Tujuh Belas
"KAMU tulis ulang semuanya?"
"Iya, Bu."
"Termasuk ganti tema?"
Aku mengangguk pelan. "Saya rasa, draf pertama saya masih sangat kurang. Sesuai saran Ibu, saya rombak gaya bahasa dan coba buat kerangka sebelum nulis. Untuk tema sendiri, saya nggak benar-benar 'ganti', saya tetap menulis tentang cyber-bullying dengan fokus pada denigrationー" aku langsung teringat Serga, "ーpencemaran nama baik seperti gosip, rumor tidak benar yang merusak reputasi seseorang. Saya rasa, itu kenakalan remaja melalui media digital yang jarang dibahas."
Bu Suci mengangguk-angguk meresponi penjelasanku, sementara matanya masih menelusuri dua lembar artikel padat yang kucetak semalam.
Setelah konversasi dengan Serga dua hari lalu, aku banyak mengurung diri di kamar untuk memperdalam riset sekaligus merevisi artikelku. Awalnya, aku juga enggan mengganti tema. Dateline semakin dekat, dan rasanya mustahil aku bisa menulis satu artikel baru dengan tema yang "baru" pula.
Tapi setelah membaca ulang draf artikel pertamaku, aku mulai sadar kenapa Bu Suci mengatakan tulisan ini mentah dan dangkal. Tidak banyak hal yang kuketahui tentang cyberbullying. Ada beragam jenis, elemen, contoh, bahkan detil terkecil yang tidak kujelaskan. Tulisanku hanya berputar-putar soal definisi, perasaan korban, dan dampak.
Itupun masih sangat dangkal.
"Kalau dibanding yang kemarin, yang ini jauh lebih bagus." Bu Suci membenarkan letak kacamatanya, matanya bertemu mataku dan tersenyum. "Gaya bahasanya lebih santai, ngalir, tapi masih baku dan sesuai KBBI. Pembahasan materi lebih dalam, ada contoh analisis kasusnya juga. Keren, Cindy. Ibu selalu tahu kamu bisa diandalkan."
Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapi pujian itu setelah sebelumnya artikelku dianggap buruk. Aku senang, jelas. Aku lega, tentu sajaーsenyum dan binar mataku sudah menunjukkan itu semua. Tapi di saat yang sama, sebuah kesadaran lantas mengetuk benakku keras-keras: Apa Bu Suci serius mengatakannya? Ini bukan wujud kasihan untuk kegagalan artikelku yang pertama, 'kan? Apa aku benar-benar bisa diandalkan?
Kemudian, bahkan sebelum aku bereaksi apa-apa, tanda tanya selanjutnya menyerbu bagai hantaman di depan wajah:
Apa ini tandanya aku lebih baik dari Mei?
Napasku tertahan. Segera kutepis pikiran itu jauh-jauh.
"Sebenarnya, Ibu senang banget kamu dan Mei sama-sama ikut lomba ini. Mei juga penulis berbakat. Dia punya gaya bahasa yang khas dan adiktif. Kamu sudah pernah baca novel online-nya? Sekali baca, sulit untuk lepas. Lagian, lumayan kalau kalian berdua ikut dan salah satu menang, atau kalau bisa dua-duanya menang, bisa mengharumkan nama sekolah."
Aku tersenyum, walau lebih seperti meringis. Salah satu.
Hanya ada tiga juara yang dipilih dari lomba ini. Dan aku tahu bahwa kecil kemungkinan bagiku dan Meiーbagi kami berduaーuntuk sama-sama masuk dalam deretan pemenang. Sepositif apapun pendapat Bu Suci mengenai lomba ini, itu tetap tidak mengubah fakta bahwa aku dan Mei adalah saingan.
Kami adalah saingan. Lebih parah, ia adalah adik kelasku dan sudah mengantongi lebih banyak pengalaman dalam bidang menulis. Seandainya Mei benar-benar menang, seandainya ia yang dikalungkan penghargaan dan fotonya dipajang di banner sekolah sebagai "SISWA BERPRESTASI MENANG LOMBA", aku yakin Mama akan menyuruhku berhenti menulis selamanya.
Pilihanku hanya satu: menang atau tidak sama sekali.
Memikirkan itu langsung membuat perutku melilit. Aku mengatakan "terima kasih" pada Bu Suci dan pamit keluar. Aku melirik jam di ponsel, masih ada lima belas menit waktu istirahat kedua. Kuputuskan untuk pergi ke kantin.
"Cindy!"
Dua orang yang kutemui di bangku depan adalah satu-satunya alasanku ke kantin.
Jinny melambai dengan antusias. Di hadapannya, Dodo berbalik dan ikut melambaikan tangan. Aku membalas dengan senyuman dan melangkah ke arah mereka.
