Dua Puluh
PULANG sekarang atau nggak pulang sama sekali.
Kalau diartikan kira-kira seperti ini: pulang sekarang atau kamu bukan anak Mama lagi.
Frasa bukan anak Mama kalau dibedah lagi, kira-kira artinya seperti ini: dikeluarkan dari kartu keluarga, diusir dari rumah, dianggap hilang dan tidak pernah ada.
Seperti Papa.
Kali terakhir mereka bertengkar, aku ingat Papa sudah bersiap mengemas koper, berdiri di ambang pintu saat Mama berkata, "Keluar satu langkah, jangan harap kamu bisa ketemu anak-anak."
Awalnya, Papa terlihat bimbang. Ia menatapku dan Charlie yang masih bayi bergantian, ada keraguan melalui irisnya yang berkaca-kaca. Mama adalah wanita keras kepala, tegas, berprinsip. Ia tidak pernah main-main dengan ucapannya―Papa tahu itu. Tapi toh, emosi mengambil ahli. Saat aku mengintip diam-diam di sela pintu kamar, dalam hati berdoa Papa tidak serius dengan ancamannya pergi meninggalkan rumah, beliau malah tidak pikir dua kali untuk angkat kaki dari rumah.
Meninggalkan Mama.
Meninggalkan Charlie.
Meninggalkanku, yang dulu katanya adalah putri kesayangannya.
Itulah kali terakhir aku melihat Papa.
"Jam berapa sekarang?"
Aku menggigit bibir, melirik ke arah mama yang kini duduk di sofa. Ia sudah menunggu entah sejak kapan―tahu-tahu saat aku sampai, Mama sudah duduk tenang di sana.
"Charlie sudah pulang?"
Mama menatapku tajam, aku langsung menurunkan pandangan. "Mama tanya, jam berapa sekarang?!"
Aku tersentak. Kulirik jam di ruang tamu dan menjawab pelan, "Jam sepuluh."
"Ngapain aja sekolah sampai jam segini?"
Aku menunduk, mulai memilin jari.
"Nggak punya mulut? Nggak bisa jawab?"
"Ada ekskul." Suaraku terdengar jauh lebih parau dari yang kuinginkan. Aku berdeham pelan, mengulang, "ada ekskul jurnal." Jeda sejenak. Dari sudut mata, aku bisa melihat Mama masih belum mengalihkan pandang―tatapannya mengarah padaku, tajam, menukik, menuntut penjelasan. "Aku pergi sama teman."
Suara helaan napas.
"Siapa?"
Oh, tidak.
"Mama tanya, siapa?!"
"Teman ekskul," jawabku, langsung mengigit bibir. Aku tahu aku akan kena masalah. Selama ini, satu-satunya teman lelakiku yang Mama kenal adalah Dion. Itupun, hanya sekadar tahu nama. Mama tidak pernah suka aku bergaul dengan pemuda, bagi Mama itu cinta dan segala tetek bengeknya adalah salah satu penghancur masa muda.
Bisa habis aku kalau Mama tahu tentang Serga.
Pelipisku mulai meneteskan keringat. Saat kudengar Mama sudah bangkit dari sofa, aku sudah menyiapkan diri dengan omelan, pukulan, atau serangan apapun tapi yang kudengar malah helaan napas.
Panjang dan berat.
Aku perlahan mendongak.
"Astaga, Cindy." Mama berjongkok dengan tangan menopang meja. Bahunya merosot, tubuhnya lemas. Dengan tangannya yang lain ia mengusap mata. Apa ia menangis? "Mama cuman mau satu: kamu nurut sama Mama. Sesulit itu?"
Iya, mulutku gatal untuk menyahut.
Tapi kupilih untuk menahan diri.
"Kamu nggak mau lanjut olim? Oke, mama nggak maksa. Kamu mau ikut lomba nulis? Mama ngalah. Belum ada hasilnya, lho, Cin. Belum ada bukti apa-apa tapi kamu sudah sombong begini. Seenaknya keluar tanpa izin Mama, naik mobil bareng cowok yang entah siapa. Kamu kira Mama nggak tahu?"
Poin terakhir membangkitkan rasa was-wasku. Mama tahu. Mama tahu aku keluar naik mobil dengan Serga, mama tahu aku pulang terlambat.
Oh, astaga.
Mama pulang kerja lebih cepat karena beliau tahu.
Tapi, siapa?
Siapa yang memberi tahu?
Memikirkan itu langsung membuat darahku mendidih. "Mama suruh orang ikutin aku?"
Mama menatapku tak percaya. Ia sudah berdiri, pada wajahnya tak ada sebersit rasa sedih apalagi air mata.
Sampai sekarang aku tidak bisa membedakan, air mata yang asli dan bukan.
"Itu yang kamu pikirin sekarang? Mama ngomong panjang lebar, tapi itu yang kamu khawatirkan?" Matanya memelotot murka. Bibirnya yang dipoles lipstick merah bata kini membentuk kerutan dalam. "Memang kenapa kalau Mama suruh orang awasin kamu? Punya anak satu nggak dewasa-dewasa. Mengertilah, Cin, kamu sudah SMA. Sudah kelas 11. Sebentar lagi tahun terakhir, harus persiapan kuliah dan lain-lain. Sampai kapan kamu mau main-main terus gini?"
