Empat

Sub tema kelompok Cindy-Serga: Artikel kronologis yang terjadi maksimal 2 tahun terakhir mengenai peristiwa fenomenal di sekolah (bisa jadi prestasi, pengalaman unik, dll) dengan fokus utama ialah siswa SMA Bakti Mulya Surabaya.

REFLEKS, kedua mataku mendelik, mengamati ponselku lamat-lamat.

Tidak ada yang berubah, aku memang tidak salah baca.

Tentang siswa.

Dua kata itu paling menarik perhatianku.

Bu Suci ingin aku menulis artikel picisan tentang siswa.

Desahanku mengudara, terdengar jauh lebih melelahkan dari yang kuduga. Padahal jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh, tapi Bu Suci berhasil mengaduk-aduk suasana hatiku dengan menyerahkan hasil undian untuk topik artikel.

Dengan santainya beliau berkata di grup WA:

Bu Suci

Baiklah anak-anak. Ibu sudah undi sub-tema untuk tugas artikel kalian. Silakan lihat hasilnya di sini:

Terlampir sebuah dokumen.

Saat itu aku ingat aku langsung mengernyit penasaran. Jantungku berdegup lebih keras, aku menggigit bibir selagi berusaha membuka dokumen PDF itu. Sebenarnya aku tidak punya ekspetasi apa-apa, sih. Hanya, aku juga tak menyangka akan kedapatan tema paling picisan yang harus mengulas kehidupan siswa.

Aku melirik jam, masih ada sekitar lima menit sebelum bel masuk. Aku buru-buru bangkit dari bangku, mengantongi remasan kertas hasil undian tadi dan pergi keluar kelas.

Aku sempat berpas-pasan dengan Jinny di koridor―nyaris bertabrakanーdan terlihat ia menyapaku dengan senyum antusias sebelum ekspresinya berubah dengan kernyitan bingung ketika aku hanya menepuk pundaknya dan melewati pergi.

Ia berseru, "Aku pinjam PR Mat, ya?"

Yang hanya kutanggapi dengan acungan jempol dari jarak jauh. Aku mempercepat langkahku saat menuruni tangga, berbelok menyusuri lorong IPA di sebelah perpustakaan.

Saat melihat sosoknya di lorong loker, tanpa sadar aku membuang napas lega. Aku sempat mengatur napas beberapa detik sebelum berkata, "Kita dapat bagian artikel gosip--nggak sepenuhnya gosip, sih, intinya artikel yang mengulas kehidupan spesifik siswa. Dateline dua minggu lagi, artikel minimal 500 kata dengan minimal 5 sub poin dan 5 gambar."

Serga masih sibuk mengorek-ngorek loker, tidak melirik apalagi memperhatikanku sama sekali. "Terus?"

Aku menarik napas, mencoba untuk menelan kembali rasa kesal yang tadi sudah siap di ujung lidah. "Terus, kapan kamu punya waktu luang untuk liput berita?"

Kini, gerakan tangannya terhenti. Serga menutup pintu loker, kemudian berbalik dan menatapku dengan satu alis terangkatーseolah aku baru mencetuskan ide gila atau semacamnya. Padahal seharusnya aku yang menatapnya begitu. Bekerja sama dengan Serga adalah sesuatu, tapi bekerja sama dengan Serga dalam meliput berita jelas adalah hal yang berbeda.

"Siapa bilang aku bakal ikut liput berita?"

Aku menatapnya tak percaya. "Terus ngapain ikut klub jurnalistik kalau nggak mau liput berita?"

Serga mengerjap salah tingkah. Barulah aku tahu ada sesuatu yang tidak beres di sini.

"Jadi alasan yang kamu sebutin kemarin nggak ada kaitannya sama sekali dengan nulis?"

Aku mengangkat kedua alis, menuntut pembalasan. Namun alih-alih, ia hanya terus menghindari tatapanku. Bel masuk berbunyi sebelum pertanyaanku terjawab. Alih-alih demikian, ia malah menatapku datar. "Setiap hari kecuali Jumat. Kamu aja yang nentuin harinya."

Kemudian ia berbalik, meninggalkanku sendiri.

Aku mulai bertanya-tanya, apa yang membuat seorang Serga Wilantara terjun ke dunia jurnalistik kalau ia sendiri tidak tertarik dengan sastra dan menulis?

