9 - ABIYASHA'S BOOKS OF THE YEAR


Dear all,

Saya balik lagi nih, tapi bahasan KOLASE kali ini lebih ke soal buku. One of my most favorite things in the world aside from writing. Tiap awal tahun, saya selalu ikut Goodreads Challenge. Apa itu Goodreads Challenge? Jadi Goodreads (silakan dicari tahu sendiri apa itu Goodreads) tiap tahun ngadain challenge soal berapa banyak buku yang pengen kita baca dalam satu tahun. Kalau nggak salah, saya mulai ikut tahun 2013. Nggak selalu target saya tercapai, tapi udah dua tahun belakangan, saya melebihi target. Tahun ini saya nargetin baca 35 buku karena nggak mau muluk-muluk dan nggak mau seperti dikejar deadline, tapi sampai awal Desember, saya udah baca 52 buku (on the way to 53) dan temanya pun beragam. Selain baca ulang Harry Potter (pertama dan terakhir baca pas SMA, jadi udah 13 tahun lalu) bacaan saya bisa dibilang beragam. Mulai dari chicklit, womanlit, ladlit, literature, non-fiction, historical fiction, sampai YA. Saya ngerasa, buku-buku yang saya baca tahun ini lebih bervariasi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu, saya bikin daftar 10 buku favorit dan tahun ini, saya pengen bikin daftar serupa. Buku yang saya baca bukan berarti harus terbitan tahun ini ya? Bisa aja buku dari tahun-tahun sebelumnya tapi baru saya temuin tahun ini.

Kategorinya apa sih sampai saya masukin 10 buku ini dibanding 40-an buku lainnya? Saya nggak punya kategori khusus, tapi yang pasti, buku-buku ini ngaruh banget ke saya. Entah itu kepengen menulis dengan gaya nulis yang beda atau alasan paling sederhana, buku-buku ini yang paling memorable tahun ini dibanding 40-an buku lainnya dan punya kemungkinan akan saya baca lagi di kemudian hari.

Tanpa berlama-lama lagi—halah—inilah daftar 10 buku paling favorit versi Abiyasha (in no particular order):

- Honestly Ben by Bill Konigsberg (gay themed)

Buku ini bertema YA (young adult) dan merupakan sekuel dari Openly Straight yang dirilis tahun 2013. Seperti sering saya bilang, saya bukan penggemar sekuel, tapi Honestly Ben ini jauuuuuuuh lebih bagus dari Openly Straight. Karakter Ben beneran bulat. Tipikal karakter cowok YA yang populer, pinter, jago olahraga seperti jadi pelengkap buat Ben karena inner struggle dia yang paling disorot. It's the perfect example of YA and a sequel. Gara-gara baca buku ini, saya pun jadi makin semangat buat ngerjain sekuel Glenn dan tergelitik buat nulis young adult, genre yang sebelumnya nggak pernah saya jamah. Begitu sampai halaman terakhir, saya beneran nggak bisa pisah dengan Ben. I'd fallen in love with him. Meski temanya masih seputar coming out, ceritanya sangat nggak tipikal. I just love this book so much. Bahkan, saya nggak akan ragu masukin buku ini sebagai salah satu buku terbaik yang pernah saya baca. It is that good!

- So You've Been Publicly Shamed by Jon Ronson

Saya jaraaaaaang banget baca non-fiction, tapi begitu baca blurb dan sinopsis buku ini, saya jadi penasaran. And what a book! Buku ini berisi tentang orang-orang yang 'dipermalukan' seluruh dunia, baik lewat Twitter, Facebook, dan surat kabar. Mostly lewat sosial media. Jadi orang-orang yang dijadikan nara sumber Jon Ronson ini bikin satu slip up di sosial media yang kemudian jadi viral. Netizen kemudian berbondong-bondong mem-bully mereka habis-habisan. Beberapa harus kehilangan pekerjaan gara-gara tweet/post Facebook, bahkan ada yang sampai nggak berani keluar rumah karena dapet ancaman. Buku ini nyadarin saya bahwa media sosial dan penggunanya bisa jadi orang-orang yang sangat judgmental cuma karena satu hal, tanpa peduli atau berpikir panjang akibat yang ditimbulkan dari kebiasaan mereka men-judge orang lain. Netizen udah nggak ada bedanya dengan main hukum sendiri, sekalipun bentuk hukumannya berbeda. It is a very good book and I recommended it very much.

