5 - PERKARA BAHASA

Ciao a tutti,

Yawla, saya dateng-dateng udah sok-sokan pake bahasa Italia, hahaha. Anyway, saya mau minta maaf karena lama nggak di-update karena nggak nemu artikel yang cukup menggelitik buat dibahas. Yang bakal saya bahas kali ini sebenernya udah ada di pikiran beberapa minggu belakangan, tapi nggak ada kesempatan buat ditulis sampai sekarang. So, I hope you forgive me for the lateness of updating this work.

Kali ini, saya pengen bahas tentang bahasa, lebih tepatnya soal bilingual.
Akhir Agustus kemarin, saya nemu artikel di The Jakarta Post (1) yang ditulis oleh Marcella Purnama, seorang blogger dan penulis yang pernah mengenyam pendidikan dan tinggal di Melbourne. Nggak, saya nggak akan bahas siapa dia, tapi tentang tulisannya yang berjudul “Why using English doesn't make me any less Indonesian” yang menurut saya menarik banget.

Sekarang nih, di Indonesia kayaknya udah sangat lazim orang menggunakan bahasa Inggris, terlepas apakah grammar/spelling yang mereka gunakan sesuai dengan kaidah bahasa Inggris atau nggak. Take a look at social media for a simple example. Tapi, di sisi lain, masih banyak juga masyarakat Indonesia yang nggak paham dengan bahasa Inggris karena belajar bahasa asing itu memang terrifying dan jadi momok kecuali memang mereka tertarik. Nggak bisa dipungkiri, beberapa istilah dalam bahasa Inggris udah merasuk ke dalam keseharian kita dipake oleh banyak orang.

Sayangnya, nggak sedikit yang berpendapat bahwa dengan menggunakan bahasa Inggris, seseorang dianggap nggak punya nasionalisme atau nggak cinta bahasa Indonesia. Saya pun seringkali mendapat opini seperti itu melalui cerita saya yang sebagian besar karakternya bule dan selalu menyelipkan bahasa Inggris. Sejak nulis di forum 6 tahun lalu, saya udah sering banget diprotes. Banyak yang bilang saya musti kasih terjemahan bahasa Indonesia buat mereka yang nggak ngerti bahasa Inggris, banyak juga yang dukung karena dengan menyelipkan bahasa Inggris di cerita saya, mereka jadi belajar dan rajin buka kamus. Bahkan setelah di Wattpad pun, saya masih mendapatkan komentar tentang penggunaan bahasa Inggris di cerita saya. Lalu, apakah karena itu, saya nggak nasionalis dan nggak cinta bahasa Indonesia?

Mbak Marcella ini nulis buku dalam bahasa Inggris sementara target pembaca dan pasarnya adalah orang Indonesia. Alasan Mbak Marcella adalah dia udah nggak bisa lagi mengekspresikan dirinya dengan baik dalam bahasa Indonesia. Dia dapet pertanyaan macem-macem kenapa milih nulis dalam bahasa Inggris. Kemudian dia nanya, apakah dengan menggunakan bahasa Inggris, lalu dia dianggap kehilangan identitasnya sebagai orang Indonesia? Atau apakah dia mengkianati bahasa ibunya? Ada yang berpendapat Mbak Marcella ini memalukan karena sebagai penulis, dia nggak bisa nulis dalam bahasa Indonesia, dan ada juga yang berpendapat bahwa itu hal yang jelek. Tapi, Mbak Marcella juga bertanya, kenapa jelek? Bahasa itu ‘kan cara saya mengekspresikan diri, apakah karena pakai bahasa Inggris, saya berhenti jadi orang Indonesia?
Pertanyaan yang menarik ‘kan? Apakah iya, hanya karena seseorang nggak menggunakan bahasa ibunya, orang lantas berhak mengecap dia nggak cinta tanah airnya?