"Maaf banget telat," kataku, "tadi mampir dulu ke ruang guru."
Pada Jinny aku berbisik, "Gimana?"
Ia membalas dengan senyum lebar yang ditahan-tahan dan kedua mata melebar antusias. Sudah jelas, perkenalan ini berjalan lancar.
"Kamu yang ngajak ketemuan, kamu sendiri juga yang dateng telat." Dodo melahap kacangnya, tersenyum miring. "Tapi untung si Jinny sampe dulu. Kalian udah temenan lama, ya?"
Aku mengangguk, tapi Jinny yang menyahut, "Sejak SMA. Cindy juga cerita tentang tugas wawancara kamu."
"Oh, ya?" Dodo memajukan tubuhnya seolah tertarik dengan yang dikatakan Jinny. "Kenapa nggak datang juga?"
"Aku bukan anggota tim jurnal." Jinny menggeleng malu-malu.
"Oh," kata Dodo, "jadi cuman anggota jurnal yang boleh hadir wawancara? Pantes waktu itu cuman ada Cindy dan Serga."
"Iya! Serga juga anggota jurnal, malah sekelompok samaー"
"Sekelompok sama aku, Dodo udah tahu," selaku. "Ngapain bahas anak jurnal, sih?" Aku menekankan kata 'sih' sambil memberi ekspresi pelototan pada Jinny. Aku harap ia mengerti kodeku—Jinny yang terlalu antusias mendadak serupa robot peliharaan yang hilang kendali. Semua fakta sekaligus kebohongan dibeberkan demi tampak menarik di depan lawan jenis. Ia sudah berbohong banyak hal tadi, seperti bagaimana aku menceritakan tentang rencana wawancara padanya (yang mana tak pernah terjadi), sekarang ia juga ikut mengungkit-ungkit Serga?
Tidak, tidak boleh terjadi.
"Kamu sendiri yang bilang mau ada hal yang ditanyain sama Dodo," lanjutku, "kenapa nggak tanyain sekarang aja?"
Jinny langsung mengatupkan bibir malu-malu.
"Tanya apaan, nih?" Dodo memajukan diri penasaran, menatapku dan Jinny bergantian.
Aku mendengkus geli melihatnya. Ah, cara pendekatan klasik ala anak muda. Semua ini sudah direncanakan.
"Aku naik duluan aja, deh. Nggak enak ganggu orang yang lagi kenalan," ledekku sembari melangkah pergi.
Janjiku pada Jinny akhirnya terpenuhi. Semalam aku mengajak Dodo bertemu di kantin dengan dalih ingin mengenalkannya pada seseorang. Untungnya ia mau dan punya waktuーJinny benar-benar histeris ketika aku mengatakan rencananya pagi ini: aku akan datang terlambat, lalu di pertengahan mampir sebentar untuk melihat situasi (sejauh ini, mereka baik-baik), lalu pergi lagi supaya Jinny dan Dodo bisa lebih dekat.
Bagaimanapun cara Jinny menyetir hubungannya dengan Dodo, itu sudah bukan urusanku lagi. Bagianku hanya sampai sini, sisanya biar mereka berdua yang mengurus sendiri.
Perutku keroncongan. Aku membeli sebungkus roti sobek cokelat dan sekotak susu lalu berjalan menuju spot favoritku di sekolah: bangku penonton lapangan.
Hari itu lapangan tidak seramai biasanya. Ada satu-dua junior yang main basket bersama, tapi tidak terlihat anak klub basket di sana. Geng Dodo sedang sibuk di kantin, sementara Dion dan gengnya memang jarang main basket bersama saat jam istirahat. Aku makan sendirian sembari menikmati suasana angin sepoi-sepoi kala tiba-tiba sebuah suara datang.
"Dengar-dengar, lusa batas akhir pengumpulan lomba artikel."
Aku menoleh. Kunyahanku lantas terhenti saat melihat Serga datang membawa sebungkus roti yang sama.
Ia mengambil posisi duduk satu bangku di sampingku.
"Dengar dari siapa?" tanyaku.
Pemuda itu menyobek bungkus rotinya dan mulai menggigit. Krim cokelat meluber dan jatuh di atas celana seragamnya. Namun ia hanya mengusap itu seolah bukan masalah besar. "Kalau aku bilang dari teman, kamu percaya?"
"Enggak," sahutku, sedetik kemudian menyemburkan tawa.
Serga ikut tertawa.
Itu candaan khas kami sekarang.
