Nisan #1

Di queen bed itu, kamu mengisi sebelah sisinya, bersendar kala aku membuka mata. Fajar belum menyingsing, masih menyisakan dingin yang berembus dari pendingin ruangan. Mencipta embun di kaca jendela yang kubuka sedikit untuk melihat sisa malam di luar.

Aku mengagumi wajahmu yang pulas, dengan dengkuran halus yang kamu buat. Tanpa diperintah, bibirku melengkung begitu saja, mengingat percintaan semalam. Sayang, seiring dengan senyum itu, hatiku teriris tipis. Tubuh yang kupeluk bukan seutuhnya milikku, itu membuatku menghela napas berulang. Ingin melepas beban yang kuharap larut dari setiap desahan. Rupanya tidak, melainkan semakin berat terasa.

Bulu matamu yang lebat dan panjang, membingkai mata belok berpadu dengan hidung mancungmu. Dan jenggot yang kamu pelihara dengan baik menjadi pemanis di dagu, jua mempermanis letak bibir tebalmu. Kamu rupawan, wajar jika Laila dulu terobsesi. Mengejarmu dengan segala usaha, menunjukkan ketulusan dengan berbagai cara, sampai akhirnya kamu luluh dan meminangnya.

Diam-diam aku mengagumi cara Laila, kukuh memperjuangkan perasaannya, dan benar-benar menjadi teladan. Karena setianya teruji benar. Sebelum akhirnya, sebulan yang lalu kita dipertemukan di sini, di kamar hotel berdinding dingin.

Kamu berkata, "Kami belum punya anak." Padahal usia pernikahanmu sudah menginjak tahun ketiga. Rautmu menggambar jelas kekecewaan serta luka penuh harapan.

"Mungkin belum waktunya, nanti pasti punya. Yang penting sabar dan terus berusaha." Nasihat yang sebenarnya tidak kuyakini akan menguatkanmu. Tetapi, sebersit senyum kamu terbitkan, memperindah rupamu yang memang tampan.

"Aku juga sedang berusaha. Mungkin dari Laila nggak dapet, tapi dari kamu aku bisa punya anak banyak," katamu mendekati telingaku. Menggigit kecil cupingnya, itu saja sudah membuatku kegelian. Kamu masih menyapu tengkuk dengan hawa panas dari mulutmu, membuatku tak mampu membendung hasrat.

Sejak malam itu, memelukmu sudah biasa. Mencari kehangatan di bawah ketiakmu sudah lazim. Mencium sisa bau tembakau di lehermu sudah candu. Kamu benar-benar membuatku layak bahagia.

"Sudah bangun, Sayang?" tanyamu mengagetkan aku yang terbuai oleh kenangan lalu. "Pagi-pagi, kok, bengong?"

"Nggak papa." Aku langsung berlabuh pada tubuh tegapmu yang polos, mencari kehangatan dari kulit cokelat tuamu. Rasanya hatiku tenang dan berguncang. Aku tenang dengan kehangatanmu, tapi aku guncang dengan jalinan terlarang ini.

Bagaimanapun juga, Laila adalah temanku, teman kita dulu dan istri sahmu. Tanpa sepengetahuannya aku patungan satu pria, dia mendapat jatahmu setiap malam Senin sampai malam Jumat. Dan aku, kamu sisakan dua hari penuh di akhir pekan.

Kamu tidak tahu, bahwa sepanjang kamu tidak bersamaku, hati ini kerontang dan mata bersimbah air bah pilu. Seperti saat ini, di dada bidangmu aku tak sengaja meneteskan kembali air mata.

"Kenapa?"

Aku diam. Hanya mengusap-usap jejak basah di pipi juga di dadamu.

"Kamu sedih kenapa, Sayang?" Wajahmu sangat dekat dengan wajahku yang menunduk dalam. Lagi-lagi hanya gelengan kepala yang kuwakilkan sebagai jawaban.

"Kamu sedih dengan hubungan ini?"

Jawabannya sudah kamu tahu, karenanya aku memilih tak menyahut. Aku percaya kamu, percaya akan semua keputusan yang selalu kutunggu baiknya.

"Kalau gitu, kamu mandi sekarang! Kita temui Laila. Aku bakal bilang kalau aku mau nikahin kamu," katamu sambil memegang daguku, mengangkatnya sampai manik jelagamu menubruk netraku.

"Gimana kalau dia nggak mau dipoligami?" Sekonyong-konyongnya pertanyaan itu lolos dari katupan rapat bibirku. Tapi, senyum hangatmu menghantarkan getaran keyakinan yang membuatku melangkah ringan menuju kamar mandi.

¤®¤

Sejujurnya, tanganku bergetar hebat di genggaman tangan kokohmu. Laila berdiri dengan mata merah di seberang, berjarak lima bidang marmer rumahmu. Tangan Laila mengepal di kedua sisi tubuhnya saat mendengar pengakuanmu.

"Risa sedang hamil anakku, beda sama kamu yang nggak pernah ngasih keturunan. Jadi, nggak ada alasan kamu nolak keputusanku buat nikahin Risa."

"Oke, Mas boleh nikahi Risa dengan syarat ceraikan aku saat ini juga." Laila berucap tanpa ragu, tegas dan lantang. Menciutkan hatiku, sehingga longlongan suara tuduhan mengisi di gendang telinga.

Kamu perusak rumah tangga orang.

Kamu perempuan jalang!

Kamu tidak tahu malu, melibas suami temanmu.

Dasar pagar makan tanaman!

Aku memejamkan mata, di perutku terasa melilit mendengar kamu berucap, "Baiklah, mulai saat ini kamu bukan lagi istriku."

"Begitu juga kamu, bukan lagi suamiku."

Setelah mengatakan itu, Laila melenggang pergi dengan tas yang dijinjingnya. Suara dari stiletto yang terantuk permukaan marmer, terdengar seperti ejekan yang mencemoohku. Betapa aku menjadi rendah seketika, meski kamu tersenyum puas di depanku. Mencium kening dan menggendongku menuju kamarmu. Kamar yang selama ini kamu gunakan sebagai tempat mendayung syahwat dengan Laila.

Hatiku terasa lebih sakit, melihat semua furnitur minimalis di kamar seluas 4x4 meter itu. Setiap jengkalnya adalah rajutan kenanganmu dengan Laila, sedang aku? Pengais sisa kenangan-kenangan yang kamu lepeh di sana.

"Kita akan segera nikah, Sayang." Rona kebahagiaan itu terpendar di wajahmu, membubuhkan obat pada luka hati. Aku turut senang dengan perubahan suasana hatimu.

Seketika semua lenyap, soal Laila yang pergi, soal aku yang tak tahu diri.

¤®¤

Bersambung part #2

Cerpen ditulis berdasarkan puisi Kak NA90 (nama sengaja disamarkan, sesuai permintaan).

Kak SalsaAzzam, akhirnya soal cerita itu dedek tulis juga.

Special report to jkcommunity.
Akhirnya apdet juga, meski terpaksa dipenggal jadi dua bagian. Karena otaknya karatan, mentok di sana. 😌😌

Kak FasyialFriani, dedek publish segini dulu yah... 😭😭😭
Dedek lagi kehabisan bensin. Hehehe


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top