuk Antroma di meja kerja. Ia lalu mengecek satu demi satu gambar yang tertoreh di dua puluh lembar yang Antroma maksud. Gestur mereka berdua terlihat nyata di sana. Setiap arsiran dan perspektif yang belum tentu Rokusaki bisa melakukannya. Gambar-gambar itu seperti ciptaan kreator kelas dunia.

"Ah, kalian. Lagi-lagi melakukannya untukku," lirih Rokusaki yang terdengar langsung di telinga Antroma dan Olomos.

"Melakukannya untukmu? Yaa karena kau adalah pencipta kami. Jadi apapun yang kami lakukan sejatinya merupakan gambaran dari dirimu sendiri," terang Olomos seraya mengambil tempat duduk di bangku dekat jendela.

"Kalau begitu, apakah kalian mau membantuku dalam perlombaan bulan depan? Aku akan merancang alur ceritanya. Kalian cukup membaca lalu meperagakan setiap adegannya. Bagaimana?" Sungguh otak yang jenius. Rokusaki cukup memahami situasi. Di sisi lain ada kubu Rina Kasumi yang didampingi oleh tokoh ciptaan Rina, Azai Nagamasa. Mereka pun pasti akan melakukan hal yang sama di perlombaan. Bagi Rokusaki ini cukup adil. Yah, sebenarnya itu bisa terjadi jika sifat keras kepala Azai dapat diatasi oleh gadis itu.

Malam itu dilanjutkan dengan pekerjaan menggambar ajaib yang dilakukan oleh Antroma dan juga Olomos di luar rumah. Sepotong adegan memunculkan garis-garis bercahaya, diikuti adegan selanjutnya hingga bergerak menuju kertas kosong. Hampir setengah bagian komik yang sudah tercipta. Rokusaki hampir tidak percaya akan ini semua. Bola mata berbinar, kagum. Setengah volume diselesaikan dengan jangka waktu kurang dari tiga hari. Seperti seorang pesulap yang menjentikkan jari kemudian keluar sebuah benda di depannya. Jika pesulap itu trik dan ilusi, maka yang ini adalah kenyataan.

Seusai mendapatkan lima puluh persen dari satu buah komik utuh, Rokusaki menambahkan beberapa bagian seperti latar belakang, garis-garis, penomoran dan beberapa elemen penting lainnya. Hingga pada titik tertentu, Rokusaki berpikir akan membuat sesuatu yang baru agar komiknya itu memiliki alur cerita yang menarik dan lebih panjang.

Aku akan membuat tokoh baru, katanya dalam hati.

Pikir, pikir, pikir.

Kemudian sebuah gambaran muncul dalam otak cerdasnya. Sosok bertubuh jangkung nan kekar, berambut cokelat gelap, dengan bola mata violet serta hidung yang bangir. Selagi gambaran itu terlintas di bayang-bayang, seketika itu juga Rokusaki menggambarnya dengan cekatan tanpa ingin ada yang ia lewatkan.

"Nah, begini lebih baik," gumamnya. Tokoh baru itu terlihat menawan dengan balutan seragam metal tentara sebagaimana andalan Rokusaki. Hanya saja, terdapat tambahan berupa jubah hitam yang membuat tampilan sang tokoh menjadi lebih elegan.

Sosok menawan tersebut digambar dengan amat sungguh-sungguh. Tidak terlalu rumit, tetapi juga tidak sesederhana lingkaran dan garis belaka. Rokusaki berencana untuk melanjutkan sendiri pekerjaan itu hingga mencapai tiga perempat dari keseluruhan komik. Namun rasa kantuk mulai menggerayangi. Lambat laun kepalanya mendarat di atas meja kerja tanpa kompromi, sepasang matanya ikut terpejam. Ia tak pernah tahu, tokoh baru itu pun muncul di dunia nyata sebagai seorang berwujud manusia.

Selain dari pada itu, bunga tidur tak disangka-sangka ia alami selama masa terpejam yang cukup lama. Mimpi tentang masa lalu tersebut, rupanya Rokusaki benar-benar rindu akan zaman kemarin ....

"Ayolah, kita jalan-jalan ...."

***

"Jalan-jalan?"

"Iya. Perayaan tahun baru ini pasti akan sangat meriah."

Di senja yang tidak cerah sama sekali, para siswa dari SMA Yamabuki berbondong-bondong pulang setelah memenuhi kewajiban sebagai pelajar. Jejak kaki mereka membekas di atas tanah berselimut salju. Rintikan salju turun konstan tanpa ada yang menghalangi. Semua orang tampak mengenakan mantel berbahan dasar wol yang memberikan rasa hangat. Tidak terkecuali dua remaja yang tengah berjalan beriringan sembari mengobrol santai. Keduanya terlihat sangat serasi bak sepasang merpati terbang di atas awan.

"Boleh saja. Tetapi jangan seperti tahun lalu. Aku mencari-cari dirimu yang hilang entah ke mana. Itu sangat merepotkan," ucap sang lelaki.

Sedangkan gadis yang kedua tangannya dimasukkan ke saku mantel itu mengerucutkan bibir, pertanda sebal, "Itu kan salahmu. Belum selesai aku bermain di tempat panahan itu, kau malah pergi meninggalkanku sendirian. Ya sudah, aku usil saja sekalian."

Mendengarnya, sang lelaki geleng-geleng kepala. Ia tak pernah lupa sifat menyebalkan gadis ini.

"Pokoknya nanti malam harus jalan-jalan. Aku tidak mau tahu, A-ki-ba-ra!"

Sang lelaki tidak menggubris. Ia justru memberikan atensi pada sesuatu yang ada di kepala gadis itu.

"Mizuno, kenapa dengan dahimu?"

Terlihat samar-samar benjolan kecil disertai memar di sudut dahi Mizuno. Gadis itu terdiam, lalu berkata dengan gugup, "Eeh, tidak apa-apa kok. Ini cuma ... yaa luka karena aku tidak hati-hati saat melangkah keluar dari kamar mandi. Aku terpeleset, kemudian dahiku terbentur di lantai. Jadilah seperti ini. Terlihat cantik, bukan?"

Akibara tahu Mizuno sedang berbohong. Tampak dari senyuman palsu dan nada suara yang sangat tidak meyakinkan. Ia sudah sering mendengar kebohongan-kebohongan dari gadis itu. Namun ia berusaha untuk mempercayai setiap perkataannya karena ia tidak ingin membuatnya bersedih.

Ini pasti ulah ayahnya lagi. Dasar laki-laki brengsek!

Tanpa tedeng aling-aling, jemari Akibara menyentuh lembut bagian kening Mizuno yang tidak memar. Mizuno melongo dibuatnya, membiarkan laki-laki itu mengelus pelan keningnya. Waktu seakan-akan berhenti berjalan bagi mereka berdua.

"Kau memang cantik," gumam Akibara tanpa sadar.

"Tidak sekalian rambutku juga?"

Akibara sontak melepas tangannya dari kepala Mizuno. Betapa memalukan dia di hadapan seorang gadis. Mukanya kini sudah seperti kepiting rebus. Keduanya lalu melanjutkan perjalanan tanpa ada sepatah kata pun terucap.

Ingat, kita hanya sebatas teman. Hanya teman.

"Aku suka itu," Mizuno bertutur kemudian.

"Sama-sama."

Satu pukulan sukses mendarat di lengan kiri Akibara. Meskipun tidak terasa, tetapi aksi Mizuno yang cepat itu mengagetkan Akibara, membuatnya mengangkat pundak dan reflek melindungi lengan kirinya itu.

"Dasar laki-laki menyebalkan!"

"Siapa yang menyebalkan? Tentu saja dirimu!"

- TBC -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top