3 - A Kid
Kaki mungil itu mulai melangkah perlahan, goyah pada langkah ketiga tapi tetap melanjutkan. Hanya beberapa sentimeter dari langkahnya, Rama duduk bersila, merentangkan tangan dengan ekspresi takjub di wajah, menyambut langkah anaknya.
"Ayo, ayo, adek bisaaa! Deket lagi sampe papa!" Mala menyemangati seraya berjaga di belakang Raras.
Di langkah kelima, Raras mendarat di pelukan papanya yang matanya sudah berkaca-kaca, "Anak papa udah bisa jalaaaan." katanya sambil menciumi pipi Raras. Dua tangan Raras terkepal dan kakinya menendang-nendang seakan berkata bahwa dia masih ingin melangkah.
Rama balas menatap Mala yang menutup mulutnya, sinar mata mereka sama, haru dan bahagia menyaksikan pijakan pertama Raras, menandai awal dari ribuan langkahnya setelah ini, menyusuri dinding rumah, menghampiri mama di dapur, menyapa papa di ruang tengah atau berlarian di halaman.
"Sebentar lagi bisa lari-lari ya sayang, ya?" Rama masih dalam euforia, sekelebat ingatan saat Raras pertama kali merangkak, berputar-putar di ruang tengah dengan baby walker merah muda yang berbunyi gemerincing, lalu saat ia memegangi kedua tangan Raras yang terangkat, mengajari anaknya berjalan dengan lebih dulu menginjak kakinya, berujung pada ayah dan anak berguling-guling di atas karpet diiringi tawa dan gumaman bayi, semua momen yang mengantarnya pada satu momen ini, akhirnya, saat Raras mulai bisa berjalan tanpa dipegangi.
"Tapi jangan kenceng-kenceng ya, Nak, larinyaaa." Mala mengelus rambut anaknya penuh sayang.
Drrrt drrrrt. Ponsel Rama yang tadinya tergeletak di lantai—hendak ia pakai untuk merekam langkah pertama Raras—bergetar menandakan telepon masuk. Nama Rasyid tertera di layar, dengan sigap Rama mengangkatnya.
"RAM!!!!!"
"Iya, kenapa, Cid?" Rama merasakan jantungnya berdebar keras menangkap urgensi dari suara Acid di seberang sana. Mengingat sekarang adalah tanggal perkiraan—
"RAM SUMPAH RAM, GUE SEKARANG UDAH DI RS. TADI DICA..."
Jantung Rama mencelos mengetahui dugaannya tepat, ia bahkan tidak bisa menangkap apa yang dikatakan Acid selanjutnya, mendadak semuanya terasa terlalu cepat untuk bisa dicerna.
"GIMANA?? GUE BELOM BISA MASUK RUANGAN???" Suara panik Acid kembali menarik Rama, membuat tangannya mendadak berkeringat. Mala yang mengambil alih Raras menatap suaminya bingung, menyadari ada yang aneh.
"Tenang, Cid." Kata Rama setelah menarik napas lamat-lamat, dia pun sedang berusaha tenang. "Udah hubungi orang tua lo? Orang tua Dica? Ok, tunggu ya gue ke sana. RS-nya sesuai rencana kan?"
Setelah sambungan telepon terputus, Rama memandang Mala berusaha mengomunikasikan apa yang sedang melandanya pada istrinya tanpa kata-kata.
Mala beringsut mendekat, menyentuh tangan Rama untuk menenangkannya, Raras juga menggumam seolah paham. "Yuk, Dica lahiran kan?" Ajak Mala lembut, meyakinkan Rama bahwa ia akan baik-baik saja meski jelas sekali situasi seperti ini pasti sedang mengingatkan Rama pada dirinya sendiri berbulan-bulan lalu, sewaktu Raras lahir.
"Kamu gak apa-apa. Ayo." Raras membantu Rama berdiri, masih dengan Raras di gendongannya. "Nanti aku yang kabarin temen-temen lain."
*
Beberapa jam sebelumnya
Serangkum bunga baby breath menghalangi pandangan Dica yang sedang duduk di depan semangkuk yakiniku dari Yoshinoya yang baru diantarkan ojek online.
"Selamat anniv, Yts. Istri." Ujar suaminya pelan sebelum mengecup pipinya dan menyerahkan bertangkai-tangkai baby breath yang dilapisi kertas pembungkus berwarna biru.
