Chappu 六 [Rina-sensei]

Pagi menjelang. Seberkas cahaya mentari menembus kaca jendela besar dua sisi. Salah satu sisinya dihalang oleh meja gambar setinggi hampir satu meter, memunculkan bayang-bayang miring di lantai kamar. Cahaya yang masih bisa tembus mengenai muka Olomos yang sedang tidur di atas lantai itu, membuat pria tersebut terbangun lantaran kehangatan.

Ia bangkit untuk duduk, mendapati Antroma yang masih tidur dengan nyenyak di samping Rokusaki. Benar-benar beruntung, sudah pasti kasur yang mereka berdua tiduri amat empuk. Berbeda dengan lantai kamar yang hanya diberi alas karpet tipis. Meskipun bulu-bulu karpetnya lumayan lembut, namun tetap saja tidak senyaman merebahkan tubuh di ranjang. Terlihat betapa cemburunya Olomos, atau lebih tepat disebut ... iri?

"Kalian, bangunlah! Matahari sudah menampakkan kilaunya. Apa kalian tidak malu dengan orang-orang yang bangun sebelum fajar?" omel Azai dengan nada khasnya yang elegan nan berwibawa. Posisinya sekarang berada tepat di samping jendela, duduk bersila sembari menikmati udara pagi ibu kota.

"Mungkin Antroma kelelahan setelah pertarungan semalam," ucap Olomos.

Tak lama kemudian, Rokusaki terbangun bersamaan dengan Antroma yang mendesah pelan di sampingnya. Menyadari ada sosok wanita sedang terlelap di sana, seketika itu Rokusaki langsung bangkit, tercekat. Selama hidupnya, baru kali pertama ini ia tidur satu ranjang dengan wanita cantik yang tak dikenal.

"Ah, akhirnya kau bangun juga. Kami sangat mengkhawatirkan kondisimu," seru Olomos yang juga masih tiga perempat sadar. Meski demikian, ia bicara dengan cukup lancar. Apakah orang kuat seperti dia selalu begitu?

"Maafkan aku yang sudah membuat kalian semua khawatir," ujar Rokusaki seraya menunduk.

"Oh iya, benda milikmu itu berbunyi sepanjang malam. Sangat berisik, tau!"

Rokusaki segera mengambil barang yang Olomos maksud. Benda apa lagi kalau bukan ponsel? Tampak dua puluh tiga riwayat panggilan tidak terjawab memenuhi beranda layar.

Gawat! Komikku, astaga bodohnya! Mizuki-san pasti akan memarahiku habis-habisan, gerutu Rokusaki dalam hati.

Melihat roman muka cemas dari Rokusaki, Olomos pun menanggapi, "Pekerjaanmu? Tenang saja. Semuanya sudah selesai. Kau tinggal memberikannya kepada wanita cerewet itu."

Wanita cerewet yang Olomos maksud itu pastilah Mizuki. Perangainya yang tidak sejalan dengan fisiknya itu senantiasa membuat Mizuki dikira orang yang dingin. Nyatanya, tidak seratus persen benar begitu. Awal bertemu dengan Rokusaki pun ia sudah menunjukkan ketertarikan terhadap karya seni beserta sang senimannya.

"Hah? Yang benar saja?" Secepat kilat Rokusaki memeriksa meja kerjanya. Tampak di sana setumpuk kertas berisi gambar-gambar yang indah tersusun rapi, siap dijilid dan dipublikasikan di media massa. Ia tak menyangka, orang-orang itu membantunya menyelesaikan pekerjaan.

Meski begitu, ada sesuatu yang mengganjal pada dirinya. Ia pikir, karya yang ada di hadapannya bukanlah sesuatu yang patut ia banggakan. Apalagi kalau sampai diklaim sebagai karangan Chocomilk, nama pena Rokusaki. Ini semata-mata bukan karya orisinal.

"Aku tidak bisa membawanya ke editor."

"Kenapa? Apa kau tidak menyukai hasil kerja keras kami semalam? Kami harus bertarung untuk menggambar semua itu. Apa kau masih ragu dengan hasil itu?"

"Bertarung?"

"Gambar itu adalah visual nyata yang terlukis dari pertarungan Olomos dan Antroma tadi malam. Mereka berdua melakukannya untukmu." Azai memberi penjelasan.

Rokusaki memandangi tumpukan kertas bergambar di atas meja. Yang saat ini ia pikirkan bukan soal keajaiban bertubi-tubi selama beberapa hari ini. Pikirannya jauh lebih dari sekadar menggambar dengan menggunakan pensil di atas kertas.

