Chappu 八 [Kanojo]
Dua tahun yang lalu di SMA Yamabuki.
Cuaca mendung, dingin suhu sekitar. Salju bertumpuk-tumpuk di pepohonan, atap rumah, serta di tempat-tempat lain yang terjangkau oleh benda putih itu. Tak terkecuali di taman milik Sekolah Menengah Atas Yamabuki. Siswa-siswi berjalan beriringan, beberapa juga tampak sendirian. Ada yang keluar kelas, ada juga yang memasuki kelas. Desember senantiasa berulah dengan miliaran butir saljunya. Meski siang hari, suasananya tetap dingin. Sinar dari sang surya pun hampir-hampir tak tampak dan hanya sedikit memberikan kontribusi.
"Akhir tahun ini sudah seperti mimpi saja, ya?" kata seorang gadis berseragam biru tua dengan dasi terselip di kerahnya, dan memakai rok pendek sedikit di bawah lutut. Seragam SMA Yamabuki yang cocok dikenakan di saat-saat begini.
"Benar sekali. Empat bulan lagi kita lulus dari sekolah ini," sahut lelaki yang juga berseragam--setelan jas panjang berwarna identik dengan yang gadis itu pakai, duduk di sebelahnya. Tempat duduk mereka bukan kursi panjang, bukan juga cor-coran yang sengaja dibuat untuk bersantai, melainkan hanya beralaskan rumput yang sebagian besar tertutup salju. Entah, mereka masih nyaman-nyaman saja duduk dengan alas nan dingin jua lembab.
Sang gadis menghirup udara, membiarkannya memasuki paru-paru. Kedua matanya terpejam seakan berbisik, biarlah ketenangan ini kunikmati tanpa gangguan sedikit pun.
"Rencanamu selanjutnya bagaimana, Akibara?"
Lelaki yang dipanggil Akibara lantas menelengkan kepala. Ia masih belum memikirkan perguruan tinggi mana yang akan ia masuki kelak.
"Entahlah, mungkin aku akan terus menekuni hobi menggambarku. Hanya itu yang bisa kulakukan," ucapnya seraya terkekeh.
Sang gadis tertawa riang. Butiran-butiran dingin turun dari langit, mendarat di wajah mereka dengan lembutnya.
"Kau sangat lucu, Akibara," ledeknya.
Hari-hari seperti berlalu begitu saja bersama tiupan angin dan momen yang tidak akan pernah terulang kembali. Begitu juga dengan jam istirahat. Tak terasa hingga bel masuk kelas berbunyi. Keduanya beranjak dari tempat duduk masing-masing, memasuki ruang belajar bersama murid lainnya.
***
Tetes air mata bercucuran, jatuh di atas sekotak album. Seorang laki-laki menggenggam erat benda itu. Ia sama sekali tidak memiliki ketertarikan terhadap kamera. Album itu hanya berisi secarik foto dirinya sedang berdiri bersama seorang gadis yang tersenyum ria sambil jemarinya mencubit pipi si lelaki. Sungguh foto yang lucu, dan hanya itu yang ada di sana. Entah siapa yang mengabadikan momen seceria itu menggunakan kamera. Yang jelas, orang itu sangat berjasa bagi si lelaki.
Andaikan saat itu aku berada di sisinya.
Sang lelaki membayangkan sesuatu dalam pikirannya. Tergambar jelas di sana, ia tengah berlari tak karuan di trotoar sembari memegang ponsel.
Andaikan aku tepat waktu saat itu juga.
Gambaran itu berlanjut ketika dirinya turun tergesa-gesa menuju stasiun bawah tanah. Ia meneriaki sebuah nama seraya kepalanya berputar ke sana kemari mencari keberadaan seseorang.
Andaikan saat itu juga aku memeluknya.
Dalam gambaran masa lalunya, ia mendapati jasad seseorang yang baru saja terserempet kereta, dibawa dengan tandu yang ditutupi kain putih oleh petugas medis.
Andaikan ....
"Roku-kun?"
Melihat lelaki itu terus-terusan menangis tanpa henti di pojok kamar, Antroma menghampiri. Ia menanyakan perihal tangisan dan apa yang sedang pria itu pikirkan.
"Apa itu fotomu? Bersama dengan, emm, kekasihmu?"
Rokusaki mengangguk pelan. Ketika Antroma memintanya untuk menunjukkan foto itu, ia menyodorkan. Foto itu menampilkan keceriaan. Wajah bahagia nan polos Rokusaki tertoreh jelas. Antroma tersenyum kala melihatnya.
"Kau ingin menemuinya?"
Mendengar pertanyaan itu, seketika Rokusaki tertegun. "Di-dia, dia sudah tiada."
"Maksudku, mari kita pergi ke suatu tempat. Kau juga yang tahu tempatnya," ajak Antroma, kemudian membisikkan sesuatu di telinga Rokusaki.
Lelaki itu sedikit mengangkat bibir. Ia kemudian bangkit, mengusap bekas air matanya dengan sehelai tisu yang tersedia di atas nakas. Betapa memalukannya dia, menangis di hadapan seorang wanita muda.
"Jangan lupa, bawakan hadiah untuknya nanti."
***
Siang hari ditemani suara tonggeret higurashi bersahutan. Serangga-serangga itu bersembunyi di balik batang pohon yang rindang. Deretan batu seukuran balok-balok pembatas jalan memenuhi setiap bagian tempat yang amat luas itu. Di salah satu batu bertuliskan nama "Mizuno Anabuki" telah berdiri Rokusaki bersama Antroma. Satu tangan Rokusaki membawa buket bunga seruni yang kemudian ia letakkan di batu tersebut. Ia lalu menunduk untuk berdoa. Setelah itu, dipandangnya batu itu tanpa berkedip sedikit pun. Sudah terlalu lambat untuk meratapi segalanya. Sudah dua tahun lamanya gundukan tanah itu sengaja diciptakan hingga sekarang rata, dipenuhi rumput hijau.