Dica ikut tersenyum saat Acid memberinya senyuman bersudut persegi yang selalu membuatnya jatuh cinta, bahkan sampai sekarang, sampai hari anniversary mereka, Dica sudah salah mengira, tentu saja Acid ingat tanggal ini dan di mana mereka berada pada hari ini setahun yang lalu. Hari pernikahan mereka.
"Selamat anniv juga, Yts. Suami." Jemari Dica menyentuh ujung-ujung bunga kecil favoritnya itu dengan sayang.
"Kamu gofood Yoshinoya?" Acid yang menarik kursi di meja makan menyadari mangkuk di atas meja. "Kok cuma satu?"
Melihat Dica tersenyum, Acid dengan sekejap memahami, "INI SURPRISE BUAT AKU YA?"
"Ssst, pelan-pelan," Dica tertawa kecil melihat antusiasme Acid. "Akunya minum ocha aja gak apa-apa ya, udah makan sayur tadi."
"Kirain kamu ngidam Yoshinoya. Tadi harusnya nitip aku, sekalian keluar aku beliin."
"Snowball." Gumam Dica tiba-tiba, membuat kening Acid berkerut.
"Apa, Ca?"
Dica masih dengan senyuman manisnya, "Inget gak kita ngomongin Snowball si kelinci sambil makan di Yoshinoya abis nonton?"
Hanya dalam sepersekian detik, mulut Acid kembali menganga menunjukkan keterkejutan sekaligus pemahaman, "Ca... Ini tuh kamu mau reka adegan first date kita?"
"Kenapa reka adegan sih... Reenact aja deh reenact, replika momen?"
Acid tidak mampu membendung senyum lebar mendengar gagasan Dica yang dicetuskan dengan menggemaskan.
"Apapun itu pokoknya..." Dica memegang kedua pipinya malu, "...aku pengen ngulang first date kita."
Acid semakin ingin mengacak rambut Dica melihatnya menggemaskan seperti itu. "Sekarang kita kencannya ngajak adek di perut kamu ya? Hehe. Eh aku perlu ganti pake jaket denim gak? Biar replika banget gitu."
"Enggak usah. Aku aja gak pake baju yang aku pake waktu dulu, kamu tau sendiri, gak bakal muat." Dica mengelus perut besarnya. "Maaf ya kalo hadiah annivnya gini aja, aku lagi engap-engapnya, pasti sekarang juga keliatan kusut banget ya?"
Acid sengaja memajukan tubuhnya dari seberang meja makan bundar mereka untuk menyelipkan rambut Dica ke belakang telinga, "Kamu hamil justru tambah cantik."
"Hmmm gombal."
"Prinsip aku kan gombal tapi nyata."
"Apa sih, Rasyiiid."
"Kok gak manggil 'Mas'??"
"Kan lagi first date, waktu dulu aku gak manggil kamu 'Mas'."
"Oh iya bener juga, ntar ketuker sama mas-mas Yoshinoyanya bisa gawat."
"Udah ah, kamu makan."
Dica meneguk ochanya dan menyadari kalau alih-alih makan, Acid malah memperhatikannya dengan senyum bersudut persegi yang telah membuatnya jatuh cinta, yang pernah dilihat Dica dengan saksama waktu mereka duduk di satu meja di Yoshinoya sehabis menonton film tentang hewan yang bisa bicara.
"Kenapa?"
"Aku lagi nginget-nginget momen ini." Jawab Acid dengan nada lembut yang membuat Dica gugup. Lelaki itu dengan mudah menciptakan atmosfer yang mengingatkan Dica pada detail kencan pertama mereka, mulas dan gugup namun nyaman, all at once.
Dan saat Acid mulai menyuap, seketika tangan Dica mencengkram ujung meja, menyadari bahwa mulas yang dirasakannya bukan mulas biasa.
"Ca, kamu kenapa?????" Acid terperanjat melihat Dica terengah-engah berusaha bangun dari kursi, dengan cepat hingga sendoknya berdentang jatuh, ia menghampiri Dica dan menopang tubuhnya. "Ca, Ca, perut kamu sakit??"
"Uh, ka...kayaknya... Icad..."
"Icad.. Icad mau keluar ya? Hah? Sekarang Icad mau keluarnya? HAH, DEK. GAK BISA LIMA MENIT LAGI?"
"Rasyid..." Napas Dica semakin memburu sementara Acid panik.
