4 - VOLUNTEERING


Setelah dua post terakhir bahasan saya cukup serius, kali ini, saya mau bahas yang ringan-ringan aja. Dan topik yang bakal saya omongin, nggak berdasarkan artikel yang menurut saya menarik, tetapi based on my own experience, and I always love talking about it, hahahaha.

Volunteering dan jadi volunteer, atau jadi sukarelawan mungkin kata yang masih cukup asing buat masyarakat kita. Bayangan sukarelawan pastilah langsung mengarah ke bencana alam atau yang sifatnya sangat sosial. Sebenernya, nggak salah sih, karena definisi sukarelawan itu sendiri ya ... ngebantu tanpa pamrih. Kita pengen nyumbang (dalam artian tenag, waktu, dan pikiran) karena memang kita bisa DAN mau. Dan bentuknya memang macem-macem. Cuma ... yang pengen saya bahas sekarang adalah tentang EVS atau European Voluntary Service. Mungkin masih terdengar asing banget karena memang gemanya nggak terlalu kenceng di Indonesia.

Sebelum bahas tentang EVS, saya sebenernya nggak asing dengan yang namanya volunteering. Bukan karena saya aktif banget pas kuliah dulu atau gimana. Cuma tahun 2011, saya kepengen banget jadi volunteer di UWRF (Ubud Writers & Readers Festival—salah satu festival literasi paling oke se-ASEAN) dan karena syaratnya waktu itu cuma daftar aja, ya udah. Saya excited banget sih pas keterima. Saya kebagian jadi floater, jadi tugasnya nggak tetap. Selama festival berlangsung, saya kebagian jemput para penulis di bandara (jemput Andrea Hirata, Putu Wijaya, dan beberapa penulis lain) terus ada di green room (ini tempat para penulis ngopi-ngopi dan snacking sebelum dan sesudah sesi mereka) dan pastinya, bisa dateng ke semua sesi festival dengan gratis, asalkan nggak bentrok dengan tugas kita sebagai volunteer. Dan karena saya dapet tugasnya sebelum festival mulai (jemput penulis di bandara) makanya saya punya cukup banyak kesempatan buat dateng di sese-sesi menarik. Berada di sana tuh kayak surga karena saat itu, saya baru mulai nulis dan liat penulis-penulis handal saling ngobrol ... buat saya wow banget. Saya juga dapat kesempatan buat hadir di dinner-nya para penulis. Padahal volunteer sebenernya nggak boleh ada di sana, but, in a way, saya justru ditugasin di sana buat ngecekin tamu-tamu yang dateng. Duduk di depan DBC Pierre (dia menang Man Booker Prize tahun 2003) itu surreal banget. It was one of the best experiences in my life. Dan bisa dibilang, sejak itu saya jadi semangat nulis.

Di tahun yang sama, saya ditawarin temen buat jadi volunteer di BALINALE International Film Festival. Dan meskipun pengalamannya nggak seseru pas UWRF, tapi buat saya, itu tetep berkesan.

Terus awal tahun 2014, kenalan saya mulai dikenalin dengan yang namanya EVS. Awalnya sih karena temen yang saya kenal lewat Couchsurfing mau buka kantor cabang NGO di Bali. Mereka sebelumnya udah punya kantor di Hastings, UK. Nah, project pertama mereka ini adalah ngundang 3 volunteer (dari Spanyol, Estonia, dan Turki) buat tinggal di Bali selama 6 bulan. Aktivitas mereka di Bali sih macem-macem. Mereka ke beberapa SD dan panti asuhan di Bali, baik buat ngajar bahasa Inggris, ngajar ketrampilan, fotografi, games, sampai ngadain pameran foto. Dan karena mereka butuh pendamping buat nerjemahin ke bahasa Indonesia, maka founder NGO (yang sekaligus temen saya ini) ngajakin temen-temen dari komunitas Couchsurfing buat bantuin. Awalnya sih saya ragu bisa karena nggak pernah terlibat dengan hal semacam itu, tapi setelah diyakinin, akhirnya saya mau nyoba. Modal saya? Cuma waktu dan bahasa Inggris aja. Udah. Dan iming-imingnya waktu itu, nanti mereka bakal kirim kami (local volunteer) ke Eropa. Saya, yang memang udah dari SMA pengen banget, tergoda pastinya, hahahaha. It was fun! Karena yang saya kejar waktu itu sebenernya pengalamannya dan menjalin pertemanan, jadinya asik-asik aja. NGO ini (namanya ACT GLOBAL) pakai time bank gitu. Jadi, berapa jam kita volunteering, nanti dicatet buat pertimbangan mereka nanti siapa-siapa aja yang dikirim ke Eropa.