***

Siang itu, lapangan sesak dipenuhi oleh siswa-siswi dari ekskul tari. Hebohnya lagi, mereka membawa dua speaker besar dari ruang TU ke pinggir lapangan, menyetel lagu mereka cukup keras hingga suaranya melambung sampai ke koridor 3. Menjadi anggota klub tari berarti harus kebal suitan dan mata jelalatan siswa, sebab setelah bel pulang berbunyi, koridor serta pinggir lapangan langsung penuh oleh para siswa. Banyak orang menunggu-nunggu latihan outdoor ekskul tariーsesuatu yang disebut "hiburan cuci mata" yang hanya terjadi kalau ekskul tari hendak menempuh kompetisi.

Jinny berkata, "Ada pertandingan basket dalam bulan dekat, jadi sekalian tim dance latihan."

Aku membalas, "DBL?"

Dion menjawab, "Beda, DBL 'kan masih November. Ini semacam kompetisi antarsekolah, tapi hadiahnya cukup gede, sih."

Alisku berkerut, lantas aku menoleh ke arah Dion. "Terus, kenapa kamu nggak ikut?"

Dion menyandarkan kedua lengannya pada sandaran tangga, tersenyum kecil hingga lesung pipitnya terlihat. "Coach maunya anak DBL fokus untuk DBL aja, sisanya yang nggak masuk seleksi biar cari lomba lain."

"Oh."

Selama sepuluh menit di sana, aku menyaksikan penampilan klub tari yang heboh dan energik. Ada beberapa orang yang kukenal tergabung dalam klub ituーdi antaranya teman sekelasku, Allyn, "mantan" gebetan Dion, Cellyn, dan dua siswi berkacamata yang kutemui di klub olimpiade.

Enak, ya, kalau jadi anak multitalenta.

Ah, perasaan itu datang lagi, perutku seolah baru dipelintir.

Aku jadi bertanya-tanya, apa orangtua dari siswi olimpiade itu tahu anak mereka mengikuti dua klub sekaligus? Olimpiade sains dan modern dance? Maksudku, apa mereka tidak marah? Apa mereka tidak takut anak mereka hilang fokus dan lebih mengutamakan tari dibanding sains?

Apa mereka tidak khawatir, kalau anak mereka akan kehilangan masa depan karena nilai pas-pasan?

Oh, pasti tidak.

Aku tersenyum miris.

Orangtua mereka nggak seperti Mamamu.

Dan kemampuan mereka jauh di atas kamu.

Suara itu datang lagi, tubuhku seketika merinding. Bukan, bukan jenis merinding yang kamu dapat saat berada di tempat seram. Ini jenis merinding yang berbeda: merinding yang terjadi ketika kamu sadar, kamu tidak cukup baik dari mereka.

Tepukan meriah dari para siswa seketika berhasil menarikku dari lamunan. Seruan di koridor, siutan dari banyak pemuda, sekaligus seruan Jinny dan Dion untuk menyelamati teman-teman ekskul tari di bawah. Ternyata latihan mereka sudah selesai, tapi aku malah larut dalam pikiranku sendiri.

Perutku mual, tanganku mendadak gemetaran.

Tidak, aku tidak bisa terus di sini. Di sini terlalu sesak, terlalu ramai, terlalu padat.

Kamu tidak ada apa-apanya dibanding mereka.

Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari menaiki tangga, menjauh dari keramaian dan kerumunan koridor. Langkahku tidak berhenti sampai aku menemukan ruang pojok dan sepi, tak peduli bahwa itu berarti harus mendaki anak tangga sampai lantai paling atas. Lantai 3, tempat paling angker dan sepi. Aku berlari ke pojok kelas. Sesuai dugaanku, tidak banyak orang di sini. Aku duduk di bagian pojok dekat kayu dan kardus-kardus, menepuk-nepuk pelan dada dan mengatur napas.

Kini di tengah keheningan, telingaku bisa menangkap suara-suara itu semakin jelas: Kamu nggak sebagus mereka.

Kamu bahkan tidak bisa bertahan di satu klub olim, terus masih mau ambis di lomba nulis?

Tenggorokanku tersekat. Di sisi lain, kupaksa diriku bersuara, Tenang, Cindy. Tenang, tenang. Kamu pasti bisa, oke? Jangan dengerin suara itu. Kamu

"Klubnya belum mulai, by the way."