"BENTAR CA, BENTAR, AKU AMBIL HOSPITAL BAGNYA DULU, ABIS ITU KITA KE MOBIL. CA, KAMU RILEKS DULU."
Seperti kesetanan, Rasyid berlari ke ruang tengah dan menyambar keperluan persalinan yang sudah mereka siapkan jauh-jauh hari, ia juga sempat mengambil jaket denimnya yang tersampir di sofa.
"Sini, sini, pegangan aku." Dengan tangan kiri mencangklong hospital bag, tangan kanan Acid berusaha memegangi Dica selagi berjalan menuju ke depan rumah.
"Cad, Nak, sabar ya... Jangan keluar di rumah, Nak. Di RS aja, ntar kamu kenalan sama suster-suster—EH KONCI MOBIL AKU ADA DI SAKU GAK YA?" Acid terus meracau karena panik.
Di mobil, Acid berusaha setenang mungkin supaya mengemudinya tidak jadi petaka tapi setiap ia melirik istrinya yang kelihatan menahan sakit, Acid jadi ikut frustrasi.
"Ca, sabar ya, Ca," Acid pucat pasi, "Icad juga sabar ya, Nak.. Kita masih di jalan. Kamu gak mau kan kamu lahir di tengah jalan? Nanti ditilang..."
Sepanjang jalan, Acid komat-kamit berusaha menenangkan Dica sekaligus mengajak anaknya yang sepertinya sudah tidak sabar ingin lahir itu bicara, berharap itu bisa sedikit mengurangi rasa sakit Dica.
Sesampainya di Rumah Sakit Bersalin, Dica segera ditempatkan di sebuah ruangan.
"Bapak suaminya kan? Tunggu dulu di sini sebentar ya." Ujar Suster yang tengah bersiap mengenakan masker. "Nanti kalau sudah boleh masuk, saya langsung panggil."
Seketika mulas berpindah ke perut Acid.
Ia duduk dengan gelisah di bangku panjang di depan ruangan, tangannya terkepal jadi satu dan ia ketuk-ketukan ke dahi saat ia menyadari ia belum mengabari siapapun. Dengan cepat ia menelepon ayahnya, ayah Dica dan Rara lalu akhirnya, Rama. Acid bahkan bisa mendengar suaranya sendiri bergema di lorong, suara cemas yang membuatnya ingin menabrakkan diri ke dinding.
Setelah memastikan semua yang ia telepon akan tiba di Rumah Sakit secepatnya, Acid kembali menunduk dan berdoa. Tidak ada yang lebih diinginkannya saat itu selain menerobos masuk ke ruangan menemani istrinya berjuang.
Acid bangun dari duduknya, mondar-mandir, masih berdoa sambil menutup mulutnya, ia nyaris menempelkan kupingnya di daun pintu demi mendengar secuil suara dari ruangan itu saat pintu itu menjeblak terbuka, Acid terlonjak.
"Bapak boleh masuk sekarang." Kata suster yang tadi, yang ternyata membuka pintu.
"Eh, Sus.. Saya... belom minjem helm dari parkiran."
"Hah?" Suster itu keheranan mendengar omongan ajaib Acid, namun sejurus kemudian Acid yang mengerjap-ngerjap begitu melihat isi ruangan.
Hal pertama yang dilihat Acid adalah Dica yang masih berkeringat, menarik dan membuang napas sesuai instruksi dokter kandungan di sebelahnya, bayinya belum lahir.
Dengan langkah goyah namun mantap, Acid menghampiri istrinya, melupakan helm, melupakan kemungkinan rambutnya akan dijambak, melupakan semuanya. Ia mengusap dahi Dica, istrinya itu sempat-sempatnya membalas senyuman Acid, seolah ingin menenangkan suaminya padahal ia yang lebih butuh ditenangkan.
Dan semenit kemudian, terdengarlah suaranya, suara tangisan yang memecah ruangan termasuk dalam ruang kepala Acid. Tangisan pertama Risyad.
Air mata Acid menggenang hanya dengan mendengarnya, terlebih saat bayi mungilnya berpindah dari tangan dokter ke gendongan tangannya.
Ia menoleh pada Dica yang juga meneteskan air mata, senyum mereka berdua tergurat bersama.
Selamat datang, Risyad.
*
Rama meletakkan sebotol air mineral di bangku di sebelah Acid sementara Acid sedang membalas chat dari Wawan.
