3 - Astaga Dragon

Pak Prya memaksa gue menemani si Aya, eh sorry maksudnya Lika selama acara penyambutan. Kalo udah Pak Prya yang minta, ya jongos kaya gue bisa apa?? Jadilah gue menurut, sambil terus membuat kopi baru biar kepala gue gak pening.

Percaya atau engga, baru 2 jam gue nemenin Aya, eh Lika, gue udah ngabisin empat gelas kopi, parah! Padahal kan setau gue batas maksimal konsumsi kopi harian itu hanya 3 cangkir, lha gue apa kabar?

Ahh sudah lah! Bodo amat.

Yang gue heranin dari situasi ini adalah... kenapa bisa Mondhalika Anaya Putri jadi PR di kantor gue?? Setau gue, dulu dia kerja jadi customer service di salah satu toko shopping online sebelum akhirnya dia menghilang dimakan Kaiju.

Jujur, gue benci banget ngeliat muka dia. Sumpah! Kalo bisa gue tenggelamin ke palung laut terdalam, gue tenggelamin deh.

"Apa kabar Za?" Tanyanya santai setelah ia ngobrol-ngobrol sama Oji dan lain-lain.

"Kaya yang lo liat aja." Jawab gue.

"Aku gak nyangka kamu masih di kantor yang sama kaya dulu, setia banget ya!"

Gue gak menyahuti perkataan itu, suka-suka elo dah nyet!

Gue berjalan menjauh dari dia, ke stand kopi lagi, kopi gue sudah habis dan gue mau bikin baru.

"Za, udah berapa cangkir kamu ngopi?" Gue menoleh dan melihat Lika ada di samping gue, pandangan matanya teduh, masih sama seperti dulu. Ah, shit!

"Bukan urusan lo! Eh iya, lo bisa sendiri kan? Gue tinggal ya, ada kerjaan." Kata gue setelah memasukan air panas ke kopi gue, lalu gue pergi.

Mending gue di ruangan, mandangin lumba-lumba, atau ngechat anak-anak gila, atau video call lagi sama Ulfa. Apapun deh, asal jangan sama dia.

Gue berjalan ke ruangan, menuruni anak tangga satu per satu, sudah pukul 3 sore. Gue gak pernah segirang ini liat Tiara, Andre dan Johan ada di ruang kerja gue, entah mereka lagi ribut apa. Kayanya sih kerjain laporan. Yak, gue memang memperbolehkan mereka kerja di ruang kerja gue, kita satu tim, jadi gak ada yang gue bedain. Lagian, sofa ruangan gue lebih nyaman dipake buat kerjain laporan bersama daripada kubikel mereka yang cuma sepetak itu.

"Oy! Gimana?" Tanya gue, duduk di samping Tiara

"Ini boss, udah beres, lo periksa lagi aja yaa??" Ujar Andre.

"Sipp, Ndre."

"Dari mana lo Mas?" Tanya Johan.

"Rooftop, sambutan PR baru."

"Eh iya, cantik gak?" Tanya Andre.

"Biasa aja."

"Permisi?!" Kami semua menoleh, gue makin kesel saat liat Lika ada di ambang pintu ruangan gue.

Mau apa sih Mak Lampir satu ini??

"Eh ada perlu apa Mbak?" Tanya Tiara sopan.

Lalu Lika masuk, senyuman manis masih mengembang di wajahnya. Bikin gue eneg.

"Saya Lika, PR baru. Kata Pak Prya saya bakal gabung tim Pak Fachreza, ini ya tim-nya??" Tanya Lika dengan suara yang... duh kalo gue jelasin pasti lo bayangin yang enggak-enggak deh.

"Eh iya, ayok Mbak Lika, duduk." Jojo, alias Johan, playboy kampret yang selalu ganti-ganti pacar setiap catur wulan, beraksi. Dia berdiri dan mempersilahkan Lika duduk. Lika tersenyum, duduk di sofa lalu Johan sendiri duduk di tempat lain.

Ini apa-apaan sih??

