Tiga

DUA tahun terdaftar sebagai siswa di sini, aku baru sadar klub jurnalistik tidak pernah memiliki tempat beraktivitas yang tetap. Klub ini sering dijuluki "Klub Anak Tiri", kegiatannya selalu disisihkan, dianggap tidak penting, diusir dari satu kelas ke kelas lain apalagi menjelang festival sekolah. Saat klub drama difasilitasi aula, klub olimpiade diberi kelas dan perpustakaan, klub basket dan futsal diberi kuasa untuk menggunakan lapangan outdoor dan indoor, klub jurnalis hanya diberi satu hal: izin beroperasi.

"Kalau saya lebih memandangnya sebagai kreativitas. Menulis itu mirip-mirip seperti melukis, hanya kita menggambar dengan kata, bukan dengan kuas. Jadi ibu berpikir, kenapa harus diam di satu tempat yang sama kalau kita bisa mengeksplor satu sekolah dan mendapat lebih banyak ide berkarya?"

Itu jawaban klise Bu Suci, setiap ditanya mengenai eksistensi klub jurnalistik yang mirip kelompok manusia gua dengan kebiasaan hidup nomaden. Herannya, semangat beliau tidak luntur sedikitpun, bahkan ketika banyak siswa mulai mempertanyakan prestasi klub jurnalistik.

Sejak pergantian kepala sekolah tahun lalu, SMA Bakti Mulya memfokuskan kegiatan klub dengan dua tujuan: mengasah minat-bakat siswa (yang berarti kamu harus jago dalam satu bidang tertentu agar bisa diterima sebagai anggota klub) dan mengharumkan nama sekolah (yang berarti kamu harus berprestasi). Mulai dibentuk audisi masuk klub, seleksi pemisahan kelompok (kelompok pintar dan tidak), mading khusus untuk prestasi siswa, dan sebuah lemari berisi penghargaan penuh yang diletakkan di koridor bawah.

Satu-satunya klub tanpa seleksi masuk adalah klub jurnalistik.

Alasan itulah yang menghadirkan julukan kedua: "Klub Anak Buangan".

"Selamat sore, anak-anak!"

Aku mengerjap, melihat Bu Suci sudah berdiri di depan kelas dengan senyum hangat menyapa para siswa. Setelah menghabiskan 30 menit mencari tempat, akhirnya Bu Suci memutuskan untuk meminjam ruangan kelas XI IPS 1 untuk tempat pertemuan klub hari ini. Letaknya paling pojok di lantai tiga, tak heran banyak anak memilih untuk bolos. Toh, klub jurnalistik memang bukan pilihan pertama mereka.

"Ibu ucapkan selamat datang juga untuk kalian, para anggota baru klub jurnalistik. Kalian pasti sudah kenal ibu, jadi ibu nggak perlu memperkenalkan diri lagi. Intinya, ibu bertugas untuk mendampingi kegiatan klub dan membimbing kalian untuk menghasilkan karya tulis terbaik."

Bu Suci mengulas senyum terbaiknya lagi, sementara para siswa hanya menampilkan raut bosan seperti biasa—seolah klub ini hanya lelucon yang menghambat jam pulang mereka. Aku pun hanya menghela napas, mulai merasa bosan. Tidak ada Jinny, tidak ada siswa yang kukenal.

Satu-satunya hiburanku ialah melihat-lihat isi kelas yang juga bosan.

Tunggu.

Mataku terhenti pada satu titik: bangku baris satu tepat di samping jendela.

Nggak salah lihat, tuh?

Ternyata apa yang Jinny katakan bukan sekadar rumor belaka.

"Seperti yang kalian tahu, klub jurnalistik masih seumur jagungーbelum ada satu tahun sejak awal dibentuk. Jadi, ibu juga belum meresmikan banyak program. Yang masih berjalan hanya Corat-Coret, itu berisi artikel dan gosip terhangat siswa yang rencananya ditempel di mading." Bu Suci menjeda, tersenyum kecut. "Tapi ya, kalian tahu sendiri program itu belum terlaksana. Mungkin karena kita kurang konsisten, atau ibu memang kurang tegas. Tapi untuk sekarang, ibu sudah menetapkan program resmi klub jurnalistik untuk pertama."