Sekitar bulan Mei, para local volunteer ini dikumpulin dan mereka ngasih tahu, ada 3 project yang mereka dapet buat ngirim kami ke Eropa. Waktu itu ada Leeds Music Festival di UK selama 3 minggu buat 3 orang, sebulan di Sardinia, Italy buat 3 orang (yang ini bertahap sih, jadi sebulan satu orang) dan yang terakhir, program 10 bulan di Sardinia. Saya sih, waktu itu karena lagi nggak kerja, daftar aja yang 10 bulan. Mikirnya, kalau cuma sebulan, nanggung. Jadinya ya udah, saya apply yang buat 10 bulan itu. Sebenernya, bisa dipastiin kami semua pasti berangkat sih, cuma mereka tetep minta kami bikin motivation letter kenapa pengen banget milih program itu. Sebulan kemudian, saya dikasih tahu lolos seleksi. Rasanya ... duh, nggak kebayang. Sampai-sampai, Sebastian (salah satu founder-nya) ngira saya nggak excited, padahal saya speechless. Siapa sih yang nggak mau ngabisin 10 bulan di Italy?

Setelah tiga volunteer yang dari Estonia, Turki, dan Spanyol pulang, ACT GLOBAL kedatangan volunteer lagi. Kali ini, mereka cuma bakal sebulan di Bali. Dua orang dari Italy (Sardinia) dan dua orang dari UK, plus satu orang dari Amerika (dia ini sih sukarela aja gitu mau dateng jauh-jauh dari AS meski nggak ada kerjasama antara ACT GLOBAL dan NGO dari AS) Oh, ya, EVS ini adalah program dari European Commission, jadi NGO-NGO di Eropa ngajuin proposal atau program gitu, terus nanti kalau di-approve, European Commission bakal ngasih dana buat ngejalanin program mereka. Tentu aja akan ada laporan tiap program mereka selesai. Makanya, semua yang ikut EVS bisa dibilang gratis. Saya cuma ngeluarin tiket pesawat PP Jakarta-Denpasar buat ngurus visa. Biaya visa, pesawat, sampai asuransi kesehatan, ditanggung. Bahkan, di negara tujuan, kami nggak usah bayar sewa tempat tinggal, justru malah dikasih pocket money tiap bulan. Nggak besar sih, sekitar 265 Euro atau sekitar 3 jutaan. Jadi, pocket money itu murni buat keperluan pribadi kita, buat belanja, buat makan, dan saya sempet bisa nabung juga buat traveling dikit.

Saya berangkat bulan November dan sempet mewek karena nggak pernah nyangka bakal ke Eropa, sekaligus ninggalin pasangan saya waktu itu. It was hard. Tapi, bf saya ngedukung 110%, bahkan dia yang maksa tiap kali saya punya keraguan. And it turned out, the last time I saw him as well, because he passed away 5 months later, while I was living my dream.