Johan langsung mendominasi pembicaraan, gue bersyukur dia aktif jadi gue hanya perlu diam sambil sesekali menyahuti yang penting-penting.

"Massss Ejaaaaa!" Gue kaget mendengar seruan itu dari luar.

Baru gue mau bangkit dari kursi, eh si Oji gebleg udah ada di depan ruangan gue.

"Ehh sorry Mas, gak tau ada rapat." Katanya kikuk.

"Santai Ji, kenapa lo kaya orang gila?" Tanya Andre.

"Hehehe gak penting sihh, Mas Eja menang tahoran, yang bener dia sama Mas Yusman doang, duitnya mau digimanain nih??" Tanya Oji.

"Berapa?" Tanya gue.

"Tiga juta, bagi dua ya jadi satu setengah Mas."

"Simpen entar gue ke tempat lo!" Mayan tuh buat ke bar.

"Okaay! Eh iyaa, selamat bergabung ya Mba Lika, seneng deh ada yang cakep-cakep gemesin kaya Mbak! Hehehe udah ah permisi!!" Oji menghilang, gak ngilang kaya jin sih, balik belakang dia maksudnya, pergi.

"Di sini anaknya seru-seru yaa!" Seru Lika.

"Eh iya Mbak, udah kaya ke adek-kakak aja kita semua tuh." Ujar Jojo.

"Jangan Mbak deh yaa, panggil Lika aja, saya belum tua-tua banget kok."

"Oh emang umur berapa Lik?" Tanya Andre mulai sok asik.

Punya pacar woyy! Lo punya pacar Ndre di antah berantah! Kenapa jadi ganjen sih? Tadi aja bilangnya Lakukan Dengan Rasa. Halah, masa nemu yang ginian Rasanya langsung ilang!

"Baru 27."

"Eh seumuran." Ujar jojo.

"Sebelumnya kerja di mana Mbak?" Tanya Tiara.

"Sebelumnya di Malaysia, kontrak kerja 2 tahun terus balik lagi karena ada yang ketinggalan."

What?? Lika kerja di Malaysia sebelumnya? Okeee shit itu gak penting!
Move on Za, move on!

"Eh udah jam 4 lewat, gue balik yaa! Ra kirim laporan ke email, gue cek di rumah aja. Jo, lo yang bilang bu Indri soal ini yak, nanti gue yang kirim email, terus Andre, lo siapin kan kita ada tugas ke Pangandaran minggu depan."

"Sip Gan!" Seru Andre, yang lain juga mengangguk mengerti.

Gue bangkit dari sofa, mengambil kunci motor gue di meja kerja lalu keluar meninggalkan keempat coro itu di ruangan gue.

Pengin banget rasanya gue mampir ke tempat Pak Hakim sore ini, tapi gue udah janji ke Ulfa buat beli martabak. Kalo gue mampir buat ngintis, baliknya pasti malem dan Ulfa pasti udah tidur.

Di depan lift, gue sadar sesuatu, gue langsung ke ruangan HRD buat ambil duit tarohan gue. Ruangan HRD masih rame, masih banyak yang kerja, banyak pula yang ngobrol.

"Ji? Duit Ji." Kata gue saat tiba di hadapan si Oji.

"Eh iya Mas, nih!!" Kata Oji memberikan amplop kepada gue.

"Thanks yaa!" Ujar gue.

"Eh iya, ko bisa bener sih Mas??"

"Lha? Lo suruh nebak, ya gue tebak. Lagian kenapa 28 orang pada yakin dia gak single?" Tanya gue.

"PR Mas, biasanya kan udah tua, berumur dan berpengalaman. Lha ternyata masih muda, terus umurnya 27, cewe-cewe sekarang kan pada kebelet nikah, ya kita kira dia wanita bersuami." Jelasnya.

"Hahahah kalah kan jadinya! Dah ah gue caw, makasih yaaa!"

"Yoo, besok jajanin gue soto kuning di depan yak Mas?" Serunya ketika gue pergi. Enggan berbalik, gue hanya mengacungkan jempol kepadanya.