Agak aneh mengatakan 'candaan khas', seolah aku dan Serga sudah menjadi teman dekat. Tapi memang itulah kenyataannya. Setelah menyelesaikan draf kedua artikel, Serga adalah orang pertama yang kukirimkan dan kusuruh baca untuk memberi komentar. Kami berakhir mengobrol hingga pukul dua subuh hari itu, keasyikan chatting membahas banyak hal: pembulian, dampak, akibatnya, hingga merambah ke ranah pribadi seperti, Apa kamu pernah di-bully?
Tak kusangka, di balik penampilannya yang urakan, Serga anak yang cukup asyik, sopan, dan memiliki pengetahuan luas. Aku menceritakannya tentang lomba artikel, bagaimana cerita awal Bu Suci mengirimkanku formulirnya, hingga kejadian dengan Mei Rabu lalu.
Jadi tentu, "teman" yang ia maksud adalah aku.
"Udah kamu kumpulin ke Bu Suci?"
Aku mengangguk, menelan sisa kunyahan roti dalam mulutku. "Bu Suci bilang, versi ini lebih oke dibanding sebelumnya. Pendalaman topik udah pas, gaya bahasanya pun nggak berbelit-belit. Intinya, lebih baguslah."
Pemuda itu mengangguk-angguk.
"Yah, semoga bisa dapat hasil yang terbaik," kataku.
Serga menoleh padaku. Baru kusadari hari ini ia memakai sebuah choker hitam dengan simbol kamera di tengah. "Kamu jadi ketemu anak itu? Siapa namanya, adik kelas yang ikut lomba nulis juga?"
"Mei," aku menyahut. Tenggorokanku kembali tercekat. Aku sempat menjeda dengan meminum susuku sebelum melanjutkan, "Enggak. Dia sempat kontak, tapi aku tolak secara halus."
"Kamu kasih tahu alasannya?"
"Kalau beneran kukasih tahu, bisa-bisa aku dicap sebagai kakak kelas paling songong sepanjang masa."
Serga memiringkan kepala. "Memangnya kenapa? Menurutku, wajar-wajar aja merasa nggak nyaman kerja sama dengan kompetitor. Kamu sama dia nggak saling kenal sebelumnya, tapi tiba-tiba saling diskusiin materi lomba. Yang ada malah canggung."
"Nggak tahu, ya." Aku tersenyum pahit. "Itu yang aku dan tim science lakuin tahun lalu."
Serga tak lagi membalas, kembali mengambil gigitan terakhir pada rotinya. Mengobrol dengan Serga, di luar dugaanku, jauh lebih mudah dan nyaman. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku betah untuk menceritakan apa saja, yang membuatku tak takut untuk membuka diriーbahkan tentang hal-hal yang tak bisa kubuka dengan mudah di depan orang lain, bahkan di depan Jinny. Mungkin, karena tatapannya tidak pernah menghakimi, mungkin juga karena Serga lebih banyak mendengar dibanding berkomentar.
Atau mungkin, ia tidak pernah mengenalku sebelumnya dan tak tahu masa laluku atau kebiasaanku atau pencapaianku.
Toh kami pernah bertengkar sebelumnya, ia tahu bagaimana sifat burukku yang mudah menghakimi dan sedikit egois, aku juga tahu sikap buruknya yang dingin dan terlalu menutup diri. Imbang. Ia tidak akan berekspetasi apa-apa padaku, sebagaimana aku tidak berekspetasi apa-apa pada dirinya atau pertemanan ini.
Serga bahkan tak tahu apa-apa tentang rumor klub science semester laluーakhirnya aku menceritakan peristiwa singkatnya melalui WhatsApp. Ia tidak memaksa, hanya aku yang terlalu terbuka.
"Temen-temen kelasku sempet ngomongin artikel Elfredo di web."
Aku mengerutkan kening. "Artikel Dodo?"
Serga mengalihkan pandang pada lapangan, melipat bungkus rotinya dengan rapi. "Mereka bilang, gaya tulisnya bagus dan enak dibaca. Informasinya lengkap, gambar yang diambil juga bagus dan jelas."
Apa ia mencoba untuk memuji diri sendiri?
"Menurutku, untuk bisa nulis dan memublikasikan karya butuh keberanian. Dan itu nggak mudah."
Aku mengerjap.
Serga menoleh. Tatapan kami bertemu. "Yang penting kamu udah kerja keras, gimanapun hasilnya, itu nggak mengubah apa-apa. Kamu tetap penulis, dan kamu tetap bisa menulisーnggak peduli diakui atau enggak."
Untuk beberapa sekon, aku terlalu terkejut untuk berbicara apapun.
Namun akhirnya, kukembangkan seulas senyum dan bergumam nyaris tanpa suara, "Terima kasih."
Lalu, entah bagaimana, Serga mengangguk. Seolah ia bisa mendengar ucapan itu. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top