Kalimat Bu Suci selanjutnya menjadi kabur di kepalaku. Perhatianku hanya terfokus pada satu sosok itu hingga tiba-tiba saja kelas menjadi riuh. Terdengar siulan dan tepuk tangan siswa.

Aku mengerjap, semakin bingung saat melihat Bu Suci sudah berjalan berkeliling kelas dengan membawa toples kaca berisi undian.

"Tiap nama yang kalian dapat―entah itu dari kelas 10, 11, atau 12, jurusan IPA atau IPS―akan menjadi partner menulis kalian."

Partner, katanya?

"Satu kelompok terdiri dari dua siswa. Hanya untuk mempersingkat, ibu sudah mengatur agar siswa perempuan saja yang mengambil undian." Bu Suci melanjutkan dengan semangat, matanya berbinar-binar melihat siswa di barisan depan mulai mengambil undian. "Eits, jangan dibuka dulu. Nanti kita buka sama-sama." Lanjut ke baris dua, segerombolan anak kelas 11 di sampingku mulai saling bersahutan.

Sampai ke giliranku, aku mengambil satu gulungan kertas, berharap-harap cemas.

Sejujurnya aku lebih senang bekerja sendiri, tapi kalau harus bekerja sama dengan orang lain, aku harap junior manja atau siswa nakal tidak menjadi partnerku.

"Baiklah!" Bu Suci kembali ke depan kelas dengan semangat. "Sekarang kalian boleh buka undiannya!"

Aku membuka undianku.

Seketika, bahuku melemas.

Satu nama tertulis di sana: lima huruf dengan tulisan latin yang rapi khas Bu Suci.

Namun berhasil membuat hatiku mencelus. Baru sehari ikut klub jurnalis, aku sudah ingin angkat kaki.

"Nama yang tertulis di kertas itu akan menjadi partner kalian untuk program pertama, yaitu menulis artikel dengan tema "sekolahku". Sub tema akan ditentukan melalui undian. Kalau sempat, hari ini kita laksanakan undiannya. Kalau tidak, besok saya akan undi sendiri dan bagikan hasilnya ke grup WA jurnal. Artikel paling lambat dikumpul pada akhir bulan September. Nanti akan ibu seleksi untuk kemudian di-upload ke web resmi sekolah."

Bu Suci menjeda, dengan nada misterius yang dibuat-buat beliau melanjutkan, "Artikel paling populer akan ibu terbitkan di web sekolah. Jadi ibu harap, kalian benar-benar menuangkan kerja terbaik kalian pada program pertama ini."

Seruan dan obrolan siswa menjadi bak dengung lebah di sekitarku. Semua orang tampak begitu ceria, semua murid terlihat senang dengan partner baru nan misterius mereka.

Kugenggam kertas itu hingga membentuk kerutan tak berbentuk. Baru hendak kurobek kertas undian itu, aku mendongak dan pandangan kami bertemu. Itu dia. Pemuda familiar yang duduk di dekat jendela: mata rubah yang menatap sayu, ekspresi datar tampak jenuh, kaki disilangkan, dan dagu terangkat angkuh. Seolah ia telah mengawasiku dari tadi.

Seolah Serga tahu, aku yang akan menjadi partnernya untuk program jurnalistik pertama kami.

***

"Sistemnya sederhana, Nak. Kamu meliput berita, wawancara, gali informasi, lalu rangkum semua dalam satu artikel. Kumpulkan, selesai." Bu Suci membereskan tumpukan kertas di mejanya―kulihat sekilas, itu kumpulan ujian Bahasa Indonesia kelas 11. "Hitung-hitung pemanasan, Cindy, sebelum nanti kamu benar-benar menulis artikel lomba."

Aku mengerang tanpa dapat dicegah. "Justru itu, Bu. Saya yakin saya akan lebih maksimal bila latihan menulis sendiri tanpa partner. Saya bisa meliput berita sendiri dan―"

"Ibu percaya kamu bisa," sela Bu Suci, meletakkan tumpukan kertas itu di atas meja dan kini fokus menatapku, "tapi memang tujuan program ibu di awal klub adalah kerja kelompok. Berpartner, berkenalan, mencari teman. Ada empat puluh lebih siswa yang menjadi anggota klub dari berbagai kelas dan jurusan. Ibu nggak mau, klub ini menjadi siksaan atau paksaan untuk memenuhi daftar hadir. Kalau begini, 'kan, kalian bisa saling kenal dan tugas juga akan terasa ringan."