- Lingkar Tanah Lingkar Air by Ahmad Tohari

Seperti halnya non-fiksi, saya juga jarang baca buku berbahasa Indonesia. Alasannya? Salah satunya adalah terbatasnya pilihan yang ada. Sedangkan saya udah nge-banned baca buku terjemahan, LOL. Tapi saya tetep usahakan baca buku berbahasa Indonesia biar nggak kagok pas nulis. Ini malu-maluin sebenernya, tapi saya kadang stuck nggak bisa nemu satu kata dalam bahasa Indonesia pas nulis karena otak saya kadang udah terlanjur switch ke bahasa Inggris. Anyway, Ahmad Tohari ternyata baguuuuuuuuus. Meski ngambil historical fiction yang masih sangat jarang ada di dunia sastra Indonesia, bahasanya sama sekali nggak berat. Yang sangat oke dari buku ini adalah diksinya. Sederhana, nggak neko-neko, tapi nendang. Saya belajar cukup banyak dari buku ini, bukan hanya dalam artian sejarah, tapi juga soal diksi. Dari sekian banyak buku berbahasa Indonesia yang udah saya baca, Lingkar Tanah Lingkar Air ini udah pasti masuk daftar buku paling weowe versi saya.

- The Ex-Boyfriend's Handbook by Matt Dunn

Buku ini bikin saya ngakak nggak berhenti-berhenti. Bukunya sendiri masuk kategori ladlit—genre kebalikan dari chikclit, yang berarti tokoh utamanya adalah cowok metropolitan—dan yang bikin lucu itu justru bukan karakter utamanya, Ed, tapi sahabatnya, Dan. Ceritanya sendiri sih Ed ini ditinggalin pacarnya ke Tibet, kemudian dia minta tolong sahabatnya, Dan, buat nyari tahu kenapa ceweknya bisa ninggalin dia. Mulailah mereka bikin list diselingi komentar-komentar ajaib dan sangat narsis dari Dan (Dan ini diceritain emang ladies' man banget) Ed mulai membenahi hidupnya, nyewa personal trainer, beli mobil baru, ngubah cara dia berpakaian, sampai ngerombak apartemen. Tujuan awalnya sih ngedapetin ceweknya lagi, tapi along the way, dia nyadar bahwa selama ini, dia justru menelantarkan dirinya sendiri. Intinya, he didn't take care of himself enough. In the end, he didn't get his girlfriend back but he learned a lesson about life. Kalau diliat dari permukaan, buku ini memang hilarious dan ringan banget, tapi pesan moralnya tetap ngena. Saya masukin buku ini karena saya orangnya agak susah ketawa kalau cuma baca cerita, but this book did it flawlessly.

