Tujuh
"HAH? Yang genah aja ... Aku belum ijin, belum ngomong Dion, belum pernah ke SMA Semesta juga. Jangan ngawur, deh. Kalau mau cepat kelarin tugas, nggak gini caranya."
Serga hanya diam mendengar omelanku. Tidak tampak tersinggung, tidak tampak setuju juga. Dan aku agak menghargainya untuk itu.
Salah sendiri melontarkan ide gila mendadak begini. Dikira SMA Semesta dekat dari sekolah? Dulu Jinny pernah cerita ikut menyaksikan pertandingan olahraga di sana. Butuh waktu 30 menit untuk berangkat (itupun kalau tidak macet), belum lagi risiko kalau pertandingan sparring-nya sudah selesai saat kita sampai di sana. Aku tidak mau membuang-buang waktu sebab rencana ceroboh begini.
Aku mulai mempertanyakan sikap Serga yang semakin lama semakin mencurigakan. Tanpa angin dan hujan ia mendadak menemuiku di kelas, mendiskusikan soal wawancara dan kini, dengan nekat mengajakku untuk pergi ke gedung olah raga bersama. Ingat bagaimana pemuda ini begitu cuek dan masa bodoh tentang tugas artikel?
Kenapa tiba-tiba antusias sekali?
"Kalau masalah izin, aku nggak bisa ngomong apa-apa," balasnya sembari mengangkat kedua tangan pasrah. "Tapi hari ini kesempatan satu-satunya untuk kenalan sama Elfredo―well, sebelum wawancara. Siapa tahu, kalian cocok dan bisa ... lebih dekat."
Aku langsung menggeleng sebagai respon refleks atas kalimat terakhir Serga. Membayangkan sosok Dodo si pemain basket populer yang hobi ke mall, punya banyak teman cewek, sering mendapat DM Instagram dari anak angkatan lain langsung membuat perutku mulas. Dunia kami jelas berbeda. Kalau bukan demi tugas artikel klub Bu Suci, aku juga enggan berinteraksi dengan siswa populer.
"Kenapa nggak ngomong dulu kemarin ..." gumamku, memijat pelipis lelah. Aku tahu perkataannya benar, sejujurnya aku juga berpikir ide 'berkenalan sebelum wawancara' ini ide cemerlang. Tapi, bagaimana dengan Dion? Ia berjanji akan mengantarku pulang hari ini. Bagaimana dengan Charlie? Bagaimana dengan Mama yang―ugh, bahkan membayangkannya membuat kepalaku berkedut pening.
"Lain kali jangan mendadak, dong," kataku, "Mamaku bukan tipe orang yang gampang diminta ijin."
Serga menghela napas, merogoh sesuatu dari sakunya. Sebuah ponsel. "Minta nomor kamu."
"WhatsApp?"
"Ya masa OVO?" katanya, entah berniat bercanda atau memang kesal sebab nadanya terdengar ketus. Tak lama ia mengerjap merasa bersalah. "WhatsApp boleh, ID Line juga boleh. Nomor yang bisa aku hubungi untuk diskusi."
Aku menerima ponselnya, mengetikkan nomorku di sana.
"Hari ini fix nggak bisa, ya?"
"Nggak bisa, sori," jawabku.
Serga mengangguk paham. Dengan gerakan canggung ia melambaikan tangannya sebagai gerakan "oke, selamat tinggal" sebelum berbalik pergi, meninggalkanku sendirian di lapangan. Sudah di bawah sini, aku jadi malas kembali ke kelas. Kupandangi lagi lapangan outdoor yang kosong.
Aku yakin Serga tak berbohong, ada bekas jejak sepatu dan botol Pocari Sweat kosong di tengah lapangan-aku yakin itu bekas anak Basket. Kebiasaan mereka selalu meninggalkan jejak setelah latihan. Coach pernah ditegur kepala sekolah yang waktu itu mengadakan kunjungan keliling untuk melihat situasi sekolah, tapi tidak ada perubahan signifikan. Mereka masih sering membuang sampah di lapangan dan menganggap seolah itu hal biasa.
Aku pernah menanyakan hal serupa pada Dion, tapi reaksinya hanya, "Oh, masa sih? Tim sebelah kali, timku nggak pernah ninggalin sampah di lapangan."
Lalu aku membayangkan wajah-wajah anak "tim sebelah", langsung aku mengangguk paham.