Mataku refleks terbuka dengan sentakan pelan.

Serga berdiri beberapa langkah di depanku, satu tangannya merangkul ransel, tangan lainnya tersembunyi dalam saku seragam celana. Aku buru-buru menyibakkan rok dan berdiri.

"Klub jurnalis," katanya, menjelaskan. "Tadi aku lihat Bu Suci masih repot sama anak kelas 10. Yakin mau nunggu di situ?"

Ah, klub jurnalistik. Aku baru ingat tadi Bu Suci mengumumkan lewat pesan WA bahwa klub hari ini akan dilaksanakan di kelas 12 IPS 3, kelas paling pojon di lantai 3. Benar-benar sebuah kebetulan aku bisa berpas-pasan dengan Serga.

Ia masih menatapku aneh, jadi aku mencoba menjelaskan, "Cuma lagi pengen sendiri." Kedua jemariku bertaut di depan tubuh. "Di bawah ramai banget soalnya."

Serga hanya mengangguk pelan, raut datar kembali terpampang di wajahnya. Kalau jawabaku terlalu aneh dan canggung, ia sama sekali tidak menunjukkan rasa penasarannya lebih lanjut.

"Kamu sendiri?" ucapku, mengalihkan topik. "Ngapain ke sini kalau tahu klub jurnal belum mulai?"

Serga hanya menaikkan bahu tak acuh. "Supaya lebih leluasa milih tempat duduk."

Kemudian ia melangkah masuk tanpa menghiraukanku.

Syukurlah tak ada anggota jurnalis lain yang melihatku di sini selain Serga. Aku tidak tahu gosip apa yang bisa-bisa tersebar kalau ada junior yang mendapatiku tengah duduk di pojokan sembari memejamkan mata seperti tadi.

Aku menghabiskan lima menit untuk menunggu di depan kelas. Tetapi setelah tidak menemukan tanda-tanda kedatangan siswa atau guru, aku memilih menyerah dan masuk ke kelas. Persetan kalau di sana hanya ada Serga, aku terlalu muak berdiri di luar dan mendengar sorakan untuk tim dance siswaーmereka memulai latihan kedua dengan lagu yang berbeda, ternyata. Pantas banyak anak jurnal terlambat masuk kelas.

Serga duduk di posisi yang sama dengan minggu lalu; bangku pojok kiri dekat jendelaーsesuatu yang anehnya masih kuingat sekarang. Aku mengejeknya dalam hati, Ngapain sok dateng paling pagi kalau masih duduk di tempat yang sama? Telinganya disumpal dengan headset hitam, jempolnya sibuk menjelajah sesuatu pada ponselnya. Aku mengambil posisi duduk pada bangku bagian tengah, berjarak dua bangku dari tempat duduknya.

Sekitar lima menit dihabiskan dengan keheningan janggal sampai tiba-tiba seseorang bersuara, "Nggak nonton anak dance?"

Aku sedikit berjengit. Walau masih bertanya-tanya mengapa seorang Serga Wilantara mengajakku bicara, aku berusaha sesantai mungkin saat membalas, "Udah pernah nonton."

Tidak terdengar balasan.

"Kamu sendiri?" ucapku, membalikkan pertanyaan. "Kenapa malah ke sini paling pagi? Nggak suka lihat dance?"

Serga mulai melepas earphone-nya. "Nggak tertarik. Ada banyak anak basket di sana."

Aku memajukan tubuh penasaran. "Emang kenapa kalau ada anak basket?"

Namun belum sempat ia menjawab, suara langkah kaki dari sepatu hak tinggi terdengar. Tak lama, Bu Suci menampakkan diri dengan membawa satu tas tangan beserta setumpuk buku siswa. Ia tampak sedikit panik sekaligus merasa bersalah atas keterlambatannya, menyebut-nyebut tentang 'latihan tari di luar jadwal' dan 'koreksi tugas kelas 10'. Aku dan Serga hanya menanggapi dengan anggukan sopan.

Mengikuti kedatangan Bu Suci, siswa-siswa lain mulai masuk ke kelas. Setelah kelas setengah penuh, Bu Suci memulai kegiatan kami hari ini.

"Baik, anak-anak. Karena kemarin kita sudah bagi kelompok, kalian bisa duduk dengan partner kalian sekarang."

