Chappu 九 [Konban]

Pandangan Rokusaki kini terpaku pada meja makan yang dipenuhi berbagai macam hidangan lezat. Ada sushi, kare, salad, serta beberapa potong kue cokelat. Itu semua dimasak oleh sang ibu yang dibantu oleh Olomos.

"Wah, sepertinya enak?" Antroma menerka selagi tangan kanannya mengambil nasi panas dari penanak. Uap harum dari nasi putih menyeruak.

"Ba-bagaimana kau bisa memasak?" tanya Rokusaki kebingungan.

Alih-alih Olomos yang menjawab, sang ibu yang justru menyahut, "Ibu yang mengajarinya. Dia juga lumayan bisa diandalkan. Lagi pula, kau sangat jahat kepada Ibu. Tiga hari lebih teman-temanmu ini menginap di rumah, tetapi kau tidak memberitahu Ibu."

"Yaa, maaf!"

Memangnya kau pernah peduli?

Semuanya kembali ke menu masing-masing. Olomos makan dengan sangat lahap. Sedangkan Antroma sebagaimana orang normal. Hanya saja, ia menikmati hidangan sambil memperhatikan Rokusaki di sebelahnya yang saat ini sedang terlihat tidak bahagia.

"Eumm, Rokusaki," sela Antroma di tengah-tengah makan.

Rokusaki menoleh. Ia mendapati wanita itu tersenyum sembari menyodorkan sepiring tempura hangat. Tanpa ragu, ia mengambil dua buah dari sana, memakannya dengan setengah hati. Tidak ada yang salah. Makanan buatan sang ibu itu tidak ada yang tidak enak. Namun, ada sesuatu yang dipikirkannya sekarang ini.

Untuk pertama kali setelah sekian lama, meja makan itu kembali mendapatkan haknya. Dalam hati kecil Rokusaki terdapat percikan bahagia meski hanya untuk sementara waktu. Ya, kehangatan ini ia yakini tidak akan bertahan lama.

Di sela-sela lamunan seusai makan siang, ponsel Rokusaki berdering. Layar kotak itu menunjukkan telepon dari seseorang. Rokusaki menghentikan aktivitas makannya. Buru-buru ia mengangkat panggilan telepon.

"Halo, Chocomilk!"

Terdengar suara Mizuki dari seberang sana.

"Ada apa, Mizuki-san?"

"Komikmu sudah siap dicetak. Harap kau beritahukan kepada para penggemarmu di media sosial, ya!" info Mizuki dengan suara khasnya.

"Baiklah, terima kasih atas kerja kerasnya. Ada lagi?"

"Sebentar," kata Mizuki menjeda. "Ini, ada informasi tentang perlombaan komik di Chiba. Acaranya lumayan meriah, dan tentu hadiahnya tidak main-main. Kuharap, kau sudi ikut dalam acara itu."

Mendengar hal itu, Rokusaki bergeming. Ini kesempatan emas untuknya mempopulerkan karya, juga sebagai langkah selanjutnya dalam industri yang menjanjikan. Ingin sekali dirinya ikut ke dalam perlombaan bergengsi seperti yang si editor informasikan.

"Nanti aku coba pertimbangkan lagi. Aku sedang makan saat ini."

"Oh tentu. Mungkin sebaiknya kita bicarakan di kantor saja. Kau bisa datang sore ini, kan?"

"Sepertinya bisa."

"Baiklah, aku tunggu. Maaf mengganggu jam makan siangmu, Chocomilk. Selamat menikmati!"

Sambungan telepon ditutup. Dilanjutkan sesi membersihkan sisa makanan. Sepertinya tawaran dari Mizuki cukup membuatnya tertarik. Ia berpikir untuk ikut ambil bagian dalam lomba tersebut. Soal pekerjaan, ia bisa mempertimbangkannya nanti. Yang penting, perlombaan itu harus ia menangkan. Ia hanya perlu mempersiapkan segala sesuatu, juga semangat yang kuat. Toh sekarang sudah ada Antroma dan Olomos yang membantunya menyelesaikan komik. Mereka berdua merupakan dirinya. Mereka adalah pola pikirnya. Mereka adalah hasil dari keteguhan hatinya.

