Chappu 五 [Atama]
Masih tertunduk di atas pangkuan Antroma, Rokusaki mengerang tanpa henti. Erangan itu bermula ketika ia mengunci pandang terhadap Azai Nagamasa. Entah kekuatan apa yang timbul dari tatapannya. Seperti disugesti, seketika itu juga Rokusaki terhuyung ke belakang seraya berteriak kencang.
"Ayah, mau pergi ke mana?" tanya seorang anak kecil dengan polosnya.
"Maafkan ayah, Nak."
Lelaki itu melangkah, pergi melewati pintu rumah dengan wajah muram.
"Ayah?"
"Sadarlah, Rokusaki!"
Teriakan Olomos membuat sang kreator komik itu tersadar. Tubuhnya lemas tak berdaya. Ia bahkan tidak peduli, seluruh bagian muka ditenggelamkannya di antara paha Antroma. Segera wanita itu mengelus lembut setiap sisi rambut Rokusaki.
"Tenanglah! Ada kami di sini," lirih Antroma seraya tersenyum memaklumi.
Kini Rokusaki sudah lebih tenang. Semua orang yang berada di kamar bersuhu sejuk karena pendingin ruangan itu terdiam. Orang itu masih berada di dekapan hangat Antroma, belum sadarkan diri. Antroma pikir, mungkin biarkan sejenak Rokusaki menikmati ketenangan setelah mengalami kejadian aneh barusan. Laki-laki itu terlalu banyak beraktivitas hari ini.
"Padahal, katamu proyek komiknya harus selesai malam ini, kan? Tetapi bagaimana bisa ia menyelesaikannya jika keadaannya seperti itu?" keluh Hayama dengan keheranan. Mentari telah bergulir di ujung barat, tanda bahwa sebentar lagi kegelapan akan menguasai kota.
"Apa yang telah kau lakukan pada Rokusaki? Apakah itu gara-gara kekuatanmu?" tukas Olomos kemudian, menatap tajam ke arah Azai Nagamasa. Dendam kesumat apa yang ada di dalam benaknya? Padahal Azai tidak melakukan gerakan yang mencurigakan sama sekali.
Azai menjawab dengan muka datar, "Itu benar. Aku punya kekuatan melihat masa lalu seseorang dengan mataku. Tetapi, baru kali ini aku menjumpai orang yang bisa dengan mudah membuka masa lalunya sendiri. Rasa sakit yang selama ini dia pendam mulai timbul kembali, dan itu semua keluar secara tidak sengaja dengan begitu cepat."
Antroma penasaran, kemudian bertanya, "Apa yang kau lihat darinya?"
"Sebuah kebencian."
***
Malam hari di kota Kita, Tokyo. Bulan menampakkan keelokan, ditemani gemerlap benda langit lainnya yang lebih mungil. Sudah sekian jam Rokusaki belum jua bangun dari tidurnya. Sejak sore tadi, tubuhnya dipindahkan ke atas ranjang oleh Olomos. Sedangkan Hayama sudah pamit pulang beberapa saat yang lalu. Azai? Tentu ia dilarang pergi ke mana-mana oleh Olomos. Karena menurutnya, lelaki yang mengaku sebagai penguasa Omi pada zamannya itu masih memiliki rahasia tersembunyi, dan bisa jadi ada keterkaitan yang kuat perihal munculnya tokoh-tokoh dari dunia komik.
Antroma yang sedang duduk di tepi ranjang menemani Rokusaki menerka-nerka. Mungkin saja si tukang gambar sedang bermimpi indah saat ini. Wajah teduh nan imut Rokusaki saat terpejam membuat rona merah pada pipi wanita itu tampak mencolok. Ia berusaha menyembunyikan itu dari siapapun. Olomos mendapati gestur aneh dari wanita itu, membuatnya memuramkan muka.
Di balkon kamar, Azai berdiri menatap gemerlap cahaya bintang. Rambutnya yang panjang nan lurus melayang-layang damai diterpa angin malam musim panas. Kimono bercorak bunga-bunga indah melekat amat cocok dengan tubuhnya, seakan-akan memantulkan sinar dari lampu di atas balkon. Sementara ini dirinya masih belum tahu tujuan ia datang ke dunia ini. Apakah ditakdirkan untuk menaklukkan dinasti Tokyo? Tidak ada yang namanya dinasti Tokyo.
Melihat Azai yang semenjak sore terus terpaku di balkon kamar, Olomos mendekatinya. "Apa yang sedang kau pikirkan?"
Azai yang mendengar nada tegas itu pun menoleh, "Hanya berdiri saja. Kupikir, dunia ini tak seburuk yang kubayangkan sebelumnya."
