6 - OPEN MINDED
Beberapa hari lalu, saya ngobrol dengan seorang temen. Dia ‘ngadu’ tentang salah satu mutual friend kami yang menurutnya nggak cukup open-minded buat menerima satu fakta. Dia sedikit kecewa karena dikiranya, mutual friend kami ini cukup berpikiran terbuka. Intinya, dia kecewa aja gitu.
And our conversation led me to pick this topic for the next chapter of KOLASE: open-minded.
Apa sih definisi open-minded itu? Menurut kamus Merriam-Webster:
Open-minded – adjective. Receptive to arguments or ideas, willing to consider different ideas or opinions.
Singkatnya sih, berusaha menerima segala sesuatu dengan pikiran yang lapang. Nggak judgmental dan langsung bersikap defensif jika ada pendapat atau buah pikiran yang nggak sesuai dengan prinsip kita. Pentingnya apa sih bersikap open-minded? Kan kalau kita udah nggak setuju, ya udah, ngapain dipaksa-paksa buat setuju? Bukannya itu jadi pemaksaan kehendak jatuhnya?
Menurut saya, open-minded itu pilihan kok. Nggak ada yang maksa buat menerima sesuatu yang berlawanan dengan prinsip yang dianut seseorang. Mau orangnya udah traveling ke 100 negara, tinggal di luar negeri berpuluh-puluh tahun, IQ-nya 130, jadi juara kelas, punya pekerjaan mapan dengan gaji berpuluh-puluh bahkan mungkin ratusan juta, kalau dia nggak mau berpikiran terbuka, ya itu pilihan dia. Gitu juga sebaliknya. Mau dia orang yang nggak pernah traveling, nggak pernah ke luar negeri, latar belakang pendidikannya standar, punya kerjaan yang biasa-biasa, tapi kalau dia mau berpikiran terbuka juga bisa aja. It all comes down to choice.
Saya nggak akan bilang bahwa saya sangat open-minded karena itu namanya kepedean. Let’s say … I’m fairly open-minded. Banyak faktor sih sebenernya kenapa saya bisa cukup berpikiran terbuka dengan banyak hal. Ketemu banyak traveler dari berbagai latar belakang kebudayaan yang berbeda; punya temen-temen yang punya pengalaman hidup lebih banyak dan lebih weowe dari saya; yang lebih pinter; yang strata sosialnya di atas maupun di bawah saya; yang usianya di atas, di bawah, atau sebaya dengan saya; yang punya keyakinan berbeda … semuanya adalah sedikit trigger kenapa saya selalu mencoba memandang sesuatu dari berbagai sisi. Tinggal di Italia selama 10 bulan, kemudian baca buku dari berbagai macam genre, dan kesenangan saya menulis, juga punya andil. Dalam kasus saya (dan mungkin banyak orang) jadi open-minded itu perkara proses karena lingkungan sosial dan pergaulan saya selama di Bali kebanyakan orang-orang dengan pikiran terbuka. Mungkin fakta bahwa saya gay juga jadi faktor karena di mana-mana, LGBTQ adalah kaum minoritas. In a way, it shaped my way of thinking that I should understand how majority of people think and see us. Di hosting organization saya di Italia dulu, saya bisa jadi diri sendiri tanpa takut di-judge macem-macem. Seperti saya singgung di chapter 4 tentang VOLUNTEERING, homoseksualitas saya justru nggak jadi pertimbangan apa-apa. Nggak pernah jadi bahan obrolan, nggak pernah jadi bahan gunjingan, apalagi diskusi. They didn’t see it as something wrong, or sick, or bad. Bahkan saya inget banget satu temen deket (pasangan yang ngirim saya ke Italia) pas saya undang ke rumah pertama kali buat makan malam, dia keliatan tersinggung dan heran kenapa saya nyembunyiin fakta bahwa saya gay dan tinggal bareng bf. It startled me knowing how positive their reactions were.
