Empat Belas

"BISA-BISANYA kamu nggak kasih tahu aku, Cin? Aku kira kita sahabat!"

Aku mendongak, pulpenku terjatuh begitu saja dari genggaman kala tiba-tiba Jinny meletakkan tumpukan buku paket pada mejaku dengan sedikit tergesa. Ia menarik kursi asalーentah milik siapaーduduk di depanku dan kini rautnya serius. Oh, aku mendadak dilanda perasaan tak enak. Sudah pasti ia akan membicarakan itu.

"Bisa-bisanya kamu wawancara seorang Alfredo Willy Ciputra dan nggak pernah cerita ke aku!"

Baiklah, drama remaja menye-menye dimulai. Jinny selalu saja mendramatisir suasana, seenaknya datang dan memenuhi mejaku dengan barang-barangnya. Tidak lihat aku sedang mengulas materi rumus pecahan sebagian dalam trigonometri? Tapi well, aku tidak mau memperkeruh suasana dengan balas menyalakーtoh Jinny juga tidak benar-benar marah. Dari nadanya, aku tahu ia hanya sedang menggodaku (atau mungkin memrotesku, kadang-kadang bedanya tipis sekali) karena berhasil mewawancara kapten basket populer di sekolah.

"Itu untuk tugas pertama klub jurnal," jawabku, "aku kira kamu udah baca di web sekolah. Mereka juga bikin pengumuman di IG OSIS."

"Kamu tahu sendiri aku jarang buka web," sahutnya, kali ini dengan nada naik beberapa oktaf. Namun hanya dalam hitungan detik, ekspresinya luluh. Nada bicaranya ikut berubah saat berkata, "Ya ampun, Cinnn. Serius, Dodo ganteng banget di foto kavernya! Waktu kamu wawancara bagian pengalaman basket dan dia mulai hadap belakang untuk menunjukkan angka favoritnya, kelihatan banget bahu dia lebar, punggungnya, ototnyaーoh, astaga."

Oke, mendengar seseorang memuji lawan jenis tentang "bentuk badan" terdengar aneh. Tapi mungkin tidak untuk remaja yang sedang dimabuk asmara.

"Gimana? Anaknya baik, 'kan? Asyik, 'kan?"

Aku mengendikkan bahu. "Yah, lumayan." Kuambil lagi pulpen dan buku catatan yang terpendam di bawah tumpukan barang Jinny, kembali membaca contoh soal dan pembahasan trigonometri yang ku-print semalam.

"Tuh, 'kan! Apa kubilang," Jinny berkata bangga, "Dodo itu nggak kayak yang orang bilang. Rumor aja katanya galak dan bad boy. Bad bad gitu, hatinya masih lembut."

Untuk poin terakhir, aku sempat tergoda untuk menyanggah. Lembut, katanya? Entahlah. Apa seseorang yang berhati lembut bisa menggosipkan sepupunya dengan orang lain? Namun aku juga tak punya bukti banyak. Mendebat Jinny soal Dodo sama saja dengan mendebat Pak Sigit soal penggunaan grammar Bahasa Inggris yang benar (sama-sama ngotot, keras kepala, dan anti pendapat orang).

Jadi aku hanya mengangguk asal.

"Terus gimana?" Ia menatapku berbinar-binar.

"Gimana apanya?

"Ya setelah ini, gimana? Kamu nggak ada rencana apa-apa gitu? Setelah separtner sama Serga, wawancara Dodo, lalu?"

Aku masih membaca rumus. "Rencana apanya?"

Jinny berdecak. Barangkali sewot sebab aku lebih fokus kepada 10 soal matematika dibanding konversasi dengannya, jadi tanpa aba-aba ia segera merebut kertas itu. "Serius, Cin. Kamu baru aja ngobrol sama cowok paling populer di sekolah dan nggak punya rencana apa-apa?"

Apa aku harus punya rencana?

"Aku udah ngomong, 'kan, Jin," desahku lelah. "Aku nggak tertarik untuk pacaran."

"'Kan kamu yang nggak tertarik."

Aku menatapnya dengan kernyitan. Jangan bilang maksudnya ...

"Ehm, kamu bisa kenalin aku ke Dodo?"

Firasatku benar.

"Nggak mau, ah!" sahutku tanpa pikir panjang. "Aku juga nggak dekat-dekat banget sama Dodo. Malah nggak enak tahu!"

"Lah, 'kan udah wawancara bareng. Apanya yang nggak enak?"