Buat saya sih, pendapat seperti itu sama sekali nggak bisa dibenarkan. Nasionalisme seseorang nggak dinilai cuma dari penggunaan bahasa. Sam halnya kayak ada orang yang lebih milih makan steak dibanding nasi goreng. Apakah orang itu bisa dianggap nggak nasionalis cuma karena milih makanan barat daripada makanan Indonesia? Kalau memang nasionalisme cuma dinilai dari bahasa yang digunakan, berarti Pak Karno nggak nasionalis dong? Karena beliau seseorang yang cakap berbicara dalam berbagai bahasa. Think about it.

Saya nggak pernah kuliah di luar negeri dan bahasa Inggris saya juga nggak sempurna banget, saya masih sering salah secara grammar dan tenses. Cuma, saya juga nggak akan malu mengakui bahwa bahasa Inggris udah jadi bahasa ketiga buat saya setelah Jawa dan Indonesia. Saya bisa ngomong bahasa Jawa halus dan kasar (di rumah saya pakai bahasa Jawa halus ke Bapak, tapi pakai bahasa Jawa campur ke Ibu, nggak tahu kenapa) dan saya jelas bisa ngomong dan nulis pakai bahasa Indonesia. Saya pun bisa dibilang lancar menulis dan bicara dalam bahasa Inggris meski nggak sempurna karena saya nggak mendalami bahasa Inggris secara formal meski selama 9 bulan, saya kursus di sebuah lembaga bahasa Inggris selepas SMA. The rest? Bisa dibilang saya belajar bahasa Inggris secara otodidak.

Saya belajar bahasa Inggris sejak kelas 5 SD saat di sekolah belum ada pelajaran bahasa Inggris dan nggak ada satu pun keluarga saya yang bisa bahasa Inggris. Sekarang belajar bahasa Inggris jauh lebih gampang karena ada internet dan teknologi. Zaman saya? Saya belajar lewat lirik lagu yang saya dapet dari tabloid mingguan yang saya beli. Saya artiin satu-satu kata-katanya ke dalam bahasa Indonesia pakai kamus Inggris-Indonesia yang kata-katanya pun ngagk lengkap. Dari sanalah saya kemudian mulai ngapalin lagu-lagu Barat. Kebiasaan yang masih saya pegang sampai sekarang, ngapalin lagu Barat, hahahaha. Pas SMA, saya sempet ikut lomba debat bahasa Inggris tingkat provinsi meskipun nggak menang, tapi buat saya, itu pengalaman paling berkesan selama SMA dan secara nggak langsung, nambahin pede soal kemampuan bahasa Inggris. Nilai bahasa Inggris saya juga selalu 9 pas SMP dan SMA (ada satu atau dua kali sih saya dapet 7 dan 8), termasuk pas ujian nasional. Pas kuliah, bahasa Inggris saya selalu A. Tapi, lagi-lagi, itu bahasa Inggris akademik ya, jadi siapa pun bisa dapet nilai segitu kalau belajar dan nggak bisa jadi patokan seseorang lancar berbahasa Inggris. Toh, dalam kenyataannya, yang digunakan adalah cara kita berinteraksi dengan orang lain dalam bentuk percakapan.

Alasan saya ngebet banget belajar bahasa Inggris dulu adalah pengen ke luar negeri, ke London lebih tepatnya. Jangan tanya kenapa London, hahahaha. Dan setelah kursus ngambil kelas Conversation, saya jadi makin seneng dengan bahasa Inggris karena tahu bahwa bahasa Inggris akan penting banget buat saya ke depannya. Kalau kalian seneng dengan sesuatu, pasti enjoy ‘kan ngejalaninnya? That was how I feel about English.