- The Reluctant Fundamentalist by Mohsin Hamid

Saya tahu Mohsin Hamid ketika Man Booker Prize ngumumin long list-nya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tiap long list keluar, saya pasti langsung ngecek Goodreads buat baca sinopsis tiap buku. Exit West nggak cuma masuk long list, tapi nyampe ke shortlist, meski akhirnya kalah dari novel George Saunders, Lincoln In The Bardo. Tema Exit West sendiri sangat relevan dengan situasi sekarang, yaitu soal imigran. Yang bikin beda, buku ini memasukkan unsur magical realism. Tapi entah kenapa saya nggak klik aja dengan Exit West, mungkin karena nggak terlalu nyaman dengan cara bercerita Mohsin Hamid. Buuuuuut ... pas saya buka profil Mohsin Hamid, saya tertarik dengan buku kedua dia yang judulnya The Reluctant Fundamentalist. Pas saya baca, ugh, saya suka banget! Gaya menulis yang dia pakai di buku ini disebut dramatic monologue, yaitu isinya memang cuma monolog dari satu karakter, yang di sini merupakan orang Pakistan (seperti Mohsin Hamid) yang ketemu turis Amerika di Pakistan dan mulai ngoceh soal hidup dia, tentang pendidikan, kerjaan dia, sampai idealisme dia. Muatan politik serta racial prejudice cukup kuat tapi nggak berat bahasanya. Jadi sepanjang buku isinya ya si karakter ini ngomong tanpa adanya dialog dari karakter lain. Setting-nya pun cuma di sebuah restoran dan cuma dalam rentang waktu beberapa jam. It's my kind of book, really. Baguuuuus banget! Saya sempet kepikiran pengen nulis pake dramatic monologue, tapi belum kesampean, hahahaha. Buku ini masuk shortlist Man Booker Prize tahun 2007 dan bisa dibilang, saya mulai ngefans dengan Mohsin Hamid karena dia suka banget bereksperimen. Buku ketiga dia, How To Get Filthy Rich in Rising Asia juga sangat nggak biasa, yaitu pakai POV 2. Sayangnya saya belum sempet baca. Buat yang mau bacaan dengan gaya yang nggak biasa dan tema yang agak serius, The Reluctant Fundamentalist bisa jadi pilihan.

- What Belongs To You by Garth Greenwell (gay themed)

Novel ini ber­-setting di Sofia, Bulgaria, kota yang jaraaaang banget dipakai buat cerita. Butuh perjuangan baca novel ini karena selain minim dialog, narasinya panjang-panjang. Tapi, gara-gara baca novel ini, saya kepikiran buat nulis HEARTWORM. Ceritanya sendiri tentang ekspatriat Amerika di Sofia—seorang guru bahasa Inggris—yang punya perasaan khusus kepada seorang hustler, namanya Mitko. Meski dia tahu Mitko manfaatin dia, tapi dia tetep bergeming. Sebenernya fokus buku ini lebih ke batin si karakter utama sih, bukan apa yang terjadi dengan kehidupannya. Ada sedikit stream of consciousness di sini, gaya menulis yang identik dengan James Joyce dan Virginia Woolf. Diksinya kece banget dan sumpah, setelah nulis HEARTWORM, saya jadi sadar bahwa nulis narasi tanpa bikin bosen itu sangat nggak gampang. Saya masukin buku ini karena it challenged my writer's side to write something different. Dan keturutan akhirnya, meski HEARTWORM buat saya masih banyak kurangnya, tapi tanpa buku ini, saya nggak akan pernah nulis cerita itu. Saya jadi pengen baca lagi, hehehe.

- Enigma Variations by André Aciman

Enigma Variations ini seperti déjà vu buat yang udah baca Call Me By Your Name. Selain ngambil setting yang sama-sama di Italia, ada bagian dari buku ini yang juga bergulat dengan cinta masa muda karakter utamanya, Paul, seperti Elio di Call Me By Your Name, belum lagi narasinya ... André Aciman emang juara kalau soal narasi. Buku ini, secara struktur pun nggak biasa. Alih-alih membaginya per bab, buku ini justru merupakan 5 novela yang saling berhubungan karena karakter utamanya sama dan 5 novella itu merupakan 5 tahap keihdupan Paul. Meski tema utama Enigma Variations masih soal cinta, tapi konteksnya lebih luas karena diceritain Paul ini nggak cuma punya hubungan dengan cowok, tapi juga dengan cewek, cuma ... nggak pernah disebut kata biseksual atau label yang lain. Label dalam cerita ini terasa nggak penting. It's a kind of contemplative book. The language he used was very poetic. Baca buku ini tuh berasa kayak ngeliat kata-kata yang dilukis. Indah.