Aku memegang pelipis, mulai pening. "Aku nggak sedekat itu dengan Dodo. Kenal juga baru kemarin waktu mau wawancara. Kalau mau kenalan, DM aja Instagram-nya. Dia ramah dan open ke siapa aja, kok."

"Ihhh, tapi kenalan lewat chat nggak semudah itu. Kamu pikir sedikit yang DM dia? Gosipnya anak kelas 1 udah pernah coba, nggak work juga." Jinny memajukan tempat duduknya, menyentuh lenganku. "Serius deh, Cin, kamu kenalin kita aja sebagai teman. Nggak lebih, nggak kurang. Aku juga sebenarnya nggak berharap lebih sama dia. Suka sebatas kagum aja. Tapi setelah baca artikel kamu, aku jadi semakin kagum sama pola pikirnya, sama hardwork-nya, sama semangatnya. Aku pengin belajar lebih banyak dari dia."

Aku menggigit bibir, merasa ragu. Firasatku mengatakan bahwa mengenalkan Jinny dengan Dodo akan membawa pada serentetan drama tak perlu yang hanya menyusahkan masa SMA-ku. Tapi, benar juga kata Jinny. Dodo adalah pemuda populer, dengan jumlah teman yang tak sedikit. Tidak mungkin mereka akan langsung dekat dan jatuh cinta begitu saja, bukan?

Jadi dengan menghela napas, aku merebut kembali catatanku dari tangannya. Berkata, "Aku nggak janji apa-apa tapi, ya. Aku akan coba ngomong ke Dodo dulu."

***

Apa sudah terlambat untuk berkata menyesal sekarang?

Oh, astaga. Apa yang kupikirkan? Biasanya aku bukan tipe orang besar mulut yang hobi bicara macam-macam. Terlebih, untuk hal menye-menye seperti "menjadi mak comblang seorang cowok tampan populer sekolah dengan sahabatku". Persis seperti plot film roman-remajaーmohon maaf, aku tidak tertarik.

Jinny senang bukan main setelah mendengar kalimatku tadi. Dari doa pagi sampai jam pelajaraan keenam, ia tampak begitu senang, ringan tanpa beban. Tidak mengomel ketika guru biologi memberi tugas, tidak merutuk juga saat hasil kuis Matematika dibagikan dan ia mendapat nilai di bawah rata-rataーbukannya temanku itu tipe siswa yang peduli nilai.

"Anak-anak, jangan lupa minta tanda tangan orang tua dan kumpulkan besok di ketua kelas. Besok pagi sebelum jam pelajaran pertama, ibu mau semua kertas sudah kembali di meja ibu. Paham?"

Semua menyahut serentak, "Paham, Bu!"

Aku melihat lagi hasil kuisku. Delapan puluh lima. Lima poin lagi untuk mendapat nilai tertinggi (Bu Lia tidak pernah memberi nilai 100 untuk kuis dan tugas, entah apa alasannya, jadi nilai tertinggi adalah 90). Tapi itu sudah menjadi kebiasaan di SMA Bakti Mulya.

Namun entah mengapa, melihat nilai kepala 8 bukan pemandangan bagus untukku. Segera aku melipat kertas kuis itu dan menjejalkannya asal dalam ransel. Aku harus memberikan itu pada Mama nanti, tapi persetan, Mama juga tidak akan peduli kalau kertasku lungsut begitu. Apalagi, kertas dengan nilai ujian 85.

Bel istirahat berbunyi. Aku menghabiskan seluruh waktu istirahatku untuk berpikir dan merenung di perpustakaan. Ugh. Rasanya tidak ada yang berjalan benar akhir-akhir ini. Draft pertama artikelku mendapat banyak catatan revisi, Jinny yang tiba-tiba merengek soal Dodo, nilai kuis tidak sempurna. Hah .... Kemarin, aku hendak mendatangi Serga untuk menanyakan soal "pengalamannya" dalam membawa rokok ke sekolah.

Namun saat aku pergi ke koridor, aku malah tidak bisa menemukannya. Ia bagai bayangan yang sekejap muncul dan sekejap hilang. Aku ingin mengiriminya pesan, tapi tidakkah aneh?

Pertemuan terakhir kami di kantin, itupun rusak oleh suasana tegang Dion dan Dodo, yang akhirnya berhasil kulerai dengan menarik Serga pergi.