"Yaa begitulah. Dunia ini memang lumayan menakjubkan," balas Olomos seraya mendekat. Kini tubuhnya sejajar tegak di samping sang penguasa Omi.
"Semua dimensi dunia memang menakjubkan. Apalagi untuk mereka yang senantiasa mendapatkan keberuntungan dari para Dewa. Dunia seakan-akan tunduk pada mereka. Jika kita dapat artikan, dunia selalu memihak kepada orang-orang yang beruntung, dan menjatuhkan mereka yang rugi."
Olomos terdiam sembari tersenyum. Helm yang biasa ia kenakan kali ini tidak tampak di kepalanya. Hanya menampilkan wajah normal seorang pria pada umumnya. Maskulin, bahkan lebih tampan dari penciptanya.
"Nagamasa-san," sebutnya, "kenapa kau menghancurkan tempat makan itu? Bukankah itu terlalu kejam?"
"Kejam? Tidak juga. Aku keluar dari kertas itu di waktu yang sangat tidak tepat. Saat itu aku tengah berada di medan perang bersama dengan pasukan Asakura melawan kakak iparku sendiri," terang Azai menggebu-gebu. "Aku pikir, tempat itu memang sudah seharusnya kuhancurkan."
Mendengar penuturan konyol dari Azai Nagamasa, Olomos pun tertawa. Dalam benaknya, bagaimana bisa ia menghancurkan sebuah gedung dengan alasan seperti itu? Bahkan seorang penguasa Omi pun lebih polos ketimbang seekor ayam betina yang masih memilih-milih pasangannya untuk kawin.
"Kenapa kau tertawa? Memangnya lucu?" celetuk Azai.
"Tidak, Nagamasa-san. Tidak," timpal Olomos dengan tangan kanannya menutupi lengkung bibir.
Azai terdiam. Begitu juga dengan lawan bicaranya. Suasana kembali hening. Sayup-sayup suara angin malam terdengar, melewati gendang telinga.
"Bagaimana keadaan lelaki itu?" Azai menoleh ke belakang, tempat Rokusaki tertidur pulas.
"Sepertinya dia baik-baik saja."
"Aku sedikit khawatir dengannya. Ingatan-ingatan kelam, memori masa lalu yang menyedihkan, semuanya telah kembali. Aku bisa merasakan penderitaan yang dialami lelaki itu. Mataku melihatnya secara langsung. Aku sedikit merasa bersalah."
Olomos seketika termenung. Tak lama kemudian, Antroma datang dari balik kaca jendela yang terhubung langsung dengan kamar. Perempuan itu datang membawa nampan berisi dua gelas minuman beraroma wangi. Teh hangat-hangat kuku itu diberikannya untuk Azai dan juga Olomos yang menerimanya dengan ramah.
"Dari mana kau dapatkan minuman ini?" tanya Olomos.
"Aku menemukannya di dapur, tepat di lantai bawah. Kebetulan di sana ada instruksi pembuatannya. Jadi aku buat saja. Oh iya, apa yang sedang kalian bicarakan? Aku penasaran!"
"Dasar wanita! Sebaiknya kau temani saja si tukang gambar itu." Olomos berkoar.
"Kau!"
"Kau sepertinya sangat tertarik dengan penciptamu itu, Antroma?" Tebakan yang Azai lontarkan berhasil membuat Antroma tercengang. Seketika mukanya merah padam, hangat sehangat teh yang saat ini tengah ia nikmati.
"Ti-tidak. Jangan asal menuduh, ya, Orang Asing." Antroma berusaha menolak kata-kata Azai yang terkesan memojokkannya itu.
"Hmm, omong-omong soal pencipta, bagaimana dengan tukang gambar yang menggambarmu, Nagamasa-san? Apakah kau tidak ingin menemuinya?" tanya Olomos seketika.
"Iya. Aku ingin menemui siapa penciptaku. Sekaligus ingin membunuhnya karena ia sangat bodoh dan tidak tahu malu," sungut Azai berapi-api. "Menakdirkan aku mati dalam peperangan, itu sangat mustahil! Kertas sialan itu hanyalah sampah belaka. Kematianku, aku sendiri yang menentukan."
Terbahak-bahak, Olomos dan Antroma kompak menutup mulutnya dengan telapak tangan.
"Asal kau tahu, dan agaknya kau lupa akan sesuatu. Kita ini tokoh yang dibuat oleh mereka yang ada di dunia ini."
Tawa keduanya semakin kencang. Sampai-sampai gelas berisi minuman yang mereka bawa terjatuh, menciptakan genangan di lantai balkon yang akan menambah pekerjaan Rokusaki keesokan hari saat pemuda itu tersadar.