Sekitar tahun 2007-an, saya mulai nyaman menggunakan bahasa Inggris meski frekuensinya masih jarang. Setelah pindah ke Bali, baru saya secara aktif menggunakan bahasa Inggris. Selain kerjaan yang menuntut saya menggunakan bahasa Inggris setiap hari, saya aktif di komunitas traveling yang tiap minggu ketemu traveler dari mana-mana dan komunikasinya ya dalam bahasa Inggris. Dan kebetulan, almarhum bf bukan orang Indonesia dan selama 3 tahun tinggal bareng, kami selalu pakai bahasa Inggris. Dia pernah protes ke saya karena bahasa Inggris saya bagus (itu kata dia ya?) makanya bahasa Indonesia dia nggak berkembang, hahahaha. Bahasa Inggris lantas jadi keseharian buat saya. Pas di Italia pun, saya nggak kagok karena memang udah biasa. Temen saya yang orang Portugal aja sampai kaget karena nggak nyangka ada orang Indonesia yang bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan baik, hahahaha. Saya sebenernya mulai baca buku dalam bahasa Inggris baru tahun 2013-an karena sebelumnya ngerasa takut dan nggak yakin bisa ngerti jalan ceritanya kalau baca buku bahasa Inggris. Tapi, setelah kecewa berat dengan salah satu buku terjemahan, saya memberanikan diri. Kosakata saya bertambah, meski tetep harus buka kamus karena nggak semua kata saya ngerti. Dan sekarang, saya lebih suka baca buku dalam bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Kenapa? Karena kalau mengandalkan terjemahan dan buku terbitan dalam bahasa Indonesia, ada banyak tema atau topik yang nggak akan bisa saya baca. Jadi apa ya? Keterbatasan pilihan gitu. Apalagi saya fokus buat nulis gay themed yang jumlahnya di Indonesia nggak banyak. Dengan membaca buku luar, saya jadi terekspos dengan tema-tema yang mungkin buat ukuran Indonesia tabu. Ujung-ujungnya, saya lebih terbuka dengan berbagai macam jenis bacaan.

Menyoal tulisan saya yang selalu menyelipkan bahasa Inggris, itu pun bukan demi terlihat cool atau keren. Sama sekali bukan. Emosi karakter saya jauh lebih penting untuk disampaikan daripada bahasa. Jadi, kalau ngerasa emosi karakter saya akan bisa lebih nendang dan ngena dengan bahasa Inggris, maka saya pilih pakai bahasa Inggris. Kalau bisa terwakili dengan bahasa Indonesia, saya pun akan pakai bahasa Indonesia. So, it’s a matter of emotions than anything else. Terus, kalau masih ada yang bingung tentang kenapa karakternya bule tapi dialognya pakai bahasa Indonesia, saya coba jelaskan di sini biar nggak ada yang nanya lagi ke depannya. Karena target pembaca saya adalah orang Indonesia, jadi saya pakai bahasa Indonesia untuk sebagian besar dialognya. Sesimpel itu. Dalam situasi nyata, tentu saja jika ada karakter orang Indonesia dan bule sedang ngobrol, mereka pakai bahasa Inggris kecuali bulenya udah jago bicara bahasa Indonesia. Saya nggak keberatan nulis seluruh dialog dalam bahasa Inggris, tapi nanti diprotes lagi, hahahaha.

Pas saya di Italia, saya nggak pede buat bicara dalam bahasa Italia. Padahal, salah satu pesan paling mujarabb buat menguasai sebuah bahasa adalah tinggal di negara tempat bahasa itu digunakan. Buat saya, itu nggak berlaku, hahahaha. It was more of fear of making mistake than anything else. Saya orang yang perfeksionis, jadi ngomong dengan grammar yang salah is a big no no, padahal sebenernya justru dari kesalahan itu kita bisa belajar. Tapi saya ngotot buat nggak mau ngomong sebelum saya tahu aturan bahasa Italia dengan benar. Jadilah saya blank soal bahasa Italia. Ngerti sih dikit kalau baca teks dalam bahasa Italia, tapi buat ngomong, saya angkat tangan. Agak nyesel sebenernya, tapi yah, saya memang nggak pernah bisa ngalahin perfeksionis dalam diri saya. I’m afraid of making mistakes. Ditambah lagi, aturan dalam bahasa Italia yang rumitnya luar biasa, saya jadi makin males. Mungkin beda cerita ya kalau saya ketemu cowok Italia, terus jatuh cinta dan pacaran #halah (Maafkan saya yang ngayal babunya suka nggak tanggung-tanggung, LOL)