***

Untuk kesekian kali, Rokusaki mendatangi kantor Mizuki. Tidak bosan-bosan ia bertemu dengan orang yang sama setiap dirinya memasuki gedung bertingkat itu. Apa boleh buat, hanya tempat inilah yang selama ini menampung karya-karyanya serta menjadi tempatnya mencari penghasilan.

Tidak seperti biasanya. Jika Rokusaki datang, maka ia yang akan menemui sang editor di ruang kerja. Saat ini, Mizuki sudah berdiri di lobi utama, menantikan kedatangan Chocomilk-sensei setelah sebelumnya membuat janji bertemu.

Mizuki melambaikan tangan kepada si kreator komik. "Hey, kemarilah!"

Rokusaki menoleh seketika. Betapa terkejut dirinya melihat dua sosok berdiri di sebelah Mizuki. Seorang gadis dengan penampilan nyentrik yang kedua tangannya dilipat di dada menatap Rokusaki dengan tatapan dingin. Mata emerald itu seakan-akan mengatakan "Akulah lawanmu" tanpa sungkan. Satunya, lelaki berbusana kimono sebagaimana pada zaman perang sipil berada tepat di sebelah gadis itu. Salah satu tangannya menggenggam sarung pedang berisi bilah tajam nan berkilau.

Setelah beberapa saat berdiam diri di tempat, akhirnya Rokusaki mendekat ke arah ketiga orang tersebut. Dalam benaknya, apa maksud dari semua ini?

"Lama sekali!" gerutu si gadis.

"Kau kira dua kilometer dari rumah itu sedekat satu jengkal?" ketus Rokusaki tanpa basa-basi.

Sedangkan Mizuki terkekeh mendengar ucapan keduanya yang sudah seperti kakak beradik tak rukun. Ia lalu mempersilakan mereka duduk di sofa lobi. Ruangan sejuk itu amat menenangkan, menguras peluh yang keluar dari pori-pori kulit Rokusaki setelah berjalan di tengah cuaca panas sore hari.

"Jadi, apa maksud kau memanggilku bertemu dengan Rina-sensei dan ... Azai?"

Pertanyaan Rokusaki tak kunjung dijawab. Mizuki justru berkutat dengan layar ponselnya sendiri. Geram, sang lelaki pun berdeham keras, membuat kesadaran Mizuki kembali seperti semula.

"Bukan aku yang mengundang mereka berdua. Justru merekalah yang tiba-tiba datang menemuiku," timpal Mizuki sambil membenarkan posisi kacamata yang bergeser ke bawah hidung.

"Aku ingin membicarakan soal perlombaan di Chiba. Aku tahu kalau kau pasti akan ikut dalam acara itu," sambung Rina dengan suara datar nan mengintimidasi.

"Rina juga pastinya ikut, ya?" tanya Mizuki di sebelahnya.

"Tentu saja. Perlombaan di Chiba adalah salah satu yang sering kuhadiri."

Perkataan Rina memang benar. Gadis itu sudah beberapa kali mengikuti lomba membuat komik dengan hasil yang cukup memuaskan. Piala penghargaan memenuhi etalase di rumahnya. Tak dapat dipungkiri, Rina memang berbakat dalam hal menggambar. Bahkan informasi terakhir di media sosial, komiknya menempati urutan keenam, dua tingkat lebih tinggi daripada Rokusaki.

"Kalau begitu, kita berdua adalah musuh." Rokusaki berujar tanpa tedeng aling-aling.

Tatapan tajam disertai seringai mengerikan terpancar dari wajah Rina, hampir tidak ada kesan imut sama sekali. "Bukan hanya musuh, kau adalah rivalku, Chocomilk-sensei," ucapnya.