Sistem tim basket di sekolahku memang sedikit berbeda. Ada cukup banyak anak potensial dan berbakat dalam olahraga, itulah mengapa seleksi untuk bergabung tim futsal dan basket sangatlah ketat. Setelah bergabung pun, kamu tidak bisa menentukan sembarang tim untuk bertanding. Coach yang akan menentukan, tentunya disertai pertimbangan dan rapat yang matang. Tim yang baru terbentuk akan diamati pergerakan dan perkembangannya selama 3 bulan, dan kalau tidak ada masalah, maka tim itu dinyatakan "tetap" dan bisa bertahan hingga satu semester. Atau bertahun-tahun malah, seperti tim Dion.
Dion tidak pernah satu tim dengan Elfredo. Tim Dion berada di tingkat lebih rendah―bukan berarti lebih cupu, hanya memang sekolah memiliki tim unggulan lain untuk kompetisi tingkat luas yang hadiahnya lebih besar.
Itu tim Elfredo Willy, sepupu Serga, siswa yang kelak akan menjadi narasumber untuk artikelku.
Aku mendesah. Berdiri di sini juga tidak ada gunanya, hanya semakin membuatku kesal karena rencana Serga brilian tapi tak bisa kupenuhi. Langkahku baru menginjak anak tangga pertama saat tiba-tiba ponselku bergetar.
Kukeluarkan benda pipih itu, sedikit terkejut melihat siapa yang menelepon.
Mama
"Halo?"
"Halo, Cindy?" Suara Mama menyapaku lewat seberang telepon. "Kamu masih di sekolah? Ini jam istirahat, 'kan, ya? Mama nggak ganggu jam pelajaranmu, 'kan?"
Aku mengernyit. Mama tipe orang tua yang ketat soal jam pelajaran, tumben ia menelepon jam segini. "Nggak, ini masih jam istirahat. Kenapa? Tumben telepon siang-siang."
"Oh, untunglah." Ia menghela napas, terdengar lelah. "Mama baru dapat kabar, klien Mama yang kemarin minta meeting ulang untuk lihat rumah di daerah Wiyung sana. Kayaknya hari ini Mama bakal pulang malam. Jaga dan urus Charlie, ya. Ingetin dia kerja PR sama siapin buku untuk les bahasa inggris besok. Untuk makan malam, angetin sup yang kemarin aja. Kalau masih kurang, goreng sosis tapi jangan banyak-banyak. Kamu tahu sendiri Charlie kalau sama sosis gimana."
Kata "sosis" membuatku teringat sarapan tadi. Tapi Charlie udah makan 3 biji waktu sarapan tadi, batinku spontan menyahut.
"Jadi, Mama bakal pulang telat hari ini?"
"Iya. Mama percaya kamu udah cukup dewasa untuk jaga adik kamu."
Aku diam.
Mama bakal pulang terlambat.
Mama bakal pulang malam.
Aku bisa titipin Charlie ke Dion sementara waktu―paling mentok kujemput jam 7, sementara itu aku dan Serga bisa pergi ke GOR. Aku yakin Dion bakal dukung aku untuk wawancara ini. Walau nggak pernah kuceritakan langsung, ia tahu seberapa besar passion-ku untuk nulis.
"Halo, Cindy? Halo?"
Suara Mama menyentakkanku. "Iya, halo?"
"Gimana? Mama bisa percaya sama kamu, 'kan?"
Percaya atau tidak percaya, yang penting aku punya waktu sendiri untuk dihabiskan melakukan sesuatu yang tidak pernah kulakukan sebelumnya. Senyumku merangkak lebar. Genggaman pada ponsel mengerat oleh semangat. Aku segera mengangguk walau sadar Mama tak bisa melihatnya, dan dengan suara penuh antusias kujawab, "Tenang aja, Mama bisa serahin semua ke aku."
***
"Kamu nggak serius, 'kan?"
Serga mengedipkan mata lugu. "Emang aku kelihatan lagi bercanda?"
Aku menarik napas mencoba sabar. Kupandangi lagi kendaraan di sampingnya. "Kamu yang ngajak, lho, tadi. Kukira kamu beneran nyiapin transpor juga," protesku. Tahu begini, lebih baik aku dan Serga berangkat sendiri-sendiri dan baru janji ketemu di GOR.
"Aku emang udah nyiapin transpor," kata Serga membela diri. "Ya ini transpornya."