Anyway, saya 'kan belum pernah ke LN, meski setahun sebelumnya saya udah punya paspor. Alasan bikin paspor waktu itu adalah iseng, buat pegangan aja. Nggak pernah nyangka kalau setahun kemudian, paspornya bakal kepake, langsung ke Eropa pula, hahaha. Jadi deg-degan, excited, seneng, sedih, gugup ... semua nyampur pas akhirnya saya berangkat. Mungkin saking bingungnya, saya justru ngerasa biasa aja pas pesawat take-off. Justru pas pesawat mau landing di Amsterdam buat transit, saya sesenggukan. It was ... hard to describe. Saya, yang cuma cowok biasa, yang lahir dan besar di kota kecil, yang jadiin Eropa sekadar mimpi yang kayaknya too impossible to achieve, akhirnya bisa ke Eropa melalui cara yang sama sekali nggak terduga. Semesta memang punya cara sendiri buat ngewujudin impian saya. And I felt so grateful and lucky. Udah nggak keitung mungkin, berapa banyak orang Indonesia yang dapat beasiswa di Eropa, tapi ada berapa banyak yang dapet pengalaman kayak saya, sebagai volunteer? Mungkin nggak banyak. Bahkan, sebelum saya berangkat pun, saya tahu, that it would be a life changing experience.

Setelah hampir 24 jam perjalanan (Denpasar-Singapore-Amsterdam-Rome-Cagliari) saya akhirnya nyampe di Cagliari, ibukota Sardinia, pulau ke-2 terbesar di Mediterania setelah Sisilia. It wasn't Paris, Rome, Milan, Berlin, or London, but I still remember vividly the first glimpse of the first European city I've ever been to. Saya masa bodo sih kalau dianggep kampungan, hahahaha. Waktu itu, saya dijemput barengan perwakilan dari Portugal dan kami ngobrol sedikit, karena ternyata, kami bakal tinggal di tempat yang berbeda. Dia dan beberapa volunteer lain tinggal di apartemen di pusat kota dan saya tinggal di rumah yang jaraknya sebenernya nggak jauh-jauh banget sih, tapi kala jalan, sekitar 45 menit. Pas nyampe di Via Timavo (ini jalan tempat rumah yang saya tempati selama 10 bulan dan kami gunakan sebagai nama rumah, hahahaha) ternyata udah ada volunteer yang nyampe duluan. Apa ya ... saya sih nggak kagok ketemu bule, karena di Bali pun, saya aktif di Couchsurfing dan jadi co-creator weekly gathering buat para traveler sejak 2011, dan bf juga orang luar, cuma ... ada yang berbeda gitu. Mereka ini adalah orang-orang yang bakal saya temuin tiap hari, yang bakal tinggal seatap dalam jangka waktu yang lama, belum lagi, saya harus sharing kamar (sesuatu yang udah lama banget nggak saya alami) dan tahu gimana mereka pas saya dateng, itu langsung bikin saya nyaman. I instantly felt that I've found a family in a foreign country.

Saat itu sih, ada perwakilan dari Kroasia, Argentina, Norwegia, Romania (ini roommate saya) dan nggak lama kemudian, dateng dua volunteer dari Bulgaria dan Polandia. Pas volunteer yang lebih duluan nyampe ini balik ke negara masing-masing (yang orang Kroasia dan Argentina, kemudian orang Norwegia dua bulan sebelum saya balik Indo) kami kedatangan lagi volunteer dari Venezuela dan Latvia. Dan malam itu, Edu—volunteer dari Argentina—lagi masak buat cooking competition gitu, jadi langsung sibuk aja bantuin di dapur dan untuk pertama kalinya, saya minum air langsung dari keran, huahahahaha. Mungkin karena excited, jadinya saya nggak ngerasa capek meski habis perjalanan panjang. Setelah itu, kami ke salah satu bar tempat diadain cooking competition ini, dan ketemu volunteer lain yang tinggal di apartemen. Ada perwakilan dari Republik Ceko, Portugal, Kosta Rika, Georgia, dan satu lagi, dari Nepal (cuma dia datengnya agak telat, beberapa hari kemudian karena ada masalah dengan visanya) Total, ada 10 orang yang bakal jadi 'keluarga' saya selama 10 bulan. Terus, saya beraniin daftar buat ikut international kitchen competition. Masak apa saya? Nasi goreng dan bikin perkedel kentang, hahaha. Duh, pengalaman yang nggak terlupakan itu. Karena nggak nemu toko Asia yang jual kecap manis, akhirnya saya bikin kecap manis sendiri. Caranya? Rebus kecap asin bersama gula. LOL. Sayangnya, saya kalah meski banyak yang bilang masakan saya enak.