***

Ulfa senang saat gue datang bawa martabak 8 rasa pesenan dia. Gue juga beli martabak telor untuk keluarga gue yang lain, yang atasnya pake topping mozarella itu loh, dan liat cara Ulfa makan martabak telor itu, gue langsung ingat Kakak gue yang jauh di sana.

Cara makan mereka sama, martabaknya dibedah, daun bawangnya dipisah, setelah yakin gak ada daun bawang di dalam mangkuknya, baru dia guyur pake kuah. Gue jadi kangen Kakak gue.

"Bang, besok bareng ya? Fira ada kunjungan ke kantor Abang." Ujar Fira saat kami selesai makan malam dengan ayam goreng dan sayur sop bikinan Mama.

Gue mengangguk sambil mencomot martabak telor untuk hidangan tambahan malam ini.

"Abang berangkat jam 8, gak kepagian?" Tanya gue.

"Engga Bang, kumpulnya jam 9 kok."

"Ngapain?" Tanya gue.

"Emm gak ngapa-ngapain kok, itu sih ngecek laporan kadar limbah, polusi dan lain-lain."

"Lha itu mah di pabrik dong, bukan ke kantor pusat." Kata gue.

"Iyaa ini kan cuma liat laporannya doang gak ambil sample terus cek di sana." Jelasnya.

Udah lah, gue gak ngerti kerjaan anak Analisis Kimia kaya apa. Mending gue diem.

"Okeee!" Hanya itu jawaban gue.

"Za, temenin Papa ke kamar yuk?" Pinta Papa saat piringnya sudah kosong.

Gue mengangguk, berdiri dari kursi, gue menghampiri Papa, lalu membuka kunci kursi rodanya, setelah itu gue mendorong Papa menuju kamar.

Di kamar, gue sedikit menggendong Papa agar Papa bisa duduk di kasur,

"Ambilin buku Papa yang di laci itu deh Za?!" Titah Papa.

Gue mencari di laci yang ditunjuk Papa lalu melihat sebuah jurnal di tumpukan paling bawah.

"Ini, Pa?" Tanya gue sambil meraih jurnal tersebut.

"Iyaa, siniin." Gue langsung meletakkan jurnal itu ke pangkuan Papa, gue sendiri duduk di pinggiran kasur.

"Kak Qila belum ngabarin Eza lagi Pa, kalo Papa penasaran." Kata gue memberi tahu sebelum Papa bertanya.

"Yaudah Za, kakakmu masih sibuk kali. Papa ada yang mau diomongin penting." Kata Papa dengan nada serius.

Ya, gue tau Papa, beliau gak pernah basa-basi, kalo ada yang mau disampaikan, pasti langsung diomongin.

"Apa Pa?" Tanya gue.

"Kamu simpen jurnal ini, kalo Papa udah gak ada kamu baca dengan seksama ya, nak?"

"Papa apaan sih!"

"Janji sama Papa."

"Papa masih ada, jangan ngomongin yang kaya gitu." Kata gue.

"Ini persiapan, Papa makin hari makin ngerasa lemah Za, Papa gak tau sampe kapan Papa bisa bertahan."

Gue diem, sejak Papa kecelakaan hampir 7 tahun lalu, kondisinya memang terus menurun, berakhir di kursi roda dan tenyata papa mengidap diabetes juga, jadi tiap bulan harus suntik insulin. Tapi, di mata gue, Papa masih sehat.

"Papa sehat, Papa kan udah gak ngapa-ngapain, nah tugas Papa ya cuma sehat, sisanya biar Eza yang urus."

Papa mengangguk, melepas kacamatanya lalu meletakkan itu di nakas.

"Terus kapan kamu mau nikah? Jangan sibuk urusin keluarga sampe-sampe kamu lupa berkeluarga Za."

"Itu belum kepikiran Pa, nanti kali di atas umur 35 baru Eza cari pacar yang bisa diseriusin." Kata gue.