Anyway, saya sempet nyari beberapa artikel terkait open-minded dan artikel ini (1) cukup menarik ngebahas tentang perbedaan orang close-minded dan open-minded. Jadi, sebelum nyebutin 7 poin, artikel ini nulis gini:
Before you smugly slap an open-minded sticker on your chest, consider this: closed-minded people would never consider that they could actually be closed-minded. In fact, their perceived open-mindedness is what’s so dangerous.
Jadi, orang close-minded itu sebenernya nggak berpikir bahwa mereka close-minded, yang bahaya justru kesadaran mereka akan sikap berpikiran terbuka itu. Masih dari artikel yang sama:
The rate at which you learn and progress in the world depends on how willing you are to weigh the merit of new ideas, even if you don’t instinctively like them. Perhaps especially if you don’t like them.
Ke-open-minded-an itu bakal diuji ketika kita dihadapin dengan sesuatu yang baru, yang nggak kita suka. Bagaimana kita menyikapinya itulah yang menentukan apakah kita masuk kategori open atau close-minded.
Tujuh poin yang membedakan orang yang berpikiran terbuka dan tertutup adalah:
1. Challenge ideas
Intinya sih disebutin kalau orang yang close-minded itu nggak mau pandangan mereka ditentang. Mereka lebih tertarik buat ngebuktiin kebenaran pandangan mereka daripada nanya ke diri sendiri kenapa seseorang nggak setuju dengan cara pandang mereka. Mereka ngerasa pendapat mereka paling bener.
Sementara orang open-minded lebih tertarik kenapa ada orang yang nggak setuju. Mereka sadar kalau bisa aja pendapat mereka salah. Mereka berusaha memahami cara pandang orang-orang yang nggak berpikiran sama dengan mereka.
2. Statements vs. Questions
Orang-orang berpikiran tertutup lebih cenderung suka bikin statement daripada nanya. Sedangkan orang-orang open-minded justru sebaliknya. Mereka lebih suka nanya karena sadar, pendapat mereka bisa aja salah.
3. Understanding
Closed-minded people lebih fokus buat dipahami daripada memahami.
Open-minded people ngerasa mereka harus ngeliat sesuatu dari kacamata orang lain biar bisa memahami.
4. I Might Be Wrong, But…
Closed-minded people sering banget bilang “Saya bisa aja salah … tapi ini pendapat saya.” Intinya, ngaku dia bisa keliru tapi tetep aja ngungkapin pendapat yang terkesan memaksa.
Open-minded people tahu kapan harus nanya, dan kapan harus nanya.
5. Just Shut Up
“Closed-minded people block others from speaking.” Mereka maunya nyerocos terus dan didengerin dan lebih sering nggak ngasih kesempatan orang lain buat ngomong.
Open-minded people kebanyakan lebih tertarik buat dengerin daripada ngomong.
6. Only One Sperm Gets In
Orang-orang yang berpikiran tertutup biasanya udah terlalu fokus dengan pendapat mereka sendiri. Akibatnya, mereka cuma berpegangan pada itu aja, susah buat nerima dua hal bertentangan di otak mereka.
Orang-orang berpikiran terbuka ya … kebalikannya. Mereka nggak akan kehilangan pegangan, tetep bisa berpkir rasional meskipun ada banyak kontradiksi di otak mereka.
7. Humble Pie
Biasanya, orang closed-minded ini sisi arogannya cukup tinggi karena mereka pasti ngerasa bener.
Karena orang-orang open-minded nyadar bahwa mereka bisa aja salah, makanya mereka biasanya ngeliat sesuatu dengan perasaan khawatir.
Buat saya, 7 poin di atas agak theoritical, tapi seenggaknya bisa ditarik kesimpulan atau garis besar perbedaan antara orang yang berpikiran terbuka dan tertutup. Di artikel lain (2) dibahas tentang keuntungan jadi orang yang berpikiran terbuka. Mengutip dari artikel di sana:
Being open-minded can be really tough sometimes. Most of us are brought up with a set of beliefs and values and, throughout our lives, tend to surround ourselves with people who share the same values and beliefs. Therefore, it can be difficult when we're faced with ideas that challenge our own and, though we may wish to be open-minded, we may struggle with the act of it from time to time.