Beberapa bulan pertama sih, saya nggak ada masalah dengan makanan. Satu-satunya yang susah buat adaptasi adalah cuaca. November itu udah penghujung musim gugur, jadi kayak peralihan ke musim dingin. Untungnya, iklim Sardinia masuk Mediterranean climate, jadi winter pun, untuk ukuran Eropa, nggak terlalu dingin dan nggak bersalju. But, it was cold for me. Suhu rata-rata sih sekitar 15-17 derajat Celcius di bulan November, tapi begitu masuk winter, turun ke angka 13-14 derajat Celcius di siang hari dan pas malam, turun jadi di bawah 10 derajat Celcius. Temen-temen yang dari Eropa sih pada nggak kaget ya, tapi saya beneran cukup kepayahan nyesuain diri dengan cuaca. Saya pun akhirnya ambruk setelah tahun baru, hahaha. Demam dan meriang. Apalagi, di Via Timavo nggak ada central heating, jadinya heater-nya portable dan harus gantian. Ada 4 kamar dan heater-nya cuma 2, hiks. Tapi, pas sakit itu, saya ngerasain banget gimana satu sama lain saling perhatian. Bener-bener kayak keluarga, saling jaga gitu.

Tentang kotanya sendiri, sebenernya banyak sih tempat menarik di Cagliari karena memang kota ini punya sejarah panjang. Yang saya suka adalah transportasinya. Maklum, di Bali nggak ada transportasi umum yang mumpuni, jadi saya langsung ketagihan gitu naik bus di sana, hahahaha. Dan pemandangan cowok Italia tiap hari di bus, hahahaha. Padahal, buat ukuran orang Italia, cowok Sardinia itu pendek-pendek dan nggak secakep orang Italia dari mainland, tapi buat saya sih, cakep kok, hahaha. Cuci mata pokoknya tiap hari. Dan kami punya kebiasaan buat makan siang bareng dengan bekal masing-masing dan selalu pindah tempat tiap hari. Kadang di deket laut, kadang cuma di teras depan kantor, kadang juga di depan teras gereja, atau di piazza, pokoknya di mana aja yang penting di luar kantor.

Soal belanja, di Via Timavo, kami belanja kebutuhan rumahnya barengan. Jadi tiap orang bayar 15 Euro seminggu, nanti dikumpulin jadi satu buat dibelanjain kebutuhan rumah (mulai roti, kopi, gula, teh, sayuran, buah, pembersih lantai, toilet paper, dll) buat kami hidup seminggu. Belanjanya pun bareng-bareng. Jalan ke supermarket rame-rame, bawa tas ransel yang gede-gede, terus tiap barang yang kami beli, ada yang ngitung biar nggak melebihi budget. Buat saya, itu yang bikin kami serumah jadi deket. Kalau yang tinggal di Viale Trieste (yang di apartemen) mereka belanja sendiri-sendiri. Pokoknya, tiap Minggu sore, udah deh, kami serumah jalan ke supermarket dan belanja, nanti masaknya gantian juga. Saya yang memang biasa masak pas di Bali, nggak keberatan. Cuma, pernah sekali saya diminta bantuin masak bikin sup gitu, saya kasih cabe keringnya kebanyakan, hahahaha. Mereka pada nggak doyan pedes, jadinya kalau saya yang masak, saya kasih dikit aja cabe bubuknya. Di Italy malah saya rajin bikin dessert. Rajiiiin banget baking, hahaha.