Aku yakin Serga enggan pindah ke bangkuku, jadi aku langsung membawa tasku dan pindah ke sampingnya.

"Bagus," ucap Bu Suci, tersenyum puas setelah melihat tatanan siswa. "Sekarang, ibu akan bagi topik untuk artikel kalian. Ibu sudah undi ini semalam. Khusus untuk kelompok Cindy, kalian bisa mulai diskusi."

"Oke," kataku, mulai memutar tubuh menghadap Serga. Sembari kukeluarkan notebook dari tas, aku bertanya, "Jadi, udah ada gambaran untuk artikel?"

"Belum."

"Udah ada ide mau ngeliput siapa?"

"Belum."

Aku menarik napas dalam-dalam. "Dateline kita 2 minggu, itu udah termasuk interview dan bikin dokumentasinya. Setidaknya hari ini kita udah tentuin mau liput berita siapa."

Serga mengendikkan bahu aras-arasan. "Bisa interview anak basket, senior, gosip pacaran, terserah kamu aja. Aku bakalan bantu untuk dokumentasinya."

Aku merapatkan rahang. Baiklah, kesabaranku habis sudah. "Aku nggak peduli kamu niat ikut ekskul ini atau nggak, tapi aku nggak mau tugasku rusak gara-gara kamu. Kalau kamu nggak suka, ya bilang ke Bu Suci. Jangan nyusahin gini, dong."

Ia mengangkat sebelah alisnya. "Bukannya kamu, ya, yang nggak mau sekelompok sama aku?"

Butuh kesabaran ekstra untuk menghadapi itu. Aku yakin kalau bukan karena sorakan histeris dari siswi sebelahーkalau tidak salah, ia mendapat topik untuk meliput senior atau apalah ituーbarangkali aku sudah berteriak di depan wajah Serga sekarang. Untung aku masih ingat ini tempat umum. Aku tetap harus menjaga citra diri di depan Bu Suci dan siswa-siswi di sini.

"Kalau nggak niat nulis, kenapa pilih ekskul jurnalistik?"

Itu kalimat yang keluar dari mulutku, seketika membuat bahu Serga berdiri tegak. Saat itulah untuk pertama kali, aku melihat rona samar di pipinya. "Aku mau ngerjain hal lain."

"Hal lain selain nulis?" tanyaku tidak percaya.

Ia mendengkus pelan. "Foto," gumamnya pelan.

"Hah?"

"Fotografi―aku suka fotografi. Foto, dokumentasi, apapun yang berhubungan dengan kamera," katanya malu-malu. "Aku nggak begitu mengerti soal nulis, tapi aku bisa bantu kamu dalam dokumentasi wawancara.:

Wow. Itu hal yang mengejutkan. "Kalau gitu, kenapa nggak ikut klub fotografi aja?"

Serga mendengkus pelan. "Kalau aku bisa, udah dari dulu aku daftar."

Percakapan itu terputus begitu saja. Aku tidak tahu apa artinya, aku juga tidak sempat bertanya sebab tiba-tiba Serga langsung berkata, "Gimana kalau nulis tentang prestasi siswa non-akademis?"

Aku sedikit terkejut dengan pengalihan topiknya yang tiba-tiba. Dari yang awalnya tidak tertarik mendadak langsung melontarkan ide begini.

"Topik itu bagus, tapi pasaran dan nggak spesifik. Kamu tahu sendiri prestasi sekolah kita sebanyak apa."

"Hmm ..." Serga membasahi bibir, hidung dan alisnya berkerut tanda berpikir. Kenapa mendadak dia semangat sekali untuk mencari topik artikel? "Kalau tentang basket?"

"Apa nggak terlalu pasaran topik tentang anak basket?"

"Topik pasaran justru bagus untuk narik pembaca," ucapnya, "bakal banyak fans fanatik yang baca artikelmu."

Ada benarnya, sih ... "Kalau anak basket, memang mau liput siapa?"

"Dodo."

Hah? Nggak salah dengar?

"Dodo ... Elfredo Willy? Sepupumu sendiri?"

Serga mengangguk mantap. Ekspresi wajahnya, nada suaranya, binar pada matanya―semua menunjukkan keyakinan kukuh kala melanjutkan, "Dia anak basket yang populer, terkenal, banyak cetak piala." Seringainya terulas. "Menurut kamu, siapa yang akan paling diuntungkan dari penulisan artikel ini?" []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top