Kita memang dibesarkan dengan cara pandang tertentu dan wajar aja jika ada sesuatu yang nggak sesuai dengan cara pandang itu, kita bersikap nggak suka, nggak setuju karena memang nggak gampang buat menerima sesuatu yang berbeda itu.
Saya nggak tahu ada apa dengan angka 7, tapi di artikel ini, disebutin juga 7 keuntungan kita bersikap open-minded:
1. Letting go of control.
Jadi maksudnya di sini sih kita jadi terbebas dari cara kita mengontrol pikiran. Kalau ada sesuatu yang kita nggak suka, pasti pikiran kita otomatis langsung bikin tembok buat bersikap defensif. Nah, dengan berpikiran terbuka, kita bisa ngelepasin diri dari sikap itu.
2. Experiencing changes.
Ngebuka pikiran tuh kayak ngasih permisi ke pikiran kita buat nerima pendapat yang berbeda dan ngasih kesempatan juga buat kita ngubah cara bepikir dan gimana kita ngeliat sekitar. Ini bukan berarti kita HARUS ngubah prinsip yang kita punya, tapi kita mungkin nggak akan kaget lagi kalau suatu saat prinsip yang kita pegang itu berubah.
3. Making yourself vulnerable.
Jadi open-minded itu nakutin sekaligus bikin lega. Kenapa? Karena dengan berpikiran terbuka, kita sadar bahwa banyak banget yang kita nggak tahu dan banyak kemungkinan yang mungkin bahkan nggak kita sadar. It opens to endless possibilities when you decided to open your mind.
4. Making mistakes.
Ini yang paling susah menurut saya, apalagi saya orang yang perfeksionis. Klise banget sebenernya kalau bilang kita belajar dari kesalahan, tapi memang bener sih. Dengan berpikiran terbuka, kita bisa ngeliat perspektif dari sudut lain, jadinya kita sadar akan kesalahan yang kita buat, tapi juga nggak takut buat bikin kesalahan-kesalahan baru.
5. Strengthening yourself.
Berpikiran terbuka memungkinkan kita buat belajar tentang hal-hal baru dan kita bisa terapkan itu buat menyempurnakan ide-ide yang kita punya sebelumnya. Banyak pengalaman yang nggak akan kalian dapatkan jika tetap berpikiran tertutup, padahal being open-minded ngebuka kemungkinan buat bikin diri kita lebih baik.
6. Gaining confidence.
Berpikiran terbuka bikin kita nggak terkekang dengan apa yang kita percayai atau apa yang dipercayai orang lain. Nggak kolot gitu deh. Open-mindedness bisa bikin kita berkembang.
7. Being honest.
Berpikiran terbuka berarti kita berani ngaku kalau nggak semuanya kita tahu. Ujung-ujungnya sih, kita nggak takut buat bilang “Nggak tahu” dan menurut saya, itu cukup melegakan loh.
Saya nemu juga artikel di Wikihow (yep, you heard me right) tentang langkah-langkah jadi open-minded person (3) yang menurut saya, lagi-lagi terlalu theoritical dan menyederhanakan konsep open-minded itu sendiri. Tapi mungkin bisa dicoba dari hal kecil: nonton film yang nggak biasa kalian tonton (misalnya suka film-film macem Iron Man, coba sekali-kali nonton August: Osage County) dengerin musik yang nggak biasa kalian dengerin (yang biasanya dengerin Tante Bey atau Mbak Gaga, coba dengerin Ella Fitzgerald/Nina Simone/Billie Holiday) baca buku yang nggak biasa kalian baca (yang demen baca Harry Potter/Hunger Games, coba baca trilogi Cicero milik Robert Harris atau kalau mau yang klasik, baca The Mayor of Casterbridge punya Thomas Hardy) Contoh-contoh kecil yang bisa banget diterapin dalam kehidupan sehari-hari. Sejelek-jeleknya, kalian nggak suka ya udah, at least you have tried. Bagusnya, siapa tahu malah jadi suka banget. Intinya, try something out of your comfort zone.