Terus, kerjaannya ngapain aja sih di sana?

Nah, ini sebenernya nggak seberat yang dibayangin orang. Tiap volunteer nih ditanyain di awal kedatangan kami, kira-kira kami mau ngerjain apa. Waktu itu, saya bilang apa aja yang berhubungan dengan nulis dan sosial media. Akhirnya, saya kedapetan tugas buat ngurusin sosial media TDM 2000 (NGO tempat saya volunteering atau disebut juga host organization) dan ngerjain buletin mereka tiap bulan. Jadi TDM 2000 ini punya beberapa partner di negara-negara Eropa lainnya dan tugas saya, nyari info ke mereka tentang program apa yang lagi mereka kerjain buat ditaruh di buletin bulanan. Itu tugas utama saya. Volunteer lain, ada yang kebagian buat ngurusin school project (jadi tiap volunteer akan ke sebuah SD di Cagliari dan persentasi tentang negara masing-masing) ada yang ngurusin desain grafis, ada yang ngurusin tentang fotografi ... pokoknya, tergantung apa yang perlu dibantuin aja. Selain itu, TDM 2000 juga punya program-program lain, kayak tentang social inclusion, art project, sampai soal imigran (saya sempet terlibat di program ini dengan pergi ke satu SMA dan ngasih informasi soal imigrasi di Sardinia) Santai banget sebenernya. Nggak ada kewajiban kami harus ngantor jam berapa dan pulang jam berapa. Yang pasti, Sabtu-Minggu libur dan kami dapet tambahan libur 2 hari tiap bulan yang bisa kami ambil. Saya sih biasanya nyampe kantor jam 9-an dan pulang jam 5 gitu. Kadang juga ditelatin kalau mau Skype-an dengan bf di Bali atau kalau lagi nungguin download, hahaha. Internet di sana cepet banget soalnya.

Terus, apa lagi ya? Oh ya, kami ada on-arrival training. Jadi semua volunteer yang lagi volunteering di Italia, dikumpulin jadi satu selama seminggu. Waktu itu, batch kami kebagian di Rimini, sebuah kota di pesisir utara Italia. Selama 7 hari itu, kami dimanjain banget. Tinggal di hotel bintang 4, deket pantai, dan yang paling seru, ketemu puluhan anak muda dari seluruh penjuru Eropa (total ada 61 orang, termasuk 8 orang dari Cagliari) It was ... one of the best moments during my volunteering service. Seru banget pokoknya. Kami belajar bahasa Italia secara intensif, kami breakfast/lunch/dinner bareng terus, kemudian kami juga dikasih pengetahuan tentang EVS, nonton film, games, sampai harus team building dengan keliling Rimini buat nanya penduduk setempat tentang satu topik buat kami presentasiin nanti. Saya, yang jadi satu-satunya wakil dari Indonesia (dan paling jauh secara geografis) sempet ngerasa beban juga. Kebanyakan dari mereka nggak pernah ketemu orang Indonesia, tapi mereka tahu Bali. In a way, saya merepresentasikan Indonesia di mata mereka. Ada satu cowok dari Canary Island, yang pas kenalan, dia nggak nyembunyiin excitement dia, bahkan jauh sebelum ketemu saya. Begitu dia baca participant list dan tahu ada orang Indonesia, dia langsung excited banget. Lucu-lucu gimana gitu ekspresi dia, hahaha. Apalagi pas saya bilang tinggal di Bali, langsung pada heboh. Curiosity mereka besar banget dan saya termasuk yang tua di sana, karena kebanyakan masih di awal 20-an. Kami juga sempet nyewa bus buat jalan-jalan ke San Marino (salah satu negara terkecil di dunia) dan mungkin karena memang rame-rame, jadinya sangat memorable. Pokoknya, seminggu itu saya jadi punya kenalan baru banyak banget, dan meski nggak bisa deket dengan sebagian besar, saya masih keep in touch dengan mereka sampai sekarang. Buat saya, nggak ada yang lebih nyenengin daripada punya temen baru, apalagi dari negara lain. Dan pengalaman ini, saya tuangin di ONE FINE DAY, meski cuma minjem Rimini dan Florence-nya aja.