Diusapnya setiap sisi dari kertas-kertas itu, masih berpikir apakah saat ini ia masih pantas disebut sebagai kreator komik? Apakah dirinya patut dipanggil "Sensei" oleh penggemarnya? Sensei yang bagaimana? Yang tidak bisa melanjutkan karyanya sendiri?

"Aku tidak ingin memublikasikan karya yang bukan timbul dari kerja kerasku. Aku hanya ingin menunjukkan jiwaku di dalam karya yang kubuat dengan tanganku sendiri," ungkap Rokusaki.

"Tentu saja begitu," sahut Azai Nagamasa. "Seorang pandai besi tidak akan sudi mengukir senjata yang dibuatnya dengan nama pandai besi lain. Ia tentu akan mengukir namanya sendiri di sana, bersanding dengan nama calon pemilik senjata itu," lanjutnya selagi mengelap pedangnya dengan sehelai kain. Amat lembut gerakan jemari Azai, memperlakukan pedang seperti anaknya sendiri.

Rokusaki termangu mendengar ucapan sang kesatria dari Omi.

"Sama sepertimu. Dua orang yang keluar dari komik buatanmu itu sebenarnya adalah perwujudan dari apa yang kau pikirkan. Mereka adalah jiwamu. Apa yang mereka kerjakan sejatinya merupakan hasil dari kesungguhan dirimu, Rokusaki. Mereka adalah nama yang terukir di pangkal senjata, dan kau adalah pemiliknya."

Bahkan burung kenari milik tetangga pun ikut berkicau di seberang sana, menyahut segala yang Azai katakan. Udara pagi tak begitu terasa di sana. Mungkin karena efek sinar matahari dan pendingin ruangan yang dimatikan. Musim panas kali ini sepertinya akan lebih membuat gerah.

"Baiklah, setelah ini kau harus membawanya ke wanita itu. Aku tidak mau tahu alasannya," tambah Olomos sembari menguap. "Aku lapar. Sekarang beri kami makanan!"

Lamunan Rokusaki buyar. Ia kembali pada kesadarannya. Dengan segera, ia keluar dari kamar meninggalkan orang-orang itu, lalu pergi menuju dapur. Ia juga sedang kelaparan pagi ini. Semenjak kemarin perutnya belum diisi apa-apa.

Seperti biasa, dapur di pagi hari selalu terlihat bersih. Tempat itu memang sangat jarang digunakan. Ibu Rokusaki pun hampir tidak pernah memasak setiap harinya. Paling-paling, ia akan membelikan makanan dari luar untuk dirinya dan sang anak seusai dari pekerjaannya.

Langkah pertama yang Rokusaki lakukan ialah membuka rak dinding dekat kompor. Masih tersisa lima kotak mi instan. Satu kotak yang ia beli dua hari yang lalu, ditambah sisanya pasti sang ibu yang membelinya. Ia mengambil semuanya untuk dimasak sekaligus.

Suara 'bip' terdengar saat telunjuknya menekan tombol di kompor listrik. Panci kecil berisi air, satu per satu kotak mi instan dibuka, semuanya sudah disiapkan. Tinggal menunggu airnya mendidih. Tak lama kemudian, suara sang ibu bertanya dari arah belakang.

"Apa yang sedang kau lakukan pagi-pagi begini?" tanyanya sembari menutupi mulutnya yang menganga lebar karena efek kantuk.

"Memasak mi," jawab Rokusaki singkat, dan tentunya datar.

"Oh, sebanyak itu?"

"Ya."

Sang ibu pergi melenggang entah ke mana. Tak ada kata-kata lagi setelah itu. Tak ada pertanyaan simpatik lainnya seperti "Apakah ada teman-temanmu datang?", "Untuk siapa saja itu, Nak?" atau kalimat-kalimat lain yang menunjukkan sikap seorang ibu yang seharusnya. Sesekali, Rokusaki merasa bahwa wanita itu bukanlah ibunya. Wanita itu tak lain hanya seperti orang asing yang tinggal seatap bersamanya.

***

Setelah semua menikmati sarapan pagi dan membersihkan badan, mereka berniat pergi ke kantor tempat Rokusaki mengumpulkan hasil kerjanya. Berjalan kaki menuju kantor Mizuki, ia seakan-akan dikawal oleh tiga makhluk merepotkan. Olomos, Antroma, juga Azai Nagamasa terus saja membuntutinya. Meski ia memaklumi hal tersebut, tetap saja dirinya merasa tidak nyaman. Apalagi dengan orang-orang yang memandang mereka di sepanjang jalan. Bagaimana tidak? Pakaian mereka begitu mengalihkan perhatian seluruh pejalan kaki di Distrik Kita.

"Apakah masih jauh?" tanya Antroma.