Aku memandangi lagi sepedanya.
Sepeda keranjang biru usang yang kemarin kulihat rantainya bermasalah, sekarang ditunjukkan Serga dengan percaya diri. Kau tahu apa hal paling menggelikan sekaligus tidak masuk akal yang ia katakan? Ia akan mengantarku ke gedung GOR SMA Semesta yang berjarak 30 menit dari sini dengan sepeda onthel.
Bisa kau percaya itu?
Ia meyakinkanku kemari hanya untuk kesia-siaan. Oh, bagus, Serga! Kamu memang cocok mendapat julukan "Pemberi Harapan Palsu".
Aku mendesah pasrah. "Nggak taulah."
Ia memandangiku dengan raut bingung, langsung mencegat langkahku yang refleks hendak pergi meninggalkannya di tempat parkir sendiri. "Hei, hei, emang kenapa sama sepedaku?" tanyanya, entah betulan lugu atau pura-pura lugu (aku bisa menggunakan kata yang lebih kasar kalau kamu mau, 'bodoh' misalnya). Kemudian, ia menatapku dengan hati-hati. "Kamu ... nggak nyaman?"
"Hah?"
"Kalau cewek, 'kan, biasanya nggak suka panas-panasan naik sepeda," jawabnya, masih tampak hati-hati memilah kata. "Kamu nggak suka?"
Aku berdecak tak habis bikir. "Bukan itu," ujarku pelan.
"Terus, apa?"
Aku ragu hendak menjawab. Tapi setelah melirik jam di ponsel yang sudah menunjukkan pukul 14.55, aku mendadak merasa panik. Mulutku langsung berucap, "Aku nggak pernah naik sepeda, jadi sedikit takut apalagi kalo dibonceng orang yang nggak dikenal."
"Wow. Jadi kita belum kenal," ujarnya sinis.
Kuabaikan itu, dan malah berkata, "Ini hampir jam 3. Takutnya Tim Elfredo udah pulang duluan. Nggak apa-apa kalau kamu naik sepeda, aku nyusul naik Go-Car. Nanti kita ketemuan di sana, gimana?"
Ia menatapku ragu. "Kamu pernah ke GOR SMA Semesta sebelumnya? Tau jalan?"
"Enggak."
Serga menghela napas. Sedetik kemudian, bahkan tanpa menanyakan persetujuanku, ia langsung mengambil ponsel dan mengetik sesuatu dengan cepat. Aku hendak bertanya, tapi setelahnya pemuda itu malah sibuk mengunci speedanya di tempat parkir semula. Lima menit berlalu, mobil Avanza datang ke depan gerbang. Sopirnya pria berkumis dengan senyum lebar bertanya pada kami, "Dengan Mas Serga?"
Saat itu aku semakin yakin, Serga bukan hanya sekadar menganggap serius wawancara ini. Ia menganggap sangat serius tugas artikel kami.
***
Gedung Olah Raga SMA Semesta berada di satu kompleks dengan gedung Sekolah Menengah Atas Semesta, tidak persis berdampingan tapi masih satu wilayah. Mungkin beda beberapa blok. Gedung ini memang khusus untuk kegiatan ekskul olahraga, sparring dengan sekolah lain, kompetisi futsal atau basket besar-besaran seperti yang akan datang pekan depan. Hari ini, hanya sparring dengan beberapa SMA, termasuk SMA Bakti Mulia.
Saat sampai, aku lega rencanaku untuk "berangkat sendiri, ketemu di sana" tidak jadi dilaksanakan. Jalan menuju GOR sudah cukup membingungkan, ditambah struktur ruang dalam GOR yang berliku dan terdiri dari banyak ruangan. Bukan sekadar stadium, ada toko cemilan, toko pernak-pernik, bahkan ruangan penuh pigora dan piala. Somehow, sedikit mengingatkanku dengan gedung DBL―aku pernah ke sana sendirian sekali, dan cukup menyesal kenapa tidak menerima tawaran Jinny untuk berangkat bersama.
Intinya, gedung GOR SMA Semesta memang taampak profesional. Panats mereka sering mengadakan lomba antarsekolah.
Jam menunjukkan pukul setengah 4 lebih saat kami masuk dalam gedung.
Ketika memasuki stadium, aku melihat lapangan yang begitu besar dengan dua tiang basket kokoh. Sekelilingnya diisi oleh kursi penonton yang tinggi. Sepertinya latihan sudah selesai dari tadi, lapangan cukup sepi. Hanya ada satu siswa yang latihan dribble di tengah lapangan sendiri.