"Tapi, Bu―"

"Memang siapa partnermu?"

Aku menelan ludah.

Bu Suci masih menatapku penuh tanya. Tidak ada penghakiman pada tatapannya, tidak ada kecurigaan pada nada bicaranya kala bertanya, "Anak kelas 10? Nggak usah khawatir. Walau masih baru, ibu lihat banyak junior-juniormu yang semangat nulis."

Aku tidak bisa menjawab. Pada akhirnya, aku hanya bisa melangkah keluar ruang guru dengan kepala menunduk pasrah, suasana hati acak-acakan. Apalagi saat melewati tangga koridor, aku melihat sosok ituーpartner jurnalistikkuーtengah berdiri di samping tangga.

Tubuhnya yang jangkung disandarkan pada tembok kelas, ekspresi wajahnya tampak bosan sampai ia mendongak dan menatapku. Mata kami bertemu. Serga lantas bangkit dan berjalan menghampiriku.

"Gimana? Diizinin tukar kelompok sama Bu Suci?"

Alisku bertaut. Dari mana dia tahu aku bertemu Bu Suci untuk tukar kelompok?

Ia menyeringai tak tulus, menambah kesan arogan sekaligus menyebalkan pada wajahnya. Jelas ia bangga melihat ekspresi terkejutku sekarang. "Tenang, aku nggak akan bilang Bu Suci kalau kamu ngotot untuk tukar kelompok. Anggap aja undian itu salah."

Ia kemudian melangkah pergi begitu saja, membuatku semakin geram.

Apa-apaan ...?

"Bu Suci udah catat nama tiap kelompok untuk undian tema," aku menyahut seadanya. Sesuai dugaanku, Serga berhenti. Berbeda dengan pertemuan pertama kami di koperasi, seragamnya kali ini tampak rapi. Dimasukkan dengan bagus, walau kancing pertama dan kedua terbuka sehingga menampilkan kaos dalam putihnya. Aku langsung mengalihkan pandang. "Lagipula, aku nggak terbiasa main belakang. Kalau Bu Suci bilang enggak, ya berarti enggak. Kalau kamu keberatan, silakan ngomong sendiri sama Bu Suci."

Serga mengangkat sebelah alisnya. "Bukannya kamu yang dari awal keberatan sekelompok sama aku?"

Ekspresi arogannya, suara rendahnya. Aku merapatkan rahang, menahan rasa geram. Alih-alih, kupancing dia dengan sebuah sindiran, "Aku nggak tahu kamu suka nulis. Nggak biasa anak IPA ikut ekskul jurnal."

"Kamu sendiri?" balasnya, "anak IPA juga, 'kan? Kenapa milih ekskul jurnalistik?"

"Aku punya alasan sendiri."

"Kalau gitu sama." Serga menyunggingkan senyum tipis penuh kemenangan. "Sampai ketemu di klub minggu depan. Jangan terlambat, ya. Aku nggak peduli kamu suka sekelompok sama aku atau nggak, tapi profesionalisme tetap profesionalisme. Aku nggak mau nilai ekskulku hancur karena alasan kekanak-kanakkan. Kamu pasti ngerti, 'kan?"

Ia lantas pergi menuruni tangga dengan santainya, meninggalkan aku yang termangu dengan rahang ternganga, nyaris tidak percaya dengan apa yang kudengar.

Bahkan jauh sebelum kerja kelompok ini bermula, aku sudah punya keyakinan aneh bahwa aku tak akan bisa akur dengan pemuda itu. Bahwa kami, entah bagaimana, memiliki tujuan, keinginan, dan karakter yang sama-sama alot namun bertolak belakang.

Dan sialnya, semua terjadi pada hari pertamaku mengikuti klub jurnalistik: pada hari pertamaku benar-benar berlari untuk memperjuangkan mimpiku sendiri. []

Salam dari Serga yang songongnya kebangetan:

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top