Sepuluh

SEKITAR pukul sepuluh pagi itu, tepat saat bel istirahat baru berdering dan seluruh siswa berhamburan keluar keras bak kerumunan domba yang baru dilepas dari kandang, Serga mengirimku sebuah pesan:

Serga Wilantara - Jurnal

Jadi ketemu Dodo?


Tanpa berlama-lama, kuketik balasannya:


Cindy Priscila

Jadi. Aku otw kantin


Serga Wilantara – Jurnal

Ok

Kemudian kujejalkan dalam saku rok dan menatap pantulan diri melalui cermin: menyisirkan jemari melalui surai dan memastikan tidak ada noda tipex pada wajah―pelajaran PKN sebelumnya kami diminta untuk menulis sebuah esai bertema "Pancasila dalam Kehidupan Sehari-hari" yang harus selesai dalam 40 menit. Mengingat waktu yang minim sudah membuatku panik terlebih dulu, sehingga banyak penulisan yang salah dan seisi kertasku penuh bekas tipex.

Namun persetan, sekarang ada urusan lebih penting daripada memikirkan tugas esai mendadak. Aku membasahi bibir, memajukan wajah dan membuka mulut, memastikan tidak ada sisa makanan (bekas sarapan) terselip pada gigiku. Kucoba mempraktikan senyum ramah di depan cermin. Setelah merasa cukup percaya diri, baru aku keluar toilet.

Awalnya kupikir, tidak ada yang luar biasa hari ini. Senin biasa dengan cuaca panas Surabaya. Sama seperti siswa lain, aku benci hari Senin. Hari pertama dalam minggu baru, memutus koneksi dengan hari libur. Namun, semua berubah semalam.

Tepatnya pukul 8, aku ingat aku tengah membaca materi baru untuk pelajaran Matematika sampai ponselku berdenting. Bukan dari Jinny, bukan dari Dion, bukan pula dari Mama atau Charlie.

Dari nomor tidak dikenal. Isinya berupa sebaris teks yang membuatku langsung terlonjak dari kursi:

+62XXXXXXX

Cindy? Ini Dodo

Save back yaa

Kemudian, semua terjadi begitu cepat: bagaimana semalam aku bergadang sampai pukul 12 untuk berkenalan dengan Elfredo Willy, bagaimana kami kemudian saling bertanya, bertukar informasi, berbagi cerita dan candaan.

Dan ini impresiku setelahnya: Elfredo pemuda asyik yang ramah dan punya circle luas. Itu artinya, ia memang sering pergi ke luar dan punya banyak teman. Cabangnya bermacam-macam (agak aneh aku menyebutnya "cabang", tapi itu analogi yang digunakan Elfredo sendiri dalam mendeskripsikan kumpulan temannya, jadi kuikuti saja), ada anak PTC (berarti, teman yang ditemui di PTC), anak Pakuwon (teman yang sering ditemui di gedung baru Pakuwon), anak Starbucks (teman yang sering ditemui di Starbucks karena pernah atau sedang bekerja part time di sana).

Aku tidak heran, toh Dion sudah memperingatkanku tentang ini kemarin.

Yang buat aku heran, adalah jawaban Elfredo dari pertanyaan basa-basiku semalam:

Cindy Priscila

Nggak kerasa udah midnight aja

Btw ngobrolnya seru banget, lho. Makasih ya, udah kooperatif

Jadi waktu besok wawancara nggak canggung lagi hehe

Elfredo – Basket

Lah, udah langsung wawancara?

Kan belum ketemu langsung

Cindy Priscila

Bukannya kemarin udah di GOR?

Elfredo – Basket

Yang itu nggak keitung, orang kita nggak ngobrol apa-apa

Besok ketemu, gimana?

Istirahat pertama, di kantin?

Ada sensasi aneh setelah aku membaca ajakannya―seperti dorongan semangat dan antusias, tapi juga disertai gugup yang memilin perut. Aku langsung mengirim teks itu pada Serga, yang langsung dibalasnya oleh satu kalimat lugas: Kalo gitu, ayo ketemu dia besok.

Itulah yang menghantarkanku sekarang melangkah menuju kantin. Ini pertama kali aku akan bertemu Elfredo dan menciptakan konversasi secara langsung dari muka ke muka, jadi aku ingin menciptakan impresi yang baik. Entah mengapa, Elfredo punya aura "lelaki populer" layaknya prince charming di film-film Baratkau tahu, tipe pemuda yang walau kau tidak menyukainya, kau tetap ingin menciptakan kesan baik di depannya.

Serga melambai begitu aku sampai di muka kantin. Ia mengangguk memberi kode sebelum pergi memilih bangku. Kami sudah sepakat soal hal ini semalam: lagi-lagi, Serga tidak akan menemaniku untuk pertemuan dengan Elfredo. Katanya, "Ini bagus supaya kamu dan narasumber bisa menciptakan momen bersama."entahlah, mungkin itu hanya alasannya untuk menghindari interaksi langsung Elfredo.

Walau masih menjadi tanda tanya, kenapa Serga enggan bertemu dengan sepupunya kandungnya sendiri.

