Sembilan
KERINCING bel café terdengar tepat saat aku mendorong pintu kaca dan melangkah masuk. Atmosfer ramai mall langsung berubah. Aroma kopi dan pastry bercampur cokelat menggelitik hidung, langsung membuat perutku meraung-raung. Refleks kugigit bibir, berusaha menahan godaan untuk melirik ke arah rak roti dan malah menelusuri isi kafe dan mencari sosok pemuda.
Ah, ketemu!
Kulambaikan tangan ke arahnya, pas ketika tatapannya juga mengarah padaku. Dion balas melambai, kemudian mengibas-ngibaskan tangannya menyuruhku datang. Seperti biasa, ia memilih bangku paling dalam dan pojok, bersebelahan dengan dinding. Setelah mengempaskan tubuh pada bangku di hadapannya, Dion langsung menyodorkan sepiring croissant cokelat dengan hamburan Almon di atasnya. "Aku baru pesan, masih hangat."
Kukulum senyum. "Makasih. Maaf telat, tahu sendiri gimana sulitnya minta izin sama Mama."
Dion hanya tersenyum, sama sekali tidak mempermasalahkan itu. Padahal aku yakin, sudah lebih dari 30 menit ia menunggu di sini. "Gimana kabar Tante?"
Aku menggigit ujung croissant-ku, dalam hati memekik girang saat mengecap manisnya cokelat. "Masih sama galaknya," jawabku yang langsung dibalas tawa. Setelahnya baru kuralat, "Baik, cuman ya gitu ... lebih sibuk. Setiap pulang kerja selalu aja uring-uringan. Kemarin habis ribut sama Charlie gara-gara urusan PR."
Konversasi kami tersela tiba-tiba saat seorang pelayan datang untuk membawakan buku menu. Dion dan aku memesan minuman favorit kami seperti biasa: Ice caramel latte. Aku sebenarnya tidak terlalu boleh minum minuman manis sekarang―kemarin aku sudah menelan segelas latte dengan gula, popcorn karamel, dan selusin donat JCO pemberian Jinny. Tapi memikirkan tumpukan tugas sekolah minggu depan, kepalaku jadi berkedut lagi. Persetan apa kata Mama tentang makanan manis, aku butuh campuran gula dan kafein untuk menjaga diri tetap waras.
"Kayaknya bukan Charlie aja yang banyak tugas," ujar Dion, tepat setelah pelayan meninggalkan meja kami. "Akhir-akhir ini kamu juga sering pulang telat."
"Ya, gitulah. Banyak tugas," sahutku, kembali menggigit croissant. "Minggu-minggu menjelanf ujian, mendadak semua guru gopo ngumpulin nilai."
"Kayaknya bukan tugas sekolah biasa, deh."
Alisku refleks berkerut tak suka. Dion bukan tipe orang yang suka menyindir, tapi kalau ia sudah menyindir, berarti ada sesuatu yang ingin ia katakan namun terlalu malu untuk mengatakannya secara langsung. Atau, terlalu gengsi. Atau, terlalu malas dan ingin aku menebak sendiri. Kadang kalau malas meladeni, aku tidak menanggapi dan kami berakhir mogok bicara―rekor paling lama, 7 hari.
Namun hari ini suasana hatiku sedang baik. Aku tidak mau bertengkar dengan Dion hanya karena masalah sepele. Jadi mengembuskan napas, aku menjawab dengan aras-arasan, "Ada tugas ekskul jurnal. Nulis artikel tentang siswa, agak ribet emang."
Dion memajukan tubuh, kedua tangannya bertumpu di atas meja, matanya memandangku dengan anti dan skeptis. "Aku baru tahu ekskul bisa bikin siswa pulang telat 3 hari berturut-turut."
Oh, masalah pulang sekolah. Aku memutar bola mata, mendesah lelah. "Ya 'kan aku baru pindah ekskul, jelas sibuk."
"Ya karena kamu baru pindah dan klub jurnal juga baru dibentuk, aku bingung kenapa dari Rabu sampai Jumat kemarin kamu pulang malam."