"Gak ketuaan?"

"Cowok kali Pa, santai." Jawab gue sambil nyengir.

"Yaudah, simpen ini jurnalnya Papa, janji ya jangan dibuka sekarang?"

"Iya Pa janji."

"Yaudah Papa mau istirahat."

Gue mengangguk, membantu Papa berbaring, lalu membentangkan selimut di atasnya. Setelah itu, baru gue keluar kamar Papa.

Di luar, cuma nyisa Saphira, mungkin Mama udah nemenin Ulfa tidur di kamarnya Fira, ya, rumah ini cuma punya 3 kamar, gue tidur sendiri, Mama sama Papa, nah Fira sama Ulfa deh jadinya.

"Dek? Abang tidur ya?" Kata gue ke Fira.

"Iya bang, besok bareng, baliknya juga bareng, soalnya seharian di SFI." Katanya.

"Okay!" Gue langsung masuk kamar.

***

Sore ini gue syok!

Gimana engga, di depan gue sekarang Fira sama Lika lagi cengengesan berdua. Please deh, SFI tuh gede loh yaa! Kenapa mereka berdua bisa ketemu?

Ya Tuhan...
Apa masih kurang cukup becandain hidup hamba?? Kurang??

"Iya Kak, Ulfa udah masuk SD sekarang, Kak Aya sih pake putus segala sama Bang Eza, jadi aja gak main ke rumah lagi." Ujar Fira.

"Heheheh maaf ya." Sahut Lika.

Gue makin gak habis pikir, Lika sempet-sempetnya menyisipkan 'heheheh' sebelum bilang maaf. Gila!

"Bang, Abang diem aja, kenapa sih?" Tanya Fira.

"Gak apa-apa."

"Kak Aya sama Bang Eza pacaran lagi?" Tanya Fira lagi kali ini entah pertanyaannya buat siapa, yang jelas gue gak mau jawab.

"Fir, ayok pulang, kalo kesorean nanti hujan." Kata gue.

"Eh, Kak Aya ngajak jalan-jalan, Abang mau ikut? Apa pulang sendiri?"

"Dari tadi kek!" Gue bangkit dari sofa, lalu menyambar ponsel dan kunci motor gue.

Pas gue keluar, dicegat sama Oji. Damn! Gue lupa jajanin dia soto kuning tadi siang gara-gara si Lika sukses menggangu ketentraman hidup gue.

"Gak sempet! Nih gue kasih duitnya aja!" Gue langsung lari ke tangga setelah menyelipkan selembar lima puluh ribu ke saku bajunya.

Begitu di parkiran, gue langsung memacu motor gue ke warung jamu tenda kesayangan punya Pak Hakim.

"Oy Ja! Kemana aja? Seru padahal kemaren!" Pak Hakim langsung antusias mau cerita pas gue baru aja tempelin pantat di kursi kayu.

"Kanapa kenapaa?" Gue gak kalah semangat. Gue butuh sesuatu untuk mengalihkan pikiran gue dari Lika si mantan terbangke.

"Ada kecelakaan kemaren, ngeri gila!" Seru Pak Hakim memulai cerita.

"Eh kecelakaan apa?" Tanya gue.

Jadi gini, biar gue sedikit menjelaskan, warung ini deket pintu palang kereta dan pertigaan jalan yang lumayan luas, bukan jalan utama kota ini, tapi ya rame gak sepi kaya jalanan di kuburan. Nah wilayah ini emang rawan kecelakaan banget, entah karena palang kereta, belokan yang tajem atau desas-desus yang bilang tempat ini semacam segitiga dajjal karena dalam sebulan ada aja korban. Tentu saja gue gak percaya alasan yang terakhir itu.

"Truk, sama motor, motornya masuk ke kolong truk." Jelas Pak Hakim.

"Ajegilee, seriusan Pak? Mati?" Tanya gue.

"Yang kecelakaan kaga mati, luka-luka aja, yang nonton mati."

"Hah???"