[Kunyit Kisut]
Cepet woy, lo jadinya mau dibeliin apa? Naspad, nasgor, apa mi ketek???
Mi tektek maksud gue
[Areng Batok]
Makanan yg cocok buat seorang ayah apa ya wan?
[Kunyit Kisut]
GUE BELIIN NASGOR AJALAH.
"Thanks, Ram." Kata Acid setelah mendenguskan tawa membaca chat Wawan, ia membuka tutup botol air mineral yang diberikan Rama lalu meneguknya.
Dica sedang istirahat dan Icad sedang digendong-gendong neneknya di dalam ruangan. Rama dan Satrio sudah datang dari tadi dan berkata bahwa anak-anak Komet akan datang rombongan sebentar lagi. Hanya Wawan yang sedang diutus membelikan makan malam untuk Acid.
"Gue belom ngucapin resmi, selamat ya, Cid."
"Hehe." Acid sontak nyengir. "Jadi gini ya rasanya, Ram..."
Rama tersenyum paham, "Gimana rasanya?"
"Ah, malu deeeeh, pertanyaannya gituuuu." Acid mulai gengges memukul bahu Rama manja, lupa kalau dia baru saja jadi ayah beberapa jam lalu.
"Maksudnya gimana rasanya pas anak lo lahir?"
Dalam sekejap ekspresi Acid berubah, ketengilannya seakan menguap sewaktu matanya menatap hangat ke arah Icad yang sedang ditimang-timang neneknya, "Rasanya waktu pertama denger dia nangis terus liat dia... kayak... seluruh hidup gue tuh buat dia, Ram."
"Kayak semua keraguan lo, kecemasan lo, semuanya langsung ilang ya, semuanya terjawab. Ya gak?"
"Iya terus kayak... hidup gue tuh berasa langsung lengkap, Ram, ngerti gak?"
"Itu juga yang gue rasain waktu Raras lahir, Cid." Rama diam sejenak, menarik napas dalam-dalam seakan mempertimbangkan ulang, tapi akhirnya dia bersuara lagi, "Ada banyak sebenernya yang gue rasain dan gue alami waktu Raras lahir, yang belom pernah gue ceritain ke siapa-siapa termasuk lo."
Acid tertegun, ia menoleh menatap sahabatnya bingung, "Maksud lo?"
Wajah Rama sekilas diliputi kabut, "Sebenernya waktu Mala hamil terus menjelang Raras lahir, gue nunjukin gejala-gejala anxiety."
Lorong Rumah Sakit itu menjadi dua kali lipat lebih hening dan suara-suara khas Rumah Sakit yang tadinya terdengar sayup-sayup langsung tereda sebagai efek dari ucapan Rama.
"Ram..." Acid masih mencerna, tatapannya bingung.
"Sempet periksa juga ke psikolog berkali-kali, waktu proses sembuh, Raras lahir dan hari itu puncak kecemasan gue," Rama menarik napas, meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja dengan menceritakan ini, "gue mendadak gak bisa liat apa-apa, Cid, pandangan gue kabur, kaki gue lemes. Saat gue harusnya jadi orang yang ada di sisi istri gue, saat gue harusnya gendong anak gue untuk pertama kalinya, gue malah... gak bisa."
Ada nada pedih yang menyayat dari ucapan Rama, membuat Acid ikut merasakan sakitnya.
"Inget kan cerita gue ke RS cuma pake celana pendek pas Raras lahir, semua heran sama cerita itu karena seorang Rama yang terstruktur dan penuh persiapan tiba-tiba kayak gitu. Karena emang sebenernya semuanya udah gue siapkan kecuali diri gue sendiri, gue gak siap sama serangan kecemasan itu.
"Selama satu jam gue cuma bisa duduk nyender di tembok, ditenangin Iqbal sama nyokap gue, sampe gue denger dokter bilang anak gue udah lahir. Hati gue hancur, Cid, karena anak gue lahir saat ayahnya lagi dalam kondisi kayak gitu. Bisa dibilang sekarang gue udah gak pernah kambuh lagi tapi setiap inget waktu itu, gue mulai gemeteran lagi. Gue trauma." Rama tersenyum sebelum melanjutkan lirih, "Padahal harusnya gue lebih inget momen anak gue lahir tapi sayangnya apa yang gue alami hari itu ninggalin trauma. Jujur, waktu gue terima telepon dari lo tadi sore, gue langsung gemeteran dan agak sesek."