Satu lagi yang saya suka dari pengalaman volunteer ini adalah saya bisa jadi diri sendiri. Nggak ada yang keberatan saya gay. Justru buat mereka, homoseksualitas saya sama sekali nggak jadi masalah, apalagi topik pembicaraan. Yang ada justru sebaliknya. Kalian akan disinisin dan dijutekin kalau nggak bisa berpikiran terbuka, yang salah satunya, tentu saja menerima homoseksualitas. Mungkin nggak akan diajuhin atau ditegur, tapi akan diomongin di belakang. Sebagian besar orang yang saya kenal (beberapa volunteer juga gay) malah sangat-sangat supportive. Ada satu temen, orang Sardinia juga, dia ini cowok, straight, tapi sangat vokal dengan isu-isu homoseksual. Orangnya sangat ramah, murah senyum, pokoknya, sebelum dia, saya belum ketemu cowok straight yang begitu open dan vokal tentang isu homoseksualitas. Dia ini mungkin ngelebihin kaum gay sendiri buat masalah stand up for gay rights.

Selama masa volunteering, saya ngerasa sangat nyaman dengan homoseksualitas saya. Sebelumnya di Bali, cuma orang-orang deket aja yang tahu saya gay karena saya masih ngerasa khawatir kalau ada yang tahu. Lebih ke masih takut dengan opini orang tentang hubungan saya waktu itu, karena bf usianya jauh di atas saya. I wasn't ready to fully embrace my homosexuality. And Italy had changed that. Mungkin karena pengaruh lingkungan yang sangat menerima dan ngagk mempermasalahkan orientasi saya, jadinya ngerasa nggak diperlakukan beda. Saya jadi berpikiran masa bodo deh dengan orang-orang yang nggak mau nerima saya. Saya mulai bangga dan nggak takut nunjukkin kalau saya gay. Sempet ada ketakutan, apakah pas saya balik ke Indonesia nanti, saya bisa jadi seperti pas saya di Italy. Tapi, ketakutan saya nggak terbukti. Saya tetep bisa proudly be who I am. Makanya, saya sekarang sih santai-santai aja kalau ada orang yang ngerasa jijik dengan saya atau nggak mau temenan karena saya gay. I'm sorry, but it's not MY problem, but it's YOUR problem. And in a way, embracing my sexuality in full circle also has effect in my writing. Saya jadi ngerasa lebih bebas aja gitu berekspresi tanpa takut. Kalau ada yang unfriend saya di FB, sok atuh, nggak kenapa-kenapa. Saya nggak akan ambil pusing. For now, I feel very comfortable in my own skin.