Lamunanku lenyap ketika sebuah tepukan mendarat pada bahuku. Sedikit tersentak, berbalik dengan mata menatap waspada dan kening berkerut, aku malah dikejutkan dengan presensi seorang pemuda jangkung dengan wangi parfum menyeruak. Sekilas melihatnya, aku langsung tahu dia siapa.

"Cindy?"

Aku berusaha mengulas senyum. "Hai," kataku, berusaha sebisa mungkin untuk menelan saliva meredakan rasa gugup.

Aku tidak tahu apa yang membuatku gugup: fakta bahwa Elfredo tidak datang sendiri atau karena ini pertama kalinya aku akan memiliki proper conversation secara langsung dengannya. Tapi kalaupun iya, aku yakin tak akan lama. Elfredo bagai pangeran berkuda pudi yang dikawal prajurit, dua orang siswa lain (yang sering kulihat bermain basket dengannya) berdiri di belakang Elfredo layaknya ajudan.

"Akhirnya ketemu lagi." Tanpa diduga-duga, ia menyerahkan sekaleng soda, tersenyum manis. "Anggap aja permintaan maaf untuk yang kemarin di GOR."

Terdengar siulan dan dehaman yang dibuat-buat dari teman-teman Dodo, tapi lelaki itu bagai aktor profesional yang sama sekali tidak terpengaruh oleh cuitan di sampingnya.

"Wah ... makasih." Aku tersenyum tak enak. Niat awal hanya ngobrol sekaligus persiapan wawancara, kenapa harus ada hadiah tambahan gini?

"Oh ya, mau pesen makan juga, nggak? Biar lebih enak ngobrolnya." Ia menggiringku duduk di salah satu bangku dekat pintu, bangku yang paling kuhindari karena akan sangat menarik perhatian anak-anak. Aku meringis ketika melihat beberapa siswa mulai melirikku dan Elfredo sembari berbisik-bisik.

Dalam hati aku merutuk. Aku lupa kantin adalah sasaran empuk untuk jadi sumber gosip.

"Gimana, Cin? Nasi soto oke? Atau, bakso?"

"Traktirlah, man. Masa cewek bayar sendiri." Salah satu teman Elfredo yang tidak kuketahui namanya menyahut. Suaranya keras dengan gaya urakan, menarik atensi beberapa siswa lain. Aku tergoda untuk membekap mulut menyebalkannya itu sekarang.

Elfredo sama sekali tidak tampak terganggu dan hanya membalas gurauan temannya dengan hantaman tinju yang dibuat-buat. Segera tanpa persetujuanku, dia langsung berteriak keras-keras, "Bu, nasi sotonya 2, sama es jeruk 2."

Aku memelotot. "Eh, nggak usah," selaku, "Aku nggak bakal lama, kok. Nggak usah pesan makan juga."

"Nggak apa-apa, nggak usah sungkan gitu. Aku yang ngajak ketemu, masa aku nggak traktir?"

"Kan sudah ada soda."

Ia tersenyum. "Sodanya buat nanti, ya. Sekarang kita makan dulu."

Kata-katanya bagai magis yang membuatku tak dapat berkata-kata dan kembali ke bangku layaknya orang dungu. Aku ingin menolak, ini terasa salah. Semua ini terasa janggal. Tapi, Elfredo tampak begitu bertekad untuk mengajakku makan bersama. Aku tidak tahu harus mencari alasan apa lagi.

Dua mangkok nasi soto tersaji di hadapan kami. Elfredo dengan senyumnya menyilakanku untuk makan, yang hanya kubalas dengan anggukan enggan. Untungnya, kedua temannya yang tadi berisik sudah pergi, jadi aku bisa lebih santai mengobrol dengannya tanpa merasa diawasi.

"Dua cowok tadi temen kamu? Anak basket juga?"

Elfredo menggeleng dengan mulut penuh. Ia mengunyah dan menelan, sebelum menyahut, "Feri sama Sean maksudnya? Enggak, mereka anak futsal."

Aku hanya mengangguk sembari menggumamkan kata "oh", sebelum tiba-tiba tawa Elfredo pecah.

"Ya iyalah mereka anak basket! Ya kali aku temenan sama anak futsal."

Merasa tidak menangkap candaannya, aku bertanya, "Memang kenapa temenan sama anak futsal?"

Elfredo membasahi bibir, kemudian menumpukan sebelah siku di atas meja. "Ya nggak kenapa-napa, sih. Aneh aja kalo anak basket sama anak futsal sahabatan, 'kan jarang ketemu."

Ada benarnya, sih. Tapi, bisa jadi juga teman Elfredo tadi anak kelasnya. Namun aku tak lagi menyahut, dari sini aku bisa menyimpulkan Elfredo lebih dekat dengan anak basket dibanding anak kelasnya sendiri. "Oke, karena kita udah ketemuan, jadi kayaknya kita bisa mulai perkenalan lagi. Elfredo Willy, anak basket, hobi main billiard. Sejak kapan kamu mulai main basket?"