- Winter Dreams by Maggie Tiojakin

Saya sebenernya pengen baca versi bahasa Indonesianya, tapi apa daya, yang ada di iJak cuma versi bahasa Inggris. Buku seperti ini juga jarang banget ada di sastra Indonesia. Ceritanya tentang Nicky, cowok Indonesia yang datang ke Amerika buat ngunjungin bibinya, tapi malah kemudian, beberapa kejadian bikin dia harus bertahan di Amerika sebagai imigran ilegal. It's a story about survival in a foreign land and also about a dream. Saya jadi tahu gimana kehidupan para imigran gelap di sana (meski cuma lewat Nicky, saya percaya kehidupan imigran gelap dari negara-negara lain pun nggak jauh beda) Apa ya? This book is like a study about another side of humanity that is rarely exposed. Termasuk tema yang cukup serius buat dunia literasi Indonesia, meski tema seperti ini cukup bertebaran di buku luar. Saya pengennya lebih banyak buku kayak gini yang diterbitin di Indonesia, jadi bukan cuma ngejar yang populer, tapi tema-tema yang nggak biasa bakal jadi pertimbangan buat para penerbit.

- After I Do by Taylor Jenkins Reid

Saya jarang banget baca chick/womanlit. Bukan karena nggak ada yang bagus, tapi rata-rata ide ceritanya nggak jauh beda. Yang bikin saya tertarik dengan buku ini adalah premisnya. Lauren dan Ryan sedang berada di ambang perceraian. Mereka udah nikah cukup lama, tapi ngerasa ada yang hilang. Mereka kemudian ngambil langkah berani: mereka bakal pisah selama setahun dan dalam jangka waktu itu, mereka nggak akan saling kontak. So, they started their journey of rediscovering the meaning of love and marriage. Buat saya, idenya cukup menggelitik. Mereka nggak milih buat cerai atau menemui konsultan pernikahan, tapi berpisah untuk kemudian nyari tahu, apakah setelah setahun, cinta di antara mereka masih ada. It's heartwarming without being over the top. Semua bumbu di novel ini, pas. Nggak ada yang berlebihan atau kurang. Dan setelah saya kelar baca pun, saya jadi semakin tahu, bahwa tiap pasangan punya masalah masing-masing dan cara sendiri-sendiri buat menyelesaikannya. It's recommended karena ceritanya nggak yang ringan banget, tapi juga nggak yang super berat.

­- The Road Between Us by Nigel Farndale (gay themed)

Novel ini saya baca karena ngusung dua tema yang jadi favorit saya: homoseksualitas dan Perang Dunia II. Dan secara nggak sengaja, novel ini pakai POV 3 dengan alur maju-mundur (tahun 1939 dan 2012) Lalu apa istimewanya? Waktu ide AS TIME GOES BY muncul, saya udah yakin pengen pake POV 3 dan alur maju-mundur, tapi kesulitan cari buku yang bisa saya jadikan semacam referensi karena belum pernah nulis pake POV 3. Then this book came. Saya belajar banyaaaaak banget dari buku ini, baik itu soal POV 3, soal nulis cerita dengan alur maju-mundur, serta detail-detail kecil yang menjadi penghubung dua narasi di tahun yang berbeda itu. Cerita dari tahun 1939 adalah tentang Charles dan Anselm, dua pria yang ketangkep basah di sebuah kamar hotel pada saat Perang Dunia II berlangsung. Charles ini lantas kena court-martial dan Anselm dipulangin ke Jerman buat diedukasi, yang artinya, dia ditaruh di kamp konsentrasi. Narasi tahun 1939 sampai berakhirnya PD II ini adalah usaha Charles buat nemuin Anselm, hidup atau mati. Cerita dari 2012 adalah tentang Edward, seorang diplomat yang diculik di sebuah gua di Afganistan selama 11 tahun sebelum dibebasin dan gimana dia menjalani kehidupan pasca penculikan, dengan PTSD, istrinya yang meninggal—dia curiga istrinya bunuh diri karena udah frustasi dengan keberadaan Edward—plus ngadepin anak perempuannya yang udah remaja dan fisiknya mirip dengan sang istri. Ada benang merah antara Edward dan Charles yang bikin novel ini pake dua narasi. Cerita berlatar Perang Dunia—baik PD I atau PD II—selalu bikin saya tertarik lebih daripada setting historical fiction lainnya. Di antara semua buku bertema gay dan berlatar Perang Dunia, The Road Between Us ini jelas salah satu favorit disamping The Absolutist milik John Boyne.

