Lima

HARI itu terasa bagai neraka.

Kelas pertama diisi oleh pelajaran Bahasa Inggris, dan seperti biasanyanya, Pak Sigit selalu punya ide brilian perihal "membuat siswa terlambat istirahat dengan siksaan tugas". Dua jam kelas diisi oleh celotehan motivasi yang lebih mirip senandung nina bobo (sebab kulihat, nyaris seisi kelas merebahkan kepala di atas meja) selama 40 menit, 40 menit berikutnya diisi dengan kuis dadakan tentang grammar dan vocab bahasa Inggris, lalu pada 30 menit terakhir, Pak Sigit baru memberi tugas menulis sebuah teks persuatif bertema pendidikan.

Siapa saja yang bisa mengumpulkan hasil esai sebelum jam istirahat akan emndapat tambahan 10 poin untuk Penilaian Tengah Semester. Aku sudah semangat mengejar reward spesial itu, tapi sialnya di tengah proses menulis, dua pulpen favoritku berhenti bekerja, tipex-ku rusak, dan saat aku hendak mengumpulkan hasil karanganku yang penuh coretan, ini feedback yang kuterima:

"Kamu tahu apa yang membuat sebuah karya tulis bisa dinikmati pembaca, Cindy?"

Aku terpaku, tidak bisa menjawab. Namun dari tatapan liciknya, aku tahu ia akan mengerjaiku habis-habisan saat berkata dengan suara keras, "Karena ada tulisan yang bisa dibaca dengan jelas."

Pak Sigit menyeringai, sama sekali tidak merasa bersalah saat menunjukkan kertasku di depan kelas. "Kamu mau Bapak membaca tulisan seperti ini?"

Aku mendengar dengkusan bercampur tawa samar dari teman-teman di belakang. Beberapa bahkan tidak enggan untuk bergumam dengan suara keras, "Bodoh, salahnya sendiri terburu-buru."

"Ini, kamu bisa tulis ulang dengan tulisan yang jelas dan rapi."

Dengan wajah merah padam, kuterima kertas itu. Saat bel istirahat berbunyi dan Pak Sigit sudah keluar, aku segera mengambil berlari keluar kelas. Dari belakang kudengar Jinny mengejarku, tapi aku tidak repot-repot untuk berhenti atau menoleh sedetik pun. Aku berlari sampai ke lapangan belakang, duduk dan terengah-engah di bangku penonton bagian tengah.

Dadaku kembali sesak, mataku penuh dengan air mata. Aku tidak suka menangis di tempat umum, tapi pikiranku tak henti memutar peristiwa memalukan tadi. Bagaimana bisa Pak Sigit memperlakukanku seperti itu di depan kelas?

Sebentar lagi, mereka akan mengecapku sebagai "Cindy, siswa SOK PINTAR yang menulis asal-asalan hanya demi nilai". Atau mungkin, mereka akan mengenalku sebagai siswa yang haus nilai. Aku tidak suka. Aku benciーsangat benci―mendapat pandangan serendah itu di mata orang.

Bagaimana kalau mereka pikir aku tidak sebaik itu?

Membayangkan bagaimana nanti namaku akan disebut dalam perkumpulan mereka, dijuluki dalam grup kelas sebagai "Si Pintar yang Ambisius" (jangan pikir aku tidak pernah membaca walau memang jarang aktif dalam group chat).

Dadaku sesak, aku buru-buru mengambil napas untuk menenangkan diri.

Jangan nangis, jangan nangis.

Aku menggigit lidah sendiri untuk menahan air mata. Suasana istirahat semakin tampak dalam pandanganku yang kabur―siswa berhamburan keluar kelas, berdesakkan turun melewati tangga yang tampak bagai sekumpulan semut. Lapangan outdoor-ku terletak di depan gedung. Ada jarak belasan meter antara garis paling luar lapangan dengan baris kursi penonton paling bawah. Dari jarak sejauh ini, semua objek yang ada dalam sekolah terlihat mungil.

