6 - The Answer
Ada alasan mengapa sampai seminggu setelah keberanian Bagas Arrizqi Gunawan melamar Violeta Nikita Putri di ruang kelas yang sama seperti waktu mereka SMA dulu, ia tidak langsung bercerita pada siapapun bagaimana kelanjutannya dan apa rencana selanjutnya.
Setelah disalami sedemikian rupa dengan tampang bengong, ia dan Vio saling berpandangan sebelum menyerbu Ryan, "Oi apa-apaan???" tapi keduanya tidak ada yang mengecek konteks yang sebenarnya dari ucapan Ryan yaitu tulisan di papan tulis, coretan tangan Vio.
Bahkan sampai acara pensi dan reunian berakhir, tulisan itu masih ada di sana, di papan tulis. Vio melirik Wawan, berdebat dalam diri sendiri apakah sebaiknya ia memberitahu Wawan ada yang harus ia baca di papan tulis, tapi air muka lelaki itu kembali kesal, mengira pernyataan dan ajakan yang telah ia persiapkan berhari-hari telah sia-sia.
"Ayo balik." Ajak Wawan sambil cemberut. "Ngapain lo masih keliatan kelas? Mau nginep situ?"
Vio mendengus keras, percuma.
Sampai ke parkiran, Wawan menyodorkan helmnya pada Vio.
"Napa sih? Jelek lo kayak bebek." Vio ikut sewot menyambar helm yang disodorkan.
"Emang gue bebek." Wawan bersungut-sungut, kelihatan gondok sungguhan. Tidak menyadari apapun, makna di balik ucapan selamat teman-temannya maupun pandangan gelisah Vio ke arah kelas tadi.
"HHHHH DASAR BOLOT!" Vio menyergah sebal sambil naik ke boncengan.
"Dih? Malah ngatain gue? Lo tuh budeg!"
Keduanya sama-sama tidak mengulang apa yang sempat mereka utarakan tadi dan membiarkan malam menelannya, meski diam-diam berpikir kapan lagi waktu yang tepat untuk itu.
Yang jelas Wawan masih bete sampai tiga hari berikutnya.
*
"Vi, ini gulanya segini aja kan?" Dica bertanya pada Vio yang sedang mengaduk adonan dengan mixer sambil melamun. "Vio?"
"Eh siap komandan!"
Dica menahan senyum melihat reaksi Vio, "Ini.. gulanya segini aja kan?"
"Iya, Ca. Eh, gue udah berapa lama ya ngemixer ni adonan?"
Mata Dica mengerjap-ngerjap bingung, "Ngg.. udah lumayan lama sih."
"Harusnya gak lama-lamaaaaaa. Aaaaaaaak." Vio heboh sendiri mematikan mixer.
Hari Sabtu pagi ia sudah ada di dapur baru keluarga Rasyid dan Disa. Berawal dari telepon Wawan dua hari sebelumnya yang berkata: 'Eh lo bisa bikin kue kan? Bininya si areng batok minta tolong tuh.'
Setelah beberapa lama menikah, Rasyid yang memulai dari apartemen lalu rumah tipe 36, sekarang sudah sampai ke tahap renovasi rumah dan dapur. Untuk pertama kalinya pasangan ini mengadakan acara open house mengundang keluarga dan teman-teman terdekat. Dica yang ternyata specialitynya adalah membuat kue bantet meminta bantuan Vio yang kemampuan memasak maupun memanggangnya lebih jago.
Vio dengan senang hati membantu meski setelah ditelepon Wawan, dia langsung mencibir: 'Tiga hari ngambek sama gue nongol-nongol gitu doang. Cih.'
Ditemani suara berisik Rasyid yang sedang main dengan anaknya di ruang tengah—dan belum mandi—Dica dan Vio memanggang kue yang akan disajikan nanti sore. Diam-diam Dica memperhatikan Vio yang sudah tiga kali menjatuhkan barang dan satu kali terantuk meja.
"Ca, nanti kukus bolunya dua puluh menit aja ya."
"Iya, ini masih ngehalusin pisangnya kok."
"Lo boong ya gak jago bikin kue?"
"Beneraaan, aku malah pernah kok bikinin Rasyid kue ulang tahun terus gak enak. Dianya aja ngakuin sendiri."
"Masa iyaa? Si bucin itu?"
Dica tertawa, merasa cara bicara Vio makin mirip Wawan.