"Ada kerja kelompok," ucapku pelan.
"Kerja kelompok 3 hari berturut-turut dan belum selesai?" Dion terdengar tak percaya. Ia akan mengomel lebih panjang kalau saja pelayan tidak datang dan mengantar pesanan kami. Sejenak, ia memutuskan untuk diam, seolah menungguku mengatakan permintaan maaf atau apapun. Namun, aku tidak mengatakan apa-apa dan memilih untuk menyeruput minumanku dalam diam.
Aku tidak mengerti kenapa urusan kerja kelompok-ku membuatnya uring-uringan. Lagipula, aku tidak pernah mempermasalahkan saat ia harus pulang terlambat untuk urusan OSIS atau latihan basket sekolah (yang mana pernah sampai 1 minggu lebih, aku harus pesan Grab 7 hari berturut-turut karena tidak ada tumpangan pulang). Sekali lagi, ini kerja kelompok-ku. Dion tidak mengambil bagian, ia tidak tahu apa-apa soal tugas artikel wawancara yang ku―
Oh, tidak. Tugas wawancara.
Aku baru ingat sampai sekarang Dodo belum juga mengirimku pesan. Aku juga belum mencari akunnya untuk DM. Semalam aku terlalu fokus untuk mengerjakan tugas Sejarah hingga tak terpikir perkara wawancara.
"Bukannya aku marah, cuman mau ingetin aja," Dion mendesah, membenarkan posisi duduknya lebih menghadap ke arahku. Nadanya berubah lebih lembut kala melanjutkan, "Rabu kamu ninggalin Charlie sampe jam 8 malam, lho. Aku nggak keberatan―nggak sama sekali, malah. Charlie udah kuanggap seperti adik sendiri, anaknya juga nggak rewel atau apa. Tapi, gimana kalau sampe Mama kamu tahu? Soal kemarin juga, kalau aku nggak WhatsApp kamu, mungkin kamu juga bakal pulang malem."
Aku menunduk, hanya bisa menyeruput minumanku sembari menatap ukiran kayu di meja. Aku benci mengakuinya, tapi Dion selalu benar, setidaknya dalam sebagian besar nasihatnya. Semalam setelah mendapat WhatsApp mendadak dari Dion, aku langsung memesan ojek online dan pulang, untungnya Mama mampir ke Supermarket ujung kompleks sehingga aku bisa sampai rumah lebih dulu.
Lalu, masalah menitipkan Charlie saat aku harus pergi ke GOR mendadak bersama Serga. Kuakui, aku salah. Menitipkan adik kandung sendiri yang masih berusia 6 tahun pada orang lain selama nyaris 5 jam sama sekali bukan hal yang dapat dibanggakan. Walau teman dekat, aku juga enggan kalau setiap hari harus terus merepotkan orang lain. Dalam hati aku tahu aku berhutang banyak pada Dion.
Apa mungkin aku terlalu ambisius dalam mengejar klub jurnalistik ini? Mungkin, ekspetasiku terlalu tinggi.
Tapi, semua orang juga punya sisi ambisius, bukan? Memang apa salahnya untuk menginginkan lebih? Apa salahnya untuk berusaha dan berbuat dan berharap lebih banyak?
Setelah aku kehilangan kesempatan di ekskul sains, setidaknya aku ingin mencoba di ranah yang kusuka. Mungkin, ini bisa menjadi jalanku.
Mungkin, ini bisa membuktikan pada Mama bahwa aku juga bisa.
Dan ya, aku tak boleh gagal.
"Charlie nggak bikin PR," gumamku lirih.
Raut wajah Dion berubah bingung.
Aku menggigit bibir bawahku, memberanikan diri menatap kedua iris gelap Dion. "Hari ini, aku sulit dapet izin karena Mama lagi marah sama Charlie. Seharusnya kemarin aku bantu dia kerja tugas, tapi kemarin aku malah sibuk sendiri."