"Ram, sorry banget, sorry banget gue baru tau sekarang." Acid menepuk pundak Rama. Merasa bersalah karena tidak pernah tahu di balik sosok Rama yang selalu menjadi andalannya, sebenarnya ia sangat rapuh.
"Bukan salah lo, emang guenya juga gak cerita." Rama terlihat lebih lega, "tapi gue yakin gue bisa sembuh, tiap liat Raras, gue yakin gue bakal sembuh. Waktu pertama liat Raras setelah dia lahir, semua cemas gue ilang gitu aja, Cid, semua pertanyaan juga kayak ketemu jawabannya. Anak-anak kita tuh harapan."
Acid kini ikut tersenyum lega menyetujui ucapan Rama, sebelum ponselnya bergetar berulang-ulang.
[Kunyit Kisut]
Woy woy woy woy pak, nasgornya pedes apa gak? Pake ati? Pake kerupuk?
[Areng Batok]
BANYAK NANYA LU
*
Di sudut lain Rumah Sakit, di dekat pohon yang rindang dan kantin, Satrio duduk menatap layar ponselnya, sedang berdeat dengan dirinya dalam hati. Terbayang di benaknya pemandangan sahabatnya yang kini telah jadi ayah, Acid menggendong bayinya dengan wajah bahagia, wajah terbahagia Acid yang pernah Satrio lihat.
Lalu terngiang perkataan Acid sewaktu Satrio bertanya, 'Lo beneran udah siap banget ya jadi orang tua, Cid.'
Dan temannya itu, teman yang pernah jadi teman sekamarnya, yang suka mengadakan siaran radio di depan kaca, yang menyenandungkan lagu Naif keras-keras, yang mengajak bicara vespanya tiap hari, berkata begini:
'Siap gak siap gue harus siap. Jadi gue berusaha siap jadi ayah yang baik, keren, dan kece buat anak gue. Karena Sat, anak gak bisa milih mau punya orang tua kayak gimana tapi orang tua bisa milih mau jadi orang tua kayak gimana. Gue milih buat jadi yang terbaik buat anak gue.'
Kata-kata itu juga yang mengantarkan Satrio pada lamunan tentang Ayumi, yang masih enggan membalas pesan Satrio dan masih belum bisa ditemui.
Entah bagaimana, mendengar Acid mengatakan kalimat itu membuat Satrio berpikir kalau ia pun bisa.
Ia bisa memilih untuk jadi siap.
'Ay,' Akhirya Satrio mengetik, 'I think I'm willing to try.'
Ternyata kehadiran seorang anak bukan hanya memberikan harapan bagi orang tua mereka, tapi juga bagi seorang Satrio.
*
Enam bulan kemudian.
"Icad anak ayaaaah, anak ayaaah paling ganteng kayak ayaaaah~" Acid mendendangkan lagu asal buatannya sendiri sembari menggendong Icad di gendongan bayi, sesekali senyumannya begitu lebar sampai membuat matanya terpejam gemas setiap Icad merespons dengan bunyi-bunyian bayi seraya mengepal-ngepalkan tangan.
"Nyanyi mulu, ngences tuh anak lo." Cibir Wawan.
Saat itu Acid sedang mengasuh Icad karena Dica sedang ada event besar di kantornya pada hari libur. Jadilah Acid mengajak Icad main ke rumah Pangeran Keraton, katanya Icad sekalian pdkt sama Raras.
Tidak lama setelah diberitahu di grup diminta menyusul, Wawan datang bersama Vio, menyusul Satrio yang baru pulang CFD. Satrio datang bersama adik kesayangannya, Almighty Opang yang berhasil ia seret ikut lari pagi.
"Ram, ini jodohnya Raras gak mau lo seleksi dulu gitu? Masa calon tunggalnya anak si Acid doang?"
"Ya udah anak lo, Wan?"
Wawan yang diledek, tapi Vio yang melotot mendengarnya.
"Anak Wawan mah ntar plek-plekan bapaknya, Ram, auto gagal seleksi calon Putri Keraton, udahlah." Acid menyergah, merasa merdeka karena Wawan tidak akan bisa menghujaninya dengan makian atau sambitan kalau ia sedang menggendong Icad.
"Raras masih kecil yaaa Raras, yaaa?" Rama mencubit pipi Raras yang berdiri di dekat meja, "Gak boleh pacar-pacaran sama papa."