"Iyaaa yang nonton kecelakaannya mati." Ulang Pak Hakim.

"Naha bisa? Motorna ngacleng niban penonton?" Tanya gue. (Kok bisa? Motornya mental tindih penonton?)

"Henteu ihh, eta penonton asik teuing, cicing di rel kereta, teu sadar aya kareta, ka babad weh." (Engga ih, penontonnya terlalu asik, diem di rel, gak sadar ada kereta, ketebas aja.)

"Aselina??" Tanya gue.

"Heueuh, bubur jelema deh!"

"Ancur??"

"HP-na henteu."

"Eh kok?"

"Lagi dengerin lagu dia, jadi gak denger suara kereta, masinis gak liat karena dia jongkok da gak sempet ngerem oge mun liat ge, dia ancur HP nya engga, keren eta hengpon, siga limbad." Jelas Pak Hakim.

Gue mengangguk. Ngeri yee.

"Pada syok tah yang lain?"

"Kaga! Orang pada gak sadar, semuanya terpaku sama truk nu ngaguling."

Gue garuk-garuk kepala, anjir juga bisa sampe kaya gitu. Duhhh mending nonton bioskop kali daripada nonton kecelakaan, atau nonton kebakaran, ada-ada aja kecelakaan generasi micin jaman now.

"Atuh Pak, intis atuh Pak!" Pinta gue saat sadar gue belom dikasih minum sama Pak Hakim.

"Oh iya poho! Eh heueuh kemaren malem ada yang cari kamu ke sini, geulis pisan, BMW." Kata Pak Hakim.

"Cewe naik BMW?" Tanya gue.

"Lain ihh, BMW teh Bohay Montok Weleh-welehhhh!" Jelas Pak Hakim, bikin gue ngakak.

"Siapa?"

"Pernah dulu kamu ajak ke sini, saha sih namina, poho da, Aya apa Ara kitu??" (Siapa sih namanya, lupa ih)

Gue diam, Aya bisa jadi si Lika, kalo Ara bisa jadi Tiara. Cuma, ngapain Tiara nyari gue? Dia gak tau tempat ini, dan gue gak pernah ajak dia. Nah kalo Lika... kayanya dia gak bohay kayak teh buatan neneng Maya, gak montok juga karena yang gue liat dia kurusan dibanding dua tahun lalu. Kalo weleh-weleh?? Ah tau dah!

"Terus Pak Hakim bilang apa?"

"Bilang weh kamu mah rabu jarang ke sini, ngapel."

"Mana ada ngapel hari rabu!"

"Pan sabtu maneh di dieu wae, unggal rabu tara kadieu, nah mikirna jadi rabu teh kencan." Kata Pak Hakim. (Kan sabtu mah kamu di sini terus, tiap rabu gak pernah ke sini, nah mikirnya jadi rabu tuh kencan)

Iye, kencan sama Ulfa.

Gue tak menyahuti ucapan Pak Hakim, segelas intisari sudah terhidang di meja, jadi langsung aja gue minum untuk melegakan tenggorokan gue.

"Eta kecelakaan, masuk berita teu?" tanya gue.

"Bosen kali wartawannya ngeliputnya juga."

"Tapikan ini mah jadi bubur Pak, bisi weh ada yang mau ngecapin. Tabur ayam kitu." Ujar gue. Yaa obrolan kaya gini udah jadi hal biasa buat gue dan Pak Hakim. (Kali aja)

"Dibawa ku polisi, udah kaya masukin adukan semen weh eta ke kantong mayat."

"Make sekop?" Tanya gue.

"Teuing make naon, heueuh meren make sekop." (Gak tau pake apa, ia kali pake sekop)

"Si gelo! Pan eta manusia meren!" Seru gue.

"Geus ebel pan jelema ayeuna mah." (Udah gila kan manusia sekarang tuh)

"Iya sih, mayatnya juga gak bakal protes ya??"

"Mau selai stoberi gak?" Tanya Pak Hakim.

"Darahnya belom ilang?" Gue langsung mengerti joke Pak Hakim.