Sebenernya, tinggal di Indonesia, banyak banget yang bisa dijadikan ‘bahan’ untuk ngetes ke-open-minded-an kita. Contoh gampangnya tentang homoseksualitas atau kaum LGBTQ secara luas. Banyak banget orang Indonesia yang masih berpikiran bahwa homoseksualitas itu bisa disembuhkan karena dianggap sebagai penyakit. Menurut saya sih, ini akibat kurang informasi yang disebabkan oleh tingkat membaca di negeri tercinta kita ini masih sangat rendah, atau parahnya, pendapat tentang homoseksualitas itu datang dari ikut-ikutan ‘katanya’ yang belum tentu juga, yang diikutin itu bener. Badan Kesehatan Dunia (WHO) aja udah menghapus homoseksualitas dari daftar penyakit jiwa sejak tahun 1990 (kalau saya nggak salah) tapi masyarakat kita masih banyak yang berpendapat bahwa homoseksualitas itu sebuah kelainan, penyakit, virus, dan bisa disembuhkan. Saya bisa nulis panjang lebar tentang pandangan orang kita teradap homoseksualitas, tapi nggak sekarang, hahaha. Ini cuma contoh aja. Jangan disangkutpautin dengan dosa, dsb ya? Nggak akan ada diskusi kalau ujung-ujungnya balik ke keyakinan. Sebenernya, banyak bukti ilmiah yang bisa dibaca tentang homoseksualitas, tapi kalau dasarnya memang nggak mau nerima, ya percuma aja sih.
Itu aja sih yang pengen saya bahas di KOLASE kali ini. Sekali lagi, jadi open-minded itu pilihan. Mau dipaksa ada di lingkungan yang open-minded atau disodorin ratusan artikel tentang open-minded, kalau dari orangnya nggak mau, ya nggak akan berhasil. Saya sendiri ngerasa, penulis adalah salah satu profesi yang menuntut buat jadi open-minded. Bahkan, kalau saya mau ekstrem banget, jadi penulis itu wajib berpikiran terbuka. Apa jadinya kalau penulis nggak mau nerima ide-ide baru atau fakta-fakta yang ada di sekitarnya? Dia akan jadi kolot, tulisannya mungkin nggak akan berkembang karena dia menolak buat memahami sesuatu yang nggak disukainya, dan dia juga nggak mau baca buku-buku yang nggak according to his/her taste, padahal tugas utama penulis selain nulis adalah baca bermacam-macam buku. It’s very important to be open-minded as a writer in my opinion.
Terakhir, saya pengen banget nanya buat yang baca KOLASE:
Apakah kalian cukup berpikiran terbuka? Are you open-minded enough?
Shimbalaiê,
Abi
(1) https://www.farnamstreetblog.com/2017/09/open-closed-minded/
(2) http://www.positivelypresent.com/2010/09/7-benefits-of-being-openminded.html
(3) http://m.wikihow.com/Be-Open-Minded
***
P.S: Buat KOLASE edisi selanjutnya, saya mau yang agak have fun dikit. Saya pengen bikin Q & A. Kalian nanya, saya yang jawab. Kalian bisa nanya apa aja, nanti pertanyaan dan jawabannya akan saya post di sini. Tapi kalau saya ngerasa pertanyaannya terlalu personal, nggak akan saya jawab ya?
Rules-nya … nggak ada sih. Feel free to ask me about anything. Tentang pendapat saya mengenai sesuatu atau yang lainnya juga boleh. Bisa kirim lewat PM, nanti saya kumpulin. Kalau ada pertanyaan yang mirip-mirip, nanti saya jadiin satu. Jangan banyak-banyak ya tapinya? Hahahaha.
So, prepare your questions well. Nggak usah keburu-buru, saya tunggu pertanyaannya sampai tanggal 4 Oktober 2017. I hope I can get some interesting questions from all of you, hehehe.
Have a great evening, people!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top