Time to the Heaven.

Kala waktu telah tunjuk pukul dua belas, Semesta resmi hapuskan eksistensi Jung Hoseok.


+++


Baskara telah melambai turun berjanji untuk muncul kembali esok hari dan presensinya telah diganti dengan presensi Dewi Bulan  pancarkan cahaya ditemani sang bintang. Diantara semua itu, ada satu sosok terduduk di teras rumah dengan kaki berjuntai ke bawah. Dalam hati ia berdoa agar garis takdir dapat diubah. Ia berharap agar semesta tak cepat-cepat hapus eksistensi. Ia ingin menikmati harinya bersama lebih lama lagi. Tapi, apalah daya. Jika Dewa telah berkehendak lain, ia hanya dapat bungkam dan jalani takdir yang telah digariskan.

Ia melirik jam dinding yang tergantung sempurna pada dinding.

11. 50.

Ah, sebentar lagi, ya?

Berarti Hoseok perlu mengucap perpisahan untuk Jimin dan Jungkook agar mereka tak bersedih kala ia telah dijemput nanti. Tersenyum kecil, Hoseok ketuk-ketuk lantai guna hilangkan perasaan khawatir. Tak berselang waktu lama, dua entitas ikut duduk di sebelah dengan senyum sendu—jelas tercetak pada wajah keduanya.

"Kak." interupsi dari Jimin buat Hoseok tolehkan kepala. "berapa menit waktumu?"

Hoseok tersenyum kecil lantas mengelus surai Jimin. "Sepuluh menit lagi, Jim," ujarnya tenang.

Manik Jimin berkaca-kaca. Lalu ia peluk Hoseok dengan erat—seolah tak rela si Abang pergi. Sementara Jungkook bergeming. Ia lantas lempar pandang ke bumantara seraya berujar sambil memainkan tangan—sasmita gelisah sangat kentara pada setiap pergerakannya. "kak, kalau seandainya kakak telah capai nirwana dengan selamat. Sampaikan salamku untuk Ayah dan Ibu bahwa aku merindukan mereka."

"Iya."

"Janji?"

"Janji, Kook. Aku bukan makhluk yang ingkar."

Lantas Hoseok mendekap Jungkook juga. Hoseok tersenyum kecut. Mereka memang berpelukan. Namun, hanya pelukan kosong. Sebab ia telah sekarat. Presensi Hoseok kini sama dengan angin. Ia semu, tak lah nyata. Namun, Hoseok mungkin harus berterima kasih pada kemampuan spesial kedua adiknya. Sebab, tanpa itu mungkin Hoseok tak kan bisa rengkuh mereka sekarang.

"Jimin, Jungkook." Ada interval tercipta sebelum Hoseok melanjutkan perkataannya. "jadilah anak yang baik. Jangan nakal. Turuti perkataan Paman Namjoon dan Bibi Yoona. Sebab ... tanpa mereka, kita tak akan bisa bertahan sampai sekarang."

Dua anggukan kompak menjadi jawaban yang Hoseok dapatkan. Ia terkekeh lalu mengusap surai Jimin dan Jungkook bersamaan. Ah, jika begini, bagaimana Hoseok bisa meninggalkan mereka berdua?

Menit demi menit, detik demi detik berlalu. Waktu kian menipis, seiring dengan percakapan dan gurauan mereka. Tertawa bersama-sama seakan tak ada waktu tertawa di hari Esok.

"Kak," suara Jungkook menghentikan tawa Hoseok.

Hoseok memiringkan kepala menanti apa yang akan diucapkan Jungkook.

"Kau tidak berniat melihat ragamu yang berada di Rumah sakit untuk terakhir kalinya," ucap Jungkook. "atau mungkin kau ingin mengucap salam perpisahan untuk Kak Yura."

Hoseok bergeming. Lantas ia terkekeh sembari menyugar surai hitamnya. "Untuk apa?" Hoseok menatap Jungkook ramah. "lagipula meskipun aku mengucap salam padanya. Ia tak akan pernah bisa lihat aku," ucapnya diakhiri dengan nada meninggi.

"Tapi, Kak—"

"Saudara, Hoseok?"

Ketiganya serta merta menoleh kepada presensi sosok berjubah hitam, sayap  terpampang jelas pada punggung serta tongkat dan buku yang dibawa. Sorot mata tajam—seolah dapat melenyapkan ratusan eksistensi.

Hoseok melirik jam yang menggantung di dinding. Pukul dua belas; berarti waktu telah tiba untuk pergi. Embuskan napas pelan, Hoseok tolehkan kepala pada Jimin dan Jungkook. Tersenyum sesaat, ia lantas membentuk gerak bibir mengucapkan, "jadilah anak baik. Aku sayang kalian."

Setelah ucapkan itu, Hoseok serta merta digiring menuju sebuah mobil putih bergaya mewah dengan sepasang sayap putih. Banyak yang tak percaya dengan hal seperti ini, dan memilih untuk tak percaya selamanya. Tapi, lihat. Hoseok bahkan akan naiki kebohongan yang orang-orang anggap. Ia lantas lempar pandang pada bunga mawar putih pada genggaman tangan.

Alih-alih gugup atau takut, Hoseok menyematkan senyum dan melangkah pasti membuka pintu mobil. Sebelum mobil melaju bawa ia sebrangi jalan menuju nirwana, ia berujar pelan.

"Selamat tinggal dunia Fana. Tempatku hidup sebelum pergi ke tempat mereka yang telah dihapuskan eksistensinya oleh semesta. Dan ... selamat datang nirwana. Tempat mereka yang telah dihapuskan eksistensi dan presensinya oleh semesta." []

+++

Maaf garing. First, you must know. Oneshoot ini terinspirasi dari Hotel De Luna yang diperankan IU dan (cowoknya aku lupa siapa wkwk) ya ini agak fantasy. Tapi, sebelum itu. Aku minta maaf kalau ada unsur yang sama dengan cerita lainnya. Aku gamaksud. Ini draft udah dari lama setelah aku nonton drakornya itu.

Oh iya. Untuk algeevaran makasih banget sama sarannya kak hehe. Sorry kalau belum benar-benar bisa menerapkan. Thankyou. Dan makasih udah berbagi keluh kesah hehe <3

Uwu thankyou ❣











Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top