Antroma meletakkan tangannya ke pundak Rokusaki, memberi sentuhan kecil. Wanita itu sudah seperti sosok ibu baginya. Meskipun wajahnya masih terbilang muda. Dia sangat peka terhadap perasaan sang lelaki. Tak jarang, Rokusaki berpikir bahwa tokoh wanita itu benar-benar perwujudan seorang ibu.
Kesedihan seorang kekasih yang ditinggal mati, tak ubahnya dua tangan yang patah salah satunya. Ketika tangan kanan patah, tangan kiri ikut menanggung beban. Begitu sebaliknya. Demikian pula halnya Rokusaki, apalagi wanita itu merupakan cinta pertama yang tentu manis nan indah terkenang. Tentulah sangat terpukul ketika Mizuno pergi meninggalkannya.
"Dia orang yang sangat kucintai. Ketika orang-orang di sekitar melecehkan dan merendahkanku dengan perkataan busuk mereka, hanya dialah yang datang dengan membawa kalimat-kalimat lembut disertai senyuman setiap hari. Hanya dia penyemangat hidupku," jelas Rokusaki dengan muka datar. Lelah sudah ia menangis. Lagi pula, untuk apa meratap terlalu lama? Toh yang sudah pergi takkan kembali lagi hanya karena tetes air mata.
"Dia pasti sangat mencintaimu. Pastinya dia juga bangga melihat dirimu yang sekarang, yang melanjutkan cita-citamu menjadi seorang tukang gambar profesional," sambung Antroma dari belakang.
"Terima kasih, Antroma."
Tanpa sungkan, Antroma memeluk tubuh pendek Rokusaki. Wanita itu membiarkannya merasakan kehangatan pelukan yang tulus.
"Akibara."
Sekelebat bayangan melintas di hadapan Rokusaki. Ia yakin kalau itu tadi adalah suara yang memanggil dirinya, bersamaan dengan bayangan itu. Segera ia melepas pelukan dari Antroma. Tampak tepi wajahnya berkeringat gara-gara sengatan matahari.
"Tadi aku melihatnya," seru lelaki itu.
Antroma memiringkan kepala. "Siapa? Apa yang kau lihat barusan?"
"Mizuno. Aku yakin tadi itu dia."
"Roku--"
"Mizuno!"
Seketika Rokusaki berlari ke arah pepohonan rimbun. Dari balik pohon, sekilas sesosok perempuan gaun putih berlari sembari cekikikan tanpa jeda.
"Akibara."
Nama itu terus menggema, terdengar di telinga si lelaki. Ia terus mengikuti langkah sosok perempuan itu ke dalam lebatnya pekarangan. Sedangkan Antroma semakin gencar berteriak menyuruh agar Rokusaki kembali padanya.
"Rokusaki, tunggu!" pekiknya. Kakinya mengikuti sang kreator komik itu seraya bergumam, "Astaga, apa yang sebenarnya dia lihat?"
"Aku di sini, Akibara."
Rokusaki semakin jauh melangkah. Di sekelilingnya hanya ada pepohonan dengan daun-daun berguguran. Ia lalu terhenti di tengah-tengah langkah. Sosok perempuan itu raib entah ke mana.
Dengan napas terputus-putus dan kaki yang lumayan lelah, Rokusaki lunglai tak berdaya. Ia berlutut di atas dedaunan kering, menimbulkan gemerisik yang tak berarti.
"Rokusaki, astaga! Ada apa denganmu?" keluh sang wanita berpakaian feminin itu.
Tak ada jawaban. Hanya tangis yang lagi-lagi menyahut. Dada serasa bergemuruh hebat menahan sesak nan rindu. Kepalanya tertunduk. Entah sampai kapan bayang-bayang sang kekasih terus menghantui hidupnya. Entah sampai berapa lama jutaan kenangan bersamanya terngiang-ngiang dalam benak.
"Ingatlah, dia sudah tiada. Dia sudah tenang di tempatnya berada."
Perkataan Antroma dijawab dengan anggukan.
Kau benar, Antroma. Mizuno sudah pergi untuk selamanya.
"Sebaiknya kita pulang saja," tutur Antroma lembut. Matahari sudah mulai condong ke arah barat. Sudah hampir satu jam lamanya mereka berdua pergi meninggalkan rumah beserta Olomos di dalamnya. Laki-laki itu tidur pulas saat mereka beranjak ke makam. Mungkin saat ini dia sudah terbangun dan mencari-cari keberadaan mereka seraya mengeluh kelaparan.
Rokusaki bangkit dari bersimpuh. Kembali menuju rumah dengan memesan sebuah taksi, celananya sudah sangat kotor gara-gara menempel di atas tanah. Ia terus diam membisu di dalam mobil, bahkan sampai di rumah pun mulutnya bungkam tak bersuara.
Pintu rumah dibuka, memperlihatkan sosok Olomos yang tengah berdiri di balik pintu dengan apron cokelat melekat erat pada tubuhnya. Apakah lelaki ini habis atau sedang memasak sesuatu?
"Okaerinasai! Silakan masuk, Tuan dan Puan!"
Hah? Apa-apaan dia?
"Hari ini aku memasak bersama Nyonya Akibara."
Ap-apa? Memasak bersama Ibu?
- TBC -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top