Dion bergeming, tapi dari ekspresinya seolah berkata, "Tuh, 'kan, apa kubilang', namun cukup bijak untuk menahan diri berkata demikian. Aku tidak menyalahkannya, sih. Kadang-kadang aku juga berpikir, pasti sulit menjadi Dion dan Jinny. Pasti sulit berteman dengan seorang remaja labil yang kepalanya dipenuhi oleh suara-suara jahat tentang diri sendiri. Pasti sulit berkawan dengan orang ambisius yang selalu ingin lebih, selalu merasa kurang, nyaris mendekati hampa tapi belum.
Sisa hari di kafe itu, mulutku tiba-tiba bergerak sendirinya. Kalimat itu mengalir begitu saja: aku menceritakan pada Dion bagaimana awal mula kerja kelompok jurnalis ini terbentuk. Bagaimana awalnya aku bertemu Serga (minus kejadian di koperasi, khusus yang itu, aku rasa Dion tak perlu tahu). Lalu, sampai pada tahap dimana aku seharusnya menghubungi pemain basket terkenal sekolah, Elfredo Willy, dan bagaimana kami berkenalan, bagaimana awalnya kupikir ia siswa yang kurang ajar dan sombong, tetapi ternyata cukup ramah dan asyik untuk diajak ngobrol.
Dan terakhir, bagaimana aku berharap wawancara ini lancar agar aku bisa menulis artikel terbaik dan meyakinkan Bu Suci bahwa memang, aku layak mengikuti lomba artikel itu.
Dion duduk di hadapanku, mendengar dengan sabar seraya sesekali menyentuh minumannya. Ia tidak menyela, raut wajahnya datar―tidak ada tanda setuju ataupun pertentangan, sementara matanya berusaha menggali kejujuran.
Yang dengan mudah berhasil ditemukannya dalam bola mataku.
Aku menyeruput seluruh minumanku setelah cerita, sedikit terengah karena sudah lama tidak berbicara sebanyak itu. Minggu ini aku lebih banyak dihantui dengan tiga hal: air mata, tugas, dan air mata. Rekor obrolan terpanjangku minggu ini dengan Serga, itupun menyangkut wawancara dan PR Matematika trigonometri sialan itu.
Dan setelah cerita panjang tersebut, satu-satunya respon Dion hanyalah, "Hati-hati sama Elfredo." Pemuda itu melipat kedua bibirnya. "Geng dia anak-anak mal yang hobi hang out."
Aku mengernyit tak setuju. "Kamu, 'kan, dulu juga anak mal."
Ia menggeleng. "Beda. Circle Dodo lebih ..." keningnya berkerut mencari-cari kata, "lebih liar. Hang out-nya mabuk dan disko. Aku nggak mau membatasi ruang gerak kamu, tapi akan jauh lebih baik untuk jaga jarak dengan Dodo."
Aku tidak mengiyakan, tapi juga tidak membantah. Hanya mengangguk-angguk layaknya anak kecil yang baru diberi wejangan oleh sang kakak. Bukannya aku tak tahu kehidupan gelap siswa-siswi populer seperti Elfredo―bukan berarti semua popularitas buruk. Hanya, kau pasti tahu bahwa ketika satu hal berada di posisi puncak, pasti ada titik kelam tersendiri yang hanya bisa mereka lihat. Tapi jujur, rasanya sedikit aneh mencocokkan semua image bad boy itu dengan sosok Elfredo kala ia menyapaku di GOR kemarin.
"Hati-hati juga sama Jinny."
Aku mendongak. "Jinny?"
"Dia suka sama Dodo, 'kan? Jangan sampai dia mikir job kamu wawancara Dodo modus untuk nikung dia. Aku tahu Jinny baik, tapi ..." Ia menjeda, mengendikkan bahu kala melanjutkan, "Well, cewek bisa ganas perkara cowok. Drama-drama cewek gini emang terlalu childish, tapi kamu harus hati-hati."
Aku sedikit tertegun. Sebelumnya aku tidak memikirkan soal itu sedikitpun. Kukira kesukaan Jinny pada Elfredo hanya sebatas kekaguman: perasaan yang sama yang timbul kala kau berpas-pasan dengan pemuda tampan di pusat perbelanjaan. Takjub, terpukau, tapi tidak ada rasa cinta―perasan itu terlalu muluk untuk diberikan pada seseorang yang tidak dikenal.