Aku sering kemari pulang sekolah, hanya untuk melihat seberapa besar bangunan tempat aku menuntut ilmu dan menyadari seberapa kecil diriku. Dramatis, memang. Namun entah mengapa, cara ini selalu berhasil membuatku merasa lebih baik.

Matahari siang ini cukup cerah, sesekali angin sepoi membelai poniku lembut. Well, memang kenapa kalau Pak Sigit berniat menjatuhkanku? Memangnya kenapa kalau semua siswa berpikir aku ambisius?

Mendadak, rasa percaya diri memenuhiku. Air mataku mengering oleh angin, rasa sedih dan tidak percaya diri seolah ikut terbawa pergi. Aku mengusap wajah dan menarik napas dalam-dalam.

Benar, sebuah suara menyapu batinku, kau tidak harus mendengarkan kata-kata mereka. Kalau kau bisa memenangkan penghargaan artikel, kau bisa membungkam mulut mereka semua.

Hatiku mulai tenang.

Kamu bisa menang lomba artikel itu.

Ya, aku bisa menang. Lalu, Pak Sigit akan malu dengan hinaannya.

Aku mendadak teringat dengan Jinny. Aku merasa sedikit bersalah meninggalkannya tanpa alasan tadi. Aku lantas bangkit dan melangkah menuju tangga. Ketika aku melewati lapangan, tiba-tiba sesuatu yang keras menghantam paha kiriku. Aku lupa bagaimana lapangan selalu ramai saat istirahat. Semua terjadi begitu cepat, tahu-tahu tubuhku sudah limbung di pinggir lapangan dengan paha berkedut nyeri.

"Eh, sori sori. Nggak sengaja!" teriak seseorang.

Aku menunggunya untuk menghampiriku, untuk menolongku berdiri atau setidaknya meminta maaf. Ia memang berjalan mendekatiku, namun bukan untuk melakukan satupun dari dua hal yang kuekspetasikan tadi. Alih-alih meminta maaf secara pribadi, ia mengambil bola basketnya yang tergeletak di pinggir lapangan dan berbalik pergi.

Apa-apaan itu?

Apa ia tidak melihatku terjatuh?

Aku berusaha bangkit, menepuk bagian belakang rokku. Aku tidak langsung pergi, aku melihat siswa tadi. Ia malah kembali bermain di tengah lapangan bersama teman-temannya yang lain seolah tidak terjadi apa-apa. Aku ingin meneriakinya tapi itu hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga. Tapi kemudian, aku melihat wajahnya.

Sedetik kemudian aku langsung tahu siapa dia.

Elfredo Willy.

Aku mendengkus sinis. Tidak heran kenapa ia langsung berbalik pergi.

Ah, ini jadi mengingatkanku akan diskusi dengan Serga kemarin.

Bukan hanya membawa saran gila dengan mewawancarai sepupunya yang songong tingkat dewa, ia juga tidak mau terlibat langsung dalam wawancara.

"Akan jauh lebih bagus kalau kamu wawancara berdua sama dia."

"Kamu nggak ikut?"

"Aku ambil foto dari jauh, tapi untuk wawancara, lebih bagus kalau dia nggak lihat aku."

Aku mendelik curiga. "Kenapa gitu? Kenapa kamu milih Dodo kalau kamu sendiri nggak mau ikut wawancara?"

Serga menyebutkan sesuatu tentang "kepercayaan diri" dan "arogan". Aku tidak terlalu ingat, sebab jawabannya sama sekali tidak berhubungan dengan pertanyaanku. Awalnya kupikir itu hanya omong kosong belaka―kau tahu, seperti bercandaan para pemuda malas yang selalu menunda-nunda pekerjaan. Aku juga tidak akan membiarkan Serga lolos dari tugas wawancara tanpa terlibat di dalamnya (lagi-lagi kutekankan, Serga sendiri yang merekomendasikan sepupunya, Dodo).

Walau aku lebih memilih kerja individu, membayangkan Serga tetap mendapat nilai ekskul atas kerja kerasku rasanya mengesalkan.

Kini, melihat seberapa arogannya seorang Elfredo Willy, aku semakin yakin telah dipermainkan.