Main-main.
Selama ini usahaku hanya "main-main".
"Mana katanya calon mahasiswa baru psikologi Unair?"
Bagai diberi tonjokan di inti, perutku langsung melilit.
Mama tertawa sinis. Sisa-sisa air mata kini tampak bak riasan, menggantung di bawah bulu matanya. "Mana katanya, mau ikutin jejak Lisa?"
Aku memejam mata. Lagi. Mama menyebut nama sepupuku lagi.
"Lisa nggak akan sudi buang waktu untuk pacaran, kamu tahu?"
"Aku nggak pacaran," kudengar suaraku sendiri menjawab lirih. "Mama jangan sok tahu."
Tanpa aba-aba, secepat kilat, sebuah pukulan mengenai pipiku. Aku memegangi pipi yang terasa panas, gumpalan air mata langsung memenuhi mulut. Aku menatap Mama, tapi beliau tidak mengatakan apapun. Mungkin juga, terkejut dengan perbuatannya, ia kemudian berjalan masuk ke kamar. Aku duduk di lantai, pandanganku kabur akan air mata. Saat aku berdiri hendak menuju kamar, aku melihat sosok mungil di balik loteng, bersembunyi ketakutan dengan bahu gemetar.
Oh, tidak. Jangan Charlie.
***
Aku tengah membereskan rak biologi saat merasakan tepukan di bahu. Refleks tersenyum, aku menoleh dan berkata, "Thank you kopinyー"
Kalimatku terhenti. Tidak, itu bukan Jinny.
Melainkan Mei.
"Kak Cindy, apa kabar?"
Senyumku terhenti di tenggorokan. Aku menelan ludah, memaksakan seulas senyum. "Eh, Mei, baik baik. Kebetulan banget, ya."
"Kakak sendirian aja?"
Ia menarik bangku di hadapanku, tanpa ragu langsung mengempaskan tubuh mungilnya.
Aku mengangguk enggan. "Lagi tunggu teman."
"Ahh," balasnya mengangguk-angguk, "Oh ya, kak, soal hasil lomba. Aku udah nggak sabar. Ternyata, banyak banget penulis remaja yang ikut. Temanku di SMA Negeri, katanya persaingannya ketat di sana. Malah orang-orang di sana disaring dulu. Terus ada pelatihannya, ada kayak kelas-kelas menulisnya. Keren, deh, pokoknya!"
Perutku melilit. "Oh ya? Kedengerannya seru, belajar ramai-ramai."
Seru. Oh, aku sangat munafik.
"Banget, kak!" Mei menanggapi dengan mata berkilat-kilat. Antusiasme dan kebahagiaan menguar dari ekspresi wajahnya. "Tapi kemarin aku diajak ngobrol Pak Tri, katanya peluang menang kita kecil. Karena saingannya berat-berat dan udah jago nulis semua."
Peluang menang kecil.
Semua kalimat itu bagai tamparan bertubi-tubi. Perutku makin melilit. Kepalaku pusing.
"Tapi kak, aku nggak masalah sih kalau nggak menang. Masuk 10 besar aja rasanya udah bersyukur banget. Tapi lebih penting pengalaman ya, 'kan, kak?"
Pengalaman.
Aku teringat Mama. Semua bagai kunang=kunang dan aku langsung merasa mual. Aku memaksakan seulas senyum. "Maaf ya, Mei, aku harus pergi. Baru ingat ada janji kerja kelompok."
"Oh iya kak, silakan."
Aku setengah berlari ke kamar mandi. Suara-suara Mama menggedor kepalaku kuat-kuat.
"Tanpa peringkat, kamu nggak ada apa-apanya."
"Mau jadi apa kamu kalau nggak berprestasi?"
"Kamu bukan siapa-siapa, Cindy. Mau dihargai? Kerja keras."
Aku bukan siapa-siapa.
Tanpa medali-medali itu aku nggak berharga.
Lalu, semua tumpah.
Dalam toilet, isi perutku keluar.
Jam pelajaran, seharusnya tidak ada yang mendengar.
Tapi ketika aku menginjakkan kaki keluar, di ujung wastafel, aku melihat Jinny sudah menatapku dengan satu tangan terangkat menutupi mulut. Matanya membulat, berkaca-kaca terkena cahaya lampu.
"Ya ampun, Cin, kamu nggak papa?"
Tidak, aku tidak baik-baik saja.
"Kamu pucat, kamu sakit?"
Tapi selalu, jawaban yang keluar hanyalah, "Nggak, aku nggak papa." Template. Aku memaksa senyum. "Kayaknya masuk angin aja."
Jawaban klasik. Dusta dan kebohongan adalah sahabatku sekarang.
Tapi itu tidak apa-apa, itu sama sekali bukan dosa besar, bukan?
Simpan monstermu untuk dirimu sendiri. Suara Mama terngiang dalam benakku.
Sebab lagi-lagi, menunjukkan kelemahanku adalah salah satu pantangan yang tidak boleh aku lakukan.
Bila aku ingin dihargai orang. []
yang kangen Serga mana suaranyaaa(^^ゞ
maaf, serga-nya belum ada:(
bonus pict:
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top