Saya punya beberapa temen yang suka banget belajar bahasa dan mereka kayaknya gampang banget gitu belajar. Ada temen saya orang Kroasia, dia bisa ngomong Inggris, Italian, Kroasia, dan Polish. Beberapa temen lainnya pun, mereka pasti bisa ngomong bahasa lain diluar bahasa ibu dan bahasa Inggris. Bahkan almarhum bf pun masih bisa ngomong Belanda karena memang dia lahir dan besar di sana sebelum pindah ke Kanada. Jadi, liat orang bisa ngomong lebih dari dua bahasa buat saya bukan sesuatu yang mengejutkan. Iri sih sebenernya, hahaha.

Sebenernya, orang Indonesia pun udah terlahir bilingual lho. Indonesia adalah negara dengan bahasa tradisional terbanyak di dunia (semoga aja saya nggak salah) belum lagi kita diwajibkan bisa berbahasa Indonesia. It makes us bilingual. Jika ditambah bahasa Inggris dan bahasa lainnya (Mandarin, Jepang, Spanyol, Portugis, Italia) kita udah bisa masuk kategori multi language, sesuatu yang mungkin nggak dimiliki bangsa lain, karena sebagian besar negara punya bahasa nasional, tapi jarang yang punya bahasa daerah.

Buat saya sih, menguasai bahasa Inggris (atau bahasa asing lainnya) punya efek yang luar biasa. Selain nggak akan kesulitan buat berkomunikasi dengan orang dari belahan dunia lain, kita pun bisa memperkenalkan Indonesia ke negara lain. Mungkin orang asing yang udah pernah ke Indonesia atau bahkan tinggal di sini, bisa ngasih tahu ke temen-temennya atau dunia luar tentang Indonesia. But, I believe, that Indonesian people is the best one to tell the world about Indonesia. Kemampuan berbahasa asing juga membuka banyak kesempatan. Saya nggak yakin bakal punya bf orang luar jika saya nggak bisa berbahasa Inggris (well, ini bukan contoh yang baik sih, hahahaha. Dapet pacar bule seharusnya jangan dijadikan acuan buat belajar bahasa asing) atau saya nggak akan mungkin dikirim ke Italia kalau saya nggak bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Saya nggak akan nemu buku-buku favorit kalau nggak bisa memahami teks berbahasa Inggris karena sebagian besar buku-buku favorit saya nggak diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Saya nggak akan punya temen dari berbagai negara kalau nggak bisa ngomong bahasa Inggris. Singkatnya, bahasa Inggris udah ngasih saya banyak banget yang saya yakin, nggak akan mungkin saya dapet kalau saya nggak bisa berbahasa Inggris. Saya cenderung lebih meng-highlight bahasa Inggris karena itu bahasa internasional, meski punya kemampuan berbahasa selain Inggris pun bagus banget.

Meski nggak menguasai bahasa Inggris dengan sempurna, bukan berarti saya nggak gemes tiap liat orang nulis atau bicara bahasa Inggris tapi grammar atau penggunaan verb yang salah. I’m a bit of grammar Nazi and a pedantic bastard, hahahaha. Jangan dikira karena bahasa Inggris jadi bahasa ibu, seseorang nggak akan bikin kesalahan secara spelling. Temen saya yang orang UK aja kadang ada salah tulis gitu, bahkan orang seperti Richard Kyle (emoticon love ratusan kali) pun kadang masih salah nulis di caption Instagram-nya. Saya sering baca komentar-komentar di artikel luar yang masih keliru dalam penggunaan than dan then, apalagi they’re and there. Aduh, bisa panjang banget kalau ngebahas ini, hahahaha. Mungkin karena belajar dari nol, jadi saya bisa tahu beda dan salahnya di mana, meski masih dalam konteks yang sederhana. Temen saya orang Indo pun banyak yang masih nggak bisa bedain kapan verb-nya harus pakai es/s dan ada perbedaan signifikan antara present, past, dan future, tapi mereka nggak peduli dan ngerasa bener aja. It’s go/went/gone, it’s lie/lied/lied, and it’s put/put/put, you/they/we go, NOT you/we/they goes, it’s he/she/it drinks NOT he/she/it drink, it’s it/she/he runs NOT it/she/he run. Itu aturan dasar bahasa Inggris banget, jadi kalau masih ada yang salah padahal tiap bikin status pakai bahasa Inggris, pacarnya bule, dan udah cas-cis-cus, saya nggak paham kenapa dia nggak ngeh. Anyway, ini buat temen saya sih yang nggak mungkin baca Wattpad jadi nggak akan tahu kalau saya geregetan tiap dia bikin status tapi English-nya berantakan, hahahahaha. Saya cuma bisa roll eyes aja, hahaha. Saya pun nggak berusaha buat benerin atau apa karena nggak mau dianggap sok tahu dan belum tentu juga kalau saya koreksi dia bakal terima. So, I save myself from any friction. Saya akan ngoreksi buat mereka yang minta karena itu tadi, saya nggak mau dianggap sok tahu dan sok pinter.