***
Pukul sepuluh malam. Menunggu lelaki tidur itu terbangun bagi ketiga sosok tersebut sepertinya sia-sia sekarang ini. Baru saja Olomos akan membangunkannya agar menyelesaikan pekerjaan menggambar, tetapi buru-buru dicegah oleh Antroma. Ponsel milik pemuda itu pun berkali-kali menyala, berdering di atas nakas. Jika dihitung, mungkin sudah sepuluh, lima belas, atau bahkan dua puluh kali. Di layar sentuhnya itu terlihat panggilan tak terjawab dari kontak sang editor, Mizuki.
"Lalu, sekarang bagaimana? Kata Rokusaki, komik itu sudah harus selesai malam ini karena jadwal publikasinya dua hari lagi." Olomos menghela napas berat. "Aku mulai merasa kasihan dengannya."
"Mengapa kalian mengasihi bocah laki-laki itu? Bukankah seharusnya kalian saling bermusuhan dan bertarung?" lontar Azai dari mulutnya yang tajam menyakitkan tanpa obat.
"Itu dia, bertarung. Melanjutkan pertarungan kita," sahut Antroma antusias. "Mungkin dengan kita melanjutkan pertarungan yang sudah direncanakan di buku gambar itu, maka komiknya akan selesai."
"Kau yakin ini akan berhasil? Kita tidak sedang berada di Planet Arghon."
Antroma menggeleng. "Kita coba saja, pokoknya."
Olomos mengangguk mantap. Ia sudah siap dengan helm miliknya, kemudian menyalakan peranti jet dan keluar dari jendela kamar. Di atas langit, Olomos sudah layaknya seorang makhluk yang gagah berani dengan senjata bersinar menemani sang rembulan.
Sang wanita menyusul. Bukan memakai sepatu supercepat, tetapi ia pun terbang dengan sayap buatan. Sebilah tombak yang ada di genggaman sudah siap untuk dihunjamkan di dada sang musuh kapanpun ia mau.
Pertarungan pun dimulai. Keduanya terbang di langit, bersinar bak rasi bintang. Senjata mereka saling beradu menampakkan kilau semangat. Denting senjata di malam hari terdengar bagaikan fatamorgana desir air terjun dari kejauhan. Semakin dicari, semakin tenggelam pula suaranya.
Sudah seperempat jam dua sosok itu masih bertarung tanpa henti. Namun belum juga mendapatkan titik temu.
"Bagaimana ini? Daya baterai jetpack di punggungku sudah hampir habis," keluh Olomos hampir putus asa.
Antroma terdiam sembari menahan serangan. Lalu ia menoleh ke arah Azai Nagamasa yang mengepalkan tangannya, menonton dari balkon kamar.
"Demi Planet Arghon!" pekik Antroma.
"Demi Planet Arghon!"
Seketika tubuh keduanya semakin bersinar terang. Sinarnya seakan-akan menandingi jajaran bintang di langit Tokyo.
Kembali, pedang laser mematikan beradu dengan ujung tombak metalik tajam. Di tengah-tengah pertarungan, setiap gerakan, setiap ayunan senjata, setiap ekspresi wajah--entah bagaimana caranya--terlukis jelas. Gerakan-gerakan bercahaya itu membekas di udara, kemudian terbang menuju ke dalam kamar Rokusaki, dan berakhir di kertas gambar. Di sanalah pertarungan Sang Penakluk Planet Arghon tergambar jelas.
Dua sosok yang melihat kejadian itu makin bersemangat. Mereka bertarung tanpa kenal lelah sampai nantinya hanya akan ada satu pemenang, atau mungkin bernilai seimbang. Lagi-lagi, setiap pose dan pergerakan mereka terekam jelas dan selalu berakhir di lembar-lembar berikutnya.
"Demi Planet Arghon!"
Pekik lantang dari keduanya semakin mewarnai sinar-sinar yang beterbangan bak hujan meteor. Bedanya, kilau demi kilau selalu berakhir di atas kertas putih milik Rokusaki. Pertarungan mereka terduplikasi sempurna di setiap halaman kertas itu.
Pertarungan yang semakin seru, diakhiri dengan kemenangan Olomos yang berhasil memotong sayap kiri Antroma, membuat tubuh wanita itu hampir jatuh ke atas aspal sebelum Olomos meraihnya. Di kertas terakhir, terlukis sang Penakluk Planet Arghon sedang menggendong musuhnya sendiri dengan anggun. Lalu di pojok kertas itu tertulis kata "Bersambung", menandakan volume bulan ini akan segera terbit.
- TBC -
Hai, gaess! Pagi ini udah pada sarapan belum? Jangan lupa sarapan sebelum beraktivitas, ya. (Ciee perhatian :^)
Yuk, dilanjut membacanya!😅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top