Jinny tidak mengenal Elfredo, bukan? Hanya sebatas tahu nama.
Dion mengambil piring croissant-ku dan mengambil satu suapan besar. Aku berdecak menatapnya, tapi pemuda itu hanya terkekeh tanpa rasa bersalah. "Habis ini mau langsung pulang atau?"
"Setidaknya beli makan dululah," ucapku, dalam hati lega konversasi yang berat tadi kini berakhir dengan candaan seperti biasa. "Burger King atau apa gitu. Aku baru sampe masa langsung pulang."
Dion tersenyum penuh makna. Setelah membayar minuman, kami keluar dari café. Hari ini Jumat petang, aku dan Dion menjadwalkan hang out sebentar sekaligus refreshing sebelum minggu-minggu sibuk datang.
Ini adalah rutinitas kami pada hari-hari santai, dimana sekolah hanya tentang tugas dan kuis. Tidak ada ujian, tidak ada tuntutan. Sejujurnya di hari-hari seperti ini aku merasa lebih santai sekaligus stres, lebih relax tapi di saat yang sama juga takut. Khawatir soal ujian depan, khawatir juga soal nilai ujian lalu. Jadi Dion memberi saran untuk hang out pada malam Jumat, di mal terdekat untuk main dan jalan-jalan.
Aku memilih Tunjungan Plaza, walau jaraknya 40 menit dari rumah. Sengaja, semakin jauh, maka semakin kecil kemungkinan untuk bertemu dengan anak-anak kelas.
"Yakin mau langsung makan?" tanya Dion, "atau ... olahraga dulu?"
Senyumku langsung merangkak luas. Aku mengangguk cepat, menggandeng tangannya untuk berlari ke eskalator. Dion tertawa, seolah bisa menebak reaksiku sekarang. Olahraga yang ia maksud adalah bermain Dance Dance Revolution. Aku bukan tipe gadis sport, tapi menari dalam wujud game di arkade depan banyak orang asing rasanya melegakan.
Aku merasa seperti bebas.
Tubuhku berkeringat mengikuti gerakan pada layar, sementara Dion di sampingku hanya asal bergerak. Aku tertawa saat sesekali melirik ke arahnya. Gerakannya konyol, gerakanku lebih konyol. Aku merasa tatapan banyak orang dari arkade mengarah pada kami, mungkin berpikir, bagaimana bisa dua remaja ini percaya diri menari padahal tariannya tidak bagus sama sekali.
Namun. aku tak peduli. Dion pun tidak.
Kami menari seolah tak ada hari esok. Tubuh kami terasa bebas dan panas, gerah dan berkeringat. Tapi, di saat yang sama kepuasan itu langsung menyeruak begitu lagu selesai diputar dan layar menunjukkan papan skor. Aku mendapat B, Dion mendapat D, tapi kami tak peduli dan hanya tertawa melihat skor di layar layaknya itu lelucon lama. Kami menari selama 3 lagu berturut-turut, lalu keluar arkade dengan tubuh lengket dan kaki pegal-pegal. Setelahnya Dion mengajakku ke restoran burger favoritku, membeli 2 porsi burger Mozarella dan kola.
Aku yang kelaparan langsung mengambil gigitan besar pada burger-ku, kelabakan saat menyadari roti bulat itu masih panas. Melihat itu Dion berkata, "Aku tahu kamu laper banget, tapi jaga image sedikit, dong."
Aku berdecak dan memberinya tatapan galak. Dion berkerut dan memasang ekspresi pura-pura takut yang segera membuatku tergelak.
Ada beberapa waktu dimana aku bisa melupakan semua kegelisahan dan bebanku sebagai seorang siswa. Tanpa kritik, tanpa omelan Mama, tanpa tuntutan berlebih, tanpa suara-suara buruk dari dalam kepalaku sendiri.
Hari inilah salah satunya: hari ketika aku bisa menjadi diri sendiri apa adanya. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top