Saya pun percaya, bahasa itu sesuatu yang harus terus-terusan dipelajari. Nggak ada kata berhenti belajar kalau menyangkut bahasa. Saya masih sering buka kamus kok, meski bukan kamus Indonesia-Inggris, tapi lebih ke penjelasannya dalam bahasa Inggris. Ada satu aplikasi kamus, namanya WordWed, yang udah saya pakai 5 tahunan dan nggak pernah bisa berpindah ke aplikasi lain. Saya install di ponsel dan laptop. Selain itu, saya install juga KBBI, kamus English-Italian, dan juga English Idioms karena buat saya penting banget. Bukan mau keliatan sok pinter, tapi biar gampang aja kalau saya nemu kata/idiom yang nggak saya tahu, bisa langsung dicari sebelum lupa. English is a very rich and complex language that it’s impossible for me to keep track of all the words without getting lost. WordWeb ini punya fitur bookmark, jadi saya bisa simpen satu kata yang saya nggak tahu dan lain kali saya nemu kata yang sama, tinggal buka aja lagi.

Apalagi ya? Kayaknya udah panjang banget bahasan saya kali ini, hahaha.
Saya nggak bermaksud nyombong dengan kemampuan bahasa Inggris saya, tapi saya pengen buat yang masih mau belajar, nggak ada kata terlambat. Saya juga masih belajar lho. Belajar bahasa itu memang nggak bisa instan. Butuh 20 tahun buat saya belajar bahasa Inggris dari nol sampai ke kemampuan saya yang sekarang. Itu pun saya masih sering salah, tapi karena saya udah cukup nyaman dengan bahasa Inggris dan tahu aturannya, jadi kesalahan itu nggak bikin saya takut. Nggak seperti bahasa Italia. Saya masih pengen belajar bahasa Spanyol atau Portugis, dan tentu saja Italia. Mereka serumpun dan agak mirip, jadi maunya sih, kalau saya bisa paham Spanish, akan lebih gampang buat belajar Italian atau Portuguese, dan gitu juga sebaliknya. It’s on my bucket list, hehehe.

Jadi, ayo yang masih takut atau ngerasa telat buat belajar bahasa Inggris, jangan kecil hati atau minder. Asal ada kemauan dan bener-bener niat, pasti bisa. Mulai dari yang sederhana dan kecil dulu, toh belajar bahasa Inggris sekarang jauh lebih gampang daripada 20 tahun lalu. Jangan pernah menyerah pokoknya.

Sekian dulu bahasan saya buat KOLASE kali ini ya? Semoga postingan selanjutnya nggak akan selama ini. Let’s hope I will find interesting topic to be written soon.

Have a great midweek, people and selamat harpitnas ya? Hahahahaha.

Regards,
Abi

Link:

(1) http://www.thejakartapost.com/life/2017/08/29/why-using-english-doesnt-make-me-any-less-indonesian.html

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top