"Itu Elfredo!" aku menunjuk sosok pemuda jangkung yang kini sedang mengelap keringatnya sembari memainkan ponsel. Ia tengah duduk di kursi paling pojok, sama sekali tidak menyadari kehadiran kami.
Serga menatapku. "Oke, ingat rencana kita? Kenalan, sebutin aja kamu dari klub jurnal yang memang berniat untuk buat dia terkenalー"
Cara Serga mengatakan terkenal membuatku mengernyit, tapi seolah tak terjadi apa-apa, ia melanjutkan, "ーlalu bawa santai aja ngobrolnya. Nggak usah tegang. Aku tahu sepupuku lembut sama cewek baru. Aku tunggu di sini," ia menunjuk deretan bangku kosong di belakang, bersebrangan jauh dari tempat duduk Elfredo, "kalau sudah selesai, kita ketemu lagi di sini."
Aku mengangguk, segera melangkah ke bangku Elfredo. Saat mau dekat, aku menarik napas dalam-dalam.
"Halo," sapaku, berusaha terdengar 'semanis-tapi-tidak-menjijikkan' mungkin. "Elfredo Willy, 'kan? Anak IPS 2?"
Ia tampak mengernyit bingung, tapi mematikan ponselnya dan memandangku tertarik. "Iya?"
Fakta bahwa ia sama sekali tidak ingat denganku sementara baru membuatku jatuh dengan bola basketnya kemarin membuatku mendengkus sinis dalam hati. Tentu saja. Apa yang kuharapkan dari kapten basket populer satu ini?
"Aku boleh duduk di sini, ya." Aku menunjuk bangku kosong di sampingnya, tanpa menunggu jawabannya langsung kududuki. "Kenalin, aku Cindy anak sebelas IPA 1," ujarku, mencoba seramah mungkin, "Jadi gini, aku dari klub jurnalistik, dapat projek untuk nulis artikel tentang siswa populer di sekolah. Nah, aku kepikiran untuk nulis artikel tentang kamu dan prestasi kamu dalam basket. Tapi sebelumnya, ada sesi wawancara dulu. Gimana? Kira-kira, kamu keberatan, nggak?"
Ia tampak kelabakan mencerna semua informasi ini sekaligus, jadi aku menambahkan, "Eh, wawancaranya nggak hari ini, kok. Aku sengaja datang ke sini untuk kenalan sama kamu pribadi sebelum wawancara. Biar nggak terlalu gugup."
Tak lama, pemuda itu mengangguk-angguk. "Bentar, bentar, kamu kelihatan familiar ... Siapa tadi namamu?"
Aku mengulurkan tangan. "Cindy Priscilla."
"Ohhh, Cindy!" Ia menerima jabatan tanganku dan tertawa. "Ya, ya, aku ingat. Anak IPA 1 yang kemarin juara pidato, 'kan, ya? Wahhh, langsung banting setir ke nulis, nih?"
Aku ikut tertawa meresponi candaannya.
"Boleh-boleh aja, sih. Tapi ... hari ini aku nggak bisa lama-lama." Jemarinya menyugar rambut sementara tangan lainnya melirik ke arah ponsel. "Aku udah ada janji sama anak-anak mau hang out bareng."
"Oh ..." Tak dapat dipungkiri, aku cukup kecewa. Padahal tadi, aku sudah mempersiapkan banyak pertanyaanーkau tahu, basa-basi sederhana supaya aku mengenalnya lebih dekat.
"Gimana kalau kita lanjutin lewat WhatsApp? Boleh minta nomor kamu?"
Tanpa ragu, aku langsung mengetikkan nomorku ke ponselnya. Tak masalah, pikirku, toh, hanya untuk urusan wawancara.
"Nice to meet you, Cindy."
Aku ikut berdiri saat ia bangkit dan pamig, melambai ke arahnya dengan senyum semringah sembari menyaksikan kepergiannya ditelan tikungan depan. Saat aku kembali pada Serga, aku tidak sadar mataku telah berbinar dan senyumku mengembang. Kuacungkan jempol padanya, mendadak terdengar begitu antusias dan menggebu-gebu kala berkata, "Kita harus cepat nyusun draf pertanyaan! Aku punya firasat bagus soal wawancara ini." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top