Kalau Serga tahu watak arogan sepupunya dan menyarankanku untuk melakukan wawancara sendirian, maka berarti ia sedang merencanakan sesuatu.

Jelas itu bukan hal bagus.

Aku masih kesal memikirkan hal itu sampai ke kelas. Untungnya, pelajaran di dua jam mata pelajaran terakhir tidak begitu berat. Kelas seni budaya hanya diisi dengan free time―yang mana bagus untuk memulihkan mentalku hari ini. Jinny juga tidak banyak berkomentar soal kejadian tadi, hanya menghibur dengan berkata, "Nggak usah terlalu dipikirin. Emang begitu watak Pak Sigit, suka banget jelekin orang."

Aku menggumamkan terima kasih dan memberinya sebotol soda sebagai permintaan maaf. Hari ini bukan hari terbaikku di sekolah. Sudah dipermalukan dalam kelas bahasa inggris, aku juga baru menerima kembali hasil kuis Kimia di pelajaran lalu. Hasilnya tidak buruk, tapi juga tidak bagus. Bukan hal yang bisa kubanggakan.

Dan paling geram ketika aku tahu ada yang mendapat nilai sempurna.

Aku menghabiskan waktu kelas free time dengan membaca-baca conton wawancara di internet. Persetan dengan siapa yang akan kuwawancara atau siapa yang menjadi partner menulisku, aku tetap ingin memberi yang terbaik.

"Nelson, anak kelas sebelah, nyariin kamu tadi." Jinny tiba-tiba muncul, menarik bangku kosong dan duduk di depanku. "Katanya, mau pinjam catatan olim tahun lalu."

Aku sempat menegang. Catatan olim tahun lalu.

Satu kalimat yang menyingkap banyak masa lalu. "Oh."

"Terus aku tanya, 'kan, 'Kenapa nggak kamu minta sendiri ke dia?', tapi dia jarang ketemu kamu. Katanya, kamu udah nggak kelihatan di perpus lagi."

Aku mengerjap, mematikan ponselku. Kulirik guru seni yang dengan santai mengetik sesuatu di laptopnya dengan telinga disumpal headset tanpa repot-repot memerhatikan suasana kelas. Beberapa siswa bermain gitar dan bernyanyi layaknya konser pribadi, beberapa bergosip di sudut kelas, sisanya duduk menyendiri dan sibuk dengan ponselnya.

"Aku udah gabung klub jurnal," sahutku enggan, "jadi udah jarang ke perpus."

Mata Jinny berbinar-binar. "Gimana? Udah kenal sama yang namanya Serga?"

Aku mengangguk. "Dia partner kelompokku."

"Partner kelompok?" Tiba-tiba ia memekik, kini Jinny malah memberiku tatapan menggoda dengan seringai khasnya. "Kayaknya ada yang mulai dekat sama cowok, nih ..."

Aku memutar bola mata, kembali membaca wawancara di ponsel alih-alih menanggapi candaannya.

Namun Jinny terlalu keras kepala untuk menyerah. "Serius, Cinnnn," katanya, memajukan kursi. "Kayaknya keluar dari klub olim udah takdir, deh. Terus kamu masuk klub jurnalistik, ketemu sama Serga, jadi deket, terus—"

"Kamu mikirnya kejauhan," tukasku.

"Ya, siapa tahu, 'kan?" katanya, tak mau menyerah. "Sesekali optimis, dong. Kalau emang beneran bisa deket, kenapa enggak?"

Pertanyaan terakhir Jinny malah membuatku bergidik geli. Selanjutnya waktu kami dihabiskan untuk mengobrol, Jinny menanyaiku tentang tugas pertama klub jurnal yang dirumorkan sebagai klub abal-abal. Aku menceritakan tentang bagaimana awal aku daftar klub jurnal (kata Bu Suci, sekaligus sebagai latihan untuk lomba menulis nanti), pembagian kelompok, sampai undian tema artikel.

Jinny tampak tertarik dengan tugas wawancara, tapi aku tidak menyebut nama "Dodo" saat ia menanyakan siapa yang akan kuwawancara. Jinny menyukai Dodo. Bisa semakin heboh bila ia tahu aku akan mewawancarai pemuda arogan itu.

