Dua

SESUAI dugaanku, Mama sangat menentang gagasan lomba menulis artikel tingkat nasional itu.

Menurutnya, kompetisi tersebut murahan, tidak bermodal, payah, dan diadakan hanya sebagai ajang buang-buang waktu siswa. Sumbernya tidak jelas, saingannya tidak seberapa, hadiahnya hanya berupa sertifikat abal-abal, yang katanya, tidak akan berguna untuk mendaftar universitas bergengsi manapun.

"Bilang sama Bu Suci kamu mengundurkan diri."

Aku hanya mendengkus untuk menutupi kekesalanku.

Mama membuka-buka ponsel dengan gerakan sibuk (atau sok sibuk), sebab aku mengenalnya dengan sangat baik untuk tahu gerakan itu hanya sebagai pengalihan saat ia merasa sangat marah atau canggung. Aku rasa, dua-duanya sedang terjadi sekarang. Rumah kami memang tidak semegah dulu, tapi luasnya lebih dari cukup untuk ditinggali satu orang dewasa dan dua orang anak. Plus, Charlieーadikku dengan pipi gempal dan hobi mengocehーtidak ada di sini sekarang. Sudah lama sejak terakhir aku menghabiskan waktu sarapan berdua hanya dengan Mama, mungkin itu yang membuatnya sedikit gugup.

"Aku udah terlanjur isi formulir, udah nggak ada waktu untuk mundur," sahutku, berusaha terdengar se-tak acuh mungkin sembari memainkan brokoli rebus di atas piring. Mama terobsesi memasak sayur rebus sejak Papa pergiーtanpa garam atau bumbu penyedap apapun. Alasannya, ini bagus untuk kesehatan. Tapi aku yakin ini hanyalah cara lain Mama untuk membuktikan diri bahwa ia bisa bahagia dengan caranya sendiri paska kepergian Papa (sebab sayur rebus adalah makanan yang paling Papa benci, dan tidak ada satu pun anggota keluarga kami yang suka makan makanan hambar tanpa bumbu begini).

"Kalau gitu, Mama yang akan ngomong sama Bu Suci."

Aku memutar bola mata. Siap-siap drama baru di hari baru. "Ma, kenapa sih?" Decakanku mengudara, nadaku meninggi bahkan sebelum dapat kucegah, "Ujian udah selesai, tenggat lombanya juga masih lama. Nggak akan ganggu belajarku, kok!"

Mama balas menyentak, "Tapi kamu keluar klub olim demi lomba ini, 'kan?"

Keningku lantas mengernyit dalam-dalam. Aku tidak pernah memberitahu Mama soal klub itu ....

"Kenapa?" Mama menatapku dengan penuh kemenangan, poninya yang menutupi mata disibakkan dengan gaya angkuh khas ibu-ibu karier. "Kaget Mama tahu sekarang?"

Aku hanya terdiam, kalah telak. Nafsu makanku langsung memudar, mulutku terasa hambar mendadak. Aku benci sarapan di pagi hari, tapi hari ini ada pelajaran Fisika yang menuntut kerja pikiran yang ekstra. Seharusnya sarapan akan membuatku merasa lebih baik, awalnya kupikir begitu.

Sampai Mama membawa-bawa topik ini lagi.

"Mama sampai heran dengar berita itu dari orang lain." Mama tertawa sarkas. "Mama kira kamu ngerti perjuangan Mama. Mama kira dari semua orang, cuman kamu satu-satunya yang bisa Mama andalkan."

Perutku seolah teraduk.

Mama menggeleng dengan senyum sarkas. "Tapi ternyata Mama salah."

Rasanya telur dadar itu sudah berlari ke pangkal tenggorokan. Aku membekap mulut dengan satu tangan, semakin mual.

"Kelakuanmu mirip seperti Papa kamu. Ceroboh, nggak pikir panjang, pengecut. Bilang aja kamu keluar klub olim karena takut kalah saing sama anak kelas 11, 'kan?" Mama mendesak. "Iya, 'kan?!"

Baiklah, sudah cukup. Aku langsung berdiri, menyabet tas dengan satu tangan dan berjalan keluar rumah. Mama masih berteriak murka di belakang, menyerukan namaku beberapa kali yang kutanggapi dengan gelengan tanpa repot-repot menoleh. Aku berlari sampai ke gerbang perumahan, peduli setan dengan tali sepatuku yang belum diikat. Rasanya pagi ini seperti neraka; perutku mual, tenggorokanku panas, dadaku sesak layaknya diisi penuh oleh setangki air.

Namun bila berhenti, Mama pasti bisa menyusulku dan memaksa untuk mengantar sampai sekolah. Berada dalam satu mobil yang sama dengan Mama adalah hal terakhir di pikiranku sekarang.

Dalam hati aku bersyukur Charlie masih menginap di rumah sepupu. Jadi bocah malang itu tidak perlu menyaksikan kakaknya diteriaki layaknya orang dungu dan berakhir kabur seperti pengecut. Terkadang aku memikirkan gagasan itu sepanjang hari: mungkin bagi Mama, aku hanya remaja ingusan yang tidak memikirkan apa-apa selain cinta dan kenikmatan. Tidak sekali dua kali Mama berkata, "Jangan terlalu dekat sama cowok. Kalau mau berteman, seperlunya aja. Nggak usah baper-baper apalagi sampe kepikiran pacaran. Mama nggak mau kamu gagal cuma gara-gara cowok."

Aku mengangguk mendengar itu, tapi menertawakannya dalam hati. Memang Mama pikir aku cewek apa?

Mungkin itulah alasan, sampai hari ini aku tidak mengizinkan Dion untuk menjemput atau mengantar sampai depan rumah. Di depan gerbang kompleks, itu sudah cukup.

Aku mulai kelelahan. Tubuhku basah oleh keringat dan seragamku terasa lengket, perutku sedikit sakit karena berlari dalam keadaan penuh makanan. Namun untungnya tak jauh dari sana, tepat di depan gerbang kompleks, aku lihat Dion dan vespa putihnya. Ia melambai dengan ceria.

Senyumku lantas mengembang.

***

Dion mampir ke supermarket dan keluar dengan dua kopi kaleng. Aku sengaja tidak masuk ke dalam. Pertama, karena memang malas. Kedua, karena Dion parkir di seberang supermarket dibanding harus putar balik, jadi aku yang bertugas untuk menjaga motor kalau-kalau ada orang asing yang berniat jahat terhadap vespa buntutnya.

Ia menyerahkan kopi kaleng rasa caramel padaku, sebelum bersandar pada jok motor dan membuka minumannya sendiri.

Aku merogoh saku untuk mengambil dompetku, tapi Dion keburu berkata, "Nggak usah. Beli 1 gratis 1, jadi sekalian aja aku beli untuk kamu."

Aku mengulum senyum kecil. "Thanks."

Ia mengangguk santai. Angin pagi berembus, membuat Dion harus mengacak rambutnya yang setengah basah. Kalau ia melakukan gerakan ini di lapangan saat main basket, aku yakin seluruh gadis akan berteriak tanpa suara. Harus kuakui, Dion memiliki tampilan fisik yang menarik. Surai hitam dengan poni menyamping di dahi, hidung setengah macung, mata tidak terlalu sipit namun menarik. Tubuhnya kurus dan jangkung, tapi itu yang memperlihatkan otot tangannya sebab sering bermain basket.

Meski begitu, aku tidak mengerti kenapa Dion tidak pernah berkencan. Ia pernah mendekati seorang siswiーanak dancer populer, dengan kulit putih mulus dan mata bulat besar persis bak bonekaーtapi berubah pikiran di pendekatan bulan ke-2. Saat kutanya, Dion hanya mengedikkan bahu dan berkata, "Dia hedon, males."

Lalu aku hanya mengangguk paham. Walau look-nya tampak seperti Koko-koko tajir Surabaya (yang mana, ia memang lahir dari keluarga berkecukupan), Dion jauh dari kata "hedon".

"Jadi," Dion berkata setelah menyisip kopinya, "topik berantem apa lagi hari ini?"

Aku menarik napas, tidak kaget Dion menebak tepat sasaran. Ia cukup tahu sebagian besar masalah keluargaku: perceraian tidak damai, Papa tak bertanggung jawab yang pergi tanpa kabar, Mama egois yang kompetitif.

"Ya, gitulah." Aku bersandar di samping Dion, dengan hati-hati menaiki jok motor belakang agar tidak goyang. Dion langsung memegangi kendali motornya agar tetap seimbang. "Mama nggak setuju aku ikut lomba nulis, malah ngomel-ngomel nggak jelas. Untung Charlie nggak di rumah, kasian kalau dia harus dengerin emak-kakaknya berantem mulu."

"Mamamu nggak setuju?" Dion mengerutkan kening, terkejut. "Kenapa?"

Aku merapatkan bibir. "Mama nggak suka aku keluar dari klub olim," jawabku pelan.

Dari situ, Dion tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya menunduk dan memainkan tutup kaleng kopi, jadi aku tidak bisa melihat seperti apa ekspresinya. Beberapa menit setelahnya, ia malah bangkit dari posisi duduknya, menyelipkan kaleng kopinya di keranjang motor dan berkata, "Sepuluh menit lagi bel, ayo berangkat."

Pengalihan topik Dion menjadi akhir dari konversasi soal lomba. Di perjalanan, Dion kembali menjadi Dion yang kukenal: menyebalkan, sengklek, pemuda yang hobi ngebut tapi takut sama kucing. Saat melewati gang dengan banyak kucing, Dion yang ketakutan malah teriak-teriak nggak jelas sampai motor goyang. Aku meneriakinya berkali-kali sampai memukul pundaknyaーuntung gang itu sepi jadi tidak terjadi hal buruk apa-apa. Terkadang Dion memang perlu ditegur keras untuk aksinya yang terlalu sembarangan.

Untungnya, kami bisa sampai ke sekolah dengan selamat.

Setelah parkir, aku dan Dion berlari ke koridor IPS. Jinny menyambutku dengan senyumannya seperti biasa. Ia sempat mengapit tanganku dan menceritakan soal salah satu serial Neflix romansa terbaru, lalu obrolannya terhenti tepat ketika bel berbunyi.

Pelajaran pertama, Bahasa Indonesia. Aku melihat Bu Suci datang ke kelas dengan senyuman.

Ia mengucapkan salam, kami membalasnya serempak.

"Salah seorang dari kalian akan mewakili sekolah untuk berkompetisi pada lomba menulis nasional. Ibu senang kalau begini, karena bisa mengembangkan kualitas literasi sekaligus mengangkat nama sekolah." Matanya mengarah padaku, dapat kurasakan perutku terpilin oleh rasa gugup. "Mohon dukungan dan doanya untuk teman kalian, Cindy Priscilla."

Seruan, tepuk tangan, dan ucapan selamat.

Mendadak ruang kelas berubah pengap.

Seketika, ucapan Mama tadi pagi terngiang dalam kepala. Senyum Bu Suci dan tatapannya yang penuh harap, pujian dan binar mata teman-teman. Bibirku mengulas senyum kaku, namun tubuhku menegang. Tenggorokanku tercekat.

Dengan jelas kudengar pikiranku bersuara, "Lihat? Mereka selalu berharap. Tanpa kamu mau pun, mereka akan selalu berekspetasi besar." []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top