"Beneran. Pokoknya enakan buatan kamu. Wawan beruntung banget ya hehe."
Mendengar nama orang itu disebut, Vio menjatuhkan sesuatu lagi, kali ini sendok yang menimbulkan bunyi ribut, membuat Dica diam-diam memperhatikannya sambil berpikir.
"Gimana ibu-ibuuu? Butuh bantuan??" Rasyid tahu-tahu muncul di dapur, matanya bersinar melihat istrinya memakai apron dengan rambut diikat.
"Tatapan buciiiin. Merinding gue." Gumam Vio sambil berdecak dan memutuskan fokus pada kesibukannya sendiri.
"Eh Vi, laki lo dateng jam berapa?"
"Auk." Balas Vio keki. Orang masih ngambek gitu tu laki.
"Duile jutek amat, lagi berantem lo ya sama si Kunyit?"
Vio dilanda keinginan untuk mengulek dan menggerus kunyit saat itu juga. Sementara Rasyid menghampiri istrinya yang juga sibuk.
"Icad ke mana?"
"Udah duluan ke kamar mandi, heboh dia mau aku mandiin." Rasyid tersenyum kotak lalu mengintip melewati bahu Dica, melihat resep, "Ini bolu pisangnya jadi pake resep dari bunda?"
"Jadi. Dibantuin Vio biar enak."
Vio melirik pasangan itu lalu mendadak ingin berjingkat pergi dari dapur atau nemplok saja di tembok seperti cecak.
"Coba aku liat, hmmmm. Delapan sdm tepung terigu ini beneran udah kamu masukin 8 sdm?"
"Hah udah kok."
"Masaaa, sini coba sendoknya."
Dengan sorot bertanya, Dica menyerahkan sendok pada Rasyid. Rasyid masih tersenyum ketika mengarahkan ujung sendok ke bibir Dica, "Tuh baru sdm. Sendok manis."
Vio sudah tidak tahan lagi, ia langsung mengeluarkan bunyi muntah.
"Sendok makan, Rasyiiiiid." Dica mencubit suaminya.
"Kalo kamu sendok manis."
"Gatel-gatel gue, Pak, dengernyaaaa." Kendali Vio sudah lepas.
Rasyid tertawa sebelum berbalik, "Ntar coba lo tanya si Kunyit, versi dia sdm singkatan dari apa."
"Lima sendok micin dia mah." Sahut Vio sewot.
Setelah Rasyid pergi dari dapur untuk memandikan Icad, Dica memindahkan adonan yang sedang ia buat ke dekat Vio.
"Boleh nanya gak, Vi?"
"Tanya apa sayaaaangku."
"Kamu lagi kenapa?"
"Hah?" Vio bengong mendengar pertanyaan tidak terduga itu.
"Lagi ada yang dipikirin banget ya?" Tanya Dica, suaranya adalah tipe suara yang menjanjikan kesan lembut dan nyaman, membuat Vio langsung terdiam. "Kamu ngelamun terus. Lagi berantem beneran sama Wawan?"
Vio mengeluh keras lewat embusan napas, sambil mencetak kue di loyang akhirnya ia menceritakan semuanya pada Dica, kejadian di ruang kelas SMA-nya.
"Itu namanya gue dilamar bukan sih, Ca? Plis jangan ngatain gue bego."
Alih-alih tertawa atau mengatai Vio, Dica malah kelihatan gemas, "Iya, itu kamu lagi dilamar. Gemes banget sih."
"Gemes apanya, Caaaa? Orang kitanya sama-sama oon. Gue udah nulis jawaban di papan tulis malah gak diliat, terus dianya jadi ngambek, terus gue juga gak bilang lagi. Ya udah akhirnya kayak gini." Wajah Vio memerah jelas sekali.
"Gak apa-apa, kalian sama-sama nervous." Dica menenangkan. "Aku yakin Wawan juga kepikiran sampe sekarang, sama kayak kamu. Mungkin lagi mikirin cara ngelamar lagi, ngelamar yang diulang."
"Tuh kaaaaan, oooooon." Vio menutup mukanya sendiri malu.
"Atau gak kamu aja yang duluan bilang?"
"Hah??? Bilang apaan???"
"Bilang jawaban kamu yang belum sempet diliat Wawan." Dica mengamati ekspresi Vio, "Emang kamu mau bilang iya kan?"