Saat bel pulang, Jinny langsung pergi ke aula untuk mengikuti klub teater. Aku berdiri di depan gerbang, hendak memesan taksi online saat mataku menangkap sosok pemuda jangkung yang tak asing, tengah berdiri di tempat parkir paling pojok.

Tampilannya menonjol di antara siswa lain yang juga bergerombol di tempat parkir siswa. Seragamnya tidak dikancing, ia memakai topi baseball hitam, dan kedua celana yang dinaikkan sampai betis. Pemuda itu tidak langsung membawa kendaraannya keluar, melainkan berjongkok di dekat ban depan untuk membenarkan sesuatu.

Yang paling menarik perhatianku: kendaraan yang ia gunakan.

Bukan sepeda motor matic, bukan sepeda motor besar kebanggaan mayoritas siswa, bukan pula vespa buntut seperti di komik-komik.

Itu sepeda.

Sepeda keranjang kuno bewarna biru dongker yang catnya sudah mengelupas.

Aku melangkah mendekatinya. "Baru pertama kali aku lihat kamu bawa sepeda."

Serga menoleh, sempat kulihat bola matanya melebar seolah terkejut melihatku sebelum detik selanjutnya langsung memalingkan wajah. "Emang nggak pernah," sahutnya, "ini pertama kali."

Aku mengangguk, melihatnya repot membenarkan sesuatu. "Kenapa rantainya?"

Serga berdiri sembari menyeka keringat. "Lepas, tapi sekarang udah lumayan."

Aku sedikit kagum, walau kini tangan dan seragam Serga penuh dengan oli. Ia membenarkan rantai sepedanya sendiri bak seorang ahli. Bagiku, itu adalah salah satu wujud dari sikap mandiri.

"Tumben jam segini belum pulang," ucap Serga, "masih nunggu temen?"

"Temen?"

"Yang biasa nganter kamu."

"Dion, maksudnya?"

Serga hanya menjawab dengan mengangkat bahu, tatapannya seolah berkata 'siapapun namanya aku tidak peduli'.

"Nggak, hari ini aku pulang sendiri. Ini baru mau pesan taksi online."

"Oh."

Kami kemudian berdiri dalam hening. Terasa canggung untuk beberapa detik. Aku membasahi bibir, hendak melempar pertanyaan saat tiba-tiba seseorang melebarkan lengan merangkulku. Aku terperanjat, hendak menepis tangannya saat melihat siapa dia itu.

"Aku cariin kamu dari tadi. Kemana aja, sih? Katanya mau pulang bareng."

Aku mengerutkan kening melihat Dion. Bukannya ia ...?

Namun pemuda itu tampak tidak terganggu sama sekali saat menatapku. "Udah pesan taksi?"

Aku menggeleng.

Ia tersenyum lebar. "Pulang sama aku?"

Perubahan sikap Dion yang ramah sangat aneh dan mencurigakan. Namun sebelum aku sempat meresponi, Serga tiba-tiba memotong, "Aku duluan." Ia menaiki sepedanya, mengayuh keluar gerbang.

Barulah saat itu Dion menyikut sikuku. "Kenal dari mana?"

"Hah?" Aku mengerjap. Butuh beberapa detik untuk menangkap maksudnya. "Oh. Teman sekelompok. Dia juga ikut klub jurnal."

Dion hanya mengangguk.

Aku mengernyit. "Kok pulang pagi? Bukannya kamu ada latihan basket?"

Ia mengedikkan bahu. "Di-cancel. Coach ada rapat mendadak, jadi besok di-reschedule lagi."

Aku hanya mengangguk paham.

Entah hanya perasaanku atau bagaimana, tapi Dion lebih diam dan bertingkah aneh hari ini. Ia tidak mengajakku mengobrol saat mengeluarkan motor, ia juga tidak mengajakku mengobrol di atas motor. Perjalanan kami dipenuhi dengan keheningan hingga tahu-tahu saja, aku sudah menginjakkan kaki di gerbang kompleks. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top