"Susah nih bapaknyeee, kawat kedubes, sulit ditembus, Bos." Komen Satrio. "Pasti ntar pas udah gede, Raras izin mau nonton konser musik, bapaknya harus ikut. Ngeliatin dari belakang. HAHAHA."
"Iyalah, gue ikut. Bawa semprotan merica juga buat gue semprot ke cowok yang mau kurang ajar sama anak gue."
"Astaga, Ram."
"Kalo anaknya Wawan izin nonton konser, dibekelin kresek takut ujan."
"Basi lo gak lucu, Sat." Wawan misuh.
"Baru konser, belom dugem. Biasa aja." Akhirnya Opang turut komentar.
"Ooooow, kalo anak lo gimana, Pang? Nonton konser bawa bendera Slank ya?"
Opang berdecak seraya menggeleng-geleng datar.
"Kalo Icad nonton konsernya ama guenya laaah. Nonton Naif Band kita."
"Kembaran pake jaket bau baygon."
"Yoeeeeh." Acid memainkan tangan anaknya dengan wajah berseri-seri. "Jadi kepikiran nulis surat buat Icad..."
"Hah? Emangnya Icad udah bisa baca, Bang?"
"Buat dibaca ntar pas dia udah gede lah, Paaang."
"Apaan isinya?"
"Kiat-kiat nonton konser dan gaet cewek."
"Alah, bisa jadi satu kitab tuh. Lo kan mantan playboy cap buncis, Cid." Wawa mencibir, sebagai korban ajaran Base dari Suhu Acid, ia sentimen.
"Enggak deeeng, isinya petuah hidup yang berguna. AH IYA AH, NTAR GUE BIKIN. Tapi gue semedi dulu, perlu gue sisipin tips n trick rambut jidat gelombang laut gak ya???"
"Suka-suka lo."
Mereka masih mengobrol ngalor ngidul di ruang tengah Rama saat Acid kebelet pipis dan menitipkan Icad pada satu-satunya perempuan di situ.
"Nitip dulu, VI, bentar gue pengen pipis. Gue gak bisa nitipin ke Wawan, takut sawan anak gue."
"Heh!"
Begitu Vio sudah menggendong Icad dengan kaku dan tidak biasa, semua mata seperti menyorotnya.
"Kenapa sih? Aneh banget apa gue gendong bayi???" Protesnya.
"Lo salah itu gendongnya, kasian Icad ntar dengklek palanya." Wawan berdecak.
"HAH? COBA BENERIN, WAN! NANTI SEKRUPNYA LEPAS GIMANA?"
"MANA ADA SEKRUP SIH PINTER. INI BAYI MANUSIA."
Tanpa menyadari pengamatan orang-orang di sekeliling mereka, Wawan membetulkan posisi Icad di gendongan Vio yang kaku seperti patung, seolah tidak pernah menggendong bayi sebelumnya. Tanpa sadar jarak mereka jadi dekat, dengan Icad di tengah-tengah mereka.
"Cocok." Gumaman Opang serta merta membuat Wawan dan Vio membelalak, saling bertatapan sedetik lalu membuang muka. Wajah keduanya merah.
"Lukisan yang Bang Rama gantung di situ cocok." Lanjut Opang tanpa dosa, Satrio dan Rama sampai menggigit bibir menahan tawa.
Wawan berdeham, sebuah rencana yang sudah memenuhi pikirannya sejak sebulan lalu mendadak menyerang lagi benaknya tanpa ampun, ia melirik Vio, masih dengan wajah semerah kepiting. Icad sampai bengong dengan mulut terbuka melihat Wawan yang salah tingkah.
"Gendong bayi aja gak bisa lo, ngasuh tamagotchi mulu sih." Gerutu Wawan sebagai pengalih kesaltingannya.
Di sisi lain, Satrio membuka satu notifikasi baru di ponselnya.
Chat dari Ayumi.
Pijar di matanya yang sempat kembali melihat nama itu dalam sekejap redup lagi ketika membaca isinya, lengkap dengan sensasi yang meremas hatinya jadi tidak berbentuk.
'Yo, maaf baru bisa ngabarin.
Minggu depan aku lamaran.'
*
a/n:
lebih penasaran sama isi surat dari ayah acid buat icad atau sama kisahnya iyo ayu nih? hihihi.
terima kasih vote dan commentnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top