Vio memonyong-monyongkan bibirnya, "Itu yang gue pikirin terus. Jujur, gue masih takut nikah, Ca."
"Takut kenapa?" Intonasi Dica sama sekali tidak bernada menyudutkan, sebaliknya membuat Vio dengan mudah mengeluarkan kerisauannya.
"Gue masih gak yakin apa gue bisa jadi istri orang? Apa gue siap hidup sama dia? Kalo berdua berantem terus gimana? Kalo dia nyesel gimana??? Kalo gue nyesel gimana???? Lo gimana waktu dilamar sama Acid? Ada rasa takut kayak gue gitu gak? Enggak ya? Apa ini gue takut gara-gara gue dilamarnya sama Bagas ya? Dia kan nakutin kayak hantu belang,"
Repetan Vio berhenti saat Dica mengangsurkan segelas air, "Minum dulu, Vi." katanya kalem.
Vio menurut dan minum.
"Tuh kan, aus. Hehe." Dica lalu menarik dua kursi makan di belakang mereka dan mengisyaratkan Vio duduk. Mereka kini duduk menghadap konter dapur sebelum Dica mulai bicara lagi.
"Yang bisa jawab pertanyaan kamu siap atau enggak, kamu sendiri." ujar Dica. "Aku yakin Wawan ngajak kamu nikah juga pasti ada persiapannya dulu, ketika dia bilang, dia memilih buat siap. Sekarang kamu mau milih buat siap gak?"
Entah kenapa Vio tiba-tiba teringat ucapan Wawan waktu dulu sekali, saat ia pertama kalinya mengubah status mereka dari teman menjadi pacar. 'Bayangin masa depan lo, ada gue gak di situ?'.
Masa depan yang tanpa Wawan adalah suatu keganjilan dan Vio bergidik sendiri membayangkannya.
"Kamu udah berhari-hari mikirin dia, itu sebenernya udah tanda gak sih, Vi? Tanda kalo kamu juga pengen siap dan pengen bilang ke dia?"
Vio menatap Dica, seperti mau menangis.
"Aku dulu juga sempet ngerasa gak siap tapi aku mutusin buat jalanin karena aku gak mau kehilangan Rasyid. Aku mau melibatkan dia di hidup aku, dia juga mau melibatkan aku di hidup dia, jadilah sekarang hidupnya bersama, hidupnya Icad juga." Vio menangkap binar di mata Dica.
"Kamu gak mau kehilangan dia dan dia gak mau kehilangan kamu itu udah jawaban gak sih, Vi?" Senyum Dica menenangkan lagi. "Emang bukan keputusan gampang, kalo kamu udah yakin, langsung bilang ya ke Wawan."
"Huhuhuhu Ca, lo sebenernya ibu peri ya? Tos dong Sastra Girl unite." Vio terisak. "Ngomong-ngomong, Ca. Ovennya dari tadi belom gue nyalain huhuhu jadi dari tadi baking apaan ya huhuhu GARA-GARA SI KUNYIT SIH AH."
*
"Ini yang bikin lo? Pas bikin ngiler gak? Masuk ke adonan gak ngilernya?" Wawan kembali ke mode rese saat acara open house dan mencicipi kue buatan Vio.
"Gak usah dimakan kalo suuzon!" Sergah Vio, diam-diam menangkap senyuman simpul Dica lewat kerlingan matanya. Diam-diam Vio senang Wawan sudah kembali bersikap seperti biasa, menyebalkan. Meski enggan mengakuinya tapi Vio lebih suka Wawan yang menyebalkan dibanding Wawan yang pendiam karena ngambek. Saat Wawan baru datang dan melihat Vio saja kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah: 'Lo pake rok? Kesambet?'. Itu tandanya ia sudah kembali.
"Dek batre ayah abis dek, bentar ya." Suara Rasyid terdengar dari karpet ruang tengah, ia tiduran begitu saja di atas karpet sambil sedikit terengah sehabis jadi kuda Icad.
"Ntar ayah minta batrenya diisi dulu sama bunda, Dek." Canda Wawan.
"Heh." Rasyid berdecak, "Gak sekarang dooong. Masih rame."
"Geli lo ah." Reaksi Wawan persis Vio tadi pagi.
"Sama OmWan dulu mau gak, Dek? Yah? Dia bisa kok jadi kuda delman."
"Wey."
"Ayolah Wan, ajakin maen anak gue. Ntar kalo batre lo abis minta cas Vio."