"Hahaha belom, pada males siram, nunggu ujan kayanya." Sahut Pak Hakim.

"Eza!" Gue dan Pak Hakim menoleh. Lika ada di ujung tenda ini.

Ngapain sih??

"Nah Ja, ini yang kemaren nyari, Neneng BMW." Ujar Pak Hakim.

"Saphira mana?" Tanya gue.

"Udah aku anter pulang." Jawabnya.

Gue mengangguk. Lalu Lika mendekati gue, duduk di samping gue.

"Pak, bikinin minuman yaa, apa aja." Pinta Lika, lalu Pak Hakim mengangguk.

"Ngapain ke sini?" Tanya gue.

"Pengin ketemu kamu."

"Buat?"

"Ngobrol."

Gue hanya mengangguk meskipun gue males sih sebenernya, udah gak ada yang mau gue obrolin sama dia.

"Ini neng geulis!" Seru Pak Hakim memberikan segelas minuman warna coklat ke meja di hadapan Lika.

"Makasih Pak." Sahut Lika.

Gue diem, pengin pergi tapi bingung alesan apa. Stay di sini? Malesin. Astaga kenapa gue kaya cewek yang serba salah gini sih?

Okee, gue gak akan pergi cuma karena ada Lika di sini. Siapa elu sampe gue harus pergi dari tempat yang udah kaya basecamp ini?!

"Kereta barang yang biasa tea, kapan Pak berangkat lagi?" Tanya gue.

"Kalo gak salah mah minggu depan, tapi ke Madiun, jauh!"

"Yaah minggu depan ada tugas, gak bisa."

"Kamu masih suka naik kereta barang tanpa tiket terus tidur di kontainer sama buruh-buruh angkut?" Tanya Lika.

Gue mengangguk.

"Ya emang tanpa tiket kali Neng, pan gak ada yang jual tiket kereta barang mah." Pak Hakim menyambar.

"Maksudnya kan Pak kalo buruh angkut ada surat tugasnya, dia di dalem kontainter kosong karena emang kerjaannya di situ nunggu nanti sampe stasiun tujuan terus baru deh bongkar muat, lah Eza? cuma modal kenalan terus bawa intisari berbotol-botol." Jelas Lika.

"Bisa diem gak sih???" Kata gue. Lika langsung menatap gue tajam, lalu dia diam.

"Kalian teh berantem?" Kata Pak Hakim.

Gue diem. Mandangin Pak Hakim dengan tatapan heran. Pak Hakim lupa kali ya gue pernah ceritain semuanya ke dia?

Apa semua amnesia? Fira juga tadi biasa aja ke Lika. Padahal dia orang yang dulu mengutuk si Lika saat gue kena masalah 2 tahun lalu.

"Enggak Pak, Eza aja nih yang musuhin saya." Jawab Lika.

Jidad lo geser gue musuhin lo! Sadar Neng, elo yang gila! Bentak gue dalam hati.

Gue menenggak habis intisati gue, lalu tiba-tiba ponsel gue berbunyi.

Eragon's dragon calling...

Terpampang di layar HP gue. Langsung gue angkat.

"Oy? Kenapa Dek?"

"Papa masuk IGD kak! Tadi jatoh di kamar mandi, aku wasap baca mangkanya!" Seru Saphira.

"Oke okee!"

Panggilan terputus, gue langsung buka wasap, ada puluhan dari Saphira yang kabarin tentang papa, berikut nama rumah sakit.

Gue bangkit, buka dompet ambil selembar lima puluh ribu lalu gue taro di meja.

"Pak nihh entar kasih Toyo buat duit parkir sekalian, udah yaa!" Gue langsung menyambar helm dan bergegas menuju motor gue.

"Za kamu mau kemana?" Terlihat Lika mengejar gue.

"Lo mending jangan gangguin gue dulu! Balik sana!" Seru gue membentaknya.

****

TBC
thank you for reading, dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxo

*Anggep aja ini lagi nongkrong di warung jamu*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top