Aku mengambil ponselku, menumpukan dagu pada meja sambil membaca ulang WA-ku dengan Serga. Setelah satu jam berdebat dengan diri sendiri, semalam aku akhirnya memberanikan diri mengiriminya pesan:

19.36

Cindy Priscilla

Hi

Kemarin aku janji untuk traktir kamu, tapi malah nggak jadi

Besok gimana?

Dan baru dibalas 2 jam kemudian:

21.07

Serga Wilantara

Nggak usah gpp

Hanya tiga kata itu, sesingkat itu. Aku kembali memancingnya:

Cindy Priscilla

Nggak papa, sekalian ada yang perlu aku omongin

Serga Wilantara

Bsk aku sibuk

Cindy Prsicilla

Oh, oke

Bagian terakhir, aku sudah kehilangan nyali. Aku rasa, kalimat Serga saat mengatakan "besok aku sibuk" hanyalah alibi tak berdasar untuk bisa melarikan diri dariku. Mungkin ia punya dendam sendiri pada partner klub jurnalistiknya yang dengan sengaja membawa serta teman OSIS-nya dan merusak makan siang di kantin.

Mungkin ia membenciku karena diam tak berkutik saat artikel kami direndahkan oleh Dion.

Desahanku mengudara. Kalau begini, tidak ada yang bisa kulakukan lagi. padahal, Serga bisa menjadi narasumber yang cukup bagus untuk riset artikelkuーwalau sejujurnya aku ragu ia akan menceritakan perkara rokok 3 pak itu. Mungkin rokok itu sudah disita dan diabadikan dalam ruang OSIS sebagai bukti.

Ah, tunggu.

Ruang OSIS.

Diabadikan dalam ruang OSIS sebagai bukti.

Kenapa ini tidak terpikir olehku dari tadi?

Ketika jam pulang berdering, aku langsung membereskan tas dan tanpa menunggu lama langsung berlari ke arah motor Dion. Untungnya, ia belum pulang. Masih memanaskan mesin motor di parkiran. Segera aku menghampirinya.

"Eh, Cin? Mau pulang bareng? Bukannya hari ini kamu ada jadwal les, ya?"

Mengabaikan pertanyannya, aku langsung berkata, "Dion, aku butuh informasi soal evaluasi BK dua minggu lalu."

Alisnya menyatu. Raut wajahnya tampak serius.

Aku mengangguk sembari berusaha mengatur napas. "Yang catat pelanggaran anak-anak di buku piket kamu, 'kan?"

"Iya, aku sama Dian. Kenapa?"

Bagus. Kini aku punya petunjuk baru. "Berarti kamu tahu Serga Wilantara pernah bawa tiga pak rokok ke ruang koperasi?"

"Hah?" Dion mengerjap bingung. "Serga yang kemarin di kantin itu? Serga temen jurnalis kamu?"

Aku mengangguk.

"Dia serius pernah ketahuan bawa rokok? Kok Pak Tri nggak pernah ngomong apa-apa ke aku?"

Hah?

Pak Tri tidak pernah tidak membicarakan pelanggaran siswa. Terlebih dari intonasinya kemarin, aku tahu betul bahwa Pak Tri tidak menyukai gelagat Serga. Baginya siswa seperti Serga itu arogan: sok tak acuh padahal butuh nilai, sok nakal padahal juga tidak berani nekad. Mustahil Pak Tri tidak mencatat pelanggaran Serga. Mustahil Pak Tri bisa lupa semudah itu.

Kecuali bila disengaja.

"Cin? Kamu nggak apa-apa?"

Kecuali, bila Pak Tri memang sengaja menyembunyikan pelanggaran demi seseorang.

Bukan demi Serga, pastinya. Tapi demi orang yang dekat dengan Serga tapi mengaku tidak dekat dengannya.

"Ada yang harus kukerjain. Aku ke kelas dulu." Alih-alih kelas, aku berlari menuju gudang belakang sekolah. Tempat beragam alat bercocok tanam (termasuk gembor) disimpan. Dan sesuai dugaanku, pemuda itu berdiri di sana: menatapku dengan dua alis terangkat heran sementara kedua tangannya memegang gembor penuh dengan air hingga urat tangannya tampak.

Oh, jadi ini yang dimaksudnya sebagai "sibuk".

"Rokok itu," aku mengatur napas, "rokok tiga pak yang dulu kamu bawa ke ruang koperasi."

Serga menatapku heran, tapi aku sama sekali tak punya keraguan saat melanjutkan mantap, "Sebenarnya itu punya Dodo, 'kan?" []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top