"Iye ntar gue kasih belut listrik buat ngecas." Sahut Vio.
"Ngeri banget sih, Vi..."
Hingga akhirnya acara open house selesai, setelah dibekali banyak sekali makanan oleh Dica, Vio bersiap pulang dan saat itulah ia dihadang Wawan di depan pintu.
"Pantes lama. Nimbun bekel dulu lo."
Vio tercengang sedetik, "Lo ngapain deh?"
"Lah, ayo balik."
"Gue.... balik bareng lo?" Volume suara Vio mendadak pelan.
Sekilas raut wajah Wawan ikut bingung tapi kemudian ia mengangkat bahu dan berjalan ke motornya. "Ayo buruan."
Jadi Vio mengikutinya. Berarti Wawan sudah tidak ngambek.
"Sini bungkusannya taro depan." Wawan mengambil satu tas makanan di tangan Vio dan menggantungnya sementara Vio tertegun melihat Wawan memang membawa dua helm. "Cid! Gue balik!"
Sepanjang perjalanan pulang, mereka tidak ada yang bicara. Suasana menjadi canggung saat tinggal mereka berdua, seolah ada sesuatu yang mengambang di udara, menunggu diutarakan. Vio juga sibuk dengan berbagai pikiran menyatu di benaknya, kata-kata Dica tadi pagi, sikap Wawan hari ini, semuanya. Ia menatap punggung Wawan dan mukanya memerah secara otomatis.
Ia bahkan tidak sadar saat mereka sampai di depan rumah Vio, padahal perjalanan mereka tidak bisa dibilang dekat.
"Heh, tidur lo?" Tegur Wawan saat Vio masih belum bergerak di boncengan karena masih melamun.
"Lho!!! Iya ya!!!" Vio tersentak saat menoleh dan mendapati rumahnya sendiri. Ia terburu-buru turun.
Saking terburu-burunya rok bunga-bunga cantik yang ia kenakan tersangkut entah bagian apa dari motor Wawan dan... ia pun jatuh dengan sukses. Wawan yang baru akan menyerahkan tas makanan ternganga sebelum setengah berteriak: "HEH? LO NAPA??"
"UDAH TAU JATOH PAKE NANYA!!!" Vio ikut teriak karena malu. Ia berusaha bangun dengan wajah merah padam, tidak mau menatap Wawan.
Wawan buru-buru memarkir motornya sambil menahan ngakak, ia membantu Vio berdiri. "Gue kira lo pingsan."
"Ketawa lo???" Gerutu Vio masih menyamarkan rasa malu.
"Enggak??" Tapi Wawan nyengir. "Coba duduk dulu coba."
Vio tidak tahu kenapa ia menuruti kata Wawan, ia duduk di anak tangga batu depan pagar rumahnya seraya mengurut-urut kaki dan meringis perih.
"Coba liat lutut lo, luka tuh pasti."
"Ntar aja deh." Vio masih meringis, merasa yakin pasti dengkulnya akan membiru berdasarkan rasa sakitnya sekarang.
"Lagian lo kenapa sih woy?"
"Ya gak tau, nyangkut! Emangnya gue yang mau jatoh???"
"Sakit ya?"
Mulut Vio serta merta terkunci ketika mendengar pertanyaan yang diajukan dengan nada tidak biasa itu, bukan nada meledek apalagi nyolot. Vio jadi salah tingkah.
"Lurusin coba." Kata Wawan lagi, seketika ada sesuatu yang bergerak heboh di perut Vio, membuatnya mulas untuk alasan yang tidak jelas. Gerakan heboh itu semakin menggila saat tangan Wawan dengan sangat pelan dan hati-hati meluruskan kaki Vio. Pada saat yang biasa, pasti Vio akan menghardik: 'MALAH MAKIN SAKIT, BEGO!' tapi tidak kali ini.
Suara jangkrik dari halaman rumah Vio seakan menjadi lagu latar saat Vio menatap rambut bagian depan Wawan yang menjuntai begitu dekat dengan matanya.
Ia harus bilang.
Vio baru akan membuka mulut namun Wawan memotongnya, "Sorry ya."
"Sorry napa?" Vio menelan ludah.
"Sorry aja. Kita kan berantem kemaren."
Iya soalnya lo bolot. Gerutu Vio dalam hati.
"Dimaafin gak nih?"