Sebenernya, kalau mau nurutin nafsu, bisa jadi panjang banget topik ini, hahahaha. Intinya sih, saya sama sekali nggak nyesel udah ninggalin Indonesia selama 10 bulan karena pengalaman yang saya dapet itu bener-bener nggak terlupakan dan sangat berharga. Selain dapet banyak temen baru dan punya 'keluarga baru' (jadi, kami bersepuluh ini beneran udah kayak keluarga, bahkan, beberapa yang tinggal di Eropa, udah pada ketemuan, hiks), yang paling penting, I found myself. Semua pengalaman yang saya dapet, semua orang yang saya temuin, semua kesulitan dan kendala (bahasa dan susahnya nemu kecap manis di Cagliari, hahaha) sampai kejadian yang mengubah kehidupan saya secara drastis (saat bf dan kakak kandung saya meninggal di hari yang sama waktu saya di sana) itu ngebentuk saya yang sekarang. Am I tougher? I would love to think so. Am I wiser? I hope so. Yang saya tahu, pola pikir saya berubah. Volunteering has changed me as a person, the way I see things and people. Selepas saya, kesempatan buat volunteering justru makin nambah. Yang dulunya pilihannya cuma Italy, setelahnya, beberapa temen saya dapet kesempatan buat volunteering di Malaga (Spanyol) Prancis, Braga (Portugal) dan Slovenia selama 3 bulan. Cuma, yang paling lama masih saya sih, 10 bulan, hahahaha. Denger-denger, akan ada program lagi buat tahun depan kalau ngagk salah, 7 bulan di Bologna (Italy) dan Athena (Yunani) Sayangnya, saya udah nggak bisa apply lagi karena udah ambil yang long term (di atas 3 bulan itu udah masuk long term volunteering) dan itu cuma bisa sekali. Dan juga, umur saya udah lewat 30 tahun, sedangkan batas EVS adalah 18-30 tahun. Tapi, sekali lagi, saya ngerasa sangat beruntung dapet kesempatan seperti itu. It's the kind of experience that I will remember my whole life.

Intinya sih, kalau ada kesempatan buat volunteering, apalagi kalau yang ngasih kesempatan itu NGO internasional, just take it. Jangan mengukur segalanya dengan uang. Apakah pengalaman saya itu bisa dibeli dengan uang? I don't think so. Modal saya pun waktu awal volunteering cuma waktu dan bahasa Inggris, nothing else. Kita nggak akan pernah tahu ke mana kesempatan itu ngebuka pintu buat kita. Universe has its own way in showing us the ways to our dreams. Siapa yang nyangka saya akhirnya keturutan buat jalan-jalan di Eropa (meski baru sekitaran Paris, Belgia, Belanda, Cologne, Barcelona, dan beberapa kota di Italy) dan bahkan punya temen baik yang kalau suatu hari saya niat buat Euro trip, nggak akan ragu buat nampung saya buat nginep selama beberapa hari? In the end, it's the experience AND the friendships that I value the most. Apalagi, saya suka nulis, kalaupun nanti saya bikin cerita dan pengen pakai bahasa Polandia, Spanyol, Latvia, Romania, atau bahkan Bulgaria sekalipun, saya bisa nanya ke mereka tanpa takut salah.

Take chances. Be brave.

Saya sama sekali nggak bermaksud pamer dengan cerita tentang pengalaman ini. Justru sebaliknya. Setelah tahu betapa banyaknya manfaat yang saya dapet, saya malah pengen sebanyak mungkin anak muda Indonesia punya kesempatan seperti yang saya dapet. Because it had changed me, I wish it would have changed you as well. Saya pengen bikin siapa pun yang baca ini, supaya nggak nyerah dengan yang namanya mimpi. Dreams do come true. Percaya deh, kalau kalian dapet kesempatan serupa, begitu balik ke Indonesia, cara berpikir kalian akan beda, itu pun kalau kalian mau berusaha ya? Karena saya percaya, jadi open minded itu perkara pilihan. Banyak kok, orang yang udah traveling ke mana-mana, mungkin dapet beasiswa yang susah banget didapet, tapi pola pikirnya masih sempit. Menurut saya, orang seperti itu justru ngebuang kesempatan yang sangat berharga. Please, don't be that kind of person.

Saya suka tiap kali ngebahas soal volunteering, karena konsep ini masih nggak banyak dipahami di sini. Saya harap sih, kalian termotivasi ya setelah baca ini, hehehe. Mungkin, saya beruntung, luck was on my side, tapi kalau waktu itu saya nggak mau volunteering karena alasan-alasan tertentu, nggak mungkin saya bisa cerita 'kan? Pokoknya, jangan nilai segala sesuatunya dengan uang. Udah itu aja.

Have a great weekend, people!  

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top