"A-ahh, sebaiknya kita minum saja dulu. Kalian pasti haus," sela Mizuki yang mendapati atmosfer ketegangan di dalam ruangan luas itu.

Satu gelas air putih yang disediakan sedari tadi diraih tangan Rokusaki, begitu juga dengan yang lain.

Perkataan Rina barusan merupakan sebuah pernyataan perang secara tidak langsung. Semangatnya untuk mengikuti lomba semakin membara. Dengan keahlian yang ia miliki, ia yakin bisa meraih peringkat teratas tanpa kesulitan yang berarti. Kecuali jika maestro komik ikut ambil bagian di sana. Namun, rasanya itu mustahil mengingat orang-orang seperti mereka hanya mau mengikuti perlombaan tingkat internasional.

"Jadi, kapan lomba itu dimulai?" tanya Rokusaki.

Mizuki menaruh gelas minumannya di atas meja, lalu menjawab, "Pertengahan oktober. Acara dimulai pukul enam sore."

"Lalu, apa saja yang perlu dipersiapkan?"

"Tidak banyak. Kalian hanya perlu membawa alat gambar kalian, dan juga tekad yang kuat."

"Sepertinya ini akan menjadi pertarungan yang sengit antara kau dan aku," sahut Rina. Ia kemudian tersenyum sinis, "pastikan bahwa kau akan berhadapan denganku di final nanti."

***

Hari makin sore, senja mulai tak menampakkan diri, tenggelam begitu saja ke arah barat tanpa permisi. Gemerlap malam di kota Tokyo senantiasa mengalihkan perhatian setiap orang. Ratusan gedung megah, kedai sake yang ramai, juga tempat makan soba maupun ramen yang buka di awal malam. Semua itu membuat ibukota semakin hidup di tengah gelapnya langit. Orang-orang berseliweran, pulang dari bekerja naik-turun kendaraan. Kebanyakan dari mereka lebih memilih berjalan kaki, lalu menggunakan transportasi umum seperti kereta bawah tanah atau pun bis kota.

Langkah demi langkah Rokusaki melewati trotoar kotak-kotak itu. Sesekali ia melirik gedung-gedung yang menjulang tinggi. Terkadang juga menatap gemerlapnya bintang-bintang di atas langit Tokyo. Hari ini tidak terlalu buruk baginya. Azai tidak terlalu banyak bicara. Rina Kasumi menganggap ia sebagai rival. Komiknya sudah diproses mulai hari ini. Apa yang kurang dari semua itu? Ia hanya perlu fokus pada cerita yang akan ia suguhkan saat perlombaan nanti.

"Eh?"

Tak disadari. Seorang wanita cantik berdiri tersenyum di hadapan Rokusaki. Jaraknya sekitar empat meter dari tempatnya berada. Senyum dan penampilan wanita itu membuat Rokusaki menghentikan langkah. Ia mengenalinya. Tak dapat berkata apa-apa, Rokusaki terpaku, rahangnya yang bergetar. Seakan-akan dirinya ingin mengatakan sesuatu, namun rasanya sangat sulit dilakukan.

Wanita itu bergerak, semakin mendekat disertai senyuman manis nan ceria. Sedang Rokusaki mengulurkan tangan kanan perlahan-lahan, bermaksud meraih sang wanita.

"Semangat, Akibara!"

Setelah suara menggema itu terucap dari mulut, sang wanita itu pun menghilang dari pandangan. Bayangannya raib, tembus melewati tubuh Rokusaki.

Rokusaki tertunduk. Mukanya tertutupi oleh rambutnya yang acak-acakan. Kepalanya terasa sangat pening. Ia berusaha bersikap senormal mungkin di tengah keramaian, setidaknya dapat bertahan sampai di rumah.

Kenapa? Kenapa dia selalu datang di hidupku? Kenapa dia datang dan pergi begitu saja?

"Mizuno?"

- TBC -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top