"Panggil Dodo aja btw, anak-anak di sini manggil aku Dodo semua." Elfredo mengibas-ngibaskan tangannya, sejenak mengunyah dan menyeruput es jeruk sebelum menyambung, "Aku udah main basket sejak ... SD mungkin? Ya, pokoknya sekitar usia 7 tahun-an gitu."

Aku mengangguk-angguk sembari mengaduk nasi sotoku. "Oke, Dodo. Udah cukup lama berarti, ya."

Dodo menganguk. "Udah hobi banget. Yang billiard juga hobi, sih. Cuman basket tetep nomor satu."

"Kenapa nggak milih futsal?" tanyaku, murni penasaran. "'Kan sama-sama main bola."

"Sama-sama main bola, tapi esensinya beda." Dodo menyeruput es jeruknya, mengusap-usap dagu dan memasang tampang layaknya sedang berpikir. "Tapi basket lebih fun, menantang, dan .." Ia mengedipkan sebelah mata, "keren."

"Keren?"

Pemuda itu mengendikkan bahu. Setengah tertawa menyahut, "Banyak cewek naksir cowok basket. Dan di sekolah kita, lebih popules basket dibanding futsal."

"Oh, jadi lebih karena cewek, nih?"

Dodo menyeringai. "Kalau bisa dapet ya kenapa enggak?"

Aku tertawa.

Setelah menghabiskan makanan dan menyeruput es jeruknya hingga seperempat habis, Dodo menumpukan sebelah tangan di atas meja, menatapku. "Nah, aku udah cerita banyak tentang aku. Aku juga mau denger tentang kamu dan klub jurnal. Sori sebelumnya, tapi aku nggak pernah denger klub jurnal sampai kamu datang ke GOR kemarin. Emang klub baru ya?"

Aku agak bingung dengan pertanyaan mendadaknya, tapi tidak memportes lebih. Anggap ini obrolan biasa supaya lebih luwes saat wawancara nanti. "Nggak baru dibentuk juga, tapi emang baru aktif untuk belajar dan nugas. Bu Luci pembimbingnya."

"Oh," Dodo mengangguk-angguk, tapi dalam tatapannya masih tersisa banyak pertanyaan. "Kenapa milih jurnalis? Kenapa nggak olim atau yang lebih pasti eksistensinya. Kayak dance gitu?"

Aku meringis saat ia mengatakan "olim", tapi mengulas senyum dan berusaha terlihat profesional, kujawab pelan, "Aku suka nulis."

Ia mengangguk-angguk. "Terus kenapa aku?"

"Hah?"

"Kenapa milih aku untuk jadi narasumber? Ada banyak siswa populer lain, ada Gery anak futsal, ada anak dance, kenapa aku?"

Aku nyaris menjawab, "Karena rekomendasi Serga", tapi aku langsung teringat amanah Serga yang tidak ingin namanya disebut. Ah, itu jadi membuatku tergoda untuk bertanya tentang Serga. Mereka sepupu, tapi tidak pernah menyinggung satu sama lain. Aneh.

"Karena kamu paling populer ...?" jawabku jujur, Dodo tergelak.

"Aku nggak merasa gitu, tuh."

Bohong. Dari matanya, aku tahu ia senang dipuji begitu. Wajahnya bahkan bersinar-sinar, tapi aku hanya membalas dengan senyum sopan. Nasi sotoku masih banyak, aku tidak enak makan sendiri sementara Dodo sudah selesai makan. Namun, pemuda itu sama sekali tidak tampak keberatan, hanya menatapku dengan mata berbinar-binar layaknya seorang anak anjing menatap mata majikannya.

Tidak benar, sebab tidak seharusnya Dodo melakukan itu. Aku yang harus melakukan pengenalan. "Yang penting, popularitas kamu menjanjikan. Kita bisa wawancara kapan kira-kira?"

"Aku latihan setiap hari kecuali Rabu sama weekend. Mungkin Rabu?"

"Boleh." Aku mengangguk. "Rabu pulang sekolah?"

Ia setuju. Kami kemudian lanjut makan dalam diam―atau tepatnya, aku yang lanjut menghabiskan makananku. Dodo masih duduk di tempatnya, menyeruput es jeruk yang sudah habis hingga menghasilkan bunyi sedot nyaring.

Bel berbunyi tepat saat kami berjalan di koridor. Dodo hendak mengantarku ke kelas. Dan ketika itu ia sempat memanggil namaku, "Cindy!"

Aku berbalik, menoleh dengan kernyitan kening.

Dodo tersenyum lebar hingga menyentuh mata. "Thanks buat hari ini. Sampai ketemu Rabu besok!"

Walau sedikit tidak menyangka dengan sapannya, aku hanya balas mengangguk. Saat aku hendak berbalik kembali ke kelas, mataku tak sengaja bertemu dengan tatapan Serga. Ia masih duduk di tempat yang sama, pada bangku lusuh yang terletak di kanting paling pojok. Dan dari tatapannya, aku tahu, ia telah mendengar seluruh konversasi kami. Entah bagaimana caranya. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top