"Iya, tapi gue belom maafin Rizqullah udah bikin gue jatoh." Vio berkata sambil berusaha meredakan debaran jantungnya yang makin kencang.
Wawan terkekeh.
Setelah itu hening, keduanya sama-sama menatap jalanan depan rumah Vio yang sepi. Vio pun berkata lagi setelah susah payah menjinakkan ulat bulu yang membuatnya geli sekujur tubuh.
"Lo kenapa gak baca tulisan yang gue tulis di papan tulis sih?"
"Hah? Papan tulis mana?" Wawan mengerutkan kening.
"Papan tulis kelas kita.. Gue nulis sesuatu di situ."
"Apaan?"
Tuh kan bolot. Vio menggerutu.
"Apaan sih? Nulis apaan lo? Puisi??"
"Ngaco! Gue nulis 'Iya gue mau'!!!!! Begoooooooooooo, Bagas begooooooooooo!!!!!!" Akhirnya Vio mengeluarkan misuhannya.
Saat itu waktu seakan berhenti berputar dan jangkrik di halaman rumah Vio sampai ikut mengheningkan cipta.
Wajah serius Wawan berubah jadi wajah mangap, sedetik kemudian salah satu kabel di otaknya tersambung dan matanya seketika bersinar paham disusul muka yang kini sama merahnya seperti muka Vio.
"Jadi... lo denger? Lo gak budeg?"
"Enggak!" Vio mengentakkan kakinya tanpa sadar. "Udah punya modal kan lo nikahin gue?"
Wawan mengerjap-ngerjap bukan karena tidak punya jawaban, tapi karena ia masih memproses semuanya sekaligus merasakan badannya merinding bukan karena setan tapi karena bahagia yang meledak-ledak. Ingin rasanya ia tancap gas ke rumahnya dan memanggil 'AYAAAAH, IBUUUN, ANAKMU BAKAL KAWIIIN.'
Tapi dengan segera ia berubah serius lagi.
"Bisa jalan gak lo. Ayo ke dalem."
"Hah?" Giliran Vio yang mangap. "Ngapain?"
"Ayo ke dalem, gue mau ngomong sama orang tua lo."
Wow.
"Berani lo???"
"Beranilah. Masa lo mau gue bawa kawin lari. Ayo, bisa jalan gak?"
Masih dengan ketakjuban karena kesiapan Wawan, Vio pelan-pelan berdiri dengan lutut yang masih sakit.
"Gas." Kata Vio sebelum mereka mencapai pintu.
"Ape."
"Ntar kalo kita ceritain cerita lamaran kita ke orang-orang, pokoknya ceritanya lo duluan ya yang ngelamar. Gak usah ceritain bagian miscomnya. Malu banget gue."
"Lah gaklah, kan lo yang tadi ngelamar gue."
"NGACO LO! ITU TADI KAN GUE NGASIH JAWABAN BIARPUN KETUNDA SEMINGGU ABISNYA LO BOLOT."
"LAGIAN NULIS JAWABAN DI PAPAN. GIMANA GUE MAU LIAT?? MANA PURA-PURA BUDEG DULU."
Jangkrik pun kembali bernyanyi riang.
*
Tambahan: Mari kita tunggu cerita Wawan lamaran resmi, ini di depan rumah Vio:
"Gas, ntar kalo kita udah tinggal bareng dan gue lagi bikin kue, jangan sekali-kali lo pake gombalan satu sdm sama dengan satu sendok manis ya. Awas lo."
"Gaklah, buat lo mah satu sendok mantulllll."
*
a/n: hallooooo. karena memang sejak awal Komet Reunion ini konsepnya hanya potongan-potongan cerita yang tidak bersambung jadi aku pun nulisnya saat sedang ingin dan ada inspirasi saja hehe.
tapi kasian ya masa lamaran dua sejoli koplak ini terputus dan tulisan Vio di papan tulis masih dianggurin gitu aja.
everybody say thank you Rizqullah!
semoga cerita kali ini mengobati kekangenan kalian sama Wawan dan Vio.
untuk Unluckily Lucky mudah-mudahan masih bisa dilanjut, mari kita semua doakan Niki supaya skripsinya lancar jadi bisa nulis lagi. aamiiin <3
happy new year! thank you for the journey this year,
yang belum beli novel Komet 101, beli ya! hehe.
ada year end sale tuh. (eak)
loves,
saturnisa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top