"Sudah dekat. Sekitar dua ratus meter lagi," jawab Rokusaki.

Antroma yang berjalan di antara Olomos dan Azai mendecih. Dari mereka bertiga, hanya wanita itu yang bertanya kepada Rokusaki dengan pertanyaan yang sama setiap dua menit sekali. Padahal, jarak dari rumah menuju kantor tidaklah terlalu jauh. Hanya sekitar dua kilometer.

"Sudah sampai." Rokusaki memberitahu. "Kalian tunggu saja di sini. Jangan pergi ke mana-mana, jangan bertingkah macam-macam!" ancamnya.

Ketiganya mengangguk. Kali ini, Rokusaki sedikit lebih lega memasuki lobi mewah dari gedung itu seraya membawa naskah komiknya ke dalam. Beberapa staf berkemeja polos nan rapi menyapa, tersenyum, sesekali membungkuk hormat sembari mengucapkan "Selamat pagi".

Rokusaki memasuki salah satu ruangan yang bertuliskan 'RUANG EDITOR', tertempel erat di pintu masuk.

"Permisi?"

"Chocomilk! Akhirnya kau datang juga. Kukira kau sudah mati atau dimakan makhluk aneh di luar sana. Semalam aku terus-terusan menghubungimu. Kenapa tidak kau jawab panggilan dariku? Ha?"

Sudah dapat ditebak siapa yang menggerutu tanpa henti di hadapan Rokusaki. Wanita itu segera meraih satu set naskah dari tangan sang kreator tanpa basa-basi. Naskah itu nantinya yang akan dijilid menjadi satu volume komik secara utuh.

"Anu, maafkan aku. Tadi malam aku tidak sempat membuka ponsel," kilah Rokusaki.

"Huh, tidak apa-apa. Yang penting sekarang komikmu ini akan segera dilanjutkan," ujar Mizuki selagi membolak-balik lembar demi lembar naskah. "Hmm? Ini sudah bagus. Gambarnya lebih tegas dari biasanya. Sepertinya kau sangat bekerja keras untuk ini, ya."

"Terima kasih."

Seusai acara penyetoran naskah, yang dilanjutkan dengan penyuntingan secara cepat, akhirnya Rokusaki dapat menghirup udara segar untuk sementara waktu selagi menunggu karyanya diterbitkan. Mungkin satu atau dua hari ini ia akan cuti dari kesibukannya. Tubuhnya perlu beristirahat sejenak. Ditambah lagi sekarang musim panas, saat yang cocok untuk berlibur atau pun hanya sebatas bersantai di dalam rumah.

"Kau lama sekali, Rokusaki!"

Nada kesal Antroma kembali terdengar di telinga. Bagi Rokusaki, itu sangat menjengkelkan, sama seperti editornya yang cerewet itu.

Dasar perempuan, semuanya sama menyebalkan!

"Roku-kun, apa kau dan orang-orang ini akan pergi ke perpustakaan sains lagi?" Suara laki-laki tersebut amat familiar baru-baru ini di telinga Rokusaki. Itu suara si ahli fisika yang baru ia kenal kemarin.

"Sepertinya tidak. Azai mengajakku untuk bertemu dengan penciptanya," jelas Rokusaki.

"Pencipta yang tidak tahu diri!" sahut Azai seketika.

"Ooh, Maksudmu Rina Kasumi itu? Dia mungkin sedang berada di kafe milik ayahnya. Setiap senin, dia selalu menghabiskan waktunya di sana untuk menggambar."

Rokusaki terdiam. "Bagaimana kau tahu?"

"Tentu saja aku tahu. Aku kan langganan di kafe itu. Ayahnya sangat ramah kepada para pelanggan," cakap Hayama bersemangat.

"Begitu, ya. Terima kasih infonya. Kau sendiri mau ke mana?"

Hayama tersenyum, lalu menjawab, "Aku akan pergi ke perpustakaan, seperti biasa. Ada tugas penelitian yang harus kuselesaikan."

Setelah perbincangan cukup lama, Hayama pergi menuju tujuannya. Sedangkan Rokusaki bersama makhluk-makhluknya--entah mereka lebih cocok disebut apa--pergi untuk menemui sosok Rina Kasumi, sang pencipta Azai Nagamasa dalam komik. Ia berharap, potongan teka-teki ini akan segera tersusun satu demi satu, segera mendapatkan jawabannya.

- TBC -

Selamat malam, gaess. Aduduh ... malam sekali diriku update. Yaa maafkan. Wqwq
Yuk, baca sebelum tidur. Siapa tau mimpi ketemu sama Azai yang tampan, atau Antroma yang UwU jelita. Awokwokwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top