Honorable mention:

- Call Me By Your Name by André Aciman

Saya sebenernya udah baca buku ini 4 tahun lalu, tapi tiap kali mau baca ulang, selalu nggak jadi. Saya bukan orang yang sering baca buku 2 kali, jadi kalaupun saya baca lebih dari sekali, itu berarti pas pertama baca dulu, ada sesuatu yang membekas di hati dan nggak bisa ilang sampai sekarang. Call Me By Your Name adalah salah satunya.

Saya nggak gitu inget detail buku ini dan gimana perasaan saya pas kelar baca, tapi saya inget kalau saya speechless karena bahasanya yang luar biasa indah. Saya pun nggak tahu buku ini diadaptasi ke film sampai beberapa bulan lalu saya liat trailer-nya di Youtube. So, it was the right moment to revisit the story of Elio and Oliver. Dan kali ini, emotional punch-nya jauh lebih hebat dan saya nggak bisa nahan emosi pada 30 halaman terakhir. Bahkan setelah kata terakhir, saya masih mewek. Saya nggak nyebut buku ini punya sad ending, tapi detail-detail kecil serta diksi yang dipakai Andre Aciman beneran ngaduk emosi. Beberapa adegan yang cukup sensual pun diolah hingga jadinya berkelas, bukan murahan. The smallest gestures and the idlest and the most mundane things, have the ability to play with my emotions. Belum lagi deksripsi dia tentang Italia ... it really took me back to my time in Italy. Ini jenis novel yang nggak bisa ditulis banyak orang. Narasinya memang panjang, tapi saya menikmati tiap paragrafnya. Nggak berlebihan rasanya nyebut buku ini sebagai salah satu gay literature paling fenomenal. Please read the book first before you watch the movie and I hope, you will experience a grand of emotional rollercoaster the way I did.

Medianya adalah trailer Call Me By Your Name. Saya beneran nggak sabar liat filmnya, apalagi review dari para kritikus bagus-bagus. Sutradarnya orang Italia pula. I just can't wait!

Itulah daftar 10 buku terfavorit saya tahun ini. Mungkin di antara kalian jarang ada yang denger, tapi semoga yang lagi nyari bacaan buat akhir tahun dan baca ini, punya sedikit referensi.

Buat yang kepo atau pengen tahu banget buku apa aja yang udah saya baca tahun ini (atau tahun-tahun sebelumnya) silakan meluncur saja ke Goodreads dan cari Abiyasha di sana. Nanti kalian bisa ngeliat berapa buku yang udah saya baca dan berapa bintang yang saya kasih buat setiap buku. Buat yang belum tahu Goodreads, silakan dicek. Itu tempat yang paling oke buat nyari referensi buku dan hampir semua buku yang ada dalam list ini saya dapet dari sana. Review buku di sana pun sangat jujur, jadi buat yang nggak kuat hati, mending jangan mampir, hahahaha, apalagi kalau kalian nulis dan biasa dengan segala macam pujian terus nggak terima dikritik, jangaaaaan. Nanti kalian syok, LOL.

Itu aja sih yang pengen saya bagi di KOLASE saya kali ini. Semoga bermanfaat